Usai dikeroyok Edo dan dua temannya, Kevin baru bisa terbangun setelah terbaring selama lima belas menit lebih tadi. Dengan sedikit sisa tenaga yang dimiliki, dia berusaha menyetir meski dengan kecepatan yang bisa dibilang sangat pelan.
Sesampainya di rumah, Kevin terpikirkan Mona. Dia tak ingin ibunya tersebut tahu apa yang terjadi padanya. Wanita itu bisa kapan saja pulang dari rumah sakit dan datang ke rumah. Menyadari itu, Kevin memutuskan untuk mengurung diri di kamar.
Kamar Kevin cukup luas. Ukurannya sekitar 4X5 meter. Di tembok bagian depan ada beberapa poster burung elang yang tengah mengepakkan sayap dengan ukuran beragam. Di tembok bagian kiri dan kanan ada beberapa poster film Thor. Sementara di bagian atas ranjang ada kumpulan foto dirinya yang ditata membentuk kata “KEVIN”. Di depan ranjang, tepatnya di bawah salah satu poster elang, ada sebuah televisi LCD. Lalu, di sudut kanan dekat pintu ada sebuah meja belajar dengan segala peralatan sekolah lengkap. Di samping tumpukan buku—pada meja belajar itu—ada patung burung elang yang telah diawetkan dengan dua sayapnya terkembang.
Kevin sendiri yang mendekorasi dan menghias kamarnya sedemikian rupa sejak kondisi keuangan keluarganya memburuk. Dia harus betah berlama-lama di kamar agar tak selalu keluyuran menggunakan mobil seperti dulu. Awalnya Kevin merasa jenuh ketika harus menghabiskan waktunya dengan nonton televisi atau main game saja di kamar. Namun, seiring berjalannya waktu dia terbiasa juga menjadi anak rumahan.
Sekarang Kevin sedang mengompres lebam-lebam di wajahnya. Dengan bantuan sebuah cermin dia menempelkan kain basah itu ke wajahnya pelan-pelan.
Kevin masih tak mengerti apa maksud kata “memulai” yang diucapkan Edo. Dia merasa tak pernah memulai apa pun dan sama sekali tak berniat untuk bermusuhan dengan Edo. Dulu mereka berdua sangat Dekat. Perbedaan usia Edo yang hanya terpaut empat bulan di bawah Kevin membuat mereka memiliki banyak kesukaan yang sama. Entah itu pada mainan, film kartun kesukaan, baju, atau bahkan makanaan dan minuman kesukaan. Seiring mereka tumbuh dewasa bersama, Kevin sering menceritakan kegiatan dengan teman-temannya di sekolah pada Edo. Itu karena dulu waktu SMP mereka tidak satu sekolah. Sedangkan Edo agak lebih tertutup pada Kevin. Meski demikian, sifat Edo tersebut tak mengurangi kehangatan persaudaraan di antara mereka.
Waktu Kevin duduk di bangku kelas sembilan dan kedua orangtuanya mulai sering ribut, dia dan Alice bahkan sering tidur di kamar Edo. Dia mengajak Alice mengungsi ke rumah sepupunya itu karena tak tahan dengan suasana berisik di rumah. Namun, sekarang mereka bukan lagi seperti saudara. Mereka saling bermusuhan dan hingga sekarang sepertinya tak ada tanda-tanda akan mereda.
Kevin meletakkan baskom dan kainnya di meja belajar ketika dia mendengar suara deru kendaraan bermotor berhenti di depan rumahnya. Dari jendela dia melihat sebuah mobil pick-up di depan gerbang rumahnya. Dia mengerutkan kening heran saat melihat Mona turun dari mobil itu. Rasa ingin tahunya mulai muncul saat melihat si sopir dan tiga orang lain yang duduk di bagian belakang pick-up juga ikut turun.
Penasaran, Kevin lantas keluar dari kamar. Masalah Mona kaget melihat kondisinya dia pikir belakangan. Dugaan bahwa ibunya tersebut akan mengambil sesuatu dari rumah untuk dijual mengajar kuat di benaknya. Maka dia harus mencegah. Kalau tidak, seisi barang di rumahnya lama-lama akan habis.
Ketika kakinya mencapai ruang tamu, Kevin segera berlari kecil mendekati Mona. Saat melihat kondisi wajah Kevin, mata Mona terbelalak. Dia tampak terkejut. Namun sebelum dia sempat menanyakan penyebab luka-luka di wajah Kevin, anak laki-lakinya itu sudah lebih dulu menyergapnya dengan pertanyaan, “Mama mau jual apa lagi?”
Sebelumya Mona sudah pernah menjual satu set sofa di ruang keluarga ketika pertama kali Kevin melihat sebuah mobil pick-up berada di depan rumahnya. Sekarang entah perabotan apa lagi yang akan wanita itu jual.
Radit tak pernah lagi memberikan nafkah kepada keluarganya sejak setahun yang lalu. Untuk membiayai sekolah Kevin dan Alice, Mona merajut dompet-dompet dan tas yang kemudian dia jual melalui akun jejaring sosial. Penghasilan yang Mona dapatkan lumayan banyak. Kalau untuk makan sehari-hari juga cukup. Namun dia butuh uang lebih untuk membiayai perawatan Alice di rumah sakit. Itu yang menyebabkan dia menjual perabotan rumah.
“Mama mau jual apa lagi, sih?” ulang Kevin lantaran tak ada jawaban dari Mona. Sebelum ada sahutan dari Mona, Kevin telah mendapat jawabannya lebih dulu. Dia melihat empat orang pria yang turun dari pick-up tadi mengangkat sebuah almari besar dari bagian dalam rumahnya. Almari itu adalah almari pakaian yang ada di kamar orangtuanya.
