"Kupret, ngapain aja sih, lama bener!" teriak Dini tiba-tiba.
"Tadi ada Lee Min Ho di sini," jawabku masih setengah sadar. Iya, sadar dari pesona si ganteng yang tak terbantahkan.
"Serius? Mana? Di mana?" tanya Dini seraya menyerahkan Langit begitu saja kepadaku.
"Sudah pergi. Ayok! Aku sudah lapar," ajakku seraya meninggalkan Dini yang masih kebingungan mencari sosok Lee Min Ho KW.
Heran juga sama gadis satu itu, kenapa percaya saja sama ucapanku? Percaya itu sama Gusti Allah, kalau percaya denganku, kan jadi sesat seperti sekarang ini.
Nasi beserta lauk telah tersedia di depan mata, perut yang awalnya meronta-ronta meminta haknya mendadak menciut. Tak mungkin makan dengan menggendong Langit seperti ini, bisa-bisa itu sambel nemplok di hidung mancung ini bocah. Mau tak mau, aku pun menunggu Dini makan terlebih dahulu sebelum nanti bergantian menggendong Langit.
Selesai makan, kami pun kembali pulang. Capek juga rasanya ke sana ke mari sambil gendong bayi. Perjuangan seorang ibu memang benar-benar hebat, dari hamil hingga melahirkan semua benar-benar menguras tenaga. Aah ... jadi kangen Ibu, pingin bilang juga, Mak kawinin dong?
Memandikan, membuat susu, hingga menidurkan jadi aktifitasku hari ini. Meskipun awalnya sedikit kaku, kini lama-lama terbiasa juga. Sudah cocok kayaknya kalau jadi emak beneran. Hai, Alvin. Adek siap dihalalin.
Seraya menidurkan Langit, pikiranku menerawang pada masa depan bayi ini. Tak mungkin selamanya seperti ini, penghuni indekos pun lama-lama pasti akan curiga dengan suara bayi yang sering terdengar. Namun, aku harus bagaimana? Tak mungkin mengaku pada ibu indekos kalau aku menemukan bayi, bisa-bisa Langit mereka ambil. Aku sudah terlanjur hati pada bayi mungil ini.
Namun, aku pun tak mungkin merawatnya, Aku masih harus bekerja, Langit pun masih butuh perhatian lebih dari orang yang tepat tentunya. Gusti, kasih jalan keluar untuk hambamu yang manis ini, jangan biarkan hamba berpikir keras, takut luntur manisnya.
Waktu masih menunjukan pukul delapan malam, Dini pasti belum pulang, tapi aku butuh solusi darinya. Kuhubungi gadis itu lewat Whatsaap, sengaja kukirimi pesan saja biar tak menganggu kerjaannya. Lama tak ada balasan, aku pun memutuskan untuk tidur sejenak, berpikir keras ternyata menguras tenaga.
Aku tersadar saat pintu diketuk beberapa kali, kulirik jam di dinding menunjukan pukul sepuluh malam, mungkin ini Dini. Segera kubuka pintu agar gadis itu tak menunggu lama, dan benar saja Dini sudah berdiri di depan pintu dengan mengarahkan kantong kresek berisi sebungkus nasi. Aah ... dia memang begitu pengertian, tau saja aku belum sempat makan malam.
Sembari mendengarkan Dini ngoceh, kulahap nasi penyet yang sudah tertampang di depan mata. Salah satu kelebihan Dini ialah selalu berpikir jauh, berpikir tentang masa depan lengkap dengan baik dan buruknya, beda sekali denganku yang selalu gegabah dalam mengambil keputusan.
Sekarang, di sinilah kami, di depan para penghuni indekos yang berjumlah delapan orang. Sembari menggendong langit, aku menjelaskan bagaimana awal kali kami bertemu. Terdengar beberapa orang bisik-bisik, mungkin tak suka dengan tindakanku, tapi aku tak peduli. Salahkah jika aku berusaha memyelamatkan nyawa seseorang?
Dibantu Dini, aku meminta pengertian mereka untuk tidak mengatakan keberadaan Langit kepada siapapun, termasuk kepada ibu indekos. Aku berjanji akan segera menyerahkan bayi ini jika bertemu dengan orangtua atau saudaranya. Beberapa orang mengangguk memahami posisiku, tapi beberapa lagi hanya diam, aku tak tau apa yang mereka pikirkan, apapun itu yang penting aman untuk Langit.
Terpaksa cara pertama ini yang kutempuh jika ingin mempertahankan Langit. Membuka keberadaan Langit di depan penghuni indekos adalah pilihan terbaik, karena cepat atau lambat mereka pasti tau, dan aku takut akan berakhir buruk. Namun, jika sedari awal kukatakan seperti ini, aku yakin mereka memahami.
***
Pagi ini dengan sangat terpaksa aku mengajak Langit bekerja, karena memang tak memungkinkan meninggalkannya. Kusiapkan segala kebutuhan, semoga saja hari ini dia anteng seperti kemarin.
"Ras, mau kerja?" sapa Nita--penghuni kos-- saat aku mengunci pintu kamar.
"Iya, Nit. Kebetulan sift pagi," jawabku seraya tersenyum simpul.
"Langit diajak?" tanyanya lagi, aku pun mengangguk. "Kalau gak keberatan, aku mau bantuin jaga dia hari ini, kebetulan aku libur," lanjutnya lagi yang membuatku semringah.
"Seriusan? Kamu mau?" tanyaku memastikan, dan dia pun mengangguk yakin.
Kuserahkan Langit dan segala perlengkapannya. Tentu saja aku tak akan menolak bantuan sebesar ini, apalagi yang aku tau Nita terkenal begitu sabar dan kalem, Langit pasti aman bersamanya.
"Sama Mama Nita dulu, ya, Nak. Mama Saras kerja dulu cari uang buat beli susu dan sebongkah berlian," pamitku pada Langit yang mendapat balasan tawa oleh Nita.
Aku berangkat kerja dengan perasaan sedikit lega, memang jika niat baik segalanya pun pasti dipermudah. Aku yang awalnya ragu membuka keberadaan Langit, sekarang justru ada yang mau menerima bahkan membantu menjaganya dengan tulus.
Sesampainya di toko, segera kubersihkan dan merapikan semua barang-barang. Tak lupa musik dangdut yang setia menemani. Hanya ada empat karyawan di toko ini, dua sift pagi dan dua lagi sift siang. Hari ini aku bekerja bersama Heru, dan karyawan lelaki hanya ditugaskan di dalam gudang, untuk mengatur stok dan mengambilkan barang yang habis.
Saat sedang asyik merapikan tempat rokok seorang pelanggan datang dan menyerahkan botol air mineral untuk dibayar. Aku mendongak menatap si customer pertam, sesaat aku hanya terdiam hingga lelaki itu menjentikkan tangan di depan mataku.
"Mbak, haloo ...," sapanya yang membuatku langsung tersadar.
Aku yang merasa diperhatikan hanya tersenyum malu. Kucoba lirik dia sebentar, terlihat dia bergidik, mungkin jijik dengan sikapku.
"Mas, kamu yang kemarin mau tertabrak sepeda motor itu, kan?" tanyaku sok akrab.
"Iya, oh mbaknya yang kemarin nyelametin saya, ya?" jawabnya seraya mengingat-ingat. Segampang itu dia melupakanku, padahal tak sedikitpun aku menghilangkannya dalam otakku. Kejam kau Ferguso!
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. "Maaf, kemarin belum sempat mengucapkan terima kasih, saya sedang panik kemarin," jelasnya lagi.
"Tak apa, yang penting masnya baik-baik saja." Gusti, pingin muntah saja aku mengingat bisa berbicara semanis ini.
"Sekali lagi terima kasih, ya, Mbak. Saya permisi dulu," pamitnya seraya meninggalkan uang pecahan seratus ribuan di meja kasir.
Saat dia telah jauh aku baru tersadar jika belum menyebutkan harga minuman yang dia beli. Mungkin tak mau terlalu lama bersamaku dia memutuskan meninggalkan uang begitu saja. Dia begitu misterius, dan aku suka.
Langit, aku telah menemukan calon Ayah untukmu, Nak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Irmayanti Dara
Tenang langit calon ayahmu banyak tapi blum ada yg mw sama ibumu🤣🤣
2022-04-23
1
ᴍ֟፝ᴀʜ ᴇ •
mengakak🤣🤣
2022-03-31
1
AsriMaria
hahahaha....🤣🤣🤣🤣
2022-02-14
1