Permata Dalam Goresan
PEREMPUAN itu duduk di bawah pohon ketapang di pinggir pantai. Tiupan angin membuat lembaran kain yang menutupi kepalanya melambai-lambai dibuatnya. Namun seberapapun angin berusaha keras bertiup, wajahnya akan tetap datar dan sorot matanya tetap kosong. Siapapun yang melihatnya tak akan mampu memprediksi apa yang perempuan itu sedang rasakan. Apakah ia tengah merasakan suka ataupun duka, tak ada seorang pun yang tahu.
Tak jauh dari sana, ada sebuah warung tradisional. Di sekitarnya, terdapat beberapa laki-laki dan perempuan dewasa. Tentunya dengan pakaian mereka yang minim dan terbuka. Selain deburan ombak, canda dan tawa mereka juga melatar belakangi suasana.
Perlahan ... Suara-suara mereka pun mulai hilang seiring dengan langkah mereka yang juga ikut menjauh.
"Bukannya sudah libur semester? Thia ndak pulang kampung?" Bu Iin keluar dari warungnya mengantarkan pesanan Thia. Beliau sudah tak asing lagi dengan keberadaan Thia yang kerap menghabiskan waktunya di pantai dan setia menikmati es kelapa muda miliknya.
"Kalau tahu tadi biar saya saja yang ambil sendiri, Bu." Bu Iin menyerahkan segelas es kelapa yang terlihat begitu segar kepada Thia. "Kayaknya Ndak, Bu. Mau hemat dulu. Biaya pulang plus baliknya lumayan buat tambah-tambahin kebutuhan sehari-hari di sini."
Bu Iin mengangguk setuju. "Memang lebih baik disimpan, ya? walaupun pasti rindu dengan keluarga. Sama seperti uangnya, rindunya juga disimpan dulu. Memang sekiranya beginilah ujian pendidikan, Nak. Semoga nanti Allah berikan hasil yang setimpal dengan perjuangannya ya ..."
Thia tersenyum. "Aamiin ... Ya Rabb ..."
"Ibu nggak bisa lama di sini temani Thia, ya. Soalnya Ibu mau masak untuk orang-orang yang dari Bandung tadi buat makan siang." Ah, ya. Mungkin orang-orang yang bercanda tawa tadi. Thia pun mengangguk dan Bu Iin beranjak. Namun langkahnya tertahan kala mendapati ponselnya berdering.
Sekilas yang dapat Thia dengar dari obrolan Bu Iin dengan orang diseberang telepon mengatakan bahwa dia ada keperluan mendadak dan tidak bisa membantu di warung. Sementara hari ini Bu Iin sangat membutuhkan bantuan dari di si penelepon karena ada reservasi. Bu Iin terlihat gelisah. Berikutnya, beliau kembali melakukan panggilan, tapi kali ini tidak tersambung.
"Mana keburu kalau kerja sendiri ini ..." ujar beliau dengan nada gelisah.
"Saya saja yang bantu Ibu." Thia menawarkan diri. Tawaran itu, tentu saja menjadi angin segar bagi Bu Iin. Tak membuang waktu, mereka langsung menuju dapur.
Dapur berdinding bambu itu riuh akan suara alat dapur yang beradu, gemericik minyak panas, dan sahut-menyahut dari pisau diatas permukaan talenan saat memotong sayuran. Hidangan pun mulai rampung satu persatu. Thia dan Bu Iin sama-sama diliputi peluh berkesudahan. Sampai setelah semuanya benar-benar rampung, keduanya duduk di depan kipas angin.
"Alhamdulillah... Selesai juga. Terima kasih lho Thia. Ibu nggak tahu lagi kalau Ndak ada kamu bakal gimana nasib Ibu menghadapi masakan ini sendirian."
"Alhamdulillah... Sama-sama Bu."
Bu Iin melihat pakaian Thia yang basah akibat keringat. "Bantu Ibu sajikan masakannya ke tamu juga, ya." Thia mengangguk. "Tapi sebelum itu, kita ganti pakaian dulu. Baju sama hijab kamu cukup basah." Thia melihat pakaiannya yang benar saja ternyata cukup basah.
