PEREMPUAN itu duduk di bawah pohon ketapang di pinggir pantai. Tiupan angin membuat lembaran kain yang menutupi kepalanya melambai-lambai dibuatnya. Namun seberapapun angin berusaha keras bertiup, wajahnya akan tetap datar dan sorot matanya tetap kosong. Siapapun yang melihatnya tak akan mampu memprediksi apa yang perempuan itu sedang rasakan. Apakah ia tengah merasakan suka ataupun duka, tak ada seorang pun yang tahu.
Tak jauh dari sana, ada sebuah warung tradisional. Di sekitarnya, terdapat beberapa laki-laki dan perempuan dewasa. Tentunya dengan pakaian mereka yang minim dan terbuka. Selain deburan ombak, canda dan tawa mereka juga melatar belakangi suasana.
Perlahan ... Suara-suara mereka pun mulai hilang seiring dengan langkah mereka yang juga ikut menjauh.
"Bukannya sudah libur semester? Thia ndak pulang kampung?" Bu Iin keluar dari warungnya mengantarkan pesanan Thia. Beliau sudah tak asing lagi dengan keberadaan Thia yang kerap menghabiskan waktunya di pantai dan setia menikmati es kelapa muda miliknya.
"Kalau tahu tadi biar saya saja yang ambil sendiri, Bu." Bu Iin menyerahkan segelas es kelapa yang terlihat begitu segar kepada Thia. "Kayaknya Ndak, Bu. Mau hemat dulu. Biaya pulang plus baliknya lumayan buat tambah-tambahin kebutuhan sehari-hari di sini."
Bu Iin mengangguk setuju. "Memang lebih baik disimpan, ya? walaupun pasti rindu dengan keluarga. Sama seperti uangnya, rindunya juga disimpan dulu. Memang sekiranya beginilah ujian pendidikan, Nak. Semoga nanti Allah berikan hasil yang setimpal dengan perjuangannya ya ..."
Thia tersenyum. "Aamiin ... Ya Rabb ..."
"Ibu nggak bisa lama di sini temani Thia, ya. Soalnya Ibu mau masak untuk orang-orang yang dari Bandung tadi buat makan siang." Ah, ya. Mungkin orang-orang yang bercanda tawa tadi. Thia pun mengangguk dan Bu Iin beranjak. Namun langkahnya tertahan kala mendapati ponselnya berdering.
Sekilas yang dapat Thia dengar dari obrolan Bu Iin dengan orang diseberang telepon mengatakan bahwa dia ada keperluan mendadak dan tidak bisa membantu di warung. Sementara hari ini Bu Iin sangat membutuhkan bantuan dari di si penelepon karena ada reservasi. Bu Iin terlihat gelisah. Berikutnya, beliau kembali melakukan panggilan, tapi kali ini tidak tersambung.
"Mana keburu kalau kerja sendiri ini ..." ujar beliau dengan nada gelisah.
"Saya saja yang bantu Ibu." Thia menawarkan diri. Tawaran itu, tentu saja menjadi angin segar bagi Bu Iin. Tak membuang waktu, mereka langsung menuju dapur.
Dapur berdinding bambu itu riuh akan suara alat dapur yang beradu, gemericik minyak panas, dan sahut-menyahut dari pisau diatas permukaan talenan saat memotong sayuran. Hidangan pun mulai rampung satu persatu. Thia dan Bu Iin sama-sama diliputi peluh berkesudahan. Sampai setelah semuanya benar-benar rampung, keduanya duduk di depan kipas angin.
"Alhamdulillah... Selesai juga. Terima kasih lho Thia. Ibu nggak tahu lagi kalau Ndak ada kamu bakal gimana nasib Ibu menghadapi masakan ini sendirian."
"Alhamdulillah... Sama-sama Bu."
Bu Iin melihat pakaian Thia yang basah akibat keringat. "Bantu Ibu sajikan masakannya ke tamu juga, ya." Thia mengangguk. "Tapi sebelum itu, kita ganti pakaian dulu. Baju sama hijab kamu cukup basah." Thia melihat pakaiannya yang benar saja ternyata cukup basah.
"Tapi saya Ndak punya baju ganti, Bu."
"Aman saja. Ada bajunya anak perempuan Ibu. Badan kalian sama persis. Ayok! nanti tamunya keburu datang." ia mengibaskan tangan mengajaknya bangkit untuk berganti pakaian.
Thia pun berganti pakaian dengan kaos hitam lengan panjang dengan hijab senada dan rok plisket warna abu muda.
Persis seperti perkiraan Bu Iin, para tamu tersebut kembali setelah menghabiskan waktu untuk berselancar, snorkeling ataupun sekedar berjemur. Namun, Bu Iin membuat sebuah peraturan. Sebelum para tamu-tamu itu masuk ke warung miliknya, beliau membuat peraturan perpakaian yang sopan. Jika biasanya ada sebuah slogan tentang "Tamu adalah Raja." maka di sini berlaku "Penjual adalah Dewa!!!"
Sudah barang tentu, pakaian minim yang hanya menutupi dua hal vital pada diri seorang hawa, dan celana pendek dari sang Adam tidak diperbolehkan. Minimal harus mengenakan kaos dan celana selutut. Berlaku untuk keduanya. Kalau tak bawa pakaian ganti, maka itu menjadi rezeki para penjual oblong yang letaknya tak jauh dari warung ini.
Beruntungnya, para tamu yang datang tidak keberatan dengan peraturan tersebut dan menghargai keputusan pemilik warung.
"Mbak! Rokoknya satu!" seru seorang pria kepada Thia saat ia hendak menyajikan makanan di meja. Thia mengangguk, memberi kode bahwa ia akan kembali setelah mengantarkan makanan.
Thia pun menghampiri pria tersebut yang disekati etalase. Terpajang beberapa rokok dengan warna dan ukuran yang beragam. Pria itu menyebutkan sebuah merk rokok. Sependek pengetahuan Thia tentang merk rokok dari yang paling murah sampai yang mahal, ia belum pernah mendengar merk rokok yang disebutkan pria tersebut.
Matanya sibuk mencari-cari merk rokok tersebut, dan ternyata ada di etalase khusus. Dari bungkus luar dan posisi penempatannya di dalam etalase, Thia merasakan ada ketidaksetaraan kasta dari sebuah rokok. Perpaduan antara warna hitam legam dan emas menyatu dengan sempurna hingga terlihat begitu mahal dan mewah.
"Ini, Kak. Saya tanya harganya dulu, ya!" Thia hampir melangkah namun dihentikan oleh pria itu. Pria tersebut mengeluarkan dua lembar uang seratus.
"Makasih, ya!" ujarnya seraya mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakan korek. Ujung batang rokok pun menyala merah. Setelah tiupan asap pertama, pria itu pun berlalu pergi.
Selepas itu, Thia memasukkan uang ke dalam laci di bawah etalase dan kembali membantu Bu Iin menyajikan makanan. Setelah semuanya tersaji, keduanya kembali ke dapur. Namun harus tetap berjaga-jaga siapa tahu para tamu itu membutuhkan sesuatu.
"Oh, ya Bu. Tadi ada yang beli rokok di etalase nomor dua. Bungkusnya warna hitam campur emas gitu. Terus tadi saya dikasihnya uang dua ratus ribu. Emangnya rokoknya semahal itu, ya?"
"Oh rokok itu ... Memang lumayan harganya, Thia. Aslinya Satu delapan lima. Tapi kebanyakan kembaliannya Ndak diambil." Thia hanya manggut-manggut. "Udah, ya. Ibu mau kembali ke depan. Takutnya ada yang butuh-butuh. Makasih udah bantuin Ibu buat hari ini!" Bu Iin menarik tangan Thia dan menyelipkan uang yang nominalnya seharga sebungkus rokok tadi. Aksinya begitu kilat dan beliau buru-buru pergi.
Thia keluar melalui pintu samping. Sebelum pulang ia kembali ke bawah pohon ketapang. Sebentar saja. Thia ingin merasakan suasana ini sebentar saja ... dengan mata yang terpejam. Tiupan angin kembali menyapu wajahnya.
Saat membuka mata, Thia mendapati pria yang tadi membeli rokok di warung duduk di sampingnya. Pria itu membuat Thia merasa terusik. Mungkin ia harus segera pulang.
