Chia sedang mematung di depan cermin. Ia memandang bayangannya yang menatap dingin ke arahnya. Ia merapikan rambutnya yang masih basah dan berantakan. Ia membiarkan rambut hitam panjangnya tergerai begitu saja.
Ia menatap dirinya lagi. Lalu menepuk-nepuk sedikit bedak ke wajahnya yang manis itu. Setelah selesai, ia memandangi cermin lagi. Lalu menoleh ke arah jam dinding. Masih ada tiga puluh menit sebelum ia berangkat ke sekolah.
Chia melirik ke arah meja rias di depannya. Menatap sebuah mp3 lengkap dengan headset-nya. Ia menatap dalam-dalam benda kecil itu.
● ● ●
Riga berjalan dengan tenang melewati kerumunan para gadis yang telah bergerombol memenuhi lorong, meski sebenarnya ia tidak terlalu suka menjadi pusat perhatian seperti itu.
Apa mereka gak pernah lihat orang yang lupa ingatan? Pikir Riga sambil mempercepat langkahnya. Ia bergidik sendiri setiap kali bertemu pandang dengan tatapan gadis-gadis itu.
Riga menoleh ke belakang saat ia telah berdiri di depan kelasnya. Seseorang menepuk bahunya dengan pelan.
Siapa? Riga menatap laki-laki yang sedang menunjukkan gigi-giginya itu dengan datar.
“Gue seneng bisa lihat lo lagi di sekolah.”
Riga terdiam. Ia menatap datar laki-laki yang masih tersenyum itu.
“Gue kangen banget sama lo. Rasanya gue kehilangan rival gue waktu lo gak ada di sekolah.” Laki-laki itu tertawa sambil mengulurkan tangannya ke kepala Riga, lalu mengacak rambutnya.
Riga menggerakkan kepalanya untuk menghindari tangan laki-laki itu agar tidak mengacak-acak rambutnya lebih parah. “Rival?”
Laki-laki itu tertawa renyah. “Gue bercanda. Gue gak akan pernah bisa ngalahin lo.”
Riga hanya terdiam. Ia menatap bingung pada laki-laki itu.
“Udah gak usah ngelihatin gue kayak gitu. Gue masih waras kok. Gue masih sehat. Jasmani dan rohani. Yang pasti, gue masih tetep jadi sahabat baik lo.” Laki-laki itu menunjukkan gigi-gigi putihnya lagi.
“Entar siang gue jelasin semuanya sama lo. Yang jelas, sekarang gue butuh bantuan dari lo nih,” sambungnya.
“Bantuan?”
“Yoi! Bantuin gue kasih contekan PR lo. Gue belum ngerjain PR kimia soalnya." Laki-laki itu tersenyum jahil.
“Udah yuk masuk kelas!” Tanpa persetujuan Riga, laki-laki itu telah menarik tangannya.
● ● ●
Suara gemercik air terdengar ketika Chia membuka kran. Ia menengadahkan tangannya untuk menampung air yang mengalir cukup deras. Lalu ia membasuh wajahnya berkali-kali.
Masih dengan kepala tertunduk, Chia mengulurkan tangan kanannya, menggapai-gapai pada dinding sambil mencari di mana tutup kran air itu berada. Setelah mendapatkannya, ia memutar kran itu dan menutupnya. Seketika suara gemercik itu hilang dari kamar mandi. Menyisakan kesunyian baginya. Sebuah kesunyian yang sudah tak asing baginya.
Chia mengangkat wajahnya. Ia memandangi dirinya di cermin. Tetesan-tetesan air masih melekat di wajah. Ia melirik ke arah tas yang tergeletak di samping wastafel.
Chia memasukkan tangan ke dalam tasnya, merogoh sesuatu yang tersimpan di dalam. Ditariknya sebuah handuk kecil dari dalam tas itu. Sebuah benda kecil jatuh bersamaan saat ia mengangkat handuk ke wajahnya.
Chia melirik ke arah benda kecil yang tergeletak di atas meja. Tepat di hadapannya. Benda itu. Lagi. Sebuah mp3 lengkap dengan headset-nya.
Ia menatap benda itu lekat-lekat. Sejak pagi tadi, benda itu hampir menyita seluruh perhatiannya. Entah kapan terakhir kali ia melihat mp3 itu.
