Bandung, SMA Tunas Utama, bulan pertama semester dua, tahun ajaran kedua.
Chia terbangun dari tidurnya. Ia langsung terduduk di atas kasur. Wajahnya dipenuhi dengan keringat yang bercucuran. Napasnya tersengal-sengal. Ia menarik napas lalu mengembuskannya secara perlahan. Ia berusaha menenangkan diri.
Masih dalam posisi duduk, ia menoleh ke arah jam dinding. Pukul 3 pagi. Chia menghela napas. Ia beralih pada kalender yang tergantung di samping jam dindingnya. Ia menatapnya lekat-lekat.
● ● ●
Mara berjalan dengan cepat melewati koridor. Perasaannya berkecamuk. Setengah berlari, ia melewati orang-orang yang sedang memerhatikannya. Masa bodoh jika orang-orang itu akan bergosip lagi tentangnya, Mara tak peduli.
Bayang-bayang Fachri terus melekat dibenaknya. Mara bahkan masih ingat dengan jelas dimana saja letak luka pada tubuh sahabatnya itu.
Asta brengsek! Awas lo! Gumam Mara sambil mempercepat langkahnya.
Ya, jika saja laki-laki bernama Asta itu tak berulah lagi, mungkin Mara tak akan menemukan Fachri dalam keadaan seperti dua jam yang lalu. Saat Mara menemukannya di dalam kelas dengan kondisi menyedihkan.
"Fachri," lirih Mara sambil terisak. Mara berdiri di depannya. Ia masih memandangi luka-luka di sekujur tubuh laki-laki itu. Dada Mara makin terasa sesak.
"Gue gak apa-apa, Ra," ucap Fachri pelan.
"Bohong!" Mara terisak sambil menggelengkan kepalanya.
"Gak ada yang baik-baik aja dengan kondisi lo yang kayak gini," lirih Mara.
Ia memandangi luka disekujur tubuh Fachri. Baju seragamnya pun telah dipenuhi darah.
"Siapa yang ngelakuin ini? Apa salah lo? Kenapa mereka tega ngelakuin ini sama lo?" tanya Mara masih terisak.
Ia memerhatikan laki-laki yang duduk di bangkunya itu tak menjawab sama sekali. Mara tahu, pasti laki-laki itu sedang merasakan sakit disekujur tubuhnya. Apa yang harus gue lakuin buat bantuin lo, Fachri? Lirih Mara di dalam hatinya.
Ah, saat ini Mara merasa menjadi seseorang yang tak berguna. Mara merutuki dirinya yang hanya bisa terdiam sambil menangis, ketika melihat Fachri berdiri dan berjalan melewatinya.
"Fachri," lirih Mara. Ia masih memerhatikan Fachri yang tidak mengacuhkan panggilannya. Laki-laki itu tetap berjalan menuju pintu.
"Fachri!" panggil Mara lagi sambil menatap Fachri dengan pandangan sayu.
"Fachri!" isak Mara. Suaranya tercekat. Rasanya ia ingin berteriak sekeras-kerasnya. Namun air matanya menahan suaranya untuk keluar.
Suara sepatu Fachri terhenti. Mara melihat laki-laki itu sedang menatapnya sambil tersenyum di depan pintu.
"Lebih baik, lo gak deket-deket sama gue lagi. Gue gak mau nantinya malah lo yang terluka. Gue gak mau lihat lo terluka lebih dari ini." Fachri tersenyum lagi padanya. Kali ini senyuman itu lebih lebar dan lebih tulus. Laki-laki itu pun melangkah keluar dan meninggalkan Mara sendirian.
Mara menyeka air matanya yang tak ia sadari telah mengalir sejak tadi. Ia membuang kesedihannya, lalu beralih menatap dengan tajam pada gedung yang terpisah dari gedung utama. Ruang kelas S.
Mara menendang pintu ruang kelas S dengan keras. Beberapa orang di dalam ruangan itu seraya menatap ke arahnya.
"Kenapa lo lakuin ini Asta?" teriak Mara tiba-tiba sambil melenggang masuk ke dalam ruangan itu.
"Siapa yang ngijinin lo masuk hah?" Dipa, salah satu sahabat Asta, tiba-tiba berdiri di depan Mara dan memblokir jalannya.
"Gue gak ngomong sama lo! Gue mau ngomong sama Asta. Mana cowok brengsek itu?" Mara nyaris membentak.
"Minggir lo!" Mara berusaha menerobos pertahanan Dipa. Ia berjalan melewati laki-laki yang lebih tinggi darinya itu.
"Jangan mentang-mentang lo ceweknya Asta, lo bisa seenaknya di sini! Gak sembarang orang bisa nginjakin kaki di kelas ini. Termasuk lo! Asal lo tau! Gue gak segan-segan buat ngelakuin apa aja supaya lo pergi dari sini. Ngerti lo?" ancam Dipa yang telah berdiri dan menghalangi Mara lagi.
