NovelToon NovelToon

Bibit Unggul Mas Duda

ANAK LANGIT

Mata mulai terasa berkunang-kunang, langkah kaki pun mulai melambat. Hingga seberkas cahaya terang perlahan mendekat, apakah itu malaikat pencabut nyawa? Gusti ... jangan panggil aku dulu, minimal biarkan aku merasakan pacaran biarpun sekali.

"Woe, Mbak. Kalau mau bunuh diri jangan di depan mobil saya, cari sana mobil lain!" Suara klakson panjang akhirnya membuatku tersadar bahwa aku memang berdiri di tengah di jalan.

Sembari tersenyum kaku, aku pun ngacir pergi dari tempat itu. Ya Allah malunya, mana ada cowok cakep lagi yang ikut ngetawain.

Sial!

Sial!

Sial!

Entah kenapa kesialan selalu saja menimpahku, ibarat upil dia selalu saja nyempil di hidupku. Entah salah apa diri ini, hingga tak ada satupun bahagia yang menghampiri, atau mungkin saja dulu emak salah ngidam, hingga jadilah aku seperti ini. Apa, iya harus nungguin BTS rilis album religi dulu baru sialku ilang?

Contohnya saja tadi pagi, saat belum ada satu pun pembeli aku memutuskan untuk memutar musik demi mengurangi kejenuhan, karena aku dangduters sejati, jadilah tembang-tembang Bang Rhoma jadi pilihanku. Satu dua lagu terlampaui dengan nikmatnya, di lagu ketiga kulihat beberapa bocah masuk ke toko, karena masih asyik kubiarkan mereka memilih terlebih dahulu.

Beberapa menit berlalu, dan aku masih sibuk dengan duniaku, tersadar saat bocah-bocah itu tertawa dan berlarian keluar. Kukejar mereka dengan penuh amarah, tapi apalah daya perut kosong membuatku tak bertenaga. Aku hanya bisa pasrah sembari menatap mereka dengan bercucuran air mata, sembari meratapi potong gaji yang sudah di depan mata.

Aaah ... Gusti, sampai kapan aku begini? Ingin memiliki kekasih pun tak pernah terjadi. Bermimpi bisa bersanding dengan Alvin sang pujaan hati, tapi apalah daya hatinya sudah termiliki.

Gontai, aku melanjutkan perjalanan pulang. Di kota besar ini, aku memutuskan mengais rejeki. Jauh dari orang tua dan sanak saudara. Sebenarnya ingin sekali aku melanjutkan kuliah, tapi apa mau dikata, aku hanya seorang anak petani biasa dengan kapasitas otak minimalis.

Beberapa belokan lagi sampailah aku di kosan tercinta, ingin rasanya segera membasahi diri ini, menghilangkan jejak-jejak kepenatan dan semoga saja kesialanku pun ikut luntur. Jarak yang tak seberapa jauh membuatku memilih berjalan kaki dari toko ke kosan. Selain untuk menghemat biaya, sedikit tebar pesona itu juga menjadi tujuan, sapa tau saja ada pangeran khilaf menghampiri.

Sembari menikmati udara malam yang syahdu, tak lupa lirih kudendangkan tembang Umi Elvi Sukaesih, si ratu dangdut. Tengah asyik bernyanyi, sayup-sayup ada suara lain terdengar, ah mungkin saja hanya suara perutku yang kelaparan, tak peduli aku terus saja bernyanyi.

Eh, tunggu! Sejak kapan suara perutku berubah seperti suara tangis bayi? Sembari bergidik ngeri, kuberanikan diri mengamati sekitar, Tak ada siapapun hanya semak belukar di kanan kiri, tapi suara tangis bayi itu terasa semakin kencang. Aah ... bayi siapa malam-malam begini keluyuran?

Ingin rasanya mencoba tak peduli, tapi entah kenapa hati seakan memaksa berhenti. Sembari berzikir, kucoba memberanikan diri mendekat ke arah sumber suara.

