"Ting... Ting... Ting..."
Bel pertanda masuk telah berbunyi, menandakan jam istirahat kedua telah usai. Aku mengambil sapu dibalik pintu kelas. Hari ini jadwalku kebersihan kelas. Bersama dua orang temanku yang lain, kami menyapu kelas yang lumayan berantakan setelah jam istirahat. Aku menyapu koridor depan kelas, sesekali mencuri pandang ke kelas Kak Sendy. Dari tadi pagi kelas itu tampak sepi. Apa seluruh penghuninya tak memiliki semangat hidup sama sekali? Aku segera menyelesaikan pekerjaanku, karena Bu Leni sudah berada di ujung koridor.
***
"Ayo mulai dari ujung." Perintah Bu Leni.
Aku duduk di bangku paling ujung di dekat pintu. Artinya yang dimaksud adalah aku. Aku berjalan kedepan kelas sambil membawa buku tugasku untuk dinilai. Aku berdiri di samping Bu Leni sambil menunggu ia selesai mengoreksi tugasku. Aku menatap keluar kelas. Dan aku mendapati Kak Sendy duduk di bangku panjang didepan kelas 3 TKR 1. Padahal itu bukan kelasnya. Ia duduk disana bersama beberapa siswa lain sambil memakan sebungkus kerupuk yang ia beli di kantin. Padahal bel masuk sudah berbunyi sedari tadi.
”Dasar saja, bukannya masuk kelas malah makan kerupuk.”
"Tok... Tok... Tok..."
Itu Pak Wawan, guru BK bagian SMA. Ia berdiri di ambang pintu sambil mengetuk pintu kelas kami. Aku segera kembali ketempat dudukku.
"Permisi Bu, boleh saya minta waktunya sebentar?"
"Silahkan pak."
"Baiklah terimakasih ya bu, Siang anak anak!"
"Siang pak!"
"Kali ini bapak mau memberitahu hal yang kurang baik. Kemarin siswa SMA kita dan SMA Harapan berkelahi di lapangan balai kota. Jadi, salah satu siswa SMA Harapan terluka dan mereka melapor ke kantor polisi sekitar. Dan baru saja, tadi selepas istirahat kedua, mereka melempari kantor guru dengan batu, sehingga beberapa kaca dan komputer rusak. Bapak dengar, mereka bersekongkol dengan lima sekolah lain untuk menyerang sekolah kita. Jadi bapak harap, kalian nanti langsung pulang kerumahnya masing-masing untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan." Jelas Pak Wawan.
Spontan kami cemas dengan hal itu. Itu bisa saja mengancam nyawa kami. Tawuran antar pelajar sempat beberapa kali terjadi di kotaku dan itu benar-benar membuat kekacauan besar. Mereka tak mengenal belas kasih dan akan membabi buta terhadap siapapun dihadapan mereka.
***
Pelajaran Bu Leni berlangsung seperti biasanya. Syukurlah tak ada apapun yang terjadi sampai sekarang. Semuanya masih bisa dikendalikan oleh pihak sekolah. Aku sempat beberapa kali mendengar selentingan, bahwa hampir separuh siswa dari lima sekolah yang kabarnya akan menyerang sekolah kami sudah mengepung setiap sisi bangunan ini. Suasana benar-benar mencekam saat itu.
"Anak-anak! Ayo semuanya berkumpul di lapangan. Bawa tas kalian masing-masing." Perintah Bu Rama dengan nada agak tinggi.
Sejak kapan ia berdiri di pintu? Baru saja mungkin. Wajah Bu Rama tampak cemas, tak bisa dipungkiri lagi. Otomatis kami juga ikut was-was dibuatnya. Zahra menarik tanganku agar bergegas keluar dari kelas. Kami berjalan hampir setengah berlari. Diparkiran, kami bertemu dengan Rini yang tampak kebingungan. Tanpa basa-basi, Zahra langsung menggandeng tangan Rini. Kami bertiga saling bergandengan mencoba melindungi satu sama lain. Situasi semakin tak terkendali. Sampai kami tiba di lapangan utama. Disana sudah padat dan sesak, sudah tak beraturan, benar-benar kacau.
"Perhatiannya anak-anak!" Suara lantang itu terdengar sangat jelas.
Bu Ida berdiri di podium sambil memegang pengeras suara. Ia mencoba menenangkan kami yang sama sekali tak tau apa yang terjadi. Walau aku tau itu sebenarnya juga panik.
"Semuanya dengar ibu. Sekolah kita sudah dikepung dari berbagai sisi. Dan beberapa jendela sudah rusak karena lemparan batu. Kami pihak sekolah sengaja mengumpulkan kalian dilapangan utama, karena ini adalah tempat yang paling aman untuk menghindari serangan itu. Jadi, sampai situasi benar-benar kondusif, kita akan berlindung untuk sementara. Jangan ada yang keluar dari sekolah sebelum ada aba-aba. Mengerti?" Jelas Bu Ida.
"Mengerti Bu!" Jawab kami serempak.
Keadaan semakin tak terkendali. Beberapa pihak keamanan membantu kami. Banyak mobil polisi yang berjejer di sepanjang gerbang utama. Suara sirine nya terdengar nyaring hingga ke lapangan.
Aku, Rini dan Zahra masih terus bergandengan. Berharap situasi segera mereda. Kami tak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini. Jika kami keluar dari sekolah, tentu akan sangat berbahaya. Tapi, jika kami tetap berada di dalam sekolah, serangan mungkin saja bisa terjadi.
Kami bertiga berteduh di bawah pohon Ketapang yang tak terlalu besar namun cukup untuk menghalau panas di siang itu. Seseorang menyerobot tanganku dari belakang. Mencoba menepis tangan Rini yang kala itu sedang menggandeng tangan juga. Spontan aku menoleh.
"Lo ga kenapa kenapa kan?" Tanya pria itu.
Ternyata Kak Sendy yang barusan menepis tangan Rini. Ia berdiri tepat disampingku.
"Enggak." Balasku.
Kami berdiri bersebelahan. Rini yang tadinya berdiri disampingku pindah posisi ke sebelah Zahra. Rini mencoba mengkode ku dengan matanya. Yang jika diartikan akan berbunyi seperti ini.
"Ngapain dia disitu?"
Aku menaikkan kedua pundak ku menyatakan ketidaktahuan ku.
"Tasss..."
Beberapa suara kaca yang pecah terdengar begitu jelas. Aku semakin takut. Aku merapatkan tubuhku kepada ketiga orang temanku. Beberapa siswa tampak bersorak dengan emosi yang sudah tersulut. Terlihat para siswa SMA Harapan dan beberapa SMA lain yang kabarnya akan menyerang sekolah kami telah memanjat tembok sekolah dan menerobos pertahanan sekolah kami. Bahkan tak sedikit yang sudah masuk ke area lapangan utama dan berkelahi dengan siswa sekolah kami. Sebagian siswa laki-laki mempertahankan area lapangan utama. Termasuk pria yang dari tadi berdiri disampingku. Aku tau emosinya sudah tak dapat dibendung lagi. Aku buru-buru menarik lengannya, mencoba menghentikan langkahnya saat ia akan beranjak dari sini.
"Mau kemana?" Tanyaku cemas.
"Mereka ga bisa di biarin! Makin ngelunjak tau gak!" Jelasnya dengan emosi yang meluap-luap.
"Jangan ikutan plis." Cegah ku.
"Tapi kalo dibiarin, mereka bakal terus neror sekolah kita. Dan itu bisa ngancam keselamatan kita."
"Kan murid yang lain juga udah pada turun."
"Justru karena aku bagian dari sekolah ini, aku harus ikut ngebela keselamatan kita Sha."
"Plis jangan." Pintaku.
"Duar!"
Entah suara apa itu. Yang pasti itu cukup membuatku takut. Kaki ku gemetar, suasana semakin riuh. Jika kalian tahu, ini hampir sama persis dengan salah satu adegan di film Dilan.
Aku masih menggenggam erat tangan pria itu. Mencoba mencegahnya turut terlibat dalam kejadian hari itu. Ia menatapku cemas. Tampaknya ia mulai ragu, antara pergi atau tetap disini.
"Gua bakal tetep disini, gua bakal jagain lo dan temen temen lo." Ucapnya.
Aku sedikit lega mendengarnya. Tapi, aku baru sadar. Kenapa ia mau menuruti permintaanku. Aku bukan siapa-siapa nya. Lagipula aku hanya sebatas pengagum rahasianya yang tak ia kenali mungkin. Tapi, hari ini berbeda. Kami terasa begitu akrab walau sebelumnya tak pernah berbicara atau bahkan hanya sekedar tegur sapa.
***
Pihak sekolah dibantu pihak keamanan berhasil meredam situasi. Aku bisa bernafas lebih lega rasanya. Perasaaanku juga lebih tenang.
"Gua anterin ya." Tawar Kak Sendy.
"Ga usah makasih." Balasku.
"Gapapa kok. Lagian situasi lagi kayak gini masa lo mau pulang sendiri."
"Nanti bakal dijemput sama papa kok Kak. Kakak pulang duluan aja."
"Ya udah deh kalau enggak mau dianterin. Gua temenin nunggu jemputan ya." Tawarnya lagi.
"Terserah kakak deh."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments