Part 3

Rani, gadis cantik dan polos yang di vonis menderita kanker leukimia itu sedang asyik bercengkrama dengan teman barunya.

Sifatnya yang periang selalu bisa membuat Zhafira tersenyum. Sudah sebulan lebih Rani masuk di rumah sakit itu. Sejak Zhafira menginap di sebelah kamarnya, Rani selalu mendengarnya menangis hingga membuat dia penasaran pada gadis itu. Dia sempat berpikir, kalau gadis itu mungkin saja mempunyai penyakit yang lebih parah darinya hingga membuatnya selalu menangis. Hingga suatu hari tanpa sengaja, dia melihat pertengkaran orang tua Zhafira yang membuatnya kasihan pada gadis itu. Sejak saat itu, Rani sering melihat Zhafira secara sembunyi-sembunyi dari balik pintu. Hingga saat itu tiba, dia memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Zhafira.

"Sepertinya kamu gadis yang baik. Kamu pasti mempunyai banyak teman. Iya, kan?" tanya Rani yang membuat Zhafira terdiam.

"Aku tidak sebaik itu, tapi setidaknya aku punya beberapa orang teman yang sangat baik padaku."

"Apa kamu masih tidak mau bertemu dengan mereka?" Pertanyaan Rani tiba-tiba saja membuat kening Zhafira berkerut.

"Maaf, kalau aku lancang, tapi kehadiran sahabat di saat seperti ini setidaknya akan membuatmu lebih bersemangat. Melihat mereka atau paling tidak dengan mendengar suara mereka saja akan membuatmu ingin segera sembuh agar bisa berkumpul lagi bersama mereka, bercanda, bahkan mungkin bolos bersama mereka." Tanpa sadar, Zhafira tersenyum karena mengingat kebersamaannya dengan sahabat-sahabatnya itu.

"Apa temanmu juga sering datang menjengukmu?" tanya Zhafira.

"Sering. Mereka sering datang menjengukku. Kalau nanti aku tidak sempat menemuimu, berarti mereka sedang menjengukku. Aku janji, kalau mereka datang lagi, aku akan mengenalkan mereka padamu," ucap gadis itu dengan senyum.

"Apa kamu sudah punya pacar?" tanya Rani yang membuat Zhafira terperanjat.

"Buat apa tanya makhluk seperti itu? Di dalam kamusku, tidak ada yang namanya pacar," jawab Zhafira datar.

"Lalu, cowok ganteng berseragam SMA yang waktu itu menemanimu sampai menangis, itu siapa?"

"Cowok yang mana? Setahuku yang berseragam SMA yang pernah datang waktu itu hanya Dafa, dia itu sahabat baikku dan dia tidak seganteng itu."

"Ya ampun, Zha. Cowok seganteng itu kamu bilang tidak ganteng? Kalau aku punya sahabat seganteng dia, maka aku tidak perlu punya pacar lagi dan cowok-cowok lain pasti tidak akan berani mendekatiku."

"Kalau kamu suka sama dia, aku akan memperkenalkanmu padanya."

"Tidak perlu. Aku sudah punya seseorang yang aku sukai, kok."

Sejak bertemu dengan Rani, Zhafira terlihat mulai membuka diri. Dia tidak pernah lagi mengeluh dengan keadaannya. Tawa Rani yang selalu menemaninya, membuat dia melupakan kesedihan yang dialaminya.

"Sepertinya, sebentar lagi kamu akan mendapatkan donor untuk matamu."

"Amin. Kalau itu benar, maka orang pertama yang ingin aku lihat adalah kamu," ucap Zhafira sambil memegang tangan sahabat barunya itu.

"Jangan khawatir. Setelah matamu bisa melihat lagi, maka aku selamanya akan bersamamu. Karena itu, jangan lagi menyiksa diri dan menyalahkan dirimu sendiri, paham?" Zhafira tersenyum.

"Aku tahu kamu kecewa dengan ayahmu, tapi kamu harus bersyukur karena kamu masih memiliki ayah. Kamu tahu, aku telah kehilangan ibuku sejak aku masih kecil. Aku hanya mempunyai ayah dan seorang kakak yang sangat menyayangiku," ucap Rani yang membuat Zhafira menggenggam tangannya.

