Sudah hampir seminggu Zhafira keluar dari Rumah Sakit. Kondisi matanya perlahan mulai membaik. Bahkan, matanya yang sekarang lebih baik dari matanya yang sebelumnya.
"Ma, apa boleh aku jalan-jalan sebentar?" tanya Zhafira pada ibunya.
"Mau jalan-jalan kemana? Kamu istirahat saja. Besok kan, kamu sudah harus masuk sekolah lagi," jawab ibunya.
"Sebentar saja, kok, Ma. Apa Mama tidak kasihan padaku yang terkurung terus di rumah? Aku janji akan baik-baik saja. Boleh, kan, Ma?" Zhafira membujuk sang ibu sambil memeluk pinggang ibunya itu.
Melihat anaknya yang mulai merengek membuat Riska terpaksa menuruti kemauan anak gadisnya itu. "Baiklah, tapi jangan lama-lama, mengerti?"
"Iya, Ma. Zha mengerti, kok." Zhafira tersenyum dan bersiap untuk pergi.
Hampir sebulan Zhafira mengalami kebutaan hingga membuat dia menjadi mengerti kalau nikmat yang sudah Tuhan berikan harus dia syukuri.
Baru saja Zhafira melangkahkan kaki keluar dari rumahnya, tiba-tiba saja dia bertemu dengan Dafa yang juga melintas di jalan itu. Rumah Dafa, hanya beberapa blok dari rumahnya dan jalan di depan rumah Zhafira adalah jalan utama.
"Zha, kamu mau ke mana?" Zhafira terkejut karena Dafa tiba-tiba berhenti dengan motornya di depan gadis itu.
"Ya ampun, Dafa. Kamu buat aku kaget saja. Setidaknya, kan, kamu bisa klakson dulu." Zhafira berucap kesal sambil mengusap dadanya.
"Maaf, maaf. Memangnya, kamu mau pergi kemana pagi-pagi begini?"
"Aku mau jalan-jalan sebentar, aku ingin menikmati suasana pagi," jawabnya dengan senyum.
"Ya sudah, ikut aku saja. Kita ke lapangan tempat aku biasa latihan basket." pemuda itu kemudian menyodorkan helm pada Zhafira.
Tanpa berpikir panjang, Zhafira mengambil helm itu dan langsung memakainya. "Hati-hati, jangan ngebut." Zhafira kemudian duduk di belakang dengan tangan yang melingkar di pinggang pemuda itu.
Dafa tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu. Dengan kecepatan sedang, mereka kemudian pergi ke lapangan tempat Dafa biasa latihan basket bersama teman-temannya.
Setibanya di sana, teman-teman Dafa ternyata sudah berkumpul dan menunggunya.
"Pantas saja kamu terlambat, ternyata kamu bawa gandengan," ucap salah satu teman Dafa sambil tersenyum padanya.
Kesemua teman Dafa bukan orang asing bagi Zhafira. Mereka adalah sekumpulan cowok tampan dengan tubuh yang atletis dan proposional. Mereka adalah anggota tim basket dari sekolahnya. Setiap minggu pagi, mereka selalu berkumpul di lapangan itu untuk latihan basket bersama.
"Tumben tuh cewek ikut kamu kesini. Biasanya kan, dia paling tidak suka kalau kamu ajak ke sini. Jangan-jangan sejak kecelakaan itu, otaknya sudah mulai bergeser sedikit," ucap Vino, cowok tampan berkulit hitam manis itu sambil melirik ke arah Zhafira yang sedang duduk di salah satu bangku dekat lapangan.
"Jangan asal bicara. Aku tidak suka kalau kecelakaan Zhafira jadi bahan olokkan," ucap Dafa dengan wajahnya yang terlihat kesal. Vino yang mulai paham dengan sikap temannya itu hanya bisa menggaruk kepala tanda penyesalan.
"Maaf, maaf."
Walau Dafa kesal dengan perkataan Vino, tapi dia sadar kalau perkataan temannya itu ada benarnya. Zhafira yang jarang tersenyum pada siapapun, kini dengan mudahnya tersenyum. Zhafira yang dulu terlihat cuek, kini mulai terlihat peduli. Dan yang paling membuat Dafa semakin yakin dengan perubahan sikap sahabatnya itu, ketika Zhafira tanpa menolak menerima ajakannya ke lapangan. Apalagi dia tahu kalau seluruh anggota tim basket pasti ada di sana. Karena biasanya, Zhafira pasti akan menolak ajakannya dengan alasan kalau dia tidak suka dengan tampang cowok-cowok itu yang katanya sok kegantengan.
Dafa melirik ke arah Zhafira yang masih duduk di bangku itu, perlahan pemuda itu tersenyum.
Lapangan yang terlihat luas itu berada di tengah kota. Bukan hanya ada lapangan basket saja, tapi arena bermain untuk anak-anak juga tersedia di sana.
Zhafira masih asyik melihat Dafa dan teman-temannya yang masih bercengkrama di tengah lapangan. Sepertinya, mereka belum memulai latihan karena salah seorang anggota mereka belum datang.
Zhafira masih duduk di bangku itu. Tatapan matanya terlihat memancarkan kebahagiaan. Dengan senyum, Zhafira memandangi langit biru yang terlihat sangat cerah. "Selama ini ternyata aku sangat bodoh. Kenapa dulu aku harus bersikap sangat menjengkelkan? Apakah aku semenjengkelkan itu sampai-sampai mereka tidak mau melihatku?" ucapnya pelan sambil memandang ke arah Dafa dan teman-temannya itu.
"Apakah perubahan sikapku ini malah akan membuat mereka menjadi bingung dan menganggapku aneh? Ah, sudahlah. Kalau mereka akan menganggapku aneh, mungkin itu adalah hukuman atas perlakuan jahatku selama ini," lanjutnya.
Zhafira hanya bisa menarik nafas panjang seolah dia ingin mengeluarkan rasa penat dalam hatinya. Pandangannya kembali tertuju pada anak-anak yang sedang bermain dengan ceria. Hingga tiba-tiba saja, dia melihat seorang anak laki-laki yang sedang melaju dengan sepedanya. Dan di jalan yang akan dilalui anak itu, ada seorang anak perempuan yang sedang menunduk dan mengikat tali sepatunya yang terlepas. Tanpa berpikir panjang, Zhafira kemudian berlari ke arah anak perempuan itu dan meraih tubuh anak itu ke dalam pelukannya. "Awas!!" teriak Zhafira sambil berlari memeluk anak perempuan itu. Zhafira yang sudah terlihat pasrah masih terduduk dan membiarkan tubuhnya menjadi tameng untuk anak perempuan itu.
Dengan matanya yang tertutup, Zhafira terus memeluk anak perempuan itu dengan erat.
"Zha, kamu tidak apa-apa, kan?" Tiba-tiba saja dia dikejutkan dengan suara seseorang yang tidak asing baginya. Zhafira kemudian membuka matanya dan mendapati Dafa dan teman-temannya sudah berdiri di depannya.
"Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Dafa sambil duduk di depannya dengan wajahnya yang terlihat cemas.
"Kamu tidak apa-apa kan, Dek?" tanya Zhafira pada anak perempuan itu dan tidak mempedulikan pertanyaan Dafa padanya. Melihat dirinya dan anak perempuan itu baik-baik saja, membuat Zhafira memandang ke arah anak lelaki itu.
"Kalau bermain sepeda harus hati-hati agar tidak mencelakai orang lain. Untung saja Kakak cepat menghentikanmu kalau tidak, mungkin mereka akan kamu tabrak," ucap seorang pemuda yang berdiri di depan sepeda anak lelaki itu sambil telunjuknya mengarah ke Zhafira.
"Maaf, Kak. Aku minta maaf," ucap anak lelaki itu yang hampir saja menangis.
"Jangan menangis. Anak lelaki tidak boleh menangis. Sana, minta maaflah pada mereka," ucap pemuda itu.
