Zhafira
Di jalan raya yang terlihat lengang, terdengar suara tabrakan yang sangat keras. Motor yang dikendarai seorang pemuda yang ugal-ugalan terlihat menabrak mobil sedan yang berjalan berlawanan arah. Karena kaget dan tidak sempat mengerem, akhirnya motor pemuda itu menabrak mobil sedan di depannya. Tubuhnya terhempas di atas kap mobil itu dan menghantam kaca mobil itu hingga pecah.
Orang-orang yang ada di tempat itu lantas berlari ke tempat kejadian dan mendapati pemuda itu telah terkapar di atas kap mobil.
Pemuda yang sudah tidak sadarkan diri itu kemudian diturunkan dari atas kap mobil. Wajah pemuda itu terlihat mengerikan karena berlumuran darah.
"Apa dia masih hidup?" tanya seorang lelaki yang kebetulan ada di tempat itu.
"Sepertinya dia masih bernafas, tapi kalau ambulance tidak segera datang, mungkin saja nyawanya tidak bisa tertolong," jawab salah satu orang lainnya.
"Tolong ... tolong ... ," teriak sopir mobil sedan yang berusaha keluar dari dalam mobil.
"Tolong selamatkan majikan saya di dalam mobil," ucap sopir itu panik. Walau kepalanya berdarah karena benturan, tapi sopir itu masih bisa berdiri walau sedikit pusing.
"Bapak duduk saja dulu, biar kami yang akan mengevakuasi majikan Bapak."
Di dalam mobil, tergeletak gadis berseragam SMA yang tidak sadarkan diri dengan beberapa luka di wajahnya. Pecahan kaca mobil yang terhempas telah melukai wajah dan tangannya hingga berdarah.
Dengan dibantu warga sekitar, mereka kemudian mengeluarkan tubuh gadis itu. Sang sopir yang terlihat panik, hanya bisa menangis melihat kondisi majikannya itu.
Dengan tangan gemetar, sopir itu mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelepon seseorang. "Nyonya," ucap sopir itu dengan suaranya yang gemetar.
"Pak Diman, ada apa? Kenapa suara Pak Diman gemetar begitu?" tanya seorang wanita panik.
"Maaf, Nyonya. Kami mengalami kecelakaan dan sekarang Nona akan dibawa ke rumah sakit."
"Maksud Pak Diman, apa? Nona kenapa?" tanya wanita itu semakin panik.
"Saya akan menemani Nona ke rumah sakit karena Nona tidak sadarkan diri. Maafkan saya Nyonya, saya harus menemani Nona di mobil ambulance dan sebaiknya Nyonya datang ke Rumah Sakit Bhakti Husada," jelasnya sambil menutup panggilan teleponnya.
Wanita yang dipanggil nyonya itu terduduk lemas di depan meja kerjanya. Tanpa menunggu lama, wanita itu kemudian pergi ke rumah sakit yang di maksud sopirnya itu.
Di depan pintu rumah sakit, para perawat sudah berdiri menunggu ambulance yang baru saja memasuki halaman rumah sakit itu. Dengan cekatan, mereka mengeluarkan tubuh gadis itu dari dalam ambulance.
"Cepat bawa ke ruang UGD!!" perintah seorang perawat wanita sambil membantu mengangkat tubuh gadis itu dan diletakkan di atas meja brankar.
"Bapak sebaiknya juga harus diperiksa," lanjut perawat itu sambil menyuruh Pak Diman untuk duduk di atas kursi roda.
"Jangan khawatirkan saya. Tolong rawat dulu majikan saya," ucap Pak Diman yang seakan tak peduli dengan keadaannya sendiri.
"Majikan Bapak akan segera ditangani oleh dokter. Sebaiknya Bapak ikut saya, biar saya yang akan merawat luka-luka Bapak."
Walau Pak Diman berusaha untuk menolak mendapatkan perawatan, tapi kondisi tubuhnya mengatakan lain. Pria setengah baya itu tiba-tiba saja pusing hingga membuat dia hampir terjatuh.
"Jangan khawatir, majikan Bapak sudah ditangani oleh dokter ahli dan sebaiknya Bapak juga harus segera dirawat," bujuk perawat itu. Pak Diman akhirnya mengangguk dan mengikuti saran perawat itu.
