Sad Weding
"Haha aku heran sama anak-anak muda sekarang. Kenapa mereka ingin menikah muda? bahkan berlomba-lomba untuk cepat menikah? apa mereka kira pernikahan itu menyenangkan dan kunci kebahagian? atau dengan menikah beban mereka akan berkurang? ya mungkin jika mereka menemukan jodoh yang tepat mungkin bahagia.. Coba saja kalau seperti aku ini. Bukannya bahagia yang ada malah gila."
Sambil membawa selembar kertas putih dan menggumam pelan, Meisya berjalan melewati koridor-koridor kantor untuk menuju ke ruang direktur. Ada beberapa karyawan memberi hormat kepada nya namun ada juga yang melihat ke arah Meisya dengan tatapan yang sedikit aneh. Bagaimana tidak, Meisya adalah istri dari seorang direktur di perusahaan tersebut yang bernama Edo Mahendra. Serta menantu pemilik perusahaan-perusahaan besar yaitu tuan Hendra Baskoro dan nyonya Amalia Baskoro.
Jauh dari kata seorang istri dan menantu orang kaya yang penampilannya modis, banyak brand-brand mahal yang menempel pada tubuhnya, bahkan perhiasan yang bernilai ratusan rupiah, justru Meisya tampil begitu sederhana. Hanya riasan wajah yang minimalis, memakai baju biasa kemeja dan celana panjang dengan rambut panjang terurai dan sepatu yang itu-itu saja ia kenakan.
Bukannya Meisya tak rapi dan tidak becus merawat diri, namun karena kebiasaan dia sedari kecil hidup serba sederhana membuat Meisya tidak terbiasa menggunakan pakaian-pakaian yang modis dan make up yang mencolok. Apa lagi menenteng tas-tas branded seperti yang ibu mertuanya kenakan.
Meisya sama sekali tidak mengindahkan ucapan-ucapan orang tentang membicarakan dirinya yang jauh dari kata seorang istri konglomerat. Dia merasa acuh dan tidak perduli.
Kini Meisya sudah tepat berdiri di depan pintu ruangan direktur. Sambil menarik nafas panjang memberanikan diri untuk membuka pintu ruang direktur. Dengan pelan Meisya masuk ke dalam ruangan, ia melihat Edo suaminya sedang menatap laptop lalu menatap ke arahnya.
Edo yang melihat kehadiran Meisya di ruangannya seketika menutup buku yang ada di depannya sambil mendesah kesal menatap ke arah Meisya.
"Sudah aku peringatkan berapa kali sih sama kamu? bukannya aku sudah bilang, kalau mau datang ke kantor ku minimal pakai pakaian yang layak dan enak di pandang. Lihat penampilan mu, lusuh dan seperti tidak pernah merawat diri." ucap Edo kepada Meisya.
Meisya sudah tahu bahwa Edo akan berbicara seperti itu kepadanya. Mungkin sudah puluhan hingga ratusan kali Edo mengatakan kata-kata itu hingga pernikahan mereka berjalan satu tahun ini. Ada rasa muak setiap Edo mengatakan kata-kata itu, namun Meisya tidak mengindahkannya.
Dulu Meisya sempat membeli baju-baju bermerek dan mahal, bahkan membeli perhiasan dan memakainya. Namun justru ibu mertua memaki nya dan berbicara bahwa dia suka menghabiskan uang suami untuk membeli benda-benda yang tidak penting, dan mengatakan bahwa Meisya tak berhak memakai barang mahal secara dia tidak bekerja.
"Apa selama ini uang yang ku berikan kepada mu itu kurang? sebenarnya kamu kemana kan uang itu? tidak hanya puluhan bahkan ratusan juta aku berikan kepada mu agar kamu merawat diri. Aku benar-benar lelah ya Mei selalu menasehati mu seperti ini, apa kamu itu tidak bisa merawat diri? beli pakaian yang bagus, parfum mahal, ke salon. Kerjaan kamu tuh cuma tidur di rumah, masa iya kamu ngga becus ngerawat diri. Bahkan kamu belum punya anak. Yang punya anak aja bisa ngerawat diri lha kamu kaya pemulung dan pengemis di jalanan!." Lanjut Edo yang benar-benar sudah muak dengan Meisya.