Dengan wajah yang menunduk, anak lelaki itu kemudian mendekati Zhafira dan meminta maaf padanya.
"Tidak apa-apa. Kakak maafkan, kok. Lain kali kamu harus hati-hati. Kalau ingin bermain sepeda lagi, harus dengan pengawasan orang dewasa atau orang tuamu, paham?"
Anak lelaki itu mengangguk. Dia kemudian pergi dengan membawa sepedanya, sedangkan anak perempuan tadi sudah diambil orang tuanya.
"Kenapa kamu ceroboh seperti itu? Tadi kalau Kevan tidak segera menghentikan anak itu, kamu bisa saja terluka," ucap Dafa yang terlihat kesal.
"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Sana, anak-anak sudah menunggumu," ucap Zhafira yang kembali duduk di bangku.
Sementara Kevan yang tidak lain adalah kapten tim basket di sekolahnya itu, terlihat sudah pergi ke tengah lapangan.
"Terima kasih, Van. Untung tadi ada kamu kalau tidak, Zhafira pasti akan celaka," ucap Dafa pada pemuda itu yang hanya mengangguk tanpa senyum.
Kevan Mahesa, sosok cowok tampan dengan sikapnya yang dingin. Dia terkenal dengan sikapnya yang pendiam dan acuh tak acuh. Dia tidak pernah tersenyum, bahkan tertawa di depan gadis manapun, tapi itu berbeda kalau dia sedang bermain basket. Saat dia sedang asyik bermain basket, dia bisa tersenyum bahkan tertawa seakan basket adalah dunianya. Dunia untuk tempat dia mengekspresikan kebahagiaan, juga kesedihannya. Dan saat itulah, mereka akan melihat sebuah senyuman yang bisa menggoyahkan hati setiap wanita.
Dari tempat duduknya, Zhafira memandangi Kevan yang tengah asyik bermain basket. Matanya seakan menuntunnya untuk melihat ke arah pemuda itu. "Ada apa denganku? Kenapa aku terus memperhatikan dia?" batin Zhafira yang masih memandang ke arah pemuda itu. Entah kenapa, Zhafira terlihat begitu gelisah. Matanya seakan tidak ingin berpindah dan terus memandangi pemuda itu.
Dengan kedua tangannya, Zhafira kemudian menutup wajahnya dan bermaksud berdiri dan pergi dari tempat itu. Baru saja dia berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja langkahnya terhenti karena ada sebuah benda yang tiba-tiba saja menghantam kepalanya.
Bruuukkk!!
Zhafira terkejut. Kedua tangan yang tadi menutupi wajahnya kini beralih memegang kepalanya sambil terduduk dan meringis kesakitan.
"Zha, kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Dafa yang tiba-tiba berlari dan mendekatinya. Dafa yang terlihat panik hanya bisa mengelus lembut kepala gadis itu.
"Maafkan aku, aku tidak sengaja," ucap Vino sambil mendekati Zhafira. Kini Zhafira telah di kelilingi cowok-cowok tampan tak terkecuali Kevan yang juga berjalan mendekatinya.
Zhafira masih memegang kepalanya dan menunduk. Perlahan, dia mengangkat kepalanya dan mendapati dirinya menjadi perhatian cowok-cowok itu. Sontak saja wajahnya langsung memerah.
"Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Kalian lanjutkan saja latihannya," ucapnya dengan suaranya yang sedikit gemetar karena kikuk. Dengan malunya, Zhafira kemudian pergi meninggalkan mereka sambil menutupi wajahnya.
"Zha, mau kemana?" teriak Dafa, tapi sama sekali tidak digubrisnya.
"Tadi kalian lihat tidak wajahnya yang tiba-tiba memerah? Wah, dia terlihat sangat imut," celetuk Revan, si tampan dengan sejuta pesonanya. Revan Setiawan, sosok cowok tampan yang suka tebar pesona. Dia terkenal dengan kegombalannya yang melegenda.
