Pagi itu, Zhafira tengah bersiap ke sekolah. Di depan cermin, dia kembali menatap wajahnya seakan ingin memastikan kalau tidak ada yang aneh pada dirinya. Rambut yang tadinya dibiarkan terurai, kini dia kuncir dengan sisa rambut di dahinya yang dibiarkan terjuntai.
"Zha, biar Pak Diman saja yang antar kamu ke sekolah, nanti Mama naik taksi saja," ucap ibunya.
"Tidak usah, Ma. Mama pergi dengan Pak Diman saja. Sebentar lagi, Dafa akan datang menjemputku, kok," jelasnya sambil membenarkan posisi tasnya.
Tak sampai lima menit, suara klakson sudah terdengar di depan pintu rumahnya. Dafa yang sudah biasa datang ke rumahnya, tiba-tiba masuk dan duduk di meja makan sambil mengambil selembar roti dan langsung dimakannya.
"Kenapa duduk lagi? Ayo kita berangkat," ucap Zhafira sambil menarik tangan pemuda itu.
"Iya, iya. Kita berangkat," jawab Dafa dengan mulut yang masih penuh dengan roti yang belum sempat dikunyahnya.
"Ma, Zha pergi sekolah dulu, ya," ucapnya sambil mencium punggung tangan ibunya. Begitupun dengan Dafa yang langsung mencium punggung tangan Riska.
"Dafa, jangan ngebut, ya," ucap Riska pada pemuda itu.
"Siap, Tante."
Di halaman parkiran sekolahnya, Zhafira tampak berdiri dan memandangi sekitar tempat itu. Rasanya, dia sudah rindu dengan suasana sekolah.
"Kenapa melamun? Ayo, masuk," ajak Dafa sambil menarik tangan gadis itu.
Zhafira hanya terdiam. Lingkungan sekolah yang mestinya tak asing baginya, kini bagaikan tempat yang baru pertama kali dikunjunginya. Zhafira seakan dibawa ke tempat yang dikenalinya, tapi sebenarnya tempat itu tidak benar-benar dikenalinya.
"Kamu kenapa? Jangan bilang kalau kamu sudah lupa dengan tempat dudukmu sendiri," ucap Dafa yang kemudian menunjuk salah satu meja yang ada di bagian belakang.
"Ayo," ucap Refa yang sudah berdiri di sampingnya sambil mengajaknya duduk di tempat duduknya.
"Kita paham, kok. Sudah sebulan lebih kamu tidak masuk sekolah dan ini pasti membuat kamu sedikit canggung. Iya, kan?"
Zhafira mengangguk tanda mengiyakan. Memang benar dia merasa sangat canggung dengan situasi kelas, apalagi dengan tatapan teman-temannya yang memandanginya saat dia pertama kali datang. Mereka terlihat acuh, bahkan bisa dibilang mereka sama sekali tidak peduli dengan kehadirannya.
"Aku harus bisa bertahan. Aku tidak boleh menyerah dan jangan pedulikan tatapan mereka," batin Zhafira dalam hati.
Di sekolahnya, Zhafira juga terkenal dengan julukan ratu bolos. Dia tidak segan-segan untuk bolos di jam pelajaran yang tidak disukainya yaitu matematika dan fisika. Untuk dua mata pelajaran itu, Zhafira mengangkat tangan tanda menyerah. Dia tidak sanggup dengan segala rumus yang membuat kepalanya menjadi pusing tujuh keliling. Matanya buram, kepalanya akan sakit jika berurusan dengan dua mata pelajaran yang hampir semua anak sekolah tidak suka. Dan kini, pelajaran pertama yang harus dia hadapi di hari pertama dia masuk sekolah adalah matematika.
Pak Dio yang terkenal dengan kumis tebalnya itu terlihat sudah berdiri di depan kelas dengan membawa penggaris kayu yang panjangnya hampir dua meter. Itu adalah benda keramatnya sekaligus senjata utamanya untuk menghantam betis manusia-manusia yang tidak mengerjakan tugas yang sudah diberikan olehnya.