"Apa kata orang-orang di kantor ini yang melihat kamu seperti ini. Aku tuh malu punya istri kaya kamu gak becus ngerawat diri. Gak bisa dandan, bahkan bau dan lusuh. Image aku sebagai direktur di kantor ini lama-lama runtuh gara-gara kamu!."
Meisya yang telinganya mulai sakit mendengar Edo terus berbicara mengomentari dirinya langsung berjalan mendekat ke arah meja Edo lalu meletakkan selembar kertas tepat di depan Edo.
"Kertas apa ini?." tanya Edo.
"Liat aja." jawab Meisya singkat.
Edo pun mulai membuka kertas yang tadinya terbalik, lalu membaca kertas tersebut, yang tertera jelas tulisan Surat perceraian.
"Apa maksudnya ini?." Edo yang kembali menatap ke arah Meisya.
"Kamu bisa baca kan tulisan di kertas itu? bisa lah masa direktur secerdas kamu ngga bisa."
"Maksud kamu, kamu minta cerai?."
"Iya.. aku minta cerai." jawab Meisya tanpa ragu.
Edo yang mendengar jawaban Meisya seketika tertawa. "Kamu yakin kamu mau minta cerai dari aku? gak salah?."
"Kenapa aku harus tidak yakin? lebih baik aku segera cerai dari laki-laki red flag seperti kamu, dari pada lebih menyesal kedepannya."
"Red flag?." Edo yang tidak percaya jika Meisya akan mengatakan kata-kata itu.
Meisya pun mengeluarkan amplop berwarna coklat dari tasnya lalu melempar nya ke arah Edo.
Edo pun langsung membuka amplop berwarna coklat tersebut dan melihat apa yang ada di dalam amplop itu.
Edo mengeluarkan beberapa foto dan menatap foto-foto tersebut, yang memperlihatkan Edo sedang tidur bersama beberapa wanita. Sebenarnya Meisya sudah lama tahu tentang Edo yang suka tidur dengan seorang wanita, namun dia mencari waktu yang tepat untuk meminta cerai kepada Edo.
"Dari mana kamu dapat foto-foto ini?." tanya Edo dengan raut wajah yang emosi.
"Tidak penting aku dapat dari mana, yang penting aku udah tahu ulah bejad mu itu di belakangku. Itu yang aku tahu, entah berapa wanita lagi yang kamu tiduri tanpa sepengetahuan aku."
"Aku tanya kamu dapat foto ini dari mana!." Edo yang kini semakin meninggikan nada bicaranya sambil beranjak dari tempat duduknya.
"Kenapa yang jadi emosi kamu? seharusnya aku yang di sini marah dan kecewa. Secara kamu sudah berkali-kali mengkhianati aku. Bahkan sudah tidur dengan wanita-wanita itu."
"Lalu kenapa jika aku tidur dengan wanita-wanita itu? aku punya segalanya.. aku punya uang, punya jabatan, punya wajah tampan. Tidak heran jika wanita-wanita di luar sana tergila-gila dan ingin tidur dengan ku. Seharusnya kamu bersyukur yang menjadi istri sah ku dan bisa menikah dengan laki-laki sepertiku. Coba lihat wanita di luar sana mereka hanya aku tiduri tanpa ikatan apapun." Edo dengan bangga nya mengakui tidur dengan wanita-wanita di luar sana.
Meisya yang mendengar ucapan Edo seketika tersenyum kecut. "Bersyukur? kamu bilang aku harus bersyukur? aku lebih bersyukur jika tidak pernah menikah dengan laki-laki seperti mu."
"Bruak!." Edo yang langsung memukul meja karena mendengar ucapan Meisya.
"Kamu itu hanya anak petani dan orang miskin, hidup di desa. Coba saja bukan karena kakek ku menjodohkan ku dengan mu, mana sudi aku mau menikahi wanita menjijikan seperti mu. Apa lagi kamu itu mandul tidak bisa punya anak. Bukankah kamu di sini lebih untung menikah dengan ku?."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Noor Tania Bey
nyimak
2025-05-08
1