Bismillah ... dan benar, seorang bayi mungil hanya berselimutkan selembar kain menangis sendirian. Kuamati lagi sekitar, tak ada siapapun. Kuangkat dengan hati-hati dan mendekapnya erat dalam pelukan, kutimang-timang sebentar dan syukurlah akhirnya ia terdiam.

Memastikan sekali lagi, kuamati sekitar, aah ... benar-benar tak ada orang. Lantas mau kubawa kemana bayi ini? Tak mungkin aku membawanya pulang, aku tak pernah mengurus bayi. Bagaimana kalau kubawa saja ke kantor polisi? Tapi kalau aku dituduh penculik bayi? Kenapa makin runyam saja hidupku, Gusti.

Lama berpikir, akhirnya kuputuskan membawa bayi mungil itu pulang. Menatapnya sepanjang jalan entah kenapa membuatku jatuh cinta padanya. Andai Alvin mau menikah denganku, akan dengan senang hati kubuatkan bayi mungil dan menggemaskan seperti ini. Iish ... aku benar-benar tak waras dibuatnya.

Sesampai di depan rumah, tak lupa kuamati lagi sekitar, aman. Sembari mengendap-endap segera kubawa masuk bayi yang sedari tadi kututupi dengan jaket. Kuletakkan ia perlahan di tempat tidur, terlihat ia menggeliat, kutepuk-tepuk pelan dadanya, dulu pernah aku melihat saat ibu mencoba menidurkan anak tetangga yang kebetulan dititipkan dengan cara seperti ini, dan berhasil. Ia tertidur kembali.

Perlahan, segera aku pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Lega rasanya saat air mengalir membasahi diri, seperti biasa tak lupa kudengdangkan sebuah lagu. Saat tengah asyik bernyanyi dan bergoyang, terdengar suara tangis bayi. Duh, Gusti! Bagaimana bisa lupa kalau di kamar ini aku tak lagi sendiri.

Hanya memakai handuk, segera kuberlari keluar, jangan sampai tangis bayi ini membuat seisi kosan keluar. Kucoba menepuk-nepuk kembali dadanya tapi tak berhasil, tangisnya malah semakin kencang. Kugendong dan timang-timang tetap saja tak membuatnya terdiam. Gusti ... piye iki? Aku semakin bingung.

Kuperhatikan wajahnya, mungkin ada semut atau nyamuk menggigit, tapi nihil. Dia membenamkan wajah di dadaku, sembari memayunkan bibir, iish ... masih bayi juga, kenapa dia sudah semesum ini? Kalau tak ingat dia masih bayi, sudah kujitak kepalanya.

Eits ... mesum? Jangan-jangan dia haus? Susu? Kuamati seisi rumah, ah mana ada susu di sini, aku saja minum susu hanya sebulan sekali, itupun susu jatah dari toko.

Tangisnya yang semakin kencang membuatku mau tak mau memberinya air putih. Maafkan aku bayi mungil, sementara minumlah ini dulu. Sendok demi sendok kusuapkan ke mulutnya, terlihat dia memang sangat kehausan, hingga akhirnya dia menolak untuk minum lagi.

Kucoba untuk kembali menidurkannya, matanya masih setengah terbuka membuatku tersadar bahwa dia mempunyai lensa mata yang sangat bagus, biru terang. Hidungnya yang mancung, rambut sedikit kecoklatan serta kulitnya yang putih bersih, fix! Dia lahir dari bibit unggul.

Perlahan mata indah itu terpejam, kuletakkan ia kembali ke tempat tidur. Kulihat jam menunjukkan pukul sepuluh, mana ada toko buka jam segini. Aku butuh susu dan diapers untuk bayi ini, tak mungkin membelinya pada Bu Sari--tetangga samping rumah-- ia pasti curiga.

Ya, aku ingat, Dini pasti belum pulang, minggu ini gilirannya menutup toko. Kami memang bekerja di toko yang sama, hanya saja di cabang yang berbeda. Segera kuhubungi dia lewat telepon whatsaap, tersambung. Tanpa banyak bicara, kusebutkan apa yang diperlukan. Ia sempat bertanya, tapi aku janji akan menjelaskan nanti.

Kusiapkan dompet untuk mengganti uang Dini. Aahh ... isinya selalu sama, kenapa tak ada istilah tanggal muda dalam dompetku. Besok pun, sepertinya aku harus ikhlas membiarkan sarapanku bergabung dengan makan siang. Namun, tak apalah, yang penting aku tak mendholimi bayi kecil ini.

Beberapa kali bayi kecil itu menggeliat, sepertinya air putih tadi tak cukup membuat kenyang. Syukurlah ada pesan masuk dari Dini, dia bilang sudah sampai di kamar. Segera aku berlari keluar dan mengambil pesanan, sebelum bayi kecil itu menangis lagi.

Beberapa pasang mata menatapku, bahkan ada cekikan, ada apa dengan mereka? Tak pernah lihatkah bagaimana rupa bidadari yang sesungguhnya?

Hari Baru

Walaupun sedikit bingung dengan tatapan horor para penghuni kosan, aku tetap saja berjalan menuju kamar Dini. Terlihat Dini akan membuka kamarnya sebelum akhirnya dia manatapku dengan mata belotot. Beberapa kali ia terlihat memberi israyat dengan melihat ke arah tubuhku, aku yang merasa tak ada yang salah tak memedulikannya dan terus saja berjalan.

"Woe, Kampret! Bajumu mana?" teriak Dini kesal karena merasa tak kupedulikan.

Aku berhenti seketika seraya meraba tubuhku. Duh, Gusti, pantes saja daritadi kerasa dingin banget. Kutatap seisi penghuni kos dengan tersenyum kecut, mereka makin cekikikan, segera kuberbalik arah dan ngacir dari sana. Untung saja ini kosan untuk perempuan, kalau tidak hilang sudah kesucian yang harusnya kuperlihatkan untuk suamiku saja.

Tak lama terdengar ketukan pintu saat aku baru saja selesai berpakaian. Terlihat Dini membawa sekantong belanjaan pesananku.

"Anak siapa itu? Kamu gak berubah jadi penculik anak, 'kan? Atau jangan-jangan dia anak kamu? Siapa bapaknya? Ayo jelasin?" cercah Dini saat melihat bayi di atas tempat tidurku.

Sebelum ucapannya makin ngawur, kujitak keras kepalanya biar itu otak kembali ke tempatnya.

"Dasar korban sinetron! Emang kapan kamu lihat aku bunting? Lagian siapa yang mau ngebuntingin? Kucing?" Kulihat raut muka Dini masih belum berubah.

Dia seperti menunggu penjelasan yang lebih masuk akal. Sebelum ia mikir yang tidak-tidak kujelaskan semua yang terjadi, termasuk dengan terpaksa bayi itu harus minum air putih karena tak ada susu di rumah.

"Terus, mau sampai kapan bayi ini di sini? Emang kamu bisa ngerawat bayi? Terus kalau kamu kerja, gimana?" cerocos Dina lagi, gadis itu entah kenapa rasa ingin tahunya begitu besar. Jangankan dia, aku sendiri bingung harus bagaimana sekarang.

"Gak tau, aku juga bingung. Atau kita balikin aja dia ketempat pertama kali aku lihat dia?" jelasku antusias yang justru mendapat balasan jitakan dari Dini.

"Otak dipakai! Tega amat balikin bayi sekecil itu di tempat sepi, iya kalau ketemu orangtuanya, kalau malah dimakan kucing, gimana?" Sembari mengelus-elus bekas jitakan Dini, aku bergidik ngeri membayangkan apa yang gadis itu katakan.

"Ya, sudah, kita pikirkan nanti, untuk malam ini biarkan dia di sini, besok aku juga libur masih bisalah merawat dia." Belum selesai aku menjelaskan terdengar bayi kecil.iti menangis lagi.

"Din, kamu gendong bayinya, aku mau buat susu!" seruku yang diangguki Dini.

Gadis itu langsung saja menggendong bayi yang belum bernama itu, dia timang-timang mencoba menenangkan, tapi sama seperti sebelumnya bukannya diam tangisnya malah semakin kencang. Segeraku bergegas membongkar kantong kresek yang sebelumnya sudah Dini bawa.

"Din, ini gimana cara bikinnya?"

"Lah mana aku tahu, punya bayi aja belum pernah,"

"Duh, Gusti. Piye iki? Bocahe nangis ora meneng-meneng. Susu iki piro takarane?" gerutuku sendiri sembari mondar-mandir tak jelas.

[Duh, Gusti. Bagaimana ini? Anaknya nangis terus gak berhenti. Susu ini berapa takarannya?]

"Berhenti nambah pusing dengan bahasa planetmu itu! Baca petunjuk di kemasannya!" perintah Dini yang langsung kujalankan.

Kubaca dengan teliti setiap petunjuk yang tertera di box kemasan. Dan benar, semua tertulis lengkap di sana. Gadis slengek'an itu terkadang pintar juga, meskipun lebih sering lemotnya.

Susu sudah siap, dengan segera kuberikan kepada bayi yang masih menangis dalam gendongan Dini. Dikenyotnya dot dengan begitu cepat, untuk beberapa menit saja isi dalam dot itu sudah tandas tak bersisa. Aku dan Dini hanya bisa saling pandang saat bayi itu langsung terlelap tanpa banyak drama. Sungguh menggemaskan.

"Ras, udah malam, aku balik, ya, ngantuk," pamit Dini seraya meletakkan si bayi ke atas tempat tidur.

"Belanjaan tadi habis berapa, Din? Ini uangnya aku ganti," ucapku seraya beranjak mengambil dompet.

"Bawa aja dulu, balikin besok awal bulan, aku tau kamu pasti lagi kere," jawab Dini yang membuat mataku berbinar. Tak salah aku memilih dia sebagai sahabat, biarpun sangklek tapi dia sangat pengertian.

"Makasih, ya. Lemah teles, Gusti Allah sing bales," balasku yang membuat bibir Dini mengerucut lima belas centi lebih panjang.

Dia teramat sensi saat aku sudah berbicara dengan bahasa jawa, dia yang asli Sumatra jelas tak tau arti ucapanku. Entah kenapa dia bisa terdampar di sini, mungkin sifat sangkleknya itu sudah benar-benar membuat malu provinsinya, hingga akhirnya ia terusir kemari.

Sepeninggal Dini, akupun merebahkan tubuh di samping bayi mungil itu. Mencoba memikirkan nasib bayi ini selanjutnya. Tak mungkin aku terus-terusan membiarkannya di sini, aku harus bekerja. Belum lagi kebutuhan hidupnya yang harus kupenuhi, mencukupi kebutuhan sendiri aja ngos-ngosan, mana bisa jika aku harus menambah pengeluaran lagi.

Setidaknya, aku bisa sedikit lega saat Dini tak meminta uang ganti untuk membayar kebutuhan si bayi menggemaskan ini. Setidaknya uang ini bisa kupergunakan untuk membeli beberapa baju untuk gantinya. Waktu yang semakin malam serta tubuh yang mulai lelah membuatku akhirnya beranjak ke alam mimpi.

💜💜💜

Seberkas cahaya masuk melalui sela jendela membuat tidurku sedikit terusik. Kulayangkan pandangan pada jam dinding, Gusti! Sudah jam setengah lima, aku belum salat Subuh. Sedikit berlarian aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengambil air wudhu, biarlah sedikit terlambat Gusti Allah pasti bisa maklum.

