Bandung, SMP Pratama Jaya, bulan pertama semester dua, tahun ajaran ketiga.
Pintu loker terbuka. Chia terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ia jatuh tersungkur di lantai. Puluhan surat menimpali kepalanya. Semuanya berserakan begitu saja.
"Lagi?" Chia menghela napas.
Ia mengambil sebuah surat dengan amplop berwarna merah muda yang menutupi wajahnya. Ditatapnya surat itu dengan heran. Ia beralih pada surat-surat beramplop merah muda lainnya. Ia menghela napas panjang.
Chia bangun dari posisinya. Lalu mulai memunguti surat-surat yang berserakan itu satu persatu. Keterlaluan! Pikirnya.
Chia bahkan lupa kapan terakhir kali loker itu ia buka. Namun setiap kali membuka lokernya, ia akan dibanjiri surat-surat beramplop merah muda yang jumlahnya lebih dari lima puluh. Surat yang bahkan sama sekali bukan ditujukan kepadanya.
Setelah semua surat sudah terkumpul, Chia berjalan meninggalkan lokernya. Langkahnya terhenti di depan ruang kelas 9-9. Ruang kelasnya sendiri.
Diamatinya setiap sudut ruangan itu sebelum ia masuk ke dalam. Ruang kelas itu telah kosong. Tentu saja, bukan hal yang aneh jika kelasnya telah kosong. Karena bel pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu. Namun masih ada satu siswa yang tertinggal di sana.
Seorang siswa yang seumur dengannya. Siswa yang sudah tak asing lagi baginya. Penampilannya yang mencolok, dengan warna rambut dan bola mata berwarna coklat, membuatnya mudah teridentifikasi.
Wajahnya yang mirip aktor terkenal membuatnya makin mudah dikenali. Sikapnya yang dingin dan angkuh, dimata Chia, membuat gadis itu berpikir dua kali ketika harus bicara dengannya.
Chia masuk ke dalam ruang kelasnya. Ia berdiri tepat di samping siswa itu. Ia terdiam sambil menatap orang yang tidak mengacuhkan kedatangannya.
"Bisa gak sih, lo gak bikin mereka kesel?" Chia meletakkan surat-surat di tangannya di atas meja. Tepat di depan siswa bernama Utaraka Meteoriga. Namun, tampaknya Riga hanya diam saja. Ia masih berkutat dengan sesuatu di atas meja.
"Please, jangan bikin loker orang lain penuh gara-gara surat dari cewek-cewek itu! Kalo lo emang mau numpuk surat-surat ini, tumpuk aja di loker lo sendiri. Ngapain sih ngaku-ngaku sama mereka, kalo loker gue itu loker lo?"
Chia menghela napas ketika tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut laki-laki itu.
"Apa lo gak kasihan sama mereka? Mereka nunggu jawaban dari lo sampai berhari-hari. Bahkan surat dari beberapa bulan yang lalu aja masih ada. Tau gak sih mereka tuh butuh kepastian! Apa lo gak tau sampe ada yang ngirim berkai-kali? Kalo lo emang mau tolak mereka semua, jawab dong surat-surat ini! Jangan lo diemin kayak gini aja. Percuma!"
Chia terdiam. Ia masih menatap Riga lekat-lekat. Ia merasa usahanya itu sia-sia saja. Berbicara dengan Riga sama saja berbicara dengan tembok. Itu artinya ia tak akan mendapat jawaban apa pun dari laki-laki itu.
"Kalo lo udah selesai ngomong, mendingan lo keluar. Jangan lupa tutup pintunya."
Chia membuka mulutnya lebar-lebar. Ditatapnya Riga dengan geram. Ia melangkah menuju pintu keluar dengan kesal, lalu menoleh ke arah Riga sebentar, sebelum akhirnya ia membanting dan menutup pintu itu.
● ● ●
Chia tampak sedang menerawang sambil bersandar di lokernya. Ah, ujian nasional akan segera diadakan. Namun, ia belum menentukan pilihannya untuk bersekolah di mana. Banyak pertimbangan yang akhirnya membuat Chia tampak ragu untuk melangkah.
"Lagi mikirin apa, Kak? Mikirin dosa-dosa lo sama kita semua?"