"Tapi saya Ndak punya baju ganti, Bu."
"Aman saja. Ada bajunya anak perempuan Ibu. Badan kalian sama persis. Ayok! nanti tamunya keburu datang." ia mengibaskan tangan mengajaknya bangkit untuk berganti pakaian.
Thia pun berganti pakaian dengan kaos hitam lengan panjang dengan hijab senada dan rok plisket warna abu muda.
Persis seperti perkiraan Bu Iin, para tamu tersebut kembali setelah menghabiskan waktu untuk berselancar, snorkeling ataupun sekedar berjemur. Namun, Bu Iin membuat sebuah peraturan. Sebelum para tamu-tamu itu masuk ke warung miliknya, beliau membuat peraturan perpakaian yang sopan. Jika biasanya ada sebuah slogan tentang "Tamu adalah Raja." maka di sini berlaku "Penjual adalah Dewa!!!"
Sudah barang tentu, pakaian minim yang hanya menutupi dua hal vital pada diri seorang hawa, dan celana pendek dari sang Adam tidak diperbolehkan. Minimal harus mengenakan kaos dan celana selutut. Berlaku untuk keduanya. Kalau tak bawa pakaian ganti, maka itu menjadi rezeki para penjual oblong yang letaknya tak jauh dari warung ini.
Beruntungnya, para tamu yang datang tidak keberatan dengan peraturan tersebut dan menghargai keputusan pemilik warung.
"Mbak! Rokoknya satu!" seru seorang pria kepada Thia saat ia hendak menyajikan makanan di meja. Thia mengangguk, memberi kode bahwa ia akan kembali setelah mengantarkan makanan.
Thia pun menghampiri pria tersebut yang disekati etalase. Terpajang beberapa rokok dengan warna dan ukuran yang beragam. Pria itu menyebutkan sebuah merk rokok. Sependek pengetahuan Thia tentang merk rokok dari yang paling murah sampai yang mahal, ia belum pernah mendengar merk rokok yang disebutkan pria tersebut.
Matanya sibuk mencari-cari merk rokok tersebut, dan ternyata ada di etalase khusus. Dari bungkus luar dan posisi penempatannya di dalam etalase, Thia merasakan ada ketidaksetaraan kasta dari sebuah rokok. Perpaduan antara warna hitam legam dan emas menyatu dengan sempurna hingga terlihat begitu mahal dan mewah.
"Ini, Kak. Saya tanya harganya dulu, ya!" Thia hampir melangkah namun dihentikan oleh pria itu. Pria tersebut mengeluarkan dua lembar uang seratus.
"Makasih, ya!" ujarnya seraya mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakan korek. Ujung batang rokok pun menyala merah. Setelah tiupan asap pertama, pria itu pun berlalu pergi.
Selepas itu, Thia memasukkan uang ke dalam laci di bawah etalase dan kembali membantu Bu Iin menyajikan makanan. Setelah semuanya tersaji, keduanya kembali ke dapur. Namun harus tetap berjaga-jaga siapa tahu para tamu itu membutuhkan sesuatu.
"Oh, ya Bu. Tadi ada yang beli rokok di etalase nomor dua. Bungkusnya warna hitam campur emas gitu. Terus tadi saya dikasihnya uang dua ratus ribu. Emangnya rokoknya semahal itu, ya?"
"Oh rokok itu ... Memang lumayan harganya, Thia. Aslinya Satu delapan lima. Tapi kebanyakan kembaliannya Ndak diambil." Thia hanya manggut-manggut. "Udah, ya. Ibu mau kembali ke depan. Takutnya ada yang butuh-butuh. Makasih udah bantuin Ibu buat hari ini!" Bu Iin menarik tangan Thia dan menyelipkan uang yang nominalnya seharga sebungkus rokok tadi. Aksinya begitu kilat dan beliau buru-buru pergi.
