5. Adalah Hal yang Pantas!

MALAM belum begitu larut. Thia tahu betapa aktifnya telinga tetangga. Jika Danu menciptakan keributan malam ini, niscaya esok akan hadir sebuah berita yang akan menggemparkan satu kampung. Danu menyeret tubuhnya dengan raut yang nampak murka sembari menyerukan kedua orang tuanya keluar. Sampai pada ruangan keluarga, ia menghempaskan tubuh Thia ke lantai.

Baik Bapak maupun Ibu mertuanya terkejut melihat ini. Danu menatap kedua orangtuanya dan menatap Thia penuh nista sebelum mengungkap semuanya.

"Memalukan! Perempuan yang kalian pilihkan sebagai istriku ini, sudah tidak perawan lagi!" Danu menatap tajam kedua orang tuanya. Lebih-lebih sang ayah yang selalu membangga-banggakan Thia. "Pak! Lihat! Perempuan yang bapak banggakan ini tak sebaik itu ..." Danu mendaramatisasi keadaan dengan menohok ayahnya. "Bapak pikir dia perempuan baik-baik? Dia tak punya darah keperawanan, Pak! Tadi dia sendiri yang mengatakan pada Danu bahwa dia memberikannya pada pria lain. Pria yang bukan suaminya!"

Danu pun kembali menatap Thia yang tertunduk melihat lantai. Ia tak berani mendongak sedikitpun. Danu tersenyum menyiratkan sekarang ini ia telah berada dalam kemenangan dan kekuasaan penuh.

"Entah dari mana biaya kuliah dia selama tiga tahun di Mataram sana. Mungkin saja dia memperdagangkan tubuhnya. Masuk ke dalam pelukan satu pria, ke pria yang lain." Thia mengangkat wajah menatap Danu yang kini menatapnya seperti perempuan yang hina dina berlumur dosa.

Ibu mertuanya pun angkat bicara. Thia tahu ia tak akan mendapatkan pembelaan dari mereka. Maka ia yakinkan hatinya untuk tenang. "Ternyata kamu Ndak lebih baik dari Danu! Kamu merutuki pernikahan ini dengan tangisan kamu. Semua tetangga membicarakan kamu sebagai perempuan yang malang karena menikah dengan anak Ibu. Padahal pada kenyataannya, kamu tidak lebih dari perempuan murahan lainnya!"

Thia diam menerima semua hinaan itu. Ia hanya bisa menggenggam bedcover itu rapat-rapat guna menutupi tubuhnya. Akan tetapi penghinaan kepadanya tak dibiarkan begitu saja oleh bapak mertuanya.

"Adalah hal yang pantas ... Jika kamu tidak mendapati Thia sebagai seorang perawan. Satu kekurangan Thia, tak sebanding dengan kamu yang gemar mengoleksi semua perangai iblis dan syaiton." Pak Said menepuk punggung Thia memintanya bangun. "Pergilah ke kamar tamu dan tidurlah di sana. Selama dia tak memperlakukanmu dengan pantas sebagai seorang istri yang mulia, jangan pernah satu kamar apalagi mengijinkannya menyentuhmu! Paham?" ucap beliau langsung di depan istri dan putranya sendiri.

Thia pun mengangguk dengan mata yang penuh dengan genangan. Tapi ia menahannya agar tak jatuh mengucur.

"Satu lagi, Nak Thia! jika ibu mertuamu tidak bersikap selayaknya ibu yang baik bagi menantunya, kamu bisa mengabaikannya. Tinggallah di sini sebagai seorang putri. Dan hargai orang yang juga menghargaimu!" Thia kembali mengangguk dan setelah itu ia berlalu ke kamar tamu.

"Kamu, masuk ke kamarmu!" Tatapnya pada Danu. "Dan kita kembali tidur, Bu!" serunya kepada istrinya. Keduanya tak ada yang berani membantah.

Sesampainya di kamar, Danu menendang semua barang yang bisa ditendang, dan memecahkan barang-barang yang bisa dipecahkan. Gigi-giginya bergemertak dan tangannya mengepal kuat. Perempuan itu ... perempuan yang ia pikir bisa tunduk dalam kekuasannya itu ternyata menjadi bumerang yang kapan saja dapat menyerangnya balik. Terlebih, Bapak mendukung perempuan itu secara penuh. Ini, tak bisa dibiarkan!

***

Sebuah mobil sedan klasik berhenti di depan sebuah pabrik beras. Thia mengikuti Pak Said turun dari mobil menuju dalam pabrik. Sekarang masih pukul delapan pagi. Dan Pak Said ingin mengenalkan Thia kepada para karyawan di Pabrik. Jika itu putranya, beliau sangat yakin jam segini ia pasti belum bangun.

Pak Said memberi tugas pada karyawan kepercayaannya untuk mengenalkan sistem operasional pabrik pada Thia. Sekaligus keliling-keliling melihat semua lokasi pabrik. Merk beras milik mertuanya ini cukup terkenal di kota Sumbawa. Dan marketnya tersebar di beberapa tempat baik dalam lingkup kota maupun kampung.

Rencananya, Pak Said akan melakukan pelatihan kewirausahaan di Lombok Tengah selama beberapa hari ke depan. Hal tersebut bertujuan agar produksi berasnya bisa dipasarkan ke luar daerah dan bersaing dalam skala nasional. Untuk itu pula, Pak Said sangat mengharapkan Thia mampu menggantikan beliau di pabrik.

Selesai dengan pabrik beras, mereka beralih menuju tambak. Tambak milik Pak Said dibagi dua dan terpisah antara parit. Sebelah kanan parit adalah tambak ikan bandeng, dan sebelah kiri parit dengan wilayah yang lebih luas adalah tambak udang. Ikan bandeng biasanya dipanen saat ada yang memesan. Udang sendiri dijual secara timbangan. Biasanya beliau sudah memiliki langganan tetap.