"Cepat kumpulkan tugas kalian!! Bagi yang tidak membuat tugas, silakan maju dan berdiri di depan," ucap Pak Dio dengan sikapnya yang terlihat santai, tapi sebenarnya mematikan.
Dalam kelas yang semula tenang, kini bergemuruh dengan suara-suara menggerutu. Walau mereka tahu akan mendapatkan hukuman karena tidak mengerjakan tugas, tapi tetap saja masih ada yang nekat tidak mengerjakan tugasnya itu.
Zhafira yang dulu sering bolos di mata pelajaran matematika, kini terlihat maju ke depan dan meletakkan buku tugasnya di atas meja. Dengan tatapan yang dingin, Pak Dio si guru killer itu hanya memandangi gadis itu dengan sorot matanya yang tajam.
Bukan hanya Pak Dio saja yang heran, tapi seluruh anak-anak di dalam kelas juga merasa heran. Biasanya, Zhafira tidak akan terlihat saat jam matematika, tapi kini dengan santainya gadis itu maju ke depan sembari membawa buku tugasnya.
"Wah, baru kali ini aku melihat Zhafira tidak bolos di jam matematika. Dan hebatnya lagi, ternyata tugas yang diberikan Pak Dio dengan mudah bisa dia kerjakan. Jangan-jangan tuh anak otaknya langsung pintar setelah mengalami kecelakaan," ucap salah seorang siswi saat jam istirahat.
Sementara di tempat lain, Zhafira tengah asyik bercanda dengan dua sahabatnya.
"Zha, apa benar tugas matematika itu kamu sendiri yang menyelesaikannya?" tanya Kheyla penasaran.
"Iya. Aku yang menyelesaikannya sendiri. Untung ada Dafa yang sudah meminjamkan semua catatan dan tugas selama aku sakit. Memangnya, kenapa?" tanya Zhafira balik.
"Memangnya, kepala kamu tidak pusing apa dengan soal-soal itu?"
Zhafira menarik nafas panjang dan menyunggingkan sebuah senyuman. "Aku hanya ingin berubah. Aku sadar, sikapku selama ini sudah salah. Karena itu, aku minta pada kalian untuk tidak lagi melakukan hal-hal yang nantinya akan merugikan kalian," ucapnya dengan senyum.
Kedua sahabatnya itu hanya memandanginya dengan heran. Walau mereka kaget dengan perubahan sikap Zhafira yang tiba-tiba, tapi mereka bersyukur kalau sahabatnya itu masih mau berteman dengan mereka.
"Hai, boleh ikut gabung tidak?" Tiba-tiba saja Vino dengan senyum simpulnya datang menyapa dan berdiri di depan mereka.
Ketiga gadis itu terperanjat kaget dan saling memandang heran. "Apa aku tidak salah dengar? Untuk apa juga kamu harus gabung sama kita? Memangnya, teman-teman kamu ke mana?" tanya Refa sambil melihat ke arah sekitar.
"Ada, kok. Aku cuma ingin minta maaf pada Zhafira."
"Minta maaf, untuk apa?" tanya Refa heran.
Vino, si cowok tampan berkulit hitam manis itu lantas menceritakan kejadian kemarin. Dengan rasa penyesalan, dia ingin meminta maaf pada gadis itu.
"Aku sudah memaafkanmu, kok. Lagi pula, kemarin kan kamu sudah meminta maaf," ucap Zhafira dengan senyum.
"Zha, apa benar kemarin kamu temani mereka latihan basket?" tanya Refa yang semakin penasaran.
Gadis itu mengangguk sambil tersenyum kecut.
"Wah, hebat kamu Zha. Kapan-kapan, kalau mau temani mereka lagi ajak-ajak kita juga, jangan kamu mau enak-enakkan sendiri," ucap Kheyla yang tidak menyadari kalau Vino masih berdiri di depan mereka.
"Jadi, kalian ingin menemani kami latihan? Boleh, kok," sela Vino dengan senyum simpulnya.
Refa dan Kheyla menanggapi pernyataan Vino dengan senyum sumringah. Mereka seakan mendapat jackpot yang bisa membuat mereka bahagia tujuh turunan. Secara, mereka akan bertemu dengan cowok-cowok tampan idola semua gadis-gadis di sekolahnya.