Lamunan Chia buyar. Ia menatap dengan datar pada beberapa gadis yang telah mengerumuninya. Chia tampak mengenali salah satu dari beberapa adik kelasnya itu, Agnes, pemimpin kelompok gadis-gadis itu.
"Kenapa diem, Kak? Lo pura-pura polos atau pura-pura bego? Dasar cewek munafik! Gak tau diri! Kita tau kok apa yang Kakak lakuin di belakang kita-kita!"
"Apa?" Chia bertanya dengan nada datar.
Gadis yang bernama Agnes itu tiba-tiba melempar sekumpulan amplop berwarna merah muda tepat ke wajah Chia.
"Cewek gak tahu diri tuh bukan di sini tempatnya! Tapi di tempat sampah! Dasar ular licik!" Gadis itu meninggikan nada bicaranya.
Chia mengerutkan dahinya. Ia terdiam sambil menatap amplop-amplop yang berceceran di lantai dengan datar. Oh, jadi karena ini mereka marah-marah sama gue? Sekarang Chia tahu kalau Agnes dan teman-temannya juga ikut andil dalam menulis surat cinta untuk Riga itu.
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Chia. Tampaknya gadis bernama Agnes itu begitu marah padanya.
"Muak gue lihat muka lo yang sok gak berdosa itu!" Agnes masih berkata dengan nada tinggi.
"Aw!" erang Chia ketika rambutnya ditarik sekuat tenaga ke bawah oleh adik kelasnya itu.
"Kenapa ngelihatin gue? Marah sama gue? Mau bales nampar gue?"
Chia menatap ke dalam bola mata Agnes. Ia bisa melihat kilatan kebencian di dalam pancaran gadis itu. Chia pun tersenyum kecil sesaat, sebelum ia mengerang lagi karena Agnes menguatkan tarikannya.
"Cepet minta maaf!" Agnes nyaris berteriak.
"Gue gak ngelakuin apa-apa. Jadi gue gak akan minta maaf." Chia masih berkata dengan nada khasnya yang tak berintonasi itu.
"Berhenti atau mau gue laporin ke guru?"
Chia menoleh pada seseorang yang tiba-tiba hadir di antara mereka, ketika Agnes tanpa sadar mengendurkan cengkeramannya pada rambut Chia.
"Kak Riga!" Agnes tampak terkejut. Bicaranya gelagapan dan tak jelas. Yang benar-benar terdengar dengan jelas di telinga Chia adalah sebuah pertanyaan.
"Kakak kok malah nolongin dia?"
"Kenapa? Dia pacar gue." Riga berbicara dengan santai, meski tatapan matanya sangat tajam saat menatap Agnes.
"Udah cepetan sana pergi! Sebelum lo gue laporin ke guru." Riga masih berkata.
Chia menatap Agnes ketika gadis itu melepaskan rambutnya. Sepertinya gadis itu menahan tangis sambil berlalu pergi meninggalkan Chia.
"Kenapa lo harus ngomong kayak gitu sama mereka?" Chia menatap Riga yang sedang berjalan melewatinya dengan 'cuek'.
"Bisa gak sih lo ngucapin makasih setelah ditolong orang?" tanya Riga tanpa menoleh sama sekali.
Chia memutar kedua bola matanya. "Makasih buat pertolongannya. Tapi gue gak suka cara lo! Ngaku-ngaku gue pacar lo segala lagi. Gue kan bukan pacar lo!" Chia masih protes.
Ia terkejut ketika Riga menghentikan langkahnya. Laki-laki itu berbalik badan sambil menatap lurus-lurus ke arah Chia.
"Suka gak suka, mulai sekarang lo pacar gue. Titik!" Riga tersenyum tipis sambil berbalik badan dan berjalan kembali meninggalkannya.
Chia terpaku. Ia menghela napas sebentar. Rasanya tekanan darahnya naik seketika. Ia kesal.
"Gue gak boleh satu sekolah sama cowok itu lagi! Gue gak akan pernah satu sekolah sama orang itu lagi! Huh!"
● ● ●
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
IF
lanjut....
2020-06-04
1
Hardiyanti Rusdin
😍😍
2020-04-24
1
Rahma_adhn
aku baru bisa mulai baca kak setelh sekian lamanya
2020-03-06
1