"Terserah! Gue gak takut! Gue juga bisa ngelakuin apa aja sama lo, kalo lo ngehalangin gue buat ketemu sama Asta! Bahkan lebih! Mana Asta?!"
"Lo berani sama gue? Lo tau kan gue gak pernah main-main sama omongan gue?"
"Gak peduli! Mana Asta?!" bentak Mara. "Perlu gue teriak? MANA ASTA?!!!"
"Lo ...."
Mara membelalakan matanya ketika Dipa mengangkat tangannya ke udara. Laki-laki itu hampir menamparnya, jika saja Dimas dan Damar tak buru-buru mencegah. Mara menarik ujung bibirnya. Ia tersenyum tipis sambil menatap sekeliling.
"Gak yakin gue kalo ini kelas paling elit di sekolah!" Mara menatap sekelilingnya.
"Kelas ini lebih pantes disebut kelas berandalan!" tambah Mara ketika mengamati tongkat pemukul yang dipegang beberapa orang di ruangan itu.
"Dasar tukang biang onar! Selalu ngerampas apa yang seharusnya jadi milik orang lain, dan berbuat sesukanya atas kuasa Asta. Kalo Asta bukan cucu dari Kepala Sekolah, gue yakin kalian gak akan ada di sini." Mara menyeringai.
"Berani banget lo ngomong kayak gitu! Tau apa lo tentang kita?!"
Mara memutar kedua bola matanya ketika Dipa mengangkat tangannya lagi ke udara.
"Dipa!"
Mara melihat Damar memelototi laki-laki yang telah menurunkan kembali tangannya itu.
"Asal lo tahu yah! Gue gak akan ke sini kalo bukan karena ulah lo semua! Apa salahnya Fachri sih sampe kalian tega kayak gitu? Banci tahu gak!" Mara mendecakkan lidah. Ia kesal.
"Kalo kalian pengen ganggu gue, gentle dong! Datang ke gue langsung! Bukan dengan cara ngusir orang-orang yang deket sama gue satu persatu!" Mara hampir menangis. Matanya berkaca-kaca sambil menatap tajam ke arah Dipa.
"Lo tuh berisik banget yah!"
Mara terdiam. Ah, suara itu jelas bukan suara asing yang baru didengarnya. Buru-buru ia menoleh ke belakang.
"Jadi, akhirnya lo keluar juga? Si raja udara penguasa semesta? Kayaknya nama lo kebagusan deh buat cowok semacam lo." Mara menatap tajam pada laki-laki yang tiba-tiba muncul entah dari mana itu.
"Gue gak suka sama orang yang berisik." Laki-laki itu menjawab dengan santai.
Mara menahan napasnya ketika lelaki itu mendekatkan wajah mereka. Bisa dirasakan embusan napas Asta mengalir pada wajah Mara.
Mau ngapain sih nih cowok? Mara geram.
"Udah selesai bikin kekacauan di kelas gue? Balik ke kelas lo sana!" Laki-laki itu berbisik tepat ke telinga Mara.
Mara mengepalkan kedua tangannya ketika laki-laki itu berjalan menjauhinya. Sejak awal Mara sudah tahu bahwa usahanya itu akan sia-sia. Pemimpin kelas S itu tak akan pernah mau mendengarkannya.
"Eh cowok brengsek! Denger yah! Gue gak pernah sekalipun ngemis-ngemis buat jadi pacar lo! Gue bahkan gak pernah menginginkan gelar sebagai pacar lo!" Mara mulai meneteskan air matanya.
"Gue sama sekali gak suka punya status apa pun sama lo! Selama tujuh bulan ini gue berusaha sabar sama kelakuan gak waras lo! Gue pengen hubungan ini selesai! Denger gak lo?"
Mara menatap Asta yang terdiam sesaat sebelum berjalan meninggalkan kelas bersama teman-temannya. Ia benar-benar tak dipedulikan. Uh menyebalkan!
"Eh Asta! Gue pengen kita putus! SEKARANG!!!!" Mara menangis dengan setengah menjerit. Ia terduduk lemas di lantai.
Mara sangat putus asa saat ini. Ia tahu, sampai kapan pun ia tidak akan pernah menang dari Semesta. Apa pun yang dia lakukan, apa pun yang dikatakanya, Asta tak akan pernah mengindahkannya. Ia kalah lagi.
● ● ●
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
IF
cowok tipe Asta itu, ngeri ngeri sedap.
Btw salam BOGEM buat si Dipa ya neng.
2021-07-03
1
Rahma_adhn
tokoh utamanya Mara atau Chia kak?
Duh, nama Dipa ngingetin temen sekelas😁
2020-03-06
2
Miss R⃟ ed qizz 💋
numpang mojok 🤣🤣
2020-02-03
1