Aku memainkan pena ku. Sesekali membuat beberapa goresan abstrak di atas kertas. Sementara Zahra bersandar di pundak ku sambil memainkan ponselnya. Jam kosong terkadang memang membosankan.
"Tok... Tok... Tok..."
Suara itu mengalihkan perhatian seisi kelas.
"Kak, permisi mau manggil yang namanya Eresha sama Zahra di panggil Pak Chandra." Jelas wanita itu.
Aku segera bangkit dari tempat dudukku. Tubuh Zahra yang masih tersandar dipundak ku hampir kehilangan keseimbangan. Aku dan Zahra keluar dari kelas mengikuti langkah seorang gadis di depan kami. Kami di suruh menunggu Pak Chandra di depan kantor. Bukan hanya kami berdua, ada beberapa murid lainnya. Kurang lebih sekitar sepuluh orang, dan mereka semua adalah teman sekelas kami dulu.
"Oke, anak-anak. Begini, sekolah kita akan mengikuti lomba dance untuk Minggu depan. Jadi bapak pikir, kalian cocok untuk menjadi anggotanya. Kalian juga sudah sering menjuarai lomba dance. Jadi, Bapak mohon kerjasamanya ya anak-anak." Jelas Pak Chandra.
"Jadi kita bakal lomba dance pak?" Tanya Anya.
"Kita semua bakal jadi satu grup dance pak?" Timpal Rini.
"Iya, baiklah ini baju seragam latihan kalian. Sehabis ini silahkan ganti seragam kalian. Kita mulai latihannya hari ini." Jelas Pak Chandra sambil menyodorkan setumpuk seragam yang masih terbungkus.
Dengan semangat kami mengambil seragam kami masing-masing. Kali ini seragam kami benar-benar lengkap. Motifnya tak cukup mencolok atau berlebihan untuk sekedar seragam latihan. Lumayan casual bagiku. Kaos oblong berwarna putih, rok lipit dengan panjang selutut dan stiker nama yang di tempelkan di bagian punggung. Kami tampak seperti gadis Korea.
Beberapa orang mengambil speaker. Sementara yang lainnya menunggu sambil melakukan pemanasan. Kami akan menarikan salah satu lagu Korea yang cukup populer. Jika kalian pecinta KPop dan kalian mengikuti acara Produce 101 season 1, kalian pasti tahu theme song mereka yang berjudul pick me.
Kami menghafal koreografi dasar untuk masing-masing anggota. Hal ini merupakan hal yang paling utama, karena kami akan di tes dan hasil tes akan menentukan posisi kami. Aku sibuk menghapal gerakan dengan melihat video tari nya di ponselku. Aku mengulangnya untuk beberapa kali, begitu pula dengan yang lain.
"Baiklah anak-anak, kita mulaimulai tes nya ya." Ujar Pak Chandra.
Kami berbaris memanjang agar gerakan kami dapat dilihat seluruhnya. Aku menoleh ke kanan kiri ku, memastikan barisan kami telah rapih. Instrumen yang merupakan bagian intro dari lagu tersebut telah terdengar. Kami mulai mengeluarkan seluruh kemampuan terbaik kami. Pak Chandra tampak serius mengamati kami, mengoreksi setiap gerakan yang keliru. Ia memang pelatih yang hebat.
Sampai akhirnya lagu berdurasi tiga menit itu selesai. Kami mengatur nafas yang terengah-engah, sambil menunggu keputusan dari Pak Chandra.
"Baiklah anak-anak. Setelah evaluasi tadi, bapak akan menentukan posisi kalian." Ucap Pak Chandra.
Dapat kurasakan di dalam tubuhku, sebuah organ yang tak terlalu dalam. Temponya semakin cepat, nyaris tak beraturan.
"Untuk posisi back, Ira, Ara, Azka, dan Tami. Untuk posisi lead dancer, Zahra, Tyas, dan Rama. Untuk posisi main dancer, Anya dan Rini. Dan yang terakhir untuk posisi center, Eresha." Jelas Pak Chandra.
Aku tercengang tak percaya, aku bisa menempati posisi center. Biasanya aku selalu menempati posisi main dancer bersama Anya. Terkadang Anya sering terpilih menjadi center, karena harus kuakui memang jika ia lebih berbakat dariku. Tapi, untuk kali ini mereka mempercayakan posisi center kepadaku. Kalian tahu apa maksudnya posisi center? Itu artinya aku akan menjadi pusat perhatian atau sorotan kamera, dan aku adalah orang yang memiliki bagian terbanyak dan terpenting. Teman-temanku juga tampak tak keberatan ketika aku menjadi center. Sangat senang rasanya, sulit dideskripsikan dengan kata-kata.
***
Kami mulai latihan lagi dengan posisi yang sudah ditentukan. Mungkin hari ini hari keberuntungan bagiku. Pertama, aku terpilih menjadi center di grup ini. Kedua, kami dengan cepat bisa menguasai gerakan.
Latihan kami terus berlanjut tanpa istirahat. Rasa lelah kami telah dikuasai semangat bergelora dari diri kami masing-masing. Beberapa anak otomotif yang sedang jam kosong, tampak berdiri di selasar. Sebagian lagi memperhatikan kami dari koridor, kami seolah menjadi pusat perhatian saat itu.