Ia memang membiarkan mp3 itu tergeletak begitu saja di atas meja riasnya hampir enam bulan lamanya. Chia memang tidak bermaksud mencoba menggunakannya. Bukan karena ia tidak bisa menggunakan benda kecil berbentuk persegi panjang itu. Namun, benda itu bukan miliknya. Ia ingin mengembalikan mp3 itu sejak dulu. Tapi segala sesuatunya masih belum tepat. Akhirnya, benda itu dibiarkan berdebu dan tak tersentuh sama sekali.
Chia masih terpaku. Terdiam sambil menatap mp3 itu. Wajahnya yang semula akan dikeringkan dengan handuk kecil di tangannya, kini sudah mengering dan tak menyisakan tanda-tanda basah sama sekali.
Chia menghela napas. Ia menatap bayangannya di cermin sejenak. Lalu kembali memusatkan perhatiannya pada mp3 itu. Ia mengulurkan tangan lalu meraihnya.
Chia memasangkan headset di kedua telinga. Lalu menghubungkan mp3 dengan headset itu. Ia menatap mp3 itu sebentar sebelum memasukkannya ke dalam saku baju. Ia memandangi lagi dirinya di cermin. Ia merapikan sedikit rambutnya sambil mengatur agar headset yang terpasang di telinganya tak terlihat sedikit pun.
Ia kembali menatap bayangannya yang masih memandangnya dingin. Ia menghela napas. Lalu terdiam sejenak. Ia melirik ke arah tas. Ia memasukkan handuk kecil yang belum sempat dipakai itu ke tempatnya semula. Lalu keluar dari toilet.
● ● ●
“Kita mulai dari perkenalan ulang aja yah?” tawar laki-laki yang dijumpai Riga tadi pagi.
Riga sendiri tak menjawab apa pun. Ia hanya memandangi beberapa siswa yang telah berjajar rapi di hadapannya.
“Mereka semua adalah anggota OSIS. Dimulai dari sebelah kiri lo. Ini Gian, Siska, Indah, Zizi, Rendra dan Rezky. Beberapa orang lagi kayaknya belom datang. Mungkin lo bisa ketemu dan kenalan sama mereka besok.”
Riga hanya mengangguk pelan setelah ia bersalaman dengan orang yang paling terakhir dari barisan.
“Kita ke tempat lain!”
Laki-laki itu berjalan di depan Riga lagi setelah melambaikan tangan pada para anggota OSIS. Riga hanya pasrah mengikutinya dari belakang.
Ah, Riga sungguh tak ingat sama sekali jika ia memiliki sahabat seperti laki-laki bernama Adit itu. Segalanya terasa abu-abu baginya. Menyebalkan memang jika tak bisa mengingat apapun di masa lalu. Ia bahkan tak tahu harus mempercayai siapa.
"Kita udah sampe di ruang selanjutnya!"
Riga terkejut sedikit ketika ia mendapati Adit memandanginya dengan penuh kekhawatiran. Berapa lama gue ngelamun tadi emangnya? Pikir Riga.
“Lo kenapa? Apa lo sakit?” Adit bertanya dengan ramah.
"Wajah lo pucet!" jelasnya.
“Gue gak apa-apa,” jawab Riga datar.
Ia menatap Adit dingin, berusaha menutupi apa yang sedang dipikirkannya. Rasanya aneh jika seseorang tak dikenalnya memerhatikannya seperti itu. Untung saja laki-laki itu cukup mengerti. Ia bahkan tak bertanya apa-apa lagi pada Riga.
“Ngomong-ngomong, kita udah sampe di ruang selanjutnya nih. Ruang klub sastra. Yo!" Adit tersenyum lagi ke arahnya.
Riga memasuki sebuah ruangan berukuran kecil, setelah laki-laki bernama Adit itu melangkah masuk lebih dulu. Ia mengamati ruangan itu selintas. Ruangan itu tampak sederhana. Hanya ada rak-rak buku yang berjajar mengitari ruangan, serta lima buah meja lengkap dengan komputernya di bagian kiri ruangan itu.
Riga mengalihkan pandangannya. Ia menatap dua orang yang sedang duduk di balik meja komputernya sambil tersenyum.
