NovelToon NovelToon

Sad Weding

Part 1

"Haha aku heran sama anak-anak muda sekarang. Kenapa mereka ingin menikah muda? bahkan berlomba-lomba untuk cepat menikah? apa mereka kira pernikahan itu menyenangkan dan kunci kebahagian? atau dengan menikah beban mereka akan berkurang? ya mungkin jika mereka menemukan jodoh yang tepat mungkin bahagia.. Coba saja kalau seperti aku ini. Bukannya bahagia yang ada malah gila."

Sambil membawa selembar kertas putih dan menggumam pelan, Meisya berjalan melewati koridor-koridor kantor untuk menuju ke ruang direktur. Ada beberapa karyawan memberi hormat kepada nya namun ada juga yang melihat ke arah Meisya dengan tatapan yang sedikit aneh. Bagaimana tidak, Meisya adalah istri dari seorang direktur di perusahaan tersebut yang bernama Edo Mahendra. Serta menantu pemilik perusahaan-perusahaan besar yaitu tuan Hendra Baskoro dan nyonya Amalia Baskoro.

Jauh dari kata seorang istri dan menantu orang kaya yang penampilannya modis, banyak brand-brand mahal yang menempel pada tubuhnya, bahkan perhiasan yang bernilai ratusan rupiah, justru Meisya tampil begitu sederhana. Hanya riasan wajah yang minimalis, memakai baju biasa kemeja dan celana panjang dengan rambut panjang terurai dan sepatu yang itu-itu saja ia kenakan.

Bukannya Meisya tak rapi dan tidak becus merawat diri, namun karena kebiasaan dia sedari kecil hidup serba sederhana membuat Meisya tidak terbiasa menggunakan pakaian-pakaian yang modis dan make up yang mencolok. Apa lagi menenteng tas-tas branded seperti yang ibu mertuanya kenakan.

Meisya sama sekali tidak mengindahkan ucapan-ucapan orang tentang membicarakan dirinya yang jauh dari kata seorang istri konglomerat. Dia merasa acuh dan tidak perduli.

Kini Meisya sudah tepat berdiri di depan pintu ruangan direktur. Sambil menarik nafas panjang memberanikan diri untuk membuka pintu ruang direktur. Dengan pelan Meisya masuk ke dalam ruangan, ia melihat Edo suaminya sedang menatap laptop lalu menatap ke arahnya.

Edo yang melihat kehadiran Meisya di ruangannya seketika menutup buku yang ada di depannya sambil mendesah kesal menatap ke arah Meisya.

"Sudah aku peringatkan berapa kali sih sama kamu? bukannya aku sudah bilang, kalau mau datang ke kantor ku minimal pakai pakaian yang layak dan enak di pandang. Lihat penampilan mu, lusuh dan seperti tidak pernah merawat diri." ucap Edo kepada Meisya.

Meisya sudah tahu bahwa Edo akan berbicara seperti itu kepadanya. Mungkin sudah puluhan hingga ratusan kali Edo mengatakan kata-kata itu hingga pernikahan mereka berjalan satu tahun ini. Ada rasa muak setiap Edo mengatakan kata-kata itu, namun Meisya tidak mengindahkannya.

Dulu Meisya sempat membeli baju-baju bermerek dan mahal, bahkan membeli perhiasan dan memakainya. Namun justru ibu mertua memaki nya dan berbicara bahwa dia suka menghabiskan uang suami untuk membeli benda-benda yang tidak penting, dan mengatakan bahwa Meisya tak berhak memakai barang mahal secara dia tidak bekerja.

"Apa selama ini uang yang ku berikan kepada mu itu kurang? sebenarnya kamu kemana kan uang itu? tidak hanya puluhan bahkan ratusan juta aku berikan kepada mu agar kamu merawat diri. Aku benar-benar lelah ya Mei selalu menasehati mu seperti ini, apa kamu itu tidak bisa merawat diri? beli pakaian yang bagus, parfum mahal, ke salon. Kerjaan kamu tuh cuma tidur di rumah, masa iya kamu ngga becus ngerawat diri. Bahkan kamu belum punya anak. Yang punya anak aja bisa ngerawat diri lha kamu kaya pemulung dan pengemis di jalanan!." Lanjut Edo yang benar-benar sudah muak dengan Meisya.