"Bagaimana untuk bibit udangnya?" Pak Said menghampiri seorang pria yang ditugaskan untuk menjaga tambak bandeng.

"Aman, Pak. Kemarin sudah saya telepon. Dan besok pagi mau dibawa dari Kanar." selanjutnya Pak Said berbincang cukup lama dengan penjaga tambaknya dan mengenalkan Thia untuk menggantikan beliau saat hari penjualan nanti. Selepas berkenalan, Thia melipir ke sebuah petak tambak yang tak asing baginya. Disana ada gubug bambu.

Thia pun berjalan di atas jembatan bambu di atas parit. Lama sekali ia tak datang ke sini. Tambak yang hanya dua petak ini menyimpan banyak kenangan bagi Thia. Dulu, tambak ini adalah tambak miliknya. Ia dan Bapak sering kali datang untuk menebar nener (bibit ikan bandeng) kemudian memanennya dengan jala. Kadang mereka balapan siapa yang paling cepat mengumpulkan bandeng dari jala untuk dimasukkan ke dalam bosang. Tapi Thia selalu kalah cepat.

"Dulu sering ya, datang ke sini?" Pak Said berdiri di samping Thia. Ia mengangguk dengan pandangan yang larut dalam memori.

"Sangat sering ..." tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Oh ya, Pak! Petak yang di sana diisi apa?"

"Udang. Sebenarnya kan air yang disana cepat kering. Awalnya bapak cuma taro di petak sini karena airnya banyak. Tapi lama-lama udangnya lama sekali besarnya. Jadi beberapa bapak pindahkan ke sana. Dan ya ... Hasilnya besar-besar."

"Bapak Ndak taro Nila kah? Biasanya saya sama Bapak saya selalu taro nila yang di parit ke petak sana. Nilainya sangat gurih."

"Pernah. Bapak pernah taro nila ke petak sana. Tapi di sana kan selalu tumbuh rumput. Sesekali kerbau masuk untuk berendam. Jadi ya ... bau sama rasa nilanya seperti rumput." Thia terkekeh kecil.

"Ah, ya ... dulu memang petak sana selalu tumbuh rumput, Pak. Tapi ikannya memang gurih. Tapi kalau bandeng, karena dijual ya kita Ndak taro di petak sana." Pak Said manggut-manggut. "Satu lagi, Pak. Dulu Thia sama bapak pernah membicarakan perihal ikan dan kondisi tambak ini."

"Bagaimana?" Pak Said penasaran sekaligus tertarik dengan cerita Thia.

"Tentang nafaqah. Jadi saat kecil, Thia sering sekali mendengar bahwa nafaqah yang dicarikan oleh seorang ayah, entah itu halal atau haram akan berpengaruh pada perkembangan dan pribadi sang anak. Karena kadar keharaman itu menciptakan hawa panas pada tubuh. Lalu kita pun menyangkutkan dengan ikan nila di tambak ini. Karena kondisi tambak yang dipenuhi rumput, sering keluar masuk kerbau, maka daging dari ikan nila pun rasanya sama dengan apa yang ada pada kondisi tambak."

"Padahal Bapak selalu memberinya nafaqoh yang halal dan toyyib. Tapi kenapa ya, Nak? suami kamu itu selalu saja menciptakan kemaksiatan dalam hidupnya?" Thia menatap mertuanya yang hanyut dalam gurat kesedihan. Beliau membayangkan diri menjadi seorang ayah yang gagal. Dan Thia merasa bersalah akan hal itu.

Pak Said lalu tersenyum dan mengganti topik. "Thia rindu, Bapak?" Pertanyaan itu membuat hati Thia terasa hangat dan matanya spontan meleleh.

"Sangat, Pak! Kadang rasanya Thia ingin sekali menyusul bapak. Tapi Qadarullah, Allah masih ingin Thia hidup di buminya untuk menebar kebaikan. Thia ingin seperti Bapak yang memberikan kebaikan untuk orang banyak." Pak Said merangkulnya dan memberikan kehangatan seorang ayah.

"Lihat saja Bapak dalam wujud Bapakmu. Kamu Ndak tahu nak, sebersyukur apa bapak saat mendengar kamu bersedia menanggung malu keluarga kami dengan bersedia dinikahi oleh Danu. Sebenarnya bapak tahu kalau kamu tak sepenuhnya bersedia. Tapi bapak mencoba tutup mata. Sekalipun jalannya sedikit dipaksakan, Tapi mungkin sudah takdir Allah memberikan bapak putri seperti kamu." Thia terenyuh mendengarnya.

Dirinya tak pernah lupa akan kalimat "Jika diberi berarti itu baik bagimu, dan jika tidak, maka akan ada yang lebih baik." Kemarin-kemarin, ia terlalu keras kepada Allah karena menempatkannya pada takdir yang tak ia inginkan. Ia selalu berdoa agar pernikahan ini tak terjadi, namun tetap saja. Dan kali ini ia tahu, ada doa yang lebih deras dari doanya. Ia memang tak mendapat sosok suami yang baik. Namun ia mendapatkan pengganti bapak di dunia.

Terpopuler

Comments

prenjon

prenjon

Beruntung sekali kamu Thia. meski suami dan ibu mertuamu julid, kamu masih punya ayah mertua yang selalu membelamu. jangan menyerah Thia ... semangat!

2025-04-18

0

Sahiba

Sahiba

kurang ajar banget jadi laki. woyyyy!!!!!!!! minimal ngaca. Kepengen dapet yang baik, kamu juga harus baik!!!!

2025-04-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!