Rama POV
Kulihat dia, wanita yang paling aku cintai. Dia yang kuanggap wanita ku tapi memilih pria lain sebagai kekasihnya. Dia memilih pria brengks** yang tidak pantas untuk dicintai setulus itu.
Dia menangis dibawah hujan, terus merunduk memprotes bumi yang mengutuknya. Perlahan kulihat tangannya mulai memegangi perutnya, terus dan semakin kencang ia hujami dengan pukulan. Dia sebut-sebut kata "mati". Ah, entahlah! Pikiranku buruk menghantui, merasuk membebani logika.
Aku berlarian menghampiri nya, meraih dan kupegangi kuat-kuat tangannga agar dia tak lagi melukai janin dan bahkan dirinya sendiri. Dia masih saja meronta, meraung, bahkan memberontak dengan seluruh tenaga yang dimiliki. Sangat terpaksa, aku memutar lengannya. Membuat dia meringis, mungkin sakit.
"ini yang akan dirasakan anakmu jika kamu terus memukulinya"
Kurang lebih, seperti itu kalimat yang kuucapkan. Entahlah, apa yang membuat ku berani melakukan itu. Aku sudah bingung dan sangat panik dalam kondisi seperti itu.
Sia terjatuh, ah bukan! Dia menjatuhkan diri ke tanah. Menangis semakin kencang, mencekram bumi sekuat mungkin. Kubiarkan, setidaknya untuk membuat nya merasa sedikit tenang. Agar dia bisa menyesali apa yang baru saja dia lakukan.
Namun deg! Jantungku melemah seketika, saat dia tiba-tiba mengatakan jika sibangs** itu menolak menikahinya. Laki-laki itu sama sekali tidak mengerti makna welas asih. Apa dia tidak memikirkan jika janin itu adalah darah dagingnya sendiri? Hah, laki-laki macam itu, mana mau tahu tentang hal seperti ini.
Aku ingin sekali menawarkan diri untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Walau aku tidak melakukan apapun terhadapnya. Hanya kasihan saja sama anak itu ketika dia nanti bertanya 'mah, mana ayahku?' tapi mungkin juga karena aku mencintai Kinanti. Entah!
Perdebatan kembali terjadi, namun kali ini dia sangat manis,dia dingin, dia tidak lagi menggunakan gerakan konyol lagi.
Ku antar dia hingga halaman rumahnya. Ku pastikan ada orang di dalam sana agar dia bisa merasa tenang. Lalu, ku putar sepeda ontel ku dan ku pancal menuju pabrik tempatku bekerja.
Tak kusangka, Pak andi sudah berdiri didepanku sekian lama. Dia menggebrak meja dengan kerasnya, membuatku terperanjak dan menyadari jika aku telah merusak produk begitu banyak. Satu, dua, tiga entahlah berapa puluh atau bahkan ratus ribu kerugian yang akan aku terima jika si bapak ini tidak memberiku maaf. Aku sempat panik dan merasa takut jika dipecat. Tapi tidak setakut jika bayangan Kinanti muncul.
Berulang, aku menunduk mencoba memohon maaf dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Dan benar saja, kali ini keberuntungan masih berpihak kepadaku. Walau aku harus mendengar dan bersabar dengan cemooh yang nyaring ditelinga ku.
Kupancal sepeda ontel ku yang sudah sangat tua ini. Tidak ada yang berarti darinya selain teman setia kemanapun aku pergi. Menjadi saksi bisu keseriusanku dalam bekerja. Pergi paling pagi, pulang paling larut malam. Kecepatan nya, bergantung pada tenaga yang ku keluarkan.
Sudah, lupakan tentang sepeda! Bayang-bayang isak tangis Kinanti semakin menghantui siang dan malamku. Dalam kondisi sadar maupun sedang dibawah sadar. Sungguh, aku tidak rela melihatnya menderita seperti itu.
" apa yang harus aku lakukan?"