*****
Di hari pertamanya sekolah, Zhafira masih terlihat bingung. Suasana sekolah, setiap ruangan di sekolah, dan teman-temannya seakan itu semua adalah hal yang baru untuknya. Terlebih ketika dia tidak sengaja melintas di ruangan kelas di sebelah kelasnya. Tiba-tiba saja, dia berhenti dan menatap ruangan itu. Matanya tak bisa berpaling hingga menuntunnya masuk ke kelas itu.
Anak-anak yang ada di dalam kelas itu menatapnya dengan heran, tapi tak ada satupun di antara mereka yang menegurnya, hingga Zhafira di kagetkan dengan suara seseorang yang berbicara padanya. "Sedang apa kamu di kelas ini? Apa kamu masih punya dendam padaku?" Tiba-tiba saja gadis berambut pendek itu berdiri di depannya dengan berkacak pinggang.
Gadis itu adalah Aurelle Alisya. Gadis berambut pendek itu tampak masih menyimpan dendam sejak terakhir kali bertengkar dengan Zhafira. Sedangkan Zhafira, seakan tidak peduli dengan ucapan gadis itu. Dia masih terus berdiri di tempat itu sambil memperhatikan sekitar.
"Apa kamu tuli? Wah, Jangan-jangan kecelakaan itu sudah membuat otak kamu tidak waras," lanjut gadis itu dengan sombongnya.
Karena merasa diacuhkan dan masuk ke kelasnya tanpa permisi, gadis itu kemudian menarik tangan Zhafira dan ingin membawanya keluar dari kelasnya, tapi Zhafira dengan spontan mengelak. "Aku akan keluar sendiri," ucap Zhafira tiba-tiba dan kemudian pergi meninggalkan kelas itu.
Aurelle yang merasa kesal hanya bisa menggigit ujung bibirnya dan kedua tangannya yang mengepal. "Hah, gadis sialan!!" umpatnya yang sontak saja membuat seisi kelas menatapnya. "Apa lihat-lihat," ucapnya kesal pada teman-temannya yang menatapnya heran.
Zhafira yang terlihat masih bingung dan merasa aneh dengan dirinya sendiri, hanya bisa berjalan menyusuri koridor kelas dengan wajahnya yang menunduk. "Apa yang baru saja aku lakukan di kelas itu? Dan kenapa, suasana di kelas itu tampak tidak asing bagiku?" batin Zhafira sambil terus berjalan hingga tanpa sadar, dia bertabrakan dengan seseorang di tikungan koridor.
"Aahhh," jerit Zhafira sambil memegang kepalanya yang terasa sakit.
"Kalau jalan jangan melamun, punya mata tidak sih?" bentak orang itu yang membuat Zhafira menunduk sambil meminta maaf.
"Maaf, aku minta maaf," ucap Zhafira sambil menunduk.
"Eh, ternyata kamu si gadis pembunuh," ucap orang itu yang ternyata adalah Revan dan teman-temannya yang baru saja selesai bermain basket.
"Kamu tidak apa-apa kan, Zha?" tanya Dafa yang juga ada bersama mereka.
Gadis itu hanya mengangguk, tapi tiba-tiba pandangannya terasa pusing hingga membuat matanya menjadi buram. Zhafira terkejut dengan apa yang dialaminya. Dia takut jika harus mengalami kebutaan lagi. "Ya Tuhan. Ada apa dengan mataku ini? Kenapa pandanganku tiba-tiba gelap?" batinnya dalam hati. Karena takut, Zhafira kemudian duduk dan menutupi wajahnya dengan telapak tangannya dan tanpa sadar, air matanya mengalir.
"Zha, ada apa? Apa kamu sakit?" tanya Dafa yang panik dengan sikap sahabatnya itu. Bukan hanya Dafa, tapi cowok-cowok yang bersama Dafa juga ikut panik. Bahkan di antara mereka, Revan lah yang terlihat sangat panik karena dia takut kalau penyebab Zhafira terluka karena gadis itu telah bertabrakan dengannya.