"Apa kata orang-orang di kantor ini yang melihat kamu seperti ini. Aku tuh malu punya istri kaya kamu gak becus ngerawat diri. Gak bisa dandan, bahkan bau dan lusuh. Image aku sebagai direktur di kantor ini lama-lama runtuh gara-gara kamu!."

Meisya yang telinganya mulai sakit mendengar Edo terus berbicara mengomentari dirinya langsung berjalan mendekat ke arah meja Edo lalu meletakkan selembar kertas tepat di depan Edo.

"Kertas apa ini?." tanya Edo.

"Liat aja." jawab Meisya singkat.

Edo pun mulai membuka kertas yang tadinya terbalik, lalu membaca kertas tersebut, yang tertera jelas tulisan Surat perceraian.

"Apa maksudnya ini?." Edo yang kembali menatap ke arah Meisya.

"Kamu bisa baca kan tulisan di kertas itu? bisa lah masa direktur secerdas kamu ngga bisa."

"Maksud kamu, kamu minta cerai?."

"Iya.. aku minta cerai." jawab Meisya tanpa ragu.

Edo yang mendengar jawaban Meisya seketika tertawa. "Kamu yakin kamu mau minta cerai dari aku? gak salah?."

"Kenapa aku harus tidak yakin? lebih baik aku segera cerai dari laki-laki red flag seperti kamu, dari pada lebih menyesal kedepannya."

"Red flag?." Edo yang tidak percaya jika Meisya akan mengatakan kata-kata itu.

Meisya pun mengeluarkan amplop berwarna coklat dari tasnya lalu melempar nya ke arah Edo.

Edo pun langsung membuka amplop berwarna coklat tersebut dan melihat apa yang ada di dalam amplop itu.

Edo mengeluarkan beberapa foto dan menatap foto-foto tersebut, yang memperlihatkan Edo sedang tidur bersama beberapa wanita. Sebenarnya Meisya sudah lama tahu tentang Edo yang suka tidur dengan seorang wanita, namun dia mencari waktu yang tepat untuk meminta cerai kepada Edo.

"Dari mana kamu dapat foto-foto ini?." tanya Edo dengan raut wajah yang emosi.

"Tidak penting aku dapat dari mana, yang penting aku udah tahu ulah bejad mu itu di belakangku. Itu yang aku tahu, entah berapa wanita lagi yang kamu tiduri tanpa sepengetahuan aku."

"Aku tanya kamu dapat foto ini dari mana!." Edo yang kini semakin meninggikan nada bicaranya sambil beranjak dari tempat duduknya.

"Kenapa yang jadi emosi kamu? seharusnya aku yang di sini marah dan kecewa. Secara kamu sudah berkali-kali mengkhianati aku. Bahkan sudah tidur dengan wanita-wanita itu."

"Lalu kenapa jika aku tidur dengan wanita-wanita itu? aku punya segalanya.. aku punya uang, punya jabatan, punya wajah tampan. Tidak heran jika wanita-wanita di luar sana tergila-gila dan ingin tidur dengan ku. Seharusnya kamu bersyukur yang menjadi istri sah ku dan bisa menikah dengan laki-laki sepertiku. Coba lihat wanita di luar sana mereka hanya aku tiduri tanpa ikatan apapun." Edo dengan bangga nya mengakui tidur dengan wanita-wanita di luar sana.

Meisya yang mendengar ucapan Edo seketika tersenyum kecut. "Bersyukur? kamu bilang aku harus bersyukur? aku lebih bersyukur jika tidak pernah menikah dengan laki-laki seperti mu."

"Bruak!." Edo yang langsung memukul meja karena mendengar ucapan Meisya.

"Kamu itu hanya anak petani dan orang miskin, hidup di desa. Coba saja bukan karena kakek ku menjodohkan ku dengan mu, mana sudi aku mau menikahi wanita menjijikan seperti mu. Apa lagi kamu itu mandul tidak bisa punya anak. Bukankah kamu di sini lebih untung menikah dengan ku?."

Part 2

"Beruntung kata mu? untung dari mana? justru aku menikah dengan mu merasa tertekan, tidak bahagia, bahkan selalu makan hati setiap hari. Di tambah mama mu itu yang sok baik di depan kakek mu dan kamu, padahal di belakang seperti nenek lampir bermuka dua." Meisya yang ikut kesal dengan ucapan-ucapan Edo.

"Yang tidak baik itu kamu bukan orang tua ku. Kamu saja yang tidak becus jadi seorang istri." Edo yang mencoba membela orang tuanya.

Meisya yang mendengar ucapan Edo seketika tersenyum kecut. "Segera tanda tangani surat itu. Pokoknya aku mau kita cerai!." Meisya yang berlalu pergi berjalan untuk keluar dari ruangan Edo.

"Baik lah.. aku akan segera menandatangani surat ini, kamu tidak perlu khawatir, aku juga sudah tidak sudi punya istri seperti mu!." Sahut Edo dengan menerka-nerka.

Sebelum Meisya keluar dari dalam ruangan, tiba-tiba nyonya Amalia yaitu ibu mertua nya masuk ke dalam ruangan putranya. Nyonya Amalia yang melihat kehadiran Meisya di kantor tersebut hanya menatap tanpa berbicara apa-apa. Begitu pun dengan Meisya ia hanya diam acuh tidak perduli pura-pura tidak melihat kedatangan ibu mertuanya.

Dengan sangat kasar Meisya menutup pintu direktur hingga membuat nyonya Amalia sedikit terhentak karena terkejut.

"Ada apa do? apa kalian sedang berantem? tumben Meisya ke kantor mu?." Nyonya Amalia yang meletakkan tas branded miliknya di atas meja lalu menjatuhkan tubuhnya di sebuah sofa.

"Meisya tahu kalau aku menjalin dan tidur dengan seorang wanita." jawab Edo.

"Terus?." Nyonya Amalia yang terus menatap ke arah putranya.

Edo pun berjalan ke arah mamanya sambil membawa selembar kertas dan memberikan kepada mamanya.

"Meisya minta cerai ma.."

Nyonya Amalia pun meraih kertas tersebut dan membacanya. Lalu dengan sangat cepat nyonya Amalia menyobek kertas tersebut menjadi beberapa bagian.

Edo yang melihat surat tersebut di sobek oleh mamanya seketika terbelalak. "Kenapa mama sobek kertas itu? bukannya mama juga tidak suka dengan wanita itu? justru bagus dong ma kalau Meisya minta cerai, Edo juga udah melas punya istri lusuh kaya dia."

"Bagus dari mana, justru itu ancaman bagi kita Edo. Mama memang tidak suka dengan wanita itu, tapi tidak dengan papa dan kakek mu. Jika kamu berpisah dengan Meisya kakek mu tidak akan memberikan semua warisannya kepada kita apa lagi kamu." ucap nyonya Amalia.

"Apa kamu dulu tidak dengar, kakek akan memberikan semua warisannya kepada mu jika kamu menikahi dengan Meisya." Lanjut nyonya Amalia.

"Tapi aku dan Meisya sudah menikah ma.. bukannya seharusnya kakek sudah mengalihkan semua warisannya atas nama ku."

"Bodoh!." Nyonya Amalia yang memaki putranya sambil melempar sobekan kertas di tangannya ke arah Edo.

"Apa kamu sudah punya anak? yang kakek mu butuhkan bukan hanya kalian menikah tapi juga mempunyai anak, kakek mu butuh cicit dari kalian untuk menjadi penerusnya."

"Cicit itu masalah gampang ma, Edo kan bisa memberikan cicit dari wanita lain, tidak harus dari Meisya."

"Tapi kekek mu hanya mau cicit dari darah daging mu dan Meisya." jawab nyonya Amalia.

"Ah ribet banget sih kakek tuh." Edo yang mendengus kesal. "Mau dari siapa pun yang penting kan Edo bisa kasih cicit. Pake minta dari rahim Meisya segala. Edo udah muak ma menikah dengan Meisya."

"Kamu kira cuman kamu, mama juga muak. Tapi gimana lagi sebelum kamu dan Meisya memberikan cicit kepada kakek, kakek tidak akan memberikan semua hartanya kepada kamu."

"Terus Edo harus bagaimana?."

"Kamu masih tanya harus bagaimana? ya kamu buntingin Meisya lah. Sudah setahun Meisya gak bunting-bunting. Sebenarnya kamu bisa ngga sih?."

"Mama meragukan kejantanan ku?." Edo yang semakin kesal dengan ucapan mamanya.

"Ya habisnya udah satu tahun tu si gembel gak hamil-hamil."

"Edo gak nafsu ma sama tuh gembel. Gimana mau nafsu, ngerawat diri aja gak becus." gerutu Edo.

"Pokoknya mama gak mau tahu, kamu harus cepat bikin Meisya hamil, dengan begitu semua warisan kakek mu akan menjadi milikmu. Jika semua sudah kita dapatkan warisan itu, kamu tinggal ceraikan Meisya." Nyonya Amalia yang beranjak berdiri dari tempat duduknya.

Edo hanya mendengus kesal, ia tidak mempunyai pilihan lain. Angan-angan untuk bercerai dengan Meisya selalu tidak terwujud.

"Ingat ucapan mama, cepat hamili Meisya." Nyonya Amalia yang berjalan keluar dari dalam ruang direktur.

"Ah sialan!."Edo yang benar-benar merasa kesal. "Jika bukan karena warisan mana sudi aku menyentuh wanita menjijikan itu.

Hari semakin larut malam, kini semua keluarga tuan Hendra dan nyonya Amalia sedang berkumpul di meja makan untuk melaksanakan makan malam bersama.

Meisya hanya diam duduk di samping Edo sambil menikmati makan malamnya. Suasana di meja makan tampak hening. Tidak ada pembicaraan di antara mereka.

"Meisya.. Edo.. jadi kapan kalian akan memberikan kakek cicit? udah satu tahun pernikahan kalian loh. Kakek udah semakin tua." Ucap kakek Baskoro memecah keheningan.

"Uhuk.. uhuk.." Edo yang tiba-tiba tersedak kala mendengar pertanyaan dari kakeknya. Nyonya Amalia yang melihat anaknya tersedak seketika langsung mengulurkan segelas air putih kepada Edo.

"Ayah.. Meisya dan Edo akan secepatnya memberikan cicit kepada ayah. Ayah tidak perlu khawatir ya?." Ucap nyonya Amalia kepada ayah mertua nya.

"Tapi satu tahun itu sudah cukup lama Amalia. Ayah ini tidak muda lagi. Ayah semakin tua dan sakit-sakitan, sebelum ayah pergi ayah ingin melihat cicit ayah terlebih dahulu."

"Kakek." Meisya yang tiba-tiba menghentikan makannya.

"Iya Meisya.." Jawab kakek Baskoro.

"Jadi begini.. Meisya dan mas Edo akan.." Sebelum Meisya selesai berbicara tiba-tiba Edo memotong pembicaraan nya.

"Kakek, aku dan Meisya masih sedang berusaha untuk segera memberikan cicit untuk kakek." Edo yang mengusap tangan kakeknya dengan lembut. "Kita berdua sedang melakukan program hamil, Edo sekarang juga sudah sedikit mengurangi kesibukan Edo karena ingin fokus menjalani program hamil."

Meisya yang mendengar ucapan Edo seketika sedikit terkejut. "Ta tapi.."

Sebelum Meisya melanjutkan ucapannya lagi, Edo sudah lebih dulu menggenggam tangan Meisya dengan sangat erat.

"Iya kan sayang.. kita berdua sedang menjalani program hamil kan?." Edo yang menoleh ke arah Meisya.

Meisya yang mendapat tekanan dari Edo, dan tatapan dari nyonya Amalia seketika dengan terpaksa mengangguk. "Iya mas.. kita berdua sedang menjalani program hamil di sebuah rumah sakit." Meisya yang sedikit tersenyum dengan terpaksa.

"Baguslah kalau begitu.. cari dokter spesialis kandungan yang mahal dan rumah sakit yang bagus, agar progam hamil kalian segera tercapai. Kakek udah gak sabar punya cicit dari kalian berdua."

"Iya kek pasti. Edo dan Meisya akan terus berusaha." ucap Edo.

Part 3

Setelah makan malam selesai, Meisya dan Edo kembali masuk ke dalam kamar. Kini Edo sudah beranjak naik ke atas ranjang tempat tidur sambil menggenggam ponsel. Sedangkan Meisya terlihat tampak kesal terhadap Edo. Bagaimana bisa Edo berkata kepada kakeknya tentang mereka berdua yang sedang menjalankan progam hamil. Meisya pun berjalan mendekat ke arah Edo yang sedang sibuk menatap ponselnya.

"Bukankah tadi pagi kita sudah sepakat untuk bercerai? lalu kenapa kamu bicara seperti itu kepada kakek mu?." tanya Meisya kepada suaminya tersebut.

"Aku sedang malas berbicara.. jadi diam lah." ucap Edo ketus.

"Sebenarnya apa yang sedang kamu rencanakan? bukankah seharusnya kamu senang jika bercerai dengan ku dan bisa menikah dengan wanita lain? lalu kenapa kamu tiba-tiba bilang kita sedang menjalankan program hamil?."

Kini Edo tidak lagi menatap ponselnya melainkan menatap ke arah Meisya yang sedang berdiri di depannya. "Aku tidak akan menceraikan mu untuk saat ini."

Meisya yang mendengar ucapan Edo merasa bingung dan tidak mengerti dengan pikiran Edo. Bukan kah tadi pagi dia juga setuju bercerai. Bahkan selama ini Edo tidak pernah mencintai Meisya.

"Maksud kamu apa? bukankah kamu selama ini tidak mencintai ku? lalu kenapa kamu ingin pertahankan rumah tangga ini. Kita sudah sepakat untuk bercerai Edo!."

"Kenapa kamu ngotot sekali ingin bercerai dengan ku? padahal wanita-wanita di luar sana berlomba-lomba ingin menikah dengan ku. Seharusnya kamu itu bahagia."

"Bagaimana aku bisa bahagia? hidup ku sekarang lebih pait dari hidup ku dulu di desa. Pokoknya aku tetap mau kita berpisah."

"Aku akan menceraikan mu, namun dengan satu syarat." ucap Edo.

Meisya mengerutkan dahinya lagi-lagi merasa bingung.

"Berikan aku seorang anak, lalu aku akan menceraikan mu."

"Anak?."

"Yah.. dengan kamu hamil dan memberikan aku anak, aku akan segera menceraikan mu."

"Syarat konyol apa itu? bukankah kamu setiap hari tidur dengan seorang wanita? kenapa kamu tidak minta anak dari wanita-wanita itu? lagi pula pernikahan kita hanya terpaksa. Bukankah dulu kamu pernah bilang kepada ku, kalau kamu tidak akan menyentuhku."

Edo menarik nafas dengan berat lalu turun dari ranjang tempat tidur. "Sebenarnya aku memang tidak sudi mau menyentuh tubuh mu itu. Jangankan menyentuh melihat saja aku tidak sudi. Tapi bagaimana lagi, aku harus mengabulkan keinginan kakekku untuk bisa mendapatkan warisannya."

"Warisan? apa maksud mu?." Meisya yang tidak paham dengan ucapan Edo.

"Kakek yang meminta ku untuk menikah dengan mu, dengan terpaksa aku harus menurutinya karena dia adalah pemegang saham kekayaan di rumah ini. Aku kira dengan menikah dengan mu saja cukup, ternyata kakek meminta lebih, yaitu aku dan kamu harus memberikan dia cicit, agar semua kekayaannya jatuh di tangan ku."

"Apa!." Meisya yang terkejut mendengar ucapan Edo. "Jadi itu alasan kamu tidak mau menceraikan ku?"

"Yes.. untuk saat ini aku menahan muak hidup dengan mu demi warisan kakek ku."

"Kamu keterlaluan Edo. Bagaimana bisa kamu hanya memanfaatkan ku. Kamu kira aku hanya mesin pencetak anak di rumah ini?." Meisya yang benar-benar kecewa. Bagaimana bisa selama menikah satu tahun dengan Edo, Meisya baru tahu akal busuk keluarga Edo.

"Kenapa harus aku? bukankah wanita mu banyak di luar sana? kamu bisa meminta banyak anak kepada mereka."

"Kalau kakek ku mau, aku bisa melakukannya tanpa harus menikahi mu. Dia hanya mau cicit dari darah daging mu dan darah dagingku." Jelas Edo.

"Tidak.. aku tidak setuju, aku akan bilang sama kakek bahwa kita tidak saling mencintai dan tidak mau punya anak. Kita tidak ada kecocokan dan memutuskan untuk berpisah. Aku harus bilang dengan kakek." Meisya yang bersiap untuk keluar dari dalam kamar namun langsung di cegah oleh Edo.

"Tidak.. jangan lakukan itu Meisya." Edo yang sudah menarik tangan Meisya.

"Lepaskan aku, aku tidak mau punya anak dengan mu!."

"Kamu kira aku mau punya dari dari mu.."

"Maka dari itu kita harus bercerai."

"Tidak.. jika kamu mau bercerai dengan ku, berikan aku anak terlebih dahulu. Jika kamu tidak mau memberikan aku anak, aku tidak akan menceriakan mu sampai kapan pun."

"Apa kamu gila.. kamu tidak bisa memaksaku seperti ini!."

Edo tidak lagi mengindahkan ucapan Meisya ia langsung menarik tabuh Meisya begitu saja lalu ia dorong ke arah ranjang tempat tidur. Edo langsung mengunci pintu kamar, dan meletakkan kunci tersebut ke dalam saku celananya.

"Jangan seperti ini Edo.. aku ingin keluar dan bicara dengan kakek." Meisya yang bersiap untuk bangun namun di cegah oleh Edo lagi.

"Menurutlah.. atau aku akan memukul mu!." Ancam Edo.

"Pukul saja aku, aku tidak takut!." Bentak Meisya.

"Kamu itu sebagai istri tidak pernah nurut sama suami. Di kasih hidup enak tapi tidak bersyukur. Apa beratnya kamu memberikan aku anak, toh kamu juga akan hidup enak dan tidak rugi. Tenang saja setelah kamu memberi ku anak dan kita bercerai, aku akan memberikan uang berapa pun yang kamu mau asal kamu mau menuruti keinginan ku."

"Kamu yang enak.. aku yang rugi.. pokoknya aku tidak mau punya anak dari kamu!." Meisya yang mencoba terus memberontak.

"Plak!." Seketika satu tamparan mendarat ke arah pipi kanan Meisya.

"Diam! kalau kamu mau tetap hidup dan melihat dunia ini!."

Meisya yang mendapat tamparan dari Edo seketika menitihkan air matanya sambil mengusap pipi yang kini terlihat memerah karena tamparan Edo.

"Tidak ada satu orang pun yang perduli dengan mu di dunia ini. Jadi jangan pernah melawan ku atau kamu akan hancur. Kamu kira aku akan melepas mu begitu saja dengan mudah sebelum aku bisa mendapatkan apa yang aku mau!."

"Kamu dan keluarga mu memang sama-sama gila!."

"Plak!." Kini satu tamparan lagi Edo layangkan ke arah pipi kiri Meisya hingga Meisya tersungkur ke ranjang tempat tidur.

Edo tidak lagi mengindahkan ucapan Meisya kini ia berjalan ke arah almari dan meraih sebuah kotak berwarna merah lalu ia lempar ke arah Meisya.

"Cepat ganti pakaian mu dengan itu, lalu layani aku malam ini." perintah Edo.

Di depan mata Meisya melihat di dalam kotak tersebut ada sebuah lingerie seksi berwarna merah dengan bentuk terawang. Meisya mencoba meraih lingerie tersebut dan mencoba melihatnya. Lingerie tersebut tampak sangat seksi kemungkinan jika Meisya kenakan semua bentuk tubuh bagian sensitifnya akan terlihat.

"Kamu mau aku pakai ini?." Meisya yang tampak jijik karena selama hidupnya ia tidak pernah memakai pakaian seperti itu.

"Iya.. cepat ganti pakaian buluk mu itu, jangan lupa merias wajah dan uraikan rambutmu. Aku tunggu 30 menit, awas jika kamu belum siap." Edo yang berjalan ke arah pintu dan membuka pintu tersebut lalu berjalan keluar dari dalam kamar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!