Hampir satu jam gadis itu ditangani oleh dokter. Tak lama kemudian, gadis itu dibawa ke kamar inap pasien.
"Bagaimana keadaan anak saya, dok?" tanya seorang wanita yang baru saja datang.
"Luka-lukanya tidak terlalu parah. Anak Ibu tidak sadarkan diri karena kepalanya terkena benturan dan mungkin karena dia sedikit terkejut. Namun, ada sesuatu yang lebih serius," ucap dokter yang membuat wanita itu menjadi panik.
"Maksud dokter, apa? Apa anak saya mengalami luka dalam yang serius?"
Dokter itu menghela nafas panjang dan mulai menjelaskan secara detail. "Begini, Bu. Melalui keseluruhan scan yang sudah kami lakukan, ternyata di dalam retina mata anak Ibu ada pecahan kaca yang membuat mata anak Ibu akan sedikit mengalami masalah. Kami belum bisa memastikan, apakah itu parah atau tidak, karena kami harus menunggu anak Ibu siuman dulu. Jadi, Ibu berdoa saja semoga anak Ibu tidak mengalami sesuatu yang serius," ucap dokter yang berusaha untuk meyakinkan wanita itu.
Dengan menahan tangis, wanita itu berjalan di koridor rumah sakit dan masuk ke salah satu kamar. Dengan jiwa keibuannya, wanita itu menggenggam tangan anak gadisnya yang terbaring tidak sadarkan diri.
"Cepatlah sadar, Nak. Mama tidak tega melihat kamu terbaring seperti ini," ucap wanita itu mulai menangis.
"Maafkan saya Nyonya, saya tidak bisa menjaga Nona dengan baik," ucap Pak Diman yang tiba-tiba datang dengan wajah menunduk.
"Itu bukan salah Pak Diman dan jangan menyalahkan diri. Aku sudah tahu dari polisi, kalau pemuda ugal-ugalan itu yang salah. Bagaimana keadaan Pak Diman, tidak ada luka yang serius, kan?"
"Tidak ada, Nyonya. Saya baik-baik Nyonya, tapi Nona ..."
"Tidak apa-apa. Zhafira akan baik-baik saja, dia anak yang kuat, kok," ucap wanita itu sambil menghapus air matanya yang perlahan jatuh.
*****
Dua jam sebelum Zhafira mengalami kecelakaan.
"Zha, apa perlu kamu melakukan hal seperti ini?" tanya seorang pemuda pada gadis itu.
Dia adalah Dafa Wahyudi, pemuda yang terlihat sangat akrab dengan Zhafira. Mereka adalah sahabat sejak kecil. Di mana ada Zhafira, di situ pasti ada Dafa. Sejak duduk di bangku SD hingga SMA, mereka selalu satu sekolah. Dan kini, mereka di sekolah yang sama. Zhafira dan Dafa, duduk di kelas sebelas dan berada di kelas yang sama.
"Kalau kamu tidak suka, kamu boleh pergi. Aku hanya ingin menyelesaikan urusanku dengan gadis itu."
"Aku tahu kamu marah, tapi jangan seperti ini," bujuk Dafa, tapi sama sekali tidak digubris oleh gadis itu.
Dengan ditemani dua orang sahabatnya, Zhafira mendatangi seorang gadis yang sedang duduk di dalam kelas.
"Maksud kamu apa? Kenapa kamu menyebar rumor kalau ayahku suka dengan gadis-gadis muda? Apa kamu sudah bosan hidup?" tanya Zhafira yang terlihat sangat marah dengan gadis di depannya itu.
Dengan senyum sinis, gadis itu berdiri dari tempat duduknya. "Kenapa? Apa kamu marah? Kenapa kamu harus marah padaku? Sana, datangi ayahmu dan tanyakan sendiri padanya. Apa benar dia suka jalan dengan gadis-gadis yang seusia anak gadisnya?" ucapan gadis itu telah membuat Zhafira semakin meradang.
Karena terpancing dengan ucapan gadis itu, Zhafira lalu menampar wajahnya hingga berujung dengan perkelahian.
Zhafira Nury, gadis manis berkulit putih dengan rambut hitam sepunggung yang membuat dia terlihat cantik, tapi kecantikan wajahnya tidak sebanding dengan sikapnya yang dianggap arogan dan suka menidas teman-temannya. Walaupun cantik, tapi banyak di antara mereka yang tidak menyukainya. Hanya Dafa, dan kedua sahabatnya, yakni Refa dan Kheyla yang selalu setia bersamanya.
"Zha, sudah. Jangan seperti itu, nanti kamu akan dihukum sama Pak Deni," lerai Dafa, tapi sama sekali tidak digubris olehnya.
Zhafira dengan emosi mulai menjambak rambut gadis itu tanpa mempedulikan Dafa. Kedua sahabatnya hanya memantau tanpa melerai karena bagi mereka, selama orang lain tidak ikut campur perkelahian itu, mereka juga tidak akan turun tangan.
"Zha, sudah Zha," ucap Dafa yang berusaha untuk melerai. Dengan rambut yang sudah acak-acakan dan wajahnya yang memerah, Zhafira menghentikan serangannya ketika Pak Deni, guru BP mereka datang melerai.
"Ada apa ini? Kenapa kalian berkelahi?" tanya Pak Deni dengan suaranya yang parau.
Pak Deni, guru BP yang wajahnya terlihat sangar dengan kumis tebalnya tampak mulai marah. "Kalian berdua, sekarang juga ikut Bapak ke ruang BP."
Zhafira yang mulai terlihat tenang lantas mengikat asal rambutnya yang tadi sempat acak-acakan. Wajah cantiknya yang terlihat memerah karena saling mencakar, hanya menyunggingkan senyum kepuasan. Puas karena dia telah berhasil membuat bibir gadis itu berdarah dan pipi yang memerah karena tamparan tangannya telah mendarat keras di wajah gadis itu.
Di ruang BP, Zhafira hanya terdiam. Mulutnya diam seribu bahasa walau dijejal dengan berbagai pertanyaan.
"Zhafira, apa alasan kamu menyerang teman kamu sendiri, hah?" Pertanyaan Pak Deni hanya di anggap angin lalu baginya. Dia tidak peduli, bahkan mulutnya terkunci rapat-rapat. Sementara, gadis yang diserangnya itu terus membela diri dan tidak terima diperlakukan seperti itu olehnya.
"Pak, saya minta Zhafira di skors. Dia sudah membuat saya terluka seperti ini," ucapnya sambil menunjuk bibirnya yang berdarah.
"Zhafira, kamu dengar tidak apa yang Bapak tanyakan ke kamu? Kenapa kamu menyerang teman kamu sendiri?"
"Sudahlah, Pak. Dia tidak akan mengaku karena dia pasti akan malu," ucap gadis itu yang membuat Zhafira memandanginya dengan sorot matanya yang tajam.
"Kalau kamu tidak mau menjawab alasan kamu, maka Bapak akan mengskors kamu, apa kamu mengerti?"
"Terserah Bapak saja," jawabnya sambil berdiri meninggalkan ruang BP.
"Tuh, Bapak lihat, kan? Zhafira itu memang sangat tidak sopan dan tidak menghargai Bapak," ucap gadis itu yang membuat Pak Deni langsung mengeluarkan skors untuk Zhafira.
Dengan santainya, Zhafira masuk ke dalam kelas dan mengambil tasnya.
"Kamu mau kemana?" tanya Refa sambil berjalan mengikuti sahabatnya itu.
"Aku mau pulang, aku malas ada di sekolah."
"Aku akan mengantarmu pulang, ayo," ajak Dafa sambil meraih tangan gadis itu.
"Tidak usah. Aku akan pulang dengan Pak Diman. Sebaiknya kamu di sekolah saja, nanti sebentar kita bertemu di rumahku," ucap Zhafira sambil berjalan pergi meninggalkan mereka.