“ini Sani.“ Adit memperkenalkan salah satu temannya.
Riga mengangguk pelan sambil mengulurkan tangan. Tatapannya begitu dingin menatap gadis yang sedang menggaruk-garuk kepalanya itu.
“Sani,” ucapnya.
“Yang duduk di sebelah Sani, namanya Kiki.” Adit masih menjelaskan.
Dengan wajah penuh senyuman, laki-laki yang diperkenalkan Adit itu berdiri dan mengulurkan tangannya pada Riga.
“Gue Kiki,” ujar laki-laki itu.
Riga mengangguk pelan sambil berjabat tangan.
"Meja yang deket sama lo ini, meja gue. Meja yang di hadapannya Sani, itu meja lo. Dan meja yang di sebelah lo, itu meja penyumbang ide kita," Adit masih menjelaskan sembari mengedipkan satu matanya.
Riga hanya terdiam menanggapi penjelasan Adit.
“Rasanya aneh banget deh!” seru gadis yang bernama Sani sambil menghela napas.
“Ah gue gak suka keadaan ini! Kenapa kita harus ngulang semuanya dari awal?” gerutunya.
Riga melirik Adit yang sedang memelototi Sani. Sementara gadis itu hanya meringis sambil menatap ke arah Riga.
Laki-laki yang bernama Kiki, yang sedari tadi berdiri, berjalan menghampiri Riga. Ia menepuk bahu Riga sambil tersenyum.
“Santai aja. Sani gak bermaksud buruk kok sama lo. Dia emang sedikit cerewet. Tapi dia baik. Apalagi dia bisa diandalin dalam kategori konsumsi." Kiki tersenyum jahil.
“Maksud lo?” Sani mencubit lengan Kiki dengan gemas.
Kiki tersenyum getir sambil menahan sakit, sedangkan Adit tertawa.
Riga mengalihkan pandangannya dari ketiga teman barunya itu. Matanya terfokus pada seorang gadis yang berdiri di dekat rak buku di sebelah kanannya. Gadis itu sedang membaca sambil mendengarkan sesuatu dari headset di telinganya.
Cewek itu? Yang kemarin bilang kalau dia pacar gue? Ah, Riga tak tahu mengapa gadis itu bisa berada di sana juga. Yang jelas, Riga tak menyukai keberadaannya.
“Itu Chia. Pacar lo. Lo pasti udah kenal kan? Waktu hari pertama lo masuk, lo udah ketemu dia kan?” Adit tiba-tiba menjelaskan, seolah-olah ia mengerti dengan apa yang dipikirkan Riga saat ini.
“Soal kenapa dia ada di sini, itu karena Chia anggota klub sastra juga. Dia penyumbang ide klub sastra yang gue maksud. Dia juga asisten pribadi lo. Dia yang suka bantuin kerjaan lo di OSIS," Adit menjelaskan.
Riga terdiam sejenak. Rasanya tiba-tiba ia merasa kesal sendiri. Awalnya ia pikir gadis itu akan menyerah setelah mendengar ucapan pedasnya. Namun saat mendengar Adit menjelaskan hal yang sama, nyatanya Riga menjadi emosi sendiri.
Yang bener aja! Mereka pasti bersekongkol! Riga melangkah keluar dengan perasaannya yang bercampur aduk.
● ● ●
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Nobita_Upil(ig: blackjack_dnb)
Pukpuk Chia 😚
Setiap orang punya kesukaan yang berbeda. Buatku, genre semacam ini selalu asik untuk dinikmati ga peduli berapa umur pembacanya (umurku maksudnya) 🙈
Kalau teman-temin pembaca sekalian juga suka dengan karya ini..yok ayok jangan lupa dukung author yang sudah memberi cerita semenarik ini. Caranya ya dengan masukkan novel ini ke daftat favorit, beri like dan komen di setiap episode, lalu jangan lupa beri vote dan tipnya 😉
2020-02-08
1
Claudia Tengker
up lagi thor semngat nulisnya
2020-02-06
3
Miss R⃟ ed qizz 💋
btw itu judul chap nya ambigu 🤣🤣
ugh aku jatuh 🤣🤣
2020-02-03
3