"Dari semua ceritamu, aku tahu kamu mungkin menganggap kalau selama ini kamu sudah jahat pada teman-temanmu, tapi yakinlah tidak ada kata terlambat untuk berubah. Walau nanti perubahanmu mungkin tidak langsung mereka terima, tapi setidaknya mulailah untuk berbuat baik. Jangan lagi kamu menindas apalagi sampai menyakiti mereka, karena balasan atas perbuatan kita mungkin akan lebih kejam dari apa yang sudah kita lakukan pada mereka."

Zhafira tersenyum lagi. Kata-kata Rani telah memberinya kekuatan dan keberanian untuknya memulai dari awal. Dan perkataan sahabatnya itu memang benar adanya, karena mungkin saja sekarang ini dia sedang dihukum atas sikap buruknya selama ini.

"Rasanya aku ingin segera melihat lagi dan aku ingin melihat wajahmu. Aku tidak sabar untuk memperkenalkanmu pada teman-temanku nanti," ucapnya pada Rani dengan senyum di sudut bibirnya.

Rani tersenyum. Mungkin Tuhan sengaja mempertemukan dirinya dengan Zhafira. Di masa-masa terakhirnya, Tuhan menghadirkan seorang teman yang bisa menemaninya. Seorang teman yang akan selalu bersama walau Zhafira mungkin tidak akan mengenalinya.

"Sepertinya, akhir-akhir ini anak Mama sudah sering tersenyum. Memangnya ada apa?" tanya ibunya penasaran.

"Tidak ada apa-apa kok, Ma," elak Zhafira.

Sejak saat itu, Rani tidak pernah lagi menemuinya. Awalnya, dia berpikir kalau mungkin saja Rani sedang dijenguk oleh teman-temannya, tapi keesokan harinya, Rani masih tak kunjung datang menemuinya.

"Ada apa dengan Rani? Sudah dua hari ini kenapa dia tidak datang menemuiku?" batin Zhafira.

Salah seorang dokter yang menangani Zhafira tiba-tiba datang menemui Riska. "Kami punya kabar gembira buat Ibu. Zhafira akan segera mendapatkan donor mata," ucap dokter itu yang membuat Riska mengucapkan syukur.

"Apa itu benar, dok?" tanya Riska seakan tidak percaya.

"Benar, Bu. Sebaiknya, Ibu ikut ke ruangan saya untuk mendatangi berkas-berkas dan Zhafira besok sudah bisa dioperasi," lanjut dokter itu sambil tersenyum.

"Kamu dengar, kan, Nak. Ada orang baik yang mau mendonorkan matanya buat kamu. Setelah operasi nanti, kamu sudah bisa melihat Mama lagi. Kamu sudah bisa melihat teman-teman kamu lagi," ucap Riska sambil memeluk anak gadisnya itu.

Zhafira bahagia mendengar berita itu dan menangis dalam pelukan ibunya. Dia rindu melihat wajah ibunya lagi. Dia rindu melihat wajah Dafa yang selalu mengomelinya. Dan dia ingin segera melihat wajah sahabat barunya yang selama ini telah menemaninya, memberikan nasehat padanya dan merubah hidupnya. Dia ingin melihat gadis itu, gadis yang sangat berarti baginya walau kini, dia tidak lagi bertemu dengannya.

Hingga hari operasi tiba, Zhafira belum bertemu dengan Rani. "Ma, Mama tahu tidak gadis yang dirawat di kamar sebelahku ini?"

"Gadis? Gadis yang mana? Setahu Mama, yang dirawat di kamar sebelah itu adalah seorang kakek," jawab ibunya yang membuatnya heran.

"Tidak kok, Ma. Di kamar sebelah ada seorang gadis yang dirawat. Selama ini, dia yang menemani aku saat Mama ke kantor," jawab Zhafira mencoba menjelaskan pada ibunya.

"Kakek itu sudah dua minggu di kamar sebelah. Apa kamu pikir, Mama kamu ini berbohong?"

Zhafira tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sudah hampir delapan hari Rani selalu mengunjunginya dan dia ingat dengan jelas kalau Rani mengatakan bahwa dia dirawat di kamar sebelah.

Karena tidak percaya, Zhafira mencoba bertanya pada seorang perawat yang selalu datang ke kamarnya dan jawabannya selalu sama, tidak ada gadis bernama Rani yang inap di kamar sebelah.

Zhafira semakin bingung. Dia sangat yakin kalau gadis yang bernama Rani itu bukanlah hantu atau semacamnya. Dia masih ingat saat dia menggenggam tangan gadis itu yang terasa hangat. Dan Rani pernah menceritakan perihal Dafa dan itu membuktikan kalau Rani itu nyata bukan hantu atau teman ilusi seperti yang dikatakan dokter padanya.

Zhafira masih bingung dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bisa menjelaskan ciri-ciri Rani karena dia tidak tahu wajah gadis itu seperti apa. Yang dia ingat, hanya nama gadis itu. Rani, nama yang sama sekali tidak dikenal oleh dokter maupun juru rawat di rumah sakit itu.

Waktu operasi telah tiba. Walaupun dia bahagia karena akan melihat lagi, tapi kesedihan karena tidak bertemu dengan Rani tidak bisa dia sembunyikan. Dia ingin melihat gadis itu walau hanya sekali. Dia ingin mengucapkan terima kasih karena gadis itu sudah menjadi sahabat terbaiknya walau hanya beberapa hari.

"Rani, kenapa kamu pergi tanpa pamit padaku? Setidaknya, biarkan aku mendengar suaramu," batin Zhafira yang membuatnya menangis tanpa air mata.

Setelah menjalani operasi selama lebih dari tiga jam, Zhafira akhirnya keluar dari ruang operasi dan operasinya dinyatakan sukses. Operasinya berjalan dengan baik tanpa kendala yang berarti. Riska dan Dafa sudah menunggunya di depan pintu ruang operasi dengan harap-harap cemas.

Di dalam kamarnya, Dafa masih setia menemani Zhafira dan duduk di samping gadis itu. Zhafira masih terbaring tak sadarkan diri karena pengaruh obat bius yang belum hilang. Kedua matanya masih terlilit dengan perban.

Dua jam kemudian, Zhafira mulai tersadar. Awalnya, dia merasakan sakit pada kedua matanya hingga Riska memutuskan untuk memanggil dokter.

"Tidak apa-apa, Bu. Itu reaksi yang normal karena hilangnya pengaruh obat bius. Itu biasa terjadi setelah pasien siuman," jelas dokter.

"Dokter akan segera membuka perban dari matamu dan kamu harus jelaskan kondisi mata kamu itu, agar dokter bisa mengetahui apakah operasinya berhasil atau tidak," jelas Dokter itu.

Zhafira mengangguk. Jantungnya berdetak hebat karena was-was. Dia takut kalau operasinya tidak berhasil.

Dokter kemudian mulai melepaskan perban itu perlahan. Kapas yang menempel di matanya perlahan diangkat. Jantungnya semakin berdetak hebat saat dokter memintanya untuk membuka matanya.

Zhafira yang takut kecewa masih enggan untuk membuka matanya. Sementara ibunya tanpa henti memanjatkan doa demi kesembuhan anaknya itu. Dafa yang dari tadi melihat ke arah sahabatnya juga melakukan hal yang sama.

"Ayo, jangan takut. Sekarang kamu sudah bisa membuka matamu. Pelan-pelan saja kalau kamu merasa takut," ucap dokter yang coba menguatkan dirinya.

Zhafira mengangguk pelan. Dia teringat kembali dengan pesan Rani yang memintanya untuk bisa menerima semua keadaan walau itu terasa sulit. Akhirnya, Zhafira memutuskan untuk bisa menerima kenyataan walau itu akan terasa menyakitkan.

Zhafira lantas membuka matanya dengan perlahan. Walau takut, tapi dia tetap mencoba untuk membuka matanya. "Mataku terasa perih, dok. Pandanganku masih terasa gelap," ucap Zhafira sambil membuka kedua matanya.

Dokter itu tidak mengatakan apapun, dia masih terus memantau. Sementara Riska, mulai merasa panik dan khawatir kalau operasi anaknya itu telah gagal.

Tak lama kemudian, Zhafira mulai merasakan silau di matanya seakan ada bola lampu besar yang menyinari pas di depan matanya. Perlahan, dia melihat sosok ibunya tengah berdiri di depannya. Seolah tak percaya, Zhafira lantas menoleh ke arah Dafa yang berdiri di samping ibunya.

"Kamu melihat aku, kan, Zha?" tanya Dafa yang seakan paham kalau sahabatnya itu sedang melihat ke arahnya.

Mendengar pertanyaan Dafa membuat Zhafira mengangguk pelan. Sontak saja Dafa tersenyum bahagia dan menitikkan air mata. Begitupun dengan Riska yang mulai menyadari kalau anaknya itu telah melihat kembali.

"Kamu berhasil. Kamu sekarang sudah bisa melihat lagi. Selamat, ya," ucap dokter memberi selamat padanya.

Zhafira tersenyum bahagia. Untuk pertama kalinya, dia menitikkan air mata kebahagiaan dengan mata baru yang kini dimilikinya.

Ibunya memeluknya dengan tangis kebahagiaan. Seakan tak percaya, dengan kedua tangannya, Zhafira memegang wajah ibunya dan mencium lembut punggung tangannya.

Melihat Dafa yang tersenyum padanya membuat Zhafira membalas senyumnya itu. Sebuah senyum yang perlahan membuat dada pemuda itu bergetar. Senyum paling indah yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.

"Sebentar lagi Refa dan Kheyla akan segera datang, aku sudah menelepon mereka," ucap Dafa.

Zhafira hanya tersenyum dan kembali dada pemuda itu berdetak hebat. "Kenapa aku seperti ini? Kenapa senyumnya itu membuat dadaku terasa bergetar?" batin Dafa yang seakan tak berdaya dengan senyuman gadis itu.

"Ma, apa boleh aku jalan-jalan di taman sebentar?" tanya Zhafira pada ibunya.

Walau sedikit khawatir, tapi Riska mengangguk mengiyakan. "Dafa, tolong kamu temani Zhafira jalan-jalan di taman. Tante akan keluar sebentar, mau membeli makanan kesukaannya. Kamu tidak keberatan, kan?" Dafa mengangguk tanda mengiyakan. Kedua sahabat itu lantas pergi menuruni lift dan pergi ke taman rumah sakit.

"Aku bisa minta tolong, tidak?" tanya Zhafira pada sahabatnya itu.

"Minta tolong apa? Jangan minta tolong yang aneh-aneh, karena aku tidak akan membantu," jawab Dafa yang membuat Zhafira menggeleng.

"Tenang saja, aku tidak akan minta yang aneh-aneh. Tolong temani aku ke bagian informasi rumah sakit karena ada sesuatu yang ingin aku tanyakan," ucap Zhafira sambil menggandeng tangan sahabatnya itu dan pergi ke ruang informasi.

"Maaf, suster. Apa saya boleh tahu kamar pasien yang bernama Rani ada di nomor berapa?" tanya Zhafira pada seorang suster.

"Rani? Di sini tidak ada pasien yang bernama Rani," jawab suster itu sambil melihat ke arah komputer.

"Apa benar, suster. Coba dicek sekali lagi. Gadis itu mungkin seumuran denganku dan namanya Rani."

"Maaf, Dek. Tidak ada pasien yang bernama Rani dan kalau boleh tahu, memangnya Rani itu sakit apa? Mungkin saja saya bisa mencari tahu melalui dokter yang menanganinya."

Zhafira terdiam. Dia tidak sempat menanyakan perihal penyakit temannya itu. "Aku juga tidak tahu, suster," jawab Zhafira sedih.

Karena tidak menemukan Rani, Zhafira akhirnya memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan mendapati Refa dan Kheyla yang ternyata sudah menunggunya.

Terpopuler

Comments

🍭ͪ ͩ✹⃝⃝⃝s̊S𝕭𝖚𝖓𝕬𝖗𝖘𝕯☀️💞

🍭ͪ ͩ✹⃝⃝⃝s̊S𝕭𝖚𝖓𝕬𝖗𝖘𝕯☀️💞

pasti Rani tuh pendonory

2021-02-24

0

Yayu Tinah

Yayu Tinah

kok Rani nya gak ada? apa sudah meninggal?

2020-10-09

1

nay

nay

rani pendonor mata bt zhafira😥

2020-06-04

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!