Dengan menahan air mata, Zhafira pergi meninggalkan sahabat-sahabatnya itu. Walau terlihat tegar, tapi hatinya sangat lemah. Dia tidak ingin terlihat lemah di mata teman-temannya. Dia tidak ingin menangis walau sebenarnya dia ingin menangis. Hatinya sakit mendengar kabar perihal ayahnya yang ternyata suka bermain-main dengan wanita muda. Sejak perceraian orang tuanya, Zhafira telah banyak berubah.
Di dalam mobil, Zhafira duduk di jok depan. Entah mengapa, siang itu dia memilih duduk di samping Pak Diman. Dengan membuka jendela mobil, dia mengeluarkan tangannya dan menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya. Sejenak, dia ingin melupakan semua masalah yang kini dihadapinya.
"Kamu sudah sampai mana?" tanya Dafa melalui telepon.
"Masih di jalan, sebentar lagi sampai rumah."
"Ya, sudah. Sebentar aku akan ke rumah dan jangan pedulikan omongan orang. Apapun yang terjadi, aku akan selalu menjadi teman terbaikmu, mengerti?"
"Aku tahu, kok. Terima kasih karena sudah menghiburku dan ... " Tiba-tiba saja Zhafira terkejut karena benturan secara tiba-tiba menghantam mobilnya. Ponsel yang ada di tangannya terhempas jatuh dan terselip di bawah jok. Tanpa sadar, pandangannya mulai gelap dan akhirnya diapun tidak sadarkan diri.
"Hallo ... Zha ... Kamu kenapa? Hallo ... "
Dafa mulai gelisah. Dengan jelas, dia mendengar suara benturan yang sangat keras. Dengan harap-harap cemas, dia kembali menghubungi ponsel sahabatnya itu.
"Hallo, Zha. Kamu kenapa?"
"Maaf, apakah kamu kenal pemilik ponsel ini?"
"Iya, siapa ini? Ada apa dengannya? Kenapa Bapak yang mengangkat teleponnya?"
"Sebaiknya, kamu datang saja ke Rumah Sakit Bhakti Husada. Teman kamu itu mengalami kecelakaan dan sekarang akan dibawa ke sana. Nanti ponsel ini akan saya titipkan di salah satu petugas ambulance."
"Terima kasih, Pak. Terima kasih," ucap Dafa sambil bergegas meninggalkan kelas.
"Dafa, ada apa?" tanya Refa ketika melihat temannya itu meninggalkan kelas dengan panik dan terburu-buru.
"Zhafira mengalami kecelakaan. Aku harus ke rumah sakit sekarang," jawab Dafa yang kemudian berlari menuju halaman sekolah. Dengan mengendarai sepeda motornya, Dafa meninggalkan parkiran sekolah dengan perasaan khawatir yang mengganggu hatinya.
"Zha, aku mohon bertahanlah. Aku tidak ingin kehilanganmu," batin Dafa yang tanpa sadar membuat air matanya jatuh.
Sementara itu, Refa dan Kheyla masih duduk di dalam kelas dengan perasaan campur aduk, antara khawatir dan gelisah. Walau khawatir, tapi mereka tidak ingin membayangkan sesuatu hal buruk akan menimpa sahabat mereka itu.
Dafa yang baru saja sampai di depan lobby rumah sakit lantas menanyakan perihal korban kecelakaan. Setelah mendapat penjelasan, Dafa kemudian naik lift menuju kamar yang sudah diberitahukan padanya.
Jantungnya berdebar ketika dirinya tiba di depan pintu kamar. Dengan tangan yang gemetar, dia mengetuk dan memberi salam. Perlahan, terlihat seorang wanita membuka pintu kamar dan mempersilakannya untuk masuk. Dengan wajah yang terlihat pucat, Dafa kemudian masuk dan mendapati tubuh sahabatnya itu tengah terbaring tak sadarkan diri dengan perban yang menutupi hampir seluruh wajahnya. Tanpa sadar, pemuda itu menitikkan air mata dan duduk menangis di samping tubuh sahabatnya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Hasnah Siti
uffffft aku awalan storynya udah panassssss hati ...terus sedih....haishhh penasaran juga nih kelanjutannya apa...hmmm
2022-12-12
0
Aini
cantik bngt covernya
2021-03-10
0
Anjani Putri
Super bun, vote nya luar biasa
2020-10-28
2