Thia keluar melalui pintu samping. Sebelum pulang ia kembali ke bawah pohon ketapang. Sebentar saja. Thia ingin merasakan suasana ini sebentar saja ... dengan mata yang terpejam. Tiupan angin kembali menyapu wajahnya.
Saat membuka mata, Thia mendapati pria yang tadi membeli rokok di warung duduk di sampingnya. Pria itu membuat Thia merasa terusik. Mungkin ia harus segera pulang.
"Kira-kira... menurut kamu perempuan itu seperti apa?" Tiba-tiba saja pria itu melontarkan sebuah pertanyaan yang menurut Thia tak biasa. Keinginannya untuk beranjak tiba saja urung.
"Permata!" jawabnya penuh keyakinan.
"Kenapa?" Pria itu menyadari ketidaknyamanan Thia atas asap rokok miliknya. Lalu sebatang rokok yang berada di sela jadi telunjuk dan tengahnya dienyapkan pada pohon Ketapang.
"Boleh saya jelaskan?" tanya Thia berhati-hati.
"Silahkan!" balas pria tersebut seolah memang hal itulah yang ia inginkan.
"Saya pernah mendengar bahwa 'Perempuan adalah permata kehidupan'. Sama halnya dengan permata yang berharga, perempuan itu sangat mulia. Dari rahim perempuan, permata menjadi tampak. Kehidupan pun semakin cerah dan bercahaya. Bahkan kehadiran Anda di dunia ini lahir dari permata kehidupan tersebut, bukan? Itu mengapa agama islam memuliakan seorang Ibu yang merupakan seorang perempuan. Ketentuannya, Ibu disebut tiga kali sebelum ayah."
Pria itu tersenyum. "Berarti perempuan itu sama dengan permata yang berharga dan mulia?" Thia mengangguk. "Tadi kamu menyebutkan di agama Islam bahwa Ibu disebut tiga kali sebelum ayah untuk merepresentasikan kemuliaan seorang perempuan?" Thia kembali mengangguk. "Lalu bagaimana dengan jaman sekarang yang apapun yang ada pada diri seorang perempuan selalu di eksploitasi? lihatlah pada perempuan itu!" Pria itu menuntun pandangan Thia pada perempuan di sekitaran pantai. "Mereka bukan lagi dieksploitasi, melainkan mengeksploitasi diri mereka sendiri. Apakah mereka juga termasuk ke dalam permata?"
"Permata itu memiliki sisi gelap dan terang. Anda tidak bisa mengambil kesimpulan begitu cepat dengan apa yang Anda lihat sekarang." Thia merasa dirinya sudah terlalu jauh berbicara dengan pria ini. Sebaiknya ia segera pergi.
Hal yang tak disangka, pria itu menahan lengannya. "Bukankah permata juga sesuatu yang 'dijual-belikan'? Lalu berapa harga yang dapat aku bayar untuk permata sepertimu?"
"Seratus juta!" ucap Thia menantang.
"Kemarikan nomor rekeningmu!" Thia mengambil handphone ragu lalu menunjukkan nomor rekening pada pria itu. Ia sangat yakin pria itu hanya membual. Thia memutuskan berlalu. Namun dering notifikasi mengentikan langkahnya. Tatapannya pada layar handphone menyiratkan rasa tidak percaya. Ia melihat ke arah pria tadi yang sudah menunggunya kembali mendekat.
"Pasti kamu menganggap ucapanku hanya bualan, bukan?"
"Akan Saya kembalikan..."
"Hotel yang disana!" Pria itu menunjuk bangunan bertingkat tepat di arah telunjuknya. "Lantai 4, kamar 231. Aku tunggu pukul 8 malam nanti."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
prenjon
Yang laki-lakinya aneh, masa baru pertama ketemu ngajak ke hotel. tp gmn pun semangat Thor untuk kedepannya.
2025-04-18
1
Sahiba
plissss "ketidaksetaraan kasta dari sebuah rokok." haha
2025-04-18
1