***
Lonceng pertanda istirahat pertama telah bergema. Kami menghentikan latihan sejenak. Aku pergi ke toilet untuk sekedar membasuh wajahku. Toilet pria dan wanita bersebelahan dan hanya di batasi oleh tembok bata yang cukup tinggi hingga menyentuh langit-langit ruangan itu. Sayup-sayup kudengar suara dua orang yang tampak sedang berdebat. Aku mematikan keran air agar suara yang kudengar itu lebih jelas. Aku merapatkan tubuhku ke dinding.
"Tapi gua ga bisa terus pura-pura kayak gini Ren. Perasaan gua ga bisa di paksain."
"Tapi lo juga ga bisa egois! Lo liat dia udah jadi secret admire lo bertahun-tahun dan bahkan lo ga peduli sama sekali!"
"Gua ga bisa terus-terusan sok care sama dia! Padahal hati gua bukan untuk dia! Coba lo ada di posisi gua."
"Kalo lo nyari yang sempurna, lo gak akan pernah nemuin orang setulus dan sesabar Eresha."
Aku terdiam sejenak. Eresha? Mereka menyebut namaku barusan? Apa aku yang mereka maksud?
"Tapi gua ga cinta sama Eresha, gua ga bisa terus-terusan mainin sandiwara ini. Kasian dia kalo sampai tau yang sebenarnya."
Aku mematung ditempat. Kaki ku lemas seketika, tubuh ambruk saat itu juga. Kuharap aku salah dengar, ku harap bukan aku satu-satunya orang yang bernama Eresha di dunia ini. Pengakuan yang barusan ku dengar cukup membuatku kehilangan seluruh semangatku. Wajahku memanas, mataku terlalu buram. Air mata telah berkumpul di pelupuk mataku, bersiap untuk jatuh dan membasahi pipiku. Aku menahan diriku agar tak menangis saat itu.
Aku bangkit dengan meraih wastafel. Aku memasang tampang tegar, seolah tak terjadi apa-apa barusan. Dengan yakin aku melangkah keluar dari toilet. Mataku masih berkaca-kaca memang, tapi itu bukan hal yang serius.
Aku bergabung bersama anggota lainnya. Aku menutup rapat-rapat kesedihanku. Seakan yang barusan tadi tak pernah terjadi.
Kami melanjutkan latihan, sementara para siswa lainnya masih menikmati jam istirahat mereka. Dan lagi-lagi kami menjadi pusat perhatian seluruh sekolah. Kami berdiri di posisi masing-masing. Kaki kiri ku tiba-tiba gemetar. Kak Sendy juga ikut menonton latihan kami saat itu. Tapi aku yakin kakiku bukan gemetar karena kehadirannya atau bahkan karena kejadian tadi. Beberapa detik sebelum lagu diputar, aku menyentak-nyentakkan kaki ku. Kuharap kakiku akan baik-baik saja.
Lagu sudah dimulai, kakiku masih aman sepanjang lagu. Hal yang paling ku takutkan adalah bagian reff, karena ada gerakan melompat di bagian itu. Dan yang benar saja, ketakutan ku selama ini terjadi. Aku terjatuh tanpa sebab. Aku menunduk meringis, menahan sakit. Sontak teman-temanku berhenti dan membopongku ke tepi lapangan. Dapat ku lihat kecemasan di wajah mereka. Anya segera melakukan pertolongan pertama padaku.
Untuk sementara posisiku digantikan oleh Anya. Latihan mereka tetap berlanjut, tanpa aku tentunya. Itu wajar, lagi pula lombanya Minggu depan. Aku memukul kuat-kuat kakiku. Tapi, dengan sigap sebuah tangan mencegahku. Tangan dengan jam tangan hitam yang ku kenal. Ya, pria itu. Pria yang beberapa saat lalu membuatku begitu terpukul mundur.
"Jangan sakitin diri lo sendiri." Ujar pria itu.
Aku buru-buru melepas tanganku dari cengkraman pria itu. Aku memalingkan wajahku. Dia duduk disampingku saat itu. Kami menonton latihan yang sedang berlangsung, hening tak bergeming.
"Jangan terlalu keras sama diri lo." Ujarnya
Aku hanya menoleh kearahnya.
"Jangan terlalu maksain diri lo. Jangan buat diri lo tertekan. Jangan buat diri lo terlalu rapuh. Karena gua ga bisa hadir disaat lo berada di titik terendah lo. Jaga diri lo baik baik mulai sekarang." Sambungnya.
"Maksudnya?" Tanyaku yang mulai kebingungan.
"Gua harus pergi sha." Ujarnya.
Tampaknya ia benar-benar serius kali ini. Aku menatapnya cemas.
"Kemana?" Tanyaku lagi.
"Gua bakal ke Jepang buat seleksi program beasiswa tahun depan. Kan gua tahun depan udah tamat, dan semoga gua keterima di sana." Jelasnya.
"Kakak berapa lama disana?"
"Kurang lebih seminggu."
"Abis itu kakak balik ke sini lagi kan?"
"Pasti dong."
"Tapi, kenapa kakak ngomong kayak tadi? Seolah-olah kakak bakal pergi jauh."
"Ya kan emang jauh, ke Jepang kan emang jauh."
"Kakak pergi nya kapan?"
"Masih dua minggu lagi."
Kedua sudut bibirku terangkat, membentuk senyum tertulus yang pernah ada. Aku ingin menghabiskan akhir minggu ini bersamanya sebelum ia berangkat ke Jepang. Aku mengurungkan niatku untuk membahas kejadian di toilet tadi. Aku tak ingin memperburuk suasana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments