Pengagum Lara
Sabtu, 21 September 2019
Hari ini aku datang lebih awal, terkadang tergantung situasi. Sekolah masih lumayan sepi, begitu juga kelasku. Begitu aku melewati parkiran yang menuju ke kelas, aku terus memperhatikan kelas 3 TKR 2. Masih dikunci kelihatannya. Biasanya para siswanya datang saat bel masuk berbunyi. Padahal Kak Sendy yang merupakan salah satu penghuni kelas itu, telah tiba disekolah pukul tujuh tepat. Aku sering berpapasan dengannya di area parkir luar sekolah. Tapi entah kemana batang hidungnya. Ia selalu masuk kelas saat bel masuk. Apa ia merokok dulu? Entahlah, biasanya memang banyak siswa yang merokok di warung yang terletak persis di belakang parkiran. Walaupun guru BK sudah turun tangan kesana katanya, tampaknya tak ada perubahan.
***
Beberapa menit yang lalu bel masuk sudah bergema di seluruh penjuru sekolah. Aku menatap keluar kelas. Tapi sosok yang sedari tadi kucari cari tak kunjung datang. Kemana ia? Tadi aku juga tak bertemu dengannya di parkiran. Apa Kak Sendy terlambat? Aku melihat teman sekelasnya yang satu persatu mulai bermunculan. Tapi tidak dengan pria itu.
***
"Ting... Ting... Ting..."
Bel pertanda sekolah telah usai berbunyi lebih nyaring dari biasanya saat itu. Aku buru-buru mengemasi barang-barangku. Aku sengaja memilih keluar paling terakhir karena tak ingin berdesakan.
"Temenin gua nungguin si Tami yuk. Gua mau ngambil buku bahasa yang tadi dipinjam sama dia." Ucapku kepada Zahra.
Aku, Zahra dan pacarnya duduk di kursi panjang didepan kelas Tami. Lumayan lama kami menunggu, sesekali terdengar suara lantang Bu Leni yang tampaknya sedang marah besar saat itu. Ada beberapa anak jurusan otomotif yang belum pulang. Sebagian besar masih ada yang praktek. Tapi kecuali kelasnya Kak Sendy. Beberapa temannya memang masih tampak duduk didepan kelas. Kemana pria itu? Hari ini aku tak melihatnya. Apa ia sakit?
Aku mengecek kontak WhatsApp nya. Ia terakhir online saat subuh tadi. Kemungkinan besar ia tak masuk sekolah hari ini.
***
Aku berjalan menuju lapangan utama. Hari ini seperti biasanya, kami akan latihan Marching band. Aneh, tak biasanya sekolah sepi seperti ini. Padahal aku sengaja datang agak terlambat. Aku menyibukkan diriku sambil bermain ponsel. Satu persatu anggota berdatangan. Tapi, tetap saja jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya. Mungkin banyak yang tidak latihan hari ini. Termasuk pria yang dari tadi pagi tak kulihat batang hidungnya.
Barisan kami telah tersusun rapih. Seperti biasanya, aku menempati barisan paling belakang agar dekat dengan barisan anak perkusi. Kami belum juga memulai latihan. Ada yang kurang lengkap. Tak satupun dari pemain tom yang hadir. Musik yang kami mainkan akan terdengar janggal tentunya.
Dari arah yang berlawanan datang dua orang pria yang berboncengan seperti biasanya. Siapa lagi jika bukan Kak Sendy dan Kak Rezi. Mereka selalu bersama kemanapun itu. Perasaanku sedikit lega bisa melihat Kak Sendy hari ini. Setidaknya itu bisa mematahkan asumsiku jika Kak Sendy tidak sekolah karena sakit.
Ia buru-buru berlari menuju sanggar. Rambutnya tampak tersibak oleh angin yang ia ciptakan saat berlari. Aku menatapnya lekat. Ya Tuhan, kenapa aku bisa menyukai pria itu? Jika dilihat lihat, sebenarnya ia biasa saja. Sama seperti pria pada umumnya. Tapi kenapa aku melihatnya sebagai seseorang yang sangat istimewa dan berbeda dari pria lainnya. Aku mencoba menahan sudut bibirku agar tidak terangkat. Orang orang pasti akan mengira aku gila jika aku tersenyum tanpa alasan.
Latihan kami terhenti sejenak, kali ini latihan hanya terfokus kepada terompet yang akan membentuk formasi. Sementara bell, perkusi, dan color guard hanya mengiringi di tempat masing-masing. Kak Sendy beberapa kali mondar-mandir di depanku. Pertama ia pergi ke wastafel lalu membasuh rambutnya, kemudian membawa stick bass milik Kak Rezi. Tak lama, ia kembali dengan membawa stick tom miliknya. Tingkahnya masih berlanjut, ia juga mencoba memainkan alat musik snare.
"Woy! Diem dulu bising kali anak perkusi ini." Tegas Gitapati.
"Oke, siap!" Balas Kak Sendy.
"Ish, ada aja tingkahnya. Kok bisa-bisanya gua suka sama dia." Batinku dalam hati.
Pria itu banyak berubah. Dulu ia lebih seperti cowok cool yang tak banyak omong dan terkesan mager. Tapi sekarang, aku benar-benar tak habis pikir. Tapi, bagaimanapun itu, aku tetap menyukainya. Tak ada hal yang mampu merubah rasa ini termasuk waktu.
Latihan bersama dilanjutkan setelah terompet benar-benar paham dengan formasi mereka. Kami berlatih sambil berjalan untuk persiapan parade bulan Desember mendatang. Aku tau Kak Sendy menempati barisan dibelakang ku. Hanya selang beberapa alat. Aku, snare, simbal, lalu tom nya Kak Sendy. Setiap di ujung barisan, kami memutar balik arah. Dan aku berpapasan dengan pria itu untuk kesekian kalinya. Sebenarnya, saat disekolah terbilang cukup sering aku melihat Kak Sendy wara-wiri di depan kelasku. Tapi, berbeda saat latihan Marching band berlangsung. Benar-benar berbeda. Aku sangat senang jika bertemu dengan Kak Sendy saat latihan, entahlah kenapa. Sesekali aku sengaja mencuri pandang kepada pria itu.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 16.30 yang artinya waktunya pulang. Kali ini kami benar-benar latihan penuh tanpa istirahat. Pinggangku pegal sekali rasanya. Aku duduk di depan kelas bersama dua orang temanku sambil menunggu gerbang lumayan sepi untuk kami melintas. Kak Sendy dan Kak Rezi langsung menyalakan sepeda motornya kemudian terlihat meninggalkan area parkiran. Tak biasanya Kak Sendy pulang secepat ini. Biasanya, ia menunggu sampai sekolah sepi.
Aku dan salah satu temanku memutuskan pergi ke depan gerbang. Masih agak ramai, cuma tak terlalu padat dan sesak. Ada beberapa sepeda motor yang tampak menepi di trotoar, termasuk sepeda motor Kak Sendy. Sudah kuduga, mereka tak akan pulang secepat ini.
"Beli minuman ke minimarket yuk!" Ajak temanku.
"Skuy lah." Balasku.
"Eh, ga jadi deh. Beli jus aja."
"Dasar plin plan."
Kami mengurungkan niat untuk ke minimarket. Dan memilih tukang jus buah kaki lima.
"Bang, jus alpukat nya satu." Ucap temanku.
"Pisang molen nya lima ribu, sama jus jambu nya satu." Sambung ku.
"Sip non." Balas Abang tukang jus.
Tak lama kemudian
"Ini non." Ucap Abang tukang jus sambil menyodorkan pesanan kami.
"Makasih ya bang." Balas kami serempak.
"Ish, sok kompak." Ejek ku seraya menepuk pundak temanku.
Kami kembali ke gerbang. Dan lagi-lagi aku berpapasan dengan Kak Sendy. Ia duduk di atas sepeda motornya sambil menunggu bakso pesanannya selesai.
"Hey, Sha!" Sahut salah satu temanku yang berdiri di trotoar.
"Hey! Pulang lu." Balasku sambil bercanda.
Aku sedikit terkejut, tiba-tiba seseorang menarik tanganku ke tepi trotoar. Kak Sendy menarik tubuhku ke samping sepeda motornya. Aku terpelongo tak percaya.
"Ngapa lagi dah ini." Batinku dalam hati.
Detak jantungku semakin tak beraturan. Kedua mata pria itu menatapku lekat dengan sorot mata sinis. Raut wajahnya benar-benar dingin saat itu, sesekali mengunyah bakso yang masih tersisa di mulutnya. Agak ngerih memang melihat ekspresinya saat itu. Ia menyelesaikan kegiatannya, kemudian menelan bakso yang terakhir.
"Buruan naik." Ucapnya.
"Ha?" Tanyaku yang masih kebingungan dengan situasi saat itu.
"Buruan naik, biar gua bonceng." Jelasnya.
"Bonceng?" Tanyaku lagi.
Pria itu tampak menghela nafasnya sebentar.
"Udah buruan naik." Perintahnya.
Aku hanya mengangguk mengiyakan perkataannya. Aku sama sekali tak mengerti apa yang terjadi saat itu. Otakku tak bisa berfikir lebih jauh. Aku mengikuti perkataan Kak Sendy dan segera naik ke atas sepeda motornya.
"Zi, gua pergi bentar ya. Nanti gua balik kesini lagi." Teriak Kak Sendy sambil membenarkan helmnya.
"Jangan lama-lama." Balas Kak Rezi.
"Udah?" Tanya pria itu kepadaku.
Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Aku selalu kehabisan kata-kata saat berada di dekat Kak Sendy.
Kami pergi meninggalkan sekolah. Entah kemana kami akan pergi. Ia tak memberi tahukan hal itu sebelumnya. Senja sudah menyapaku kembali kala itu. Hawanya jauh lebih hangat dari biasanya. Sinarnya juga lebih jingga dari sebelumnya. Mimpi apa aku semalam? Aku tak menyangka bisa berada di jarak sedekat ini dengan dirinya. Biasanya, aku hanya berani mengaguminya dari kejauhan dan berandai tentang semua imaji ku.
Kami berhenti didepan sebuah minimarket. Aku langsung turun dari sepeda motornya. Kemudian Kak Sendy tampak memarkirkan kendaraannya. Aku membiarkan pria itu berjalan didepanku. Kami menuju salah satu meja di depan minimarket.
"Lo tunggu disini dulu ya. Gua mau kedalam bentar." Ujarnya.
"Iya." Jawabku singkat.
Aku meletakkan tasku diatas meja. Kemudian menyibukkan diriku dengan bermain ponsel. Tanganku benar-benar dingin saat itu. Jantungku juga masih tak beraturan temponya sedari tadi.
"Nih." Ucapnya sambil menyodorkan sepotong roti kacang merah dan susu kotak.
"Buat lo." Sambungnya.
"Tapi aku tadi udah beli pisang molen sama jus." Ujar ku.
"Ya udah makan ini aja dulu. Pisang molen nya buat ntar lo makan dirumah." Jelasnya.
Pria itu tampak membuka bungkusan roti miliknya. Padahal beberapa menit yang lalu ia baru saja selesai makan bakso.
"Kakak belum kenyang emangnya?" Tanyaku dengan polos.
"Belum." Balasnya.
"Kok belum dimakan?" Tanya pria itu.
Aku buru-buru membuka bungkusan roti milikku.
"Setiap pulang latihan, lo selalu kesini kan? Makan roti kacang merah sama minum susu kotak? Terus lo sambil suka nulis sesuatu gitu kan? Dan ini meja yang selalu jadi tempat duduk lo kan?" Tanya pria itu.
Aku tercengang, hampir tak percaya. Bagaimana pria itu tau semua hal itu?
"Kakak tau dari mana?" Tanyaku balik.
"Lo juga biasanya kalo udah selesai makan, pulang naik ojol kan? Nanti ga usah naik ojol. Biar gua anterin." Sambung pria itu.
Saat itu benar-benar hening. Tak ada satupun dari kami yang memulai obrolan.
"Eresha."
Sampai akhirnya pria didepanku membuka suara.
"Iya."
"Ehmmm. Ga jadi." Balasnya.
Situasi kembali hening seperti tadi. Aku meremas bungkusan roti ku. Kemudian menenggak beberapa teguk susu.
"Pulang yuk." Ajak Kak Sendy.
"Iya." Balasku sambil mengangguk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Akira ✨
lanjut
2020-06-18
0