Bibit Unggul Mas Duda
Mata mulai terasa berkunang-kunang, langkah kaki pun mulai melambat. Hingga seberkas cahaya terang perlahan mendekat, apakah itu malaikat pencabut nyawa? Gusti ... jangan panggil aku dulu, minimal biarkan aku merasakan pacaran biarpun sekali.
"Woe, Mbak. Kalau mau bunuh diri jangan di depan mobil saya, cari sana mobil lain!" Suara klakson panjang akhirnya membuatku tersadar bahwa aku memang berdiri di tengah di jalan.
Sembari tersenyum kaku, aku pun ngacir pergi dari tempat itu. Ya Allah malunya, mana ada cowok cakep lagi yang ikut ngetawain.
Sial!
Sial!
Sial!
Entah kenapa kesialan selalu saja menimpahku, ibarat upil dia selalu saja nyempil di hidupku. Entah salah apa diri ini, hingga tak ada satupun bahagia yang menghampiri, atau mungkin saja dulu emak salah ngidam, hingga jadilah aku seperti ini. Apa, iya harus nungguin BTS rilis album religi dulu baru sialku ilang?
Contohnya saja tadi pagi, saat belum ada satu pun pembeli aku memutuskan untuk memutar musik demi mengurangi kejenuhan, karena aku dangduters sejati, jadilah tembang-tembang Bang Rhoma jadi pilihanku. Satu dua lagu terlampaui dengan nikmatnya, di lagu ketiga kulihat beberapa bocah masuk ke toko, karena masih asyik kubiarkan mereka memilih terlebih dahulu.
Beberapa menit berlalu, dan aku masih sibuk dengan duniaku, tersadar saat bocah-bocah itu tertawa dan berlarian keluar. Kukejar mereka dengan penuh amarah, tapi apalah daya perut kosong membuatku tak bertenaga. Aku hanya bisa pasrah sembari menatap mereka dengan bercucuran air mata, sembari meratapi potong gaji yang sudah di depan mata.
Aaah ... Gusti, sampai kapan aku begini? Ingin memiliki kekasih pun tak pernah terjadi. Bermimpi bisa bersanding dengan Alvin sang pujaan hati, tapi apalah daya hatinya sudah termiliki.
Gontai, aku melanjutkan perjalanan pulang. Di kota besar ini, aku memutuskan mengais rejeki. Jauh dari orang tua dan sanak saudara. Sebenarnya ingin sekali aku melanjutkan kuliah, tapi apa mau dikata, aku hanya seorang anak petani biasa dengan kapasitas otak minimalis.
Beberapa belokan lagi sampailah aku di kosan tercinta, ingin rasanya segera membasahi diri ini, menghilangkan jejak-jejak kepenatan dan semoga saja kesialanku pun ikut luntur. Jarak yang tak seberapa jauh membuatku memilih berjalan kaki dari toko ke kosan. Selain untuk menghemat biaya, sedikit tebar pesona itu juga menjadi tujuan, sapa tau saja ada pangeran khilaf menghampiri.
Sembari menikmati udara malam yang syahdu, tak lupa lirih kudendangkan tembang Umi Elvi Sukaesih, si ratu dangdut. Tengah asyik bernyanyi, sayup-sayup ada suara lain terdengar, ah mungkin saja hanya suara perutku yang kelaparan, tak peduli aku terus saja bernyanyi.
Eh, tunggu! Sejak kapan suara perutku berubah seperti suara tangis bayi? Sembari bergidik ngeri, kuberanikan diri mengamati sekitar, Tak ada siapapun hanya semak belukar di kanan kiri, tapi suara tangis bayi itu terasa semakin kencang. Aah ... bayi siapa malam-malam begini keluyuran?
Ingin rasanya mencoba tak peduli, tapi entah kenapa hati seakan memaksa berhenti. Sembari berzikir, kucoba memberanikan diri mendekat ke arah sumber suara.
Bismillah ... dan benar, seorang bayi mungil hanya berselimutkan selembar kain menangis sendirian. Kuamati lagi sekitar, tak ada siapapun. Kuangkat dengan hati-hati dan mendekapnya erat dalam pelukan, kutimang-timang sebentar dan syukurlah akhirnya ia terdiam.
Memastikan sekali lagi, kuamati sekitar, aah ... benar-benar tak ada orang. Lantas mau kubawa kemana bayi ini? Tak mungkin aku membawanya pulang, aku tak pernah mengurus bayi. Bagaimana kalau kubawa saja ke kantor polisi? Tapi kalau aku dituduh penculik bayi? Kenapa makin runyam saja hidupku, Gusti.
Lama berpikir, akhirnya kuputuskan membawa bayi mungil itu pulang. Menatapnya sepanjang jalan entah kenapa membuatku jatuh cinta padanya. Andai Alvin mau menikah denganku, akan dengan senang hati kubuatkan bayi mungil dan menggemaskan seperti ini. Iish ... aku benar-benar tak waras dibuatnya.
Sesampai di depan rumah, tak lupa kuamati lagi sekitar, aman. Sembari mengendap-endap segera kubawa masuk bayi yang sedari tadi kututupi dengan jaket. Kuletakkan ia perlahan di tempat tidur, terlihat ia menggeliat, kutepuk-tepuk pelan dadanya, dulu pernah aku melihat saat ibu mencoba menidurkan anak tetangga yang kebetulan dititipkan dengan cara seperti ini, dan berhasil. Ia tertidur kembali.
Perlahan, segera aku pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Lega rasanya saat air mengalir membasahi diri, seperti biasa tak lupa kudengdangkan sebuah lagu. Saat tengah asyik bernyanyi dan bergoyang, terdengar suara tangis bayi. Duh, Gusti! Bagaimana bisa lupa kalau di kamar ini aku tak lagi sendiri.
Hanya memakai handuk, segera kuberlari keluar, jangan sampai tangis bayi ini membuat seisi kosan keluar. Kucoba menepuk-nepuk kembali dadanya tapi tak berhasil, tangisnya malah semakin kencang. Kugendong dan timang-timang tetap saja tak membuatnya terdiam. Gusti ... piye iki? Aku semakin bingung.
Kuperhatikan wajahnya, mungkin ada semut atau nyamuk menggigit, tapi nihil. Dia membenamkan wajah di dadaku, sembari memayunkan bibir, iish ... masih bayi juga, kenapa dia sudah semesum ini? Kalau tak ingat dia masih bayi, sudah kujitak kepalanya.
Eits ... mesum? Jangan-jangan dia haus? Susu? Kuamati seisi rumah, ah mana ada susu di sini, aku saja minum susu hanya sebulan sekali, itupun susu jatah dari toko.
Tangisnya yang semakin kencang membuatku mau tak mau memberinya air putih. Maafkan aku bayi mungil, sementara minumlah ini dulu. Sendok demi sendok kusuapkan ke mulutnya, terlihat dia memang sangat kehausan, hingga akhirnya dia menolak untuk minum lagi.
Kucoba untuk kembali menidurkannya, matanya masih setengah terbuka membuatku tersadar bahwa dia mempunyai lensa mata yang sangat bagus, biru terang. Hidungnya yang mancung, rambut sedikit kecoklatan serta kulitnya yang putih bersih, fix! Dia lahir dari bibit unggul.
Perlahan mata indah itu terpejam, kuletakkan ia kembali ke tempat tidur. Kulihat jam menunjukkan pukul sepuluh, mana ada toko buka jam segini. Aku butuh susu dan diapers untuk bayi ini, tak mungkin membelinya pada Bu Sari--tetangga samping rumah-- ia pasti curiga.
Ya, aku ingat, Dini pasti belum pulang, minggu ini gilirannya menutup toko. Kami memang bekerja di toko yang sama, hanya saja di cabang yang berbeda. Segera kuhubungi dia lewat telepon whatsaap, tersambung. Tanpa banyak bicara, kusebutkan apa yang diperlukan. Ia sempat bertanya, tapi aku janji akan menjelaskan nanti.
Kusiapkan dompet untuk mengganti uang Dini. Aahh ... isinya selalu sama, kenapa tak ada istilah tanggal muda dalam dompetku. Besok pun, sepertinya aku harus ikhlas membiarkan sarapanku bergabung dengan makan siang. Namun, tak apalah, yang penting aku tak mendholimi bayi kecil ini.
Beberapa kali bayi kecil itu menggeliat, sepertinya air putih tadi tak cukup membuat kenyang. Syukurlah ada pesan masuk dari Dini, dia bilang sudah sampai di kamar. Segera aku berlari keluar dan mengambil pesanan, sebelum bayi kecil itu menangis lagi.
Beberapa pasang mata menatapku, bahkan ada cekikan, ada apa dengan mereka? Tak pernah lihatkah bagaimana rupa bidadari yang sesungguhnya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
fiendry🇵🇸
mampir kembali
2023-10-29
0
Triple R
wkwkwkwk mau nen
2023-02-27
0
Darmiati Thamrin
awalnya menarik... lanjut baca
2023-01-24
0