Dari hak angket yang dimiliki setiap kelas 70% menolak untuk bergabung antara perempuan dan laki-laki di dalam satu ruangan, artinya mereka tidak setuju jika para laki-laki sekelas dengan mereka. Maka dengan pernyataan itu pun tak bisa dibantah oleh Pak Kepala sekolah, mereka tetap satu sekolah tapi kelas akan dibedakan. Kelas khusus untuk laki-laki dan kelas khusus untuk perempuan, itulah kesepakatannya.
Gila! Barry terus membatin ketika hal ini terjadi padanya. Benar-benar berasa hidup di zaman kerajaan saja.
“Fan, udah boleh ganti baju? Ini udah waktunya jam olahraga.” Barry mencondongkan kepalanya ke samping, berbisik kepada Rafan yang masih berkutat dengan buku dan penanya.
Dengan sedikit lirikan tegas, Rafan hanya berkata. “Tunggu gurunya datang.”
Barry bergidik bahu seraya dengan mulutnya berkomat-kamit mengucapkan kenapa? Jadi heran, jika di sekolah lamanya dulu mereka harus sudah keadaan memakai seragam olahraga sebelum gurunya masuk kelas, sekarang malah terbalik. Benarkah?
Derap langkah pria bertubuh atletis dan berotot masuk ke dalam kelas baru, yaitu di kelas XI IPA 3 khusus cowok. Tanpa di aba-aba lagi, Rafan segera menyiapkan kelasnya dengan tertib. Cowok itu seperti menguasai sekolah khusus cowok, nyatanya dia ketua kelas sekaligus ketua OSIS Risoson.
Bapak yang mengajar di bidang olahraga diketahui bernama Pak Veryn menerangkan sedikit materi yang diajarkannya, setelah lima menit menjelaskan baru disuruhnya para siswa untuk berganti pakaian dan segera berkumpul di lapangan dalam waktu lima menit.
Barry hanya mengikuti saja. Rafan mengajaknya untuk berganti baju bersama di ruang ganti. Setelah membawa seragam olahraga masing-masing mereka segera keluar dari kelas.
...***...
Sayup-sayup sebuah ruangan bersih dan hening tanpa ada suara keramaian di sama, tampak jari-jemari seorang gadis dengan wajah berbentuk oval tengah sibuk menekan setiap tuts piano.
Terdengarlah suara nada yang terdengar indah di pagi ini, sebuah ruangan luas dan kursi-kursi berjejer rapi di tengah ruangan. Tempat itu seperti ruangan khusus untuk acara perlombaan piano grand. Alunan musik terdengar syahdu dan harmonis, bahkan yang memainkannya saja sampai menutup kelopak matanya dengan rapat hanya ikut menikmati setiap nada-nada yang dimainkannya.
Gadis cantik nan rupawan itu sedang bermelankolis dengan dunianya sendiri, lebih suka di tempat itu seorang diri ketimbang berinteraksi dengan banyak orang di luar sana. Tidak tertarik untuk berkenalan dengan para cowok yang baru saja bergabung di SMA Klaria.
Jari-jari lentiknya terus menari-nari indah dengan lincah di atas tuts piano, membawakan sebuah nada romantis yang membuatnya berangan-angan untuk berdansa dengan seseorang pria. Tanpa sadar, ia tersenyum kecil dengan kedua mata yang masih terkatup rapat.
Nada ini...
Ketenteraman ini...
Akan selalu dirindukan oleh seorang Ryuna. Dia tersenyum kecil, mengakhiri permainan pianonya. Tangannya sudah tak lagi berada di atas tuts piano, ia telah menyelesaikan permainan pianonya lalu beranjak dari tempatnya dengan menghela napas panjang.
Seseorang yang ternyata ada di ruangan itu menjadi tersanjung dengan nada yang dimainkan cewek itu, entah sejak kapan dia berada di sana. Tentunya gadis itu belum menyadari keberadaannya.
“Nada-nadanya cukup indah." puji seseorang yang membuat Ryuna terkejut akan kehadiran orang itu. Pria itu lalu tersenyum simpul meski Gwen melengos sombong, tak mau bertatap muka dengannya. Orang baru, ia tidak peduli meski cowok itu tampan sekalipun. “Kamu juga keren!” pujinya lagi. Dia mengacungkan dua jempol sambil mengedipkan sebelah matanya.
Namun senyumnya kembali hilang ketika wajah yang dilihatnya kini tidak terlalu asing di matanya. Serasa pernah bertemu? Barry memperhatikannya dengan tatapan tajam gadis itu.
“Kayak udah pernah ketemu, lo ... cewek yang di kafe itu kan? Yang hampir jatuh? Terus gue tolongin?” tanyanya bertubi-tubi seperti hanya memastikan jika dia tak salah orang, tak menyangka ternyata dirinya bisa ketemu lagi dengan gadis itu.
Ia masih ingat lusa sewaktu kejadian di sebuah kafe karena saat itu ia keburu lapar dan malah langsung meninggalkan orang yang ditabraknya itu untuk memesan makanan, tapi untungnya ia masih sempat menolong gadis itu sebelum dirinya pergi.
Bukannya menjawab, justru Ryuna pergi dengan gaya pongahnya. Tanpa disadarinya, pria itu tersenyum kecil menanggapinya, setelah cukup lama memerhatikan kepergian Ryuna membuatnya tertarik untuk pergi juga dari tempat itu yang kini ruangan mulai dalam keadaan sunyi senyap.
“Nggak ada di sini juga.” seseorang yang tiba-tiba menyembulkan kepalanya di ambang pintu serta mengerlingkan matanya mencari sesuatu. Langkahnya kembali berjalan ke arah berlawanan namun sebelum cewek itu semakin menjauh, Andara dengan beraninya membuka suaranya.
“Lo cari siapa?” tanyanya. Sejemang ia memerhatikan cewek itu yang lantas memutarbalikkan tubuhnya.
“Gue lagi nyariin temen gue. Kirain dia ada di situ." cewek bermata bundar itu melirik ke piano besar ruang panggung lalu kembali memandangnya. “Karena dia suka menyendiri dan salah satunya ya tempatnya di sini."
“Gue barusan ketemu sama dia.”
“Lo tau siapa yang gue cari?”
“Gue nggak tau siapa yang lo cari, tapi gue barusan liat cewek yang pergi gitu aja seusai main piano,” jelas cowok itu dengan menggerakkan kedua tangannya seolah-olah dia menjelaskannya seperti seorang guru di depan kelas.
“Mungkin aja itu Ryuna.” gumamnya dengan kepala yang tertunduk seperti sedang menekuri lantai batu alam.
“Siapa namanya?”
Sekali lagi cewek itu memandang ke Barry yang seperti berusaha untuk mempertajam pendengarannya dengan sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan.
“Ryuna. Dia satu-satunya sahabat gue, dan udah cukup lama dia ninggalin gue sendirian di kelas karena hari ini jam kosong, entah pergi ke mana dia sekarang," gerutunya sembari berkacak pinggang.
“Dan lo, siapa namanya?” tanya Barry lagi.
Entah kenapa pipi gadis itu jadi bersemu merah padahal Barry hanya bertanya soal nama. Dia kemudian berdehem, alih-alih mencairkan suasana yang hampir canggung.
“Gue Viona."
“Dan gue ... Barry,” jawabnya dengan ramah. Tak lupa dengan senyuman yang ia tebarkan dengan ikhlas.
Viona mengangguk sekali. “Salam kenal. Ya udah, senang bisa ketemu lo Bar, kalau gitu, gue pergi dulu ya.” pamitnya seraya tersenyum sebelum akhirnya dia benar-benar menghilang dari hadapan Barry yang masih berdiri di tempatnya.
Sementara gadis yang Viona cari-cari saat ini sedang berjalan seorang diri menuju kantin, tatkala sedang memesan minuman dingin. Tampaknya kesendirian sudah tidak asing lagi bagi dirinya, tak ada yang perlu dikhawatirkan hingga harus berjalan bersama seorang teman.
Setelah membayar minumannya itu, secara sengaja atau tidak ia malah berpapasan dengan tiga cewek yang tersenyum padanya, percayalah itu bukan tersenyum tulus tapi mengarah pada senyuman devil.
“Hai Ryuna,” sapa cewek itu dengan angkuh. Tangan kirinya sibuk memilin-milin rambut pirangnya.
Ryuna mencoba untuk tidak memedulikannya, baginya orang itu tidaklah penting. Tidak ingin berlama-lama di sana, ia pun berlalu pergi dengan tatapan pongah tanpa pamit sama sekali.
“Menarik saat menyapa si bisu.” Shaila memutarkan bola matanya, bosan. Kedua temannya bergidik bahu saja, memikirkan apa istimewanya dengan kehidupan datarnya si pendiam?
Samar-samar terdengar suara kebisingan di ruang sebelah. Ryuna pasti berpikir itu pastilah anak laki-laki yang sedang berkelana di setiap ruang sekolah baru mereka.
Ryuna dikejutkan dengan keberadaan sahabatnya, Viona di bawah tangga. Dia memasang muka masam sembari bertekuk tangan.
“Lo dari mana aja Ryuna? Sedari tadi gue nyariin lo tau, datang ke ruang piano bukannya ketemu lo malah ketemu cowok.”
Ryuna hanya diam saja mendengar sahabatnya itu mengoceh, ia tetap kalem dan dingin.
Langkah demi langkah membawanya untuk duduk di salah satu bangku panjang yang dekat dengan pohon. Viona mengelus dadanya, tambah kesal ketika dirinya selalu saja dianggap debu, mau tak mau dia ikut duduk dan merebut minuman dingin dari tangan Ryuna, lalu meneguknya beberapa kali tanpa merasa bersalah.
“Kalau haus pesan di kantin.” Ryuna berhasil merebut minumannya kembali.
“Barry itu lumayan juga untuk dijadikan pacar, kenapa lo nggak coba ngedeketin dia? Apa jangan-jangan lo malah nyuekin dia?”
“Maksud lo?”
“Itu... cowok ganteng yang ada di ruang piano itu loh, waktu gue cari lo ternyata dia yang gue temui di sana." Viona masih terlihat asyik menatap para pemuda sedang berolahraga di lapangan, ini adalah momen yang pertama kali mereka saksikan di Klaria.
Entah dari anak kelas berapa tapi mata tajamnya jelas menangkap seseorang yang baru di kenalnya di antara semua para lelaki itu. Viona tersenyum genit. Cowok itu memang terlihat tampan ketika sedang berolahraga, apalagi ketika wajahnya penuh dengan keringat dan rambutnya ikutan basah. Semakin membuat hatinya menjadi tergoda, benar-benar pesona yang indah. Maka nikmat tuhanmu yang manakah engkau dustakan?
"Huum... lumayan. Fisiknya nggak terlalu buruk.” tanpa sadar Viona berbicara seperti menyanjung setiap lekuk tubuh para cowok yang sedang berolahraga itu.
Mendengar kalimat itu dilontarkan sahabatnya, refleks Ryuna ikut menoleh ke tengah lapangan.
“Jangan memuji orang lewat fisik, Viona. Kadang orang bisa kecewa karena sikapnya nggak sebagus parasnya.”
Viona terkekeh kecil. “Gue cuma kagum aja kok, Ryuna coba perhatikan mereka. Apa ada yang lo suka?" matanya tak lepas dari cowok-cowok di depan sana, mereka terlihat sedang memang asyik bermain basket dengan desahan napasnya yang seksi di kala memantul-mantulkan bola dengan kedua tangannya secara bergantian.
"Mustahil bisa menyukai seseorang dalam waktu satu detik," Ryuna menghela napas. Sesaat kemudian ia beralih menyentuh sedotan lalu menyeruput minumannya, merasakan sensasi rasa jus mangga segar mengalir di kerongkongannya.
Dan menyukai seseorang itu terkadang nggak mustahil ketika mereka terus bersama hingga tak sadar sebuah perasaan muncul di antaranya nanti. Alih-alih Viona berbicara dalam hatinya dengan serius.
"Ryuna, kok lo bisa ketemu Barry di ruang piano? Apa mungkin dia lagi jalan-jalan lalu ketemu lo di sana, atau mungkin dia tersesat ya?"
"Kalau lo tanya gue, pasti jawabannya nggak tau sama sekali," cetusnya. Setelah itu dia kembali menyeruput minumannya dengan santai. Viona cemberut, kesal karena gadis itu selalu saja menjawabnya dengan cuek dan datar.
Sementara di tempat lain, ternyata Barry melihat keberadaan Ryuna duduk bersama temannya, Viona. Mereka duduk di salah satu bangku panjang di bawah pohon yang berukuran sedang, seutas senyum terukir di wajahnya. Gue jadi penasaran sama dia. Besok-besok gue bakal coba ngedeketin dia.
“Barry?” pria jangkung berambut pendek itu menepuk pundak teman kecilnya. Menyadarkan Barry yang sedang melamun. Laki-laki itu menoleh ke samping, masih tetap diam menunggu perkataan dari Adnan.
“Are you okay?" tanyanya dengan alis mata bertaut.
Barry menyikapinya dengan anggukan kecil. "Baik.” lirihnya yang kemudian kembali melempar bola basket ke Adnan yang menerimanya dengan baik. Mereka melanjutkan permainan basket yang sempat terhenti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Manhattan Queen
Kakak, mungkin aku tak akan baca sampai habis sekarang tapi aku bakal baca episode demi episode. Semangat kakak ❤️❤️
Terimakasih sudah semangat dalam menulis 🔥🔥
2020-11-23
1
V
cerita bagus kk lanjut ❤️❤️
2020-11-12
1
Rumia_tingel
cemungut kak.
2020-11-08
1