Dua puluh dua tahun hidup, selama ini aku selalu tidur malam tanpa gangguan apapun, kalaupun ada mungkin itu hanya nyamuk ada gangguan kecil yang tak menyita banyak waktu. Namun, semalam si bayi beberapa kali terbangun dan membuatku dengan terpaksa membuatkan susu. Lebih parahnya lagi, saat jam menunjukkan pukul dua pagi, dia terbangun dan menolak saat diberi susu.

Entah apa yang membuatnya begitu senang, beberapa kali terdengar dia tertawa. Dia memang anteng dan tak menangis, hanya saja aku tak tega jika harus meninggalkannya tidur. Jadilah sampai pukul setengah empat aku menemaninya menghitung bintang lewat jendela kamar.

Suara dering telepon menyadarkanku dari kantuk. Seusai salat subuh tadi aku kembali tertidur di atas sajadah lengkap dengan mukenannya. Aku baru tau, ternyata secapek ini mempunyai bayi, heran saja kenapa orang-orang dulu senang sekali hamil.

"Assalammualaikum, Bu," sapaku pada ibu yang diujung telepon.

"Waalaikumsalam, Nduk. Ras, Ibu kemarin titip Adi buat transfer uang ke kamu. Alhamdulillah panen kemarin dapat lumayan banyak, Ibu ingat kamu, jadi ibu kirimin uang sedikit," jawab ibu yang membuatku melonjak seneng.

"Ditransfer pinten, Bu?" tanyaku antusias.

"Bocah gemblung! Mbok, ya, tanya dulu kabar Ibu bapakmu ini gimana, bukannya malah tanya transferan berapa," omel Ibu yang membuatku tertawa lebar.

"Lah jenengan, kan, lagi banyak uang, ya pasti kabarnya lagi baik, bener, kan?"

"Ouw bocah edan! Ngerti ae. Tak transfer dua juta. Pakai buat kebutuhanmu."

"Loh, kok katah, Bu. Panennya berhasil semua, Bu?"

"Alhamdulillah, wes cukup pokoe. Kamu wes gak usah mikir Ibu Bapak, bulan depan juga ndak usah kirim uang, insya Allah uang ini masih cukup," jelas Ibu panjang lebar.

"Alhamdulillah. Ngapunten nggeh, Bu. Harusnya Saras yang kirim uang, ini malah Ibu yang kirim."

"Halah ... wes gak usah aksi sedih. Ibu wes hafal kelakuanmu. Wes nanti makan nasi, jangan beli soto terus. Iya, kalau soto asli, ini soto dalam bentuk mie instan," jelas ibi panjang lebar yang membuatku tertawa lebar. Emang gak salah kelakuanku kayak gini, sudah ada turunannya.

"Lah, Jenengan kok ngerti?"

"Yo, ngerti. Lah mbok pakai status terus di WA."

" Jenengan punya HP android?" tanyaku penasaran. Heran saja, bagaimana bisa Ibu tau story WA-ku padahal HP-nya saja cuma HP jadul uang persis ulekan.

"Yo, ora. Ibu lihat dari HP-nya Adi." Saat hendak melanjutkan bicara, si bayi yang awalnya anteng tiba-tiba saja memangis.

"Ras, iku bayi'e sopo? Kok nak kamarmu? Kuwi ora anakmu, kan? Kowe ojok macem-macem loh, Ras," cerca Ibu yang membuatku tanpa sengaja mematikan sambungan telepon.

Mati aku!

Damar Langit

Demi menghindari pemikiran yang salah dan mengarah ke mana-mana akhirnya aku memutuskan menghubungi Ibu lagi setelah bayi mungil itu tertidur. Capek juga sembunyi-sembunyi kayak gini, atau aku jujur saja? Ah ... tidak-tidak! Nanti Ibu malah salah paham, terus nyuruh aku pulang dikawinin deh sama juragan sawah yang udah bangkotan. Hi ... berasa kek sinetron.

"Assalammualaikum, Bu. Ngapunten keputus, tadi anaknya ibu kos yang kebetulan dititipin di sini lagi nangis, barusan Saras balikin ke rumahnya," jelasku setelah panggilan di sana telah tersambung.

"Loh, Ibu kos kamu kawin lagi?" tanya Ibu yang membuatku terkejut.

"Hah? Kawin lagi?" tanyaku balik.

"Lah bukannya kamu dulu cerita kalau Ibu kos kamu itu suaminya sudah meninggal? Sudah sepuh juga, kan orangnya? Sekarang sudah nikah lagi berarti?" jelas Ibu panjang lebar yang membuatku menepuk jidat.

Mati aku! Kenapa juga nyari alasan gak di pikir dulu. Jelas saja Ibu kaget, dia taunya kan ibu kos memang sudah sepuh, sudah 65 tahun, mana mungkin hamil lagi.

"Eh, maksud Saras cucunya Ibu kos, cucu kan sudah kayak anak sendiri, nggeh to, Bu?" jelasku mencari-cari alasan.

"Oalah, yawes kalau gitu. Kamu di sana jangan macem-macem loh, Ras. Ingat salat. Jaga pergaulan. Kalau kamu gak bisa jaga diri mending kamu pulang aja, ntar Ibu kawinin sama juragan Ipan, dia masih setia nungguin kamu."

"Hi ... Jangan, Bu. Saras janji bakal jaga diri. Pun nggeh, Bu. Saras mau masak dulu nanti disambung lagi."

"Yawes, makan nasi! Jangan makan mie instan terus. Assalammualaikum," ucap Ibu mengakhiri sambungan.

"Nggeh, Bu. Waalaikumsalam."

Haaa! Untung saja Ibu gak curiga. Maafkan Saras, Bu. Saras terpaksa berbohong. Sejenak aku menoleh ke arah bayi yang entah sejak kapan telah terbangun. Dia terlihat sibuk melihat-lihat seisi rumah, ah dia begitu menggemaskan.

"Hai, bayi kecil hari ini kita dapat rejeki, aku akan membelikanmu beberapa pakaian. Apa kau senang?" celotehku sembari menghadap bayi mungil itu. Tak disangka dia membalas ucapanku dengan tersenyum lebar, ah sepertinya aku mulai menyukaimu.

Aku baru sadar jika bayi ini belum bernama, tak mungkin aku memanggilnya bayi mungil terus. Baiklah, kita akan mencari nama sementara untukmu.

Ternyata mencari nama untuk seorang bayi memang bukanlah hal mudah, sudah browsing sejak tadi ternyata aku tak menemukan nama yang pas untuknya.

Bagaimana kalau Lee Min Ho? Atau Taehyung? Edward Cullen? Atau Alliando saja? Tidak-tidak! Kenapa jadi nama artis semua.

Damar Langit! Yaah, namamu Damar Langit sekarang. Kenapa Damar Langit? Langit, karena aku menemukannya di bawah langit, entah anak siapa dia. Mungkin memang langit yang mengutusnya bertemu denganku. Sedangkan Damar, itu adalah nama lelaki yang pernah aku taksir saat SMA dulu, wajahnya ganteng dan menggemaskan seperti bayi ini. Namun, sayangnya lagi-lagi cintaku tak pernah terbalas.

Damar Langit dalam arti sebenarnya berasal dari bahasa jawa yang berarti benda langit yang menerangi angkasa. Semoga saja, kamu akan juga menerangi hidupku meskipun kita tak pernah tahu akan berapa lama bersama.

"Namamu Damar Langit ya, bocah lucu, dan aku akan memanggilmu, Langit. Kamu suka?" Sebuah pertanyaan kuajukan lagi padanya, dan jawabannya pun sama, dia tersenyum lebar. Iish ... kenapa dia selucu ini.

Usai bermain-main sejenak, aku pun memandikannya, bersih atau tidak entahlah, yang penting badannya basah, itu bisa disebut mandi bukan? karena belum ada baju ganti, jadi terpaksalah baju sebelumnya kupakaikan kembali. Sebotol susu telah siap, dan benar saja setelah habis sebotol ia pun tertidur. Kini giliranku untuk membersihkan diri, karena setelah sarapan nanti aku akan mengajaknya berbelanja pakaian.

Setelah sarapan aku pun bersiap-siap, tinggal menunggu Dini kami siap berangkat. Ya, terpaksa aku harus mengajak Dini, disamping untuk teman diskusi memilih baju, aku pun butuh ojek untuk ke supermarket kasihan jika Langit harus naik angkot. Lagipula Dini kerja sift siang, jadi aku tak mengganggu jadwalnya.

Pintu diketuk, saat aku membuka pintu terlihat Dini begitu heran melihat penampilanku, dan sesaat kemudian dia terbahak-bahak.

"Kamu sudah mirip banget sama emak-emak, buru nikah dan bikin anak sendiri gih!" Issh ... dia benar-benar menyebalkan.

Sebenarnya tak salah jika dia menertawakanku, lihat saja diriku, karena tak ada jarik aku pun menggendong langit dengan pasmina milikku. Sebuah jaket besar juga kupakai untuk menutupi tubuh langit, tapi aku yakin tak separah perkataan Dini, gadis itu saja yang berlebihan.

"Jangan banyak komentar, ayok berangkat! Tapi kita ke ATM dulu," ajakkku sembari mengunci pintu.

Setelah tiga puluh menit perjalanan dan berhenti sejenak di ATM, kini sampailah aku di babyshop. Seumur-umur baru kali ini aku masuk tempat perlengkapan bayi seperti ini, dan itu membuat kalap mata. Bagaimana tidak, baju di sini sangatlah lucu-lucu, berbagai model pun ada, untung saja Langit laki-laki, karena baju perempuan jauh lebih menggemaskan.

Beberapa pasang baju sudah di dapat, gendongan, topi dan sepatu pun ada dan untuk itu semua aku harus merogoh kocek sampai empat ratus ribu, Ya Gusti jatah makanku dua minggu.

"Ikhlas, Ras ... ikhlas. Semoga saja orangtua bocah ini kaya raya, jadi uangmu bakal diganti berkali-kali lipat," ejek Dini yang spontan mendapat jitakan olehku.

Untung saja ibu mengirim uang yang lumayan, jadi paling tidak aku tidak terlalu miskin hingga beberapa minggu ke depan. Langit memang banyak rejeki, disaat butuh susu, ada yang membelikan, disaat butuh baju ada yang mengirim uang, semoga saja saat kamu butuh ayah, Allah segera mendekatkan, amin.

Seusai berbelanja, aku berjanji akan mentraktir Dini makan siang, anggap saja sebagai bayaran jadi tukang ojek hari ini, dan Dini pun girang. Langit memang bayi yang pintar, diajak kemana pun dia tak pernah rewel, kalaupun menangis cukup diberi susu dia langsung terdiam.

Sebelum berangkat ke tempat makan, kutitipkan Langit kepada Dini, ada yang sedang berontak untuk dikeluarkan. Seusai dari kamar mandi, entah kenapa saat ada yang bening mata ini tak pernah melewatkan.

Pria itu sepertinya sedang memcari sesuatu atau mungkin seseorang. Matanya melihat ke sana ke mari. Setelan kemeja putih dengan celana formal membuat penampilannya nyaris sempurna, Gusti gak dapat Lee Min Hoo dapat yang beginian saja sudah tak apa.

Entah karena kurang hati-hati atau memang panik, lelaki itu menyebrang tanpa menoleh ke kanan dan kiri, hampir saja sebuah sepeda motor menabraknya kalau aku tak segera menarik tanganya. Adegan seperti ini sering aku lihat di sinetron, setelah itu mereka dekat dan menikah. Semoga Gusti.

"Terima kasih" ucapnya lirih dan segera berlalu.

Aku hanya bisa bengong sambil menatap punggungnya. Jangankan menikah, bertanya nama saja tak sempat. Iish ... batal dapat jodoh ganteng.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!