Kepergian Zhafira tiba-tiba saja menjadi perhatian cowok-cowok itu. Mereka sempat bingung dengan sikap gadis itu yang menurut mereka sangat aneh.
"Apa benar itu Zhafira yang terkenal dengan julukan si gadis pembunuh? Kenapa sikapnya tadi bisa seimut itu?" tanya Vino yang terheran-heran dengan perubahan sikap Zhafira.
Zhafira dikenal dengan julukan gadis pembunuh karena dengan sadisnya, dia bisa membunuh karakter seseorang hanya dengan ucapannya yang tajam. Tidak hanya itu, Zhafira ternyata sangat membenci dengan tingkah cowok yang suka cari perhatian. Di dalam hidupnya, hanya Dafa satu-satunya cowok yang betah bersamanya karena Dafa tahu sifatnya yang sebenarnya.
Di mata Dafa, Zhafira adalah teman yang baik. Mungkin di mata orang, gadis itu terlihat dengan segala keburukannya. Namun bagi Dafa, Zhafira adalah sahabat terbaiknya.
"Kenapa aku bisa terlihat bodoh di depan cowok-cowok itu? Dan kenapa setiap melihat Kevan, aku jadi malu sendiri? Ah, tidak mungkin aku suka sama dia. Mana mungkin aku bisa suka sama cowok judes dan cuek kayak itu," batin Zhafira yang masih berusaha menghindar dari tatapan mereka.
"Kenapa juga aku harus menghindar dari mereka?" lanjutnya sambil berjalan menuju ke bangku taman tempat dia duduk tadi.
Dafa yang melihat Zhafira sudah duduk kembali di bangku taman, hanya bisa tersenyum. Bukan hanya Dafa, tapi hampir semua temannya itu ikut melihat ke arah Zhafira dengan wajah mereka yang terlihat menahan diri untuk tidak tertawa.
"Dafa, kamu yakin Zhafira itu tidak kenapa-napa? Kalian sadar tidak dengan sikapnya tadi? Apa mungkin Zhafira si gadis pembunuh bisa diam saja ketika dia diperlakukan seperti tadi?" tanya Vino yang mulai penasaran.
"Benar juga apa yang kamu bilang. Kalian ingat tidak waktu kita sedang main basket di sekolah dan tidak sengaja bola yang aku lempar hampir saja mengenainya? Ingat, tidak?"
"Bukannya waktu itu dia langsung marah dan mengambil bola basket kita lalu menusuknya dengan ujung pena?"
"Iya, aku ingat. Kalau saja waktu itu tidak ada Dafa yang berusaha menenangkannya, maka hancurlah kita dimaki-maki olehnya."
Melihat sikap Zhafira yang bagi mereka telah berubah 180°, sungguh menjadi berita yang besar.
Di lapangan, bukan hanya Zhafira yang melihat mereka latihan. Di sisi lapangan, ternyata sudah berdiri beberapa orang gadis yang dari awal sudah menonton mereka latihan. Gadis-gadis itu terlihat senyum-senyum sendiri sambil memandangi cowok-cowok itu beraksi. Dan Revan, tidak ingin kehilangan kesempatan untuk memamerkan pesonanya.
"Cowok lebay. Kenapa tadi aku menurut saja saat diajak Dafa ke sini? Ah, kalau tadi aku tidak ikut, mungkin saja aku tidak akan malu seperti tadi," ucap Zhafira sambil mengelus kepalanya yang tadi terkena bola.
Tanpa sadar, dia kembali menatap lurus ke arah Kevan yang seolah membuat matanya tak ingin berpaling. Hingga tiba-tiba saja, pandangan mereka bertemu hingga membuatnya menundukkan kepalanya karena malu. "Kenapa juga aku harus melihat dia?" ucapnya dengan wajah yang tersipu malu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Nailil Ilma
Semangat terus kak
2021-06-29
0
Rakhmayani Yeni
spt nya bagus
2020-11-20
0
Widia Aprilliani
bagus pesuyunan katanya juga rapih 😍😍
2020-10-15
1