"Kira-kira... menurut kamu perempuan itu seperti apa?" Tiba-tiba saja pria itu melontarkan sebuah pertanyaan yang menurut Thia tak biasa. Keinginannya untuk beranjak tiba saja urung.
"Permata!" jawabnya penuh keyakinan.
"Kenapa?" Pria itu menyadari ketidaknyamanan Thia atas asap rokok miliknya. Lalu sebatang rokok yang berada di sela jadi telunjuk dan tengahnya dienyapkan pada pohon Ketapang.
"Boleh saya jelaskan?" tanya Thia berhati-hati.
"Silahkan!" balas pria tersebut seolah memang hal itulah yang ia inginkan.
"Saya pernah mendengar bahwa 'Perempuan adalah permata kehidupan'. Sama halnya dengan permata yang berharga, perempuan itu sangat mulia. Dari rahim perempuan, permata menjadi tampak. Kehidupan pun semakin cerah dan bercahaya. Bahkan kehadiran Anda di dunia ini lahir dari permata kehidupan tersebut, bukan? Itu mengapa agama islam memuliakan seorang Ibu yang merupakan seorang perempuan. Ketentuannya, Ibu disebut tiga kali sebelum ayah."
Pria itu tersenyum. "Berarti perempuan itu sama dengan permata yang berharga dan mulia?" Thia mengangguk. "Tadi kamu menyebutkan di agama Islam bahwa Ibu disebut tiga kali sebelum ayah untuk merepresentasikan kemuliaan seorang perempuan?" Thia kembali mengangguk. "Lalu bagaimana dengan jaman sekarang yang apapun yang ada pada diri seorang perempuan selalu di eksploitasi? lihatlah pada perempuan itu!" Pria itu menuntun pandangan Thia pada perempuan di sekitaran pantai. "Mereka bukan lagi dieksploitasi, melainkan mengeksploitasi diri mereka sendiri. Apakah mereka juga termasuk ke dalam permata?"
"Permata itu memiliki sisi gelap dan terang. Anda tidak bisa mengambil kesimpulan begitu cepat dengan apa yang Anda lihat sekarang." Thia merasa dirinya sudah terlalu jauh berbicara dengan pria ini. Sebaiknya ia segera pergi.
Hal yang tak disangka, pria itu menahan lengannya. "Bukankah permata juga sesuatu yang 'dijual-belikan'? Lalu berapa harga yang dapat aku bayar untuk permata sepertimu?"
"Seratus juta!" ucap Thia menantang.
"Kemarikan nomor rekeningmu!" Thia mengambil handphone ragu lalu menunjukkan nomor rekening pada pria itu. Ia sangat yakin pria itu hanya membual. Thia memutuskan berlalu. Namun dering notifikasi mengentikan langkahnya. Tatapannya pada layar handphone menyiratkan rasa tidak percaya. Ia melihat ke arah pria tadi yang sudah menunggunya kembali mendekat.
"Pasti kamu menganggap ucapanku hanya bualan, bukan?"
"Akan Saya kembalikan..."
"Hotel yang disana!" Pria itu menunjuk bangunan bertingkat tepat di arah telunjuknya. "Lantai 4, kamar 231. Aku tunggu pukul 8 malam nanti."
LIBURAN nampaknya hanya kalimat kiasan untuk mempermanis sebuah kegiatan ke pantai, mencicipi makanan tradisional, dan sekiranya apa lagi hal menarik dari perjalanan ke sebuah daerah wisata. Jika pada kenyataannya, ia harus tetap membuka benda elektronik berbentuk persegi panjang yang semuanya berisi pekerjaan. Maka dapat disimpulkan, liburan hanya sebuah rekaan dari WFH (Work From Home) yang kemudian diubah terlihat lebih memberikan efek kesenangan yaitu (Work From Hotel).
Sepulang dari pantai tadi, Dikha tak pernah lagi keluar dari kamar hotelnya. Satu setengah jam lebih ia habiskan untuk duduk di depan layar laptop, menyelesaikan pekerjaan. Beruntung, tadi ia sudah makan malam lebih cepat.
Pukul delapan kurang sepuluh menit, Dikