Pesona Almira
Tiga kali bertemu dengan pria tak dikenalnya, tiga kali juga kesialan mengikuti Almira. Pagi ini ndalem pergi ke rumah ibunya Neng Sarah bersama beberapa abdi ndalem lainnya, sehingga Almira banyak memiliki waktu senggang untuk belajar membaca kitab tafsir. Jika saja Qila tidak menyampaikan salam dari pria aneh itu yang tiba-tiba datang mengambil barang miliknya, lalu menjadi ustadz, dan sekarang kata Qila jika dia seorang Gus, membuat Almira semakin bingung. Yang terpenting baginya dia itu sekarang tak lain adalah ustadz rempong.
"Kamu mau kemana Al? Kok pakai bawa kitab tafsir segala?" Tanya Salwa.
"Mau mangkring." Jawabnya singkat.
"Biarlah Sal, dia itu mau bersemedi di atas pohon guna memperdalami ilmu tafsir agar nanti malam tidak kena hukuman Gus Agam lagi." Sela Mila yang tak mendapat tanggapan dari Almira.
Teman sekamarnya kecuali Qila kadang bingung dengan sikap Almira yang kadang halusnya minta ampun dan kadang juga kasarnya minta ampun, apalagi jika sedang tidak mood.
Akhirnya Almira tiba di belakang pesantren dan tak lagi mendengar celotehan para santri karena hari ini Jum'at yang mana hari libur. Almira sedikit termenung mencari tempat yang nyaman untuk belajarnya. Ia melihat ada sebuah pohon mangga besar yang buahnya belum masak.
Pohon itu kayaknya nyaman.
Almira mendekati pohon mangga tersebut, setelah mengecek pohon itu dan mengetahui aman dirinya dengan sigap naik di atas pohon itu tanpa kesulitan karena sebelumnya telah memakai celana olahraga yang ia pinjam dari Mila sedangkan sarung yang ia kenakan di sampaikan di atas pundaknya.
" Bismillahirrahmanirrahim." Almira membuka kitabnya yang amat tebal setelah mengirimkan Al Fatihah kepada pengarang kitab.
Perlahan Almira membaca kitab yang sudah dimaknainya itu ketika ngaji Kyai Fatih. Awalnya dirinya kesulitan membacanya namun setelah mengurai satu per satu dan memahami kedudukan setiap lafadznya, Almira mulai bisa membacanya meskipun belum lancar.
"Shodaqallahul adziimm...!!" Setengah jam sudah Almira belaja membaca kitab.
Mentari belum berada di atas ubun-ubun, hawa di sini pun terasa sejuk dan damai membuat Almira betah di atas pohon, di tambah lagi daunnya yang lebat membuatnya tidak kepanasan.
" Apakah gue masih memiliki harapan untuk bertemu orang tua gue?" Mendadak dirinya teringat oleh ucapan Pak Ahmad pengemis yang menyuruhnya menjadi santri di pesantren ini.
" ...dan di sanalah kelak kamu akan bertemu kedua orang tuamu."
Memorinya buyar ketika mendengar suara seorang sedang berjalan di atas dedaunan kering. Dan ternyata benar, saat Almira melihat ke bawah, ia menemukan ustadz rempong itu tepat di bawahnya.
Sekalian gue kerjain ahh...
"Aduh."
................
Dari tadi Agam hanya membolak balikkan korannya, tidak ada satu berita pun yang ia minati. Semua keluarga pergi kerumah ibunya Umi Sarah, Agam sengaja membuat alasan agar tidak ikut mereka. Dirinya tidak begitu dekat dengan keluarga ibu tirinya itu.
Jika bukan karena permintaan kakek neneknya mungkin dirinya tidak akan menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Semenjak ibunya meninggal ketika usianya sepulu tahun, Agam memilih tinggal bersama orang tua dari ibunya karena orang tua ayahnya sudah tiada.
"Assalamu'alaikum." Seorang santri putra menghampirinya.
"Wa'alaikumussalam."
" Begini Gus, tadi saya mendapat amanat dari kyai untuk mengajak Gus Agam jalan-jalan di pesantren." Ucapnya santun.
Daripada dirinya di sini sendirian dan malah mengenang masa lalunya lebih baik dirinya ikut bersama santri yang ada di depannya, siapa tau mendapatkan hal yang baru.
"Mau kemana Kang kita?" Tanyanya ramah kepada pria yang lumayan lebih muda darinya.
"Eh." Kang yang sebelumnya hanya diam itu terkejut ternyata gusnya tidak sesombong seperti apa yang dipikirkan teman-temannya. " Kita mau cari pepaya di pekarangan belakang pesantren Gus, kata Yai njenengan suka pepaya." Lanjutnya.
Ternyata masih ingat?
" Oh ya nama sampean siapa?" Tidak mungkinkan jika Agam suatu saat ingin memanggil teman barunya itu dengan panggilan Kang saja, bisa-bisa abdi santri putra datang semua.
"Afka Gus." Jawabnya dengan sopan.
"Kang Afka biasa saja kalo di luar ndalem. Bukankan sekarang kita teman?"
Agam memang tidak suka jika di berlakukan seperti seoorang raja, meskipun dengan maksud menghormati anak gurunya. Agam lebih suka bersama orang yang tidak menganggapnya seperti seorang pangeran melainkan menganggapnya sebagai seorang teman. Beda lagi keadaannya jika di ndalem.
"Hhh.. nggh Gus." Betapa bahagianya Afka memiliki teman seorang Gus, padahal dirinya masih sebulan menjadi abdi ndalem sudah berteman dengan putra kyainya sendiri.
"Pohon pepayanya udah terlihat Gus." Ucap Afka girang karena dirinya sangat menyukai buah pepaya juga seperti Agam.
"Wahhh.. tau gini seharusnya kamu ajak saya kemarin-kemarin kesininya?" Tak kalah pula Agam, yang mana sifat dinginnya mulai mencair.
"Sebentar Gus saya cari geteknya dulu!" Pamit Afka entah mau pergi kemana.
Agam memilih berjelajah di kebunnya terlebih dahulu sambil memutuskan pepaya mana yang akan di ambilnya. Selain itu, ia ingin melihat apakah mangga yang biasanya di jadikan tempat bermainnya sewaktu kecil masih ada atau sudah di tebang.
"Itu dia pohonnya. "Agam langsung menghampiri pohon mangga yang masih berdiri kokoh itu.
"Aduh." Ringisnya ketika sebuah mangga kecil jatuh tepat di kepalanya.
"Hi..hi...hi.." Suara Almira sengaja di miripkan seperti kunti.
" Aku nggak takut, kalau berani cepat keluar!" Tantang Agam yang sebenarnya takut apalagi dirinya sendirian.
"Hi..hi..uhuk..uhuk.."
Aduh mati gue, jika tuh ustadz rempong tahu bakal di tambah deh hukuman gue.
" Tuh kan ketahuan." Ucap Agam girang perlahan menengok ke atas tempat asal suara tersebut.
"Astaghfirullah ada monyet cantik jadi-jadian mirip manusia." Teriaknya langsung menutup matanya dengan kedua tangannya dan membaca doa mau makan karena ingat rasa laparnya belum sarapan dari pagi.
Sebelum ada yang melihat, Almira langsung turun dengan perlahan dan pergii..huss.. meninggalkan Ustadz rempong yang ternyata penakut itu.
Di perjalanan dirinya menyumpahi pria itu, agar ada monyet jadi-jadian sungguhan lalu memakan tuh pria hidup-hidup biar bebannya berkurang.
"Enak saja di katain monyet jadi-jadian, nggak liat apa kalo gue cantik kayak gini?"
"Loh Mbak Al di sini juga?" Tanya Afka yang tak sengaja berpapasan Almira saat menuju pintu masuk pesantren.
"Iya, tadi saya di suruh ambil pepaya." Jawabnya halus yang kebetulan memegang kepala di tangan kanannya "Sampean?"
"Diutus(disuruh) Yai neemenin Gus Agam. Ya udah mbak saya permisi dulu, kasian Gus Agam lama menunggu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
"Gus ngapain tutup mata?" Sampai di pekarangan Afka merasa heran dengan tingkah Gus nya itu.
Agam langsung membuka matanya dan melihat monyet cantik jadi-jadian itu sudah menghilang, dan itu artinya do'anya manjur.
"Nggak ada apa-apa." Nggak mungkinkan dirinya seorang Gus bilang kalo liat monyet cantik jadi-jadian, bisa-bisa ancur repotasinya kalo percaya layak gituan. Tapi juga nggak mungkin mbak santri disini yang terkenal lembut-lembut, halus-halus, main nangkring seenaknya di pohon. Dan yang memungkinkan hanya satu anak.
"Tunggu saja pembalasan saya." Ancamnya.
"Balasan apa Gus?" Afka semakin bingung.
"Sudahlah, mending kita ambil pepaya yang itu, saya sudah tak sabar mencicipinya." Agam menunjuk buah pepaya yang paling besar agar bisa di makan bersama Afka dan teman-temannya Afka ketika sampai di pesantren.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Har Tini
lanjut tjor baru MMpir👍
2022-01-26
1
Nurul nurul
Thor,pake bahasa indo yg jelas napa,ada bahasa getek segala,kan bisa pake galah...untung aq Jawa,klo luar Jawa kn aq ngk faham
2021-12-19
1
Pipit Sopiah
hai Thor aku mampir
2021-04-12
1