“Ma, kenapa Mama nggak jual mobil aku aja? Mama akan dapet uang yang lebih banyak dengan itu?” protes Kevin sambil terus mengikuti Mona yang tengah berjalan ke luar rumah untuk melihat orang-orang yang sedang menaikkan almari ke mobil pick-up.
“Nggak, Kak! Kalau Mama jual mobil kamu, nanti kamu berangkat sekolahnya gimana?” balas Mona ketika membalikkan badan. Wanita itu kemudian melangkahkan kakinya ke dalam rumah lalu duduk di salah satu sofa ruang tamu.
“Kevin bisa naik kendaraan umum, Ma.” Kevin mengikuti Mona lalu duduk di samping wanita itu.
“Nggak, Kak. Itu mobil kedua yang dibelikan Papa kamu, kan?” Mona terdiam sejenak. Masih melekat jelas di ingatannya bagaimana keceriaan di wajah Kevin ketika melihat mobil lama yang baru dia pakai dua kali diganti oleh Radit selepas kejadian mengerikan itu. Lagi pula Mona juga tahu segala passion Kevin tentang mobil dan kecepatan. Tak mungkin dia menjual kendaraan favorit anaknya itu. “Lagian menurut Mama naik kendaraan sendiri lebih efisien. Kamu bisa berangkat kapan pun kamu mau tanpa takut telat karena menunggu kendaraan umum,” lanjut Mona.
Kevin tak membantah lagi lantaran apa yang Mona katakan memang ada benarnya.
Kadang Kevin heran bagaimana Mona masih bisa mementingkan dirinya di tengah kondisi keluarga yang serba sulit seperti sekarang. Padahal sebenarnya dia sama sekali tak keberatan kalau mobilnya harus dijual untuk biaya perawatan Alice di rumah sakit. Kesembuhan adiknya itu jauh lebih penting baginya. Kalau hanya untuk menuruti kehausan akan mobil dan kecepatan, dia bisa meminjam kendaraan Ferro atau Dion.
“Itu wajah kamu kenapa lebam-lebam?” Mona akhirnya meloloskan pertanyaan yang dari tadi berputar-putar di kepalanya. Dia memperhatikan wajah Kevin dengan teliti.
“Berantem sama temen,” jawab Kevin sekenanya.
Dulu Mona pernah bertanya mengapa Edo sudah tak pernah lagi datang ke rumahnya untuk bermain dengan Kevin. Dan Kevin hanya bisa memberi jawaban palsu atas pertanyaan ibunya itu. Dia bilang sejak duduk di bangku SMA mereka mulai sering diberi banyak tugas, tak seperti dulu waktu masih SMP. Tugas-tugas itu yang menyebabkan mereka tak punya banyak waktu untuk bermain bersama lagi. Untungnya jawaban itu cukup membuat Mona percaya. Kalau sekarang Kevin berkata jujur, maka kebohongannya akan sia-sia.
“Kamu itu kenapa sih, Kak, kerjaanya berantem melulu? Nggak capek apa? Nggak suka, ya, hidup normal yang damai-damai aja gitu?” tanya Mona. Ada nada khawatir terselip dalam suaranya. Nada yang selalu muncul setiap kali dia melemparkan protes di saat melihat luka-luka yang muncul pada diri Kevin akibat berkelahi.
Ya, sudah bukan sekali atau dua kali Mona melihat Kevin pulang sekolah dengan beberapa luka lebam begitu. Layaknya ibu-ibu yang lain, Mona tak pernah suka melihat pemandangan itu. Meski Kevin adalah anak laki-laki dan sudah biasa dengan perkelahian, tetap saja ada rasa tidak rela di hatinya mendapati fakta bahwa anaknya tersebut disakiti orang.
Masa remaja memang tahap di mana seorang anak berada dalam kondisi labil. Mudah terpancing emosi. Namun, menurut Mona perkelahian bukanlah jalan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah. Selama ini dia selalu mengajarkan Kevin untuk mengendalikan amarah. Karena setiap pekerjaan apa pun yang dilakukan dengan mengikuti amarah tak akan menghasilkan kebaikan. Kerapkali penyesalan yang datang menyertainya. Menuruti amarah akan selalu menghasilkan kekacauan dan kerugian.
“Bukan Kevin yang mulai, Ma,” Kevin menjawab malas. Sebenarnya dia tak ingin Mona membahas ini. Dia tak ingin ibunya itu khawatir. Lagi pula dia yakin kalau dirinya akan baik-baik saja. Luka seperti itu sudah biasa baginya.
“Ya, tapi nggak usah diladenin, dong, kalau nggak mau punya musuh.”
“Terserah mereka kalo mau nganggep Kevin musuh. Kevin ngelawan karena nggak mau disebut pecundang.” Kevin beranjak dari duduknya tanpa ingin lagi mendengar kalimat yang akan keluar dari mulut Mona. Ibunya itu tak akan mengerti kalau Edo tak bisa diajak berdamai. Melawan atau tidak, Edo tetap saja akan terus memusuhi Kevin dengan segala dendam yang tak pernah dia mengerti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
mbemndut
Mama Mona, baik sekali😘😘
2021-07-11
0
denadia
smpai di part ini udh ada beberapa prtnyaan yg buat penasaran.
knapa di part awal dia di kejar2gto?
knapa si edo bisa benci bnget kek Gto?
trus npa ayah ny gk ada trus gk nfkahi juga??
2020-04-18
0
Sugianti Bisri
suami/bapak yang tidak peduli pada keluarga disentil aja😀😀😀😀😀
2020-02-22
1