Zhafira yang masih duduk dan menutupi wajahnya itu terlihat menangis dan menutupi matanya. Dia takut untuk membuka matanya karena mungkin dia tidak akan bisa melihat lagi.
"Zha, ada apa?" tanya Dafa.
"Aku takut, pandanganku tiba-tiba saja gelap. Aku takut membuka mataku. Aku takut tidak bisa melihat lagi," jawabnya sambil menangis.
Mereka semua yang ada di tempat itu merasa kasihan padanya. Zhafira yang tidak pernah menunjukan kelemahannya di depan orang lain, kini bagaikan anak kecil yang menangis karena terluka.
"Jangan takut. Ayo, buka matamu pelan-pelan, aku ada di sini, kok. Jangan khawatir, matamu pasti baik-baik saja," bujuk Dafa sambil menggenggam tangannya dengan erat.
Mendengar ucapan Dafa, Zhafira akhirnya memutuskan untuk membuka matanya perlahan. Walau perasaan takut menghantui hatinya, tapi dia berusaha untuk bisa mengatasinya. Dengan air matanya yang memenuhi pipinya, Zhafira perlahan membuka matanya dan mendapati mereka duduk di depannya dengan wajah cemas. Zhafira memandangi mereka satu persatu, hingga pandangannya tertuju ke arah Kevan yang juga duduk di depannya. Perlahan, air matanya jatuh dan pandangannya tidak beralih dari pemuda itu.
"Kenapa? Apa ada sesuatu di wajahku?" tanya Kevan pada gadis itu yang sontak saja membuat dia terkejut.
Zhafira menggeleng. Di dalam hatinya, dia merasa sesuatu yang bergejolak seperti sebuah kembang api yang menyala di langit malam. Entah kebahagiaan karena ternyata matanya tidak buta, atau kebahagiaan yang aneh yang dia rasakan saat menatap wajah tampan itu.
"Berdirilah, matamu tidak kenapa-napa," ucap Kevan datar sambil berdiri dari duduknya.
"Sebaiknya, kamu antar dia kembali ke dalam kelas," ucap Kevan pada Dafa sambil berjalan pergi meninggalkan mereka.
Semua yang ada di tempat itu menarik nafas lega. Mereka lega karena gadis itu tidak mengalami hal yang buruk. Terutama Revan yang wajahnya sempat pucat karena khawatir dengan gadis itu.
"Ayo, aku antar ke kelas," ajak Dafa sambil berjalan di sampingnya.
"Tadi kamu kenapa? Kamu sudah membuatku khawatir," ucap Dafa tiba-tiba.
"Maafkan aku. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba mataku menjadi buram dan aku sangat takut jika aku tidak bisa melihat lagi," jawab Zhafira sedih.
"Tidak apa-apa. Toh, apa yang kamu takutkan itu tidak terjadi. Kalau kamu sakit atau mengalami hal seperti itu lagi, kamu harus katakan padaku, ya?" Zhafira mengangguk. Dia bersyukur karena mempunyai sahabat yang sangat perhatian padanya.
"Terima kasih karena sudah mau menjadi sahabatku. Aku tahu, aku banyak menyusahkanmu dan kamu selalu sabar dengan sikapku itu. Terima kasih," ucap Zhafira sambil menundukkan kepalanya dan terlihat air matanya pun jatuh.
"Sudahlah, jangan menangis. Akhir-akhir ini kamu terlihat cengeng. Kapanpun kamu membutuhkanku, aku pasti akan selalu ada untukmu karena kita adalah sahabat. Iya, kan?"
Zhafira mengangguk dan segera menghapus air matanya. Sambil tersenyum, Zhafira kemudian pergi ke tempat duduknya.
"Tenanglah, Zha. Aku pasti akan selalu menjagamu. Selama aku masih bernafas, maka aku akan selalu bersamamu hingga kamu tidak lagi membutuhkanku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Hasnah Siti
🌹🌹🌹🔥
2022-12-12
0
Zuai Azmi
syp teman zhafira yg bernama rani itu ... bikin penasaran sj
2022-02-06
0
Dheana Rabbani Alghozy
jgn2 pendonor kornea matanya sekolah dsitu juga tp beda kelas sama zhafira
2020-02-24
6