Kurebahkan kembali tubuhku diatas alas tidur yang mulai lusuh itu. Berfikir aneka macam cara dan hal yang mungkin bisa membantu Kinanti. hah, ini semakin membuatku gila. Harusnya, aku tidak perlu memikirkan ini, tapi hatiku sungguh memaksa. Semakin ingin tidak aku fikirkan, semakin kuat pula rasanya mendobrak pintu logika. Tolonglah, biarkan ku tenang.
--
Sudah satu minggu ini Rama tidak melihat Kinanti datang ke pabrik. Hatinya semakin resah dan gelisah. 'apa dia sudah berhenti bekerja?' pikiran buruk dan baikpun silih berganti menyerang.
Seusai jam bekerja, ia menyempatkan diri untuk menyambangi rumah Kinanti. Nihil, dia tidak ada disana. Keluarganya pun tak mengetahui kemana Kinanti pergi.
Rama, kembali berjalan dengan sepeda bututnya. Matanya jeli berkeliaran ke kanan dan kiri jalanan. Berharap, ia menemui Kinanti disana. Keadaan yang semakin sore, membuat hatinya kian gelisah.
'mungkin, dia kembali menemui Abbas' ia terngiang dengan pria itu. Pria yang juga sudah lama tidak dia jumpai. Rumahbya tak jauh dari titik Rama berdiri, ia mencoba menelusuri jalanan menuju kesana. Memohon dalam setiap ayun kakinya.
Tidak! Dia tidak menemui orang didalam rumah itu, diketuknya berulang tapi tak kunjung ada yang membukanya. Keadaannya juga gelap, seperti tak berpenghuni.
Ah, sial! Dengan kecewa dia kembali. Memutar sepedanya dan menggowes nya ringan.
"Kinanti?"
Matanya membulat memperhatikan wanita yang duduk menyendiri dihalte bus itu. Wajahnya lesu, masih sama dengan satu minggu yang lalu. Tidak ada harapan lagi yang terpancar dari sorot matanya.
"Kinanti, kamu ngapain malam-malam berada disini?"
"Aku menunggu Abbas setiap hari, mengunjungi rumahnya, dan hingga larut seperti ini"
"lalu, apa kau menemukannya?"
"heh, tidak! Dia sudah kembali ke Madura, hp nya juga tidak aktif."
Rama berjongkok di hadapan Kinanti, menggenggam jemarinya berusaha menyalurkan gairah baru. Sangat disayangkan, kau memilih lelaki seburuk itu Kin, pekiknya dalam hati.
"Rama, kumohon! Tolong, bantu aku menggugurkan kandungan ini"
Ah, iblis itu kembali pada diri Kinanti. Ya mungkin, karena dia khawatir dengan masa depannya,dengan kehidupan yang sudah menantinya.
"Aku akan menikahimu Kin, aku akan bertanggung jawab penuh atas anakmu! Aku akan sangat menyayangi nya melebihi rasa yang kamu beri untuk Abbas."
Deg! Kali ini, jantung Kinan berdetak dengan cepat. Dia menatap pria yang masih tenang didepannya, kalimat nya barusan dia ucapkan dengan lantang. Tidak ada ejekan, ataupun niat bercanda disana.
" Tapi aku tidak mencintaimu Ram "
" aku tidak mengharapkan cintamu mengalir detik ini Kin, aku percaya jika Cinta bisa datang kapan saja. Tapi, jika kamu tidak mengambil keputusan sekarang, penyesalan akan menghantuimu jika anakmu sudah terlahir"
Entahlah, mimpi apa yang hadir dalam tidur Rama semalam. Dia sangat cepat mengambil sikap. Beralasan tanggung jawab atas anak, tapi sebenarnya hatinya bersorak saat Kinanti mengangguk tanpa suara. Baginya, itu adalah awal jawaban dari doa-doa yang senantiasa dia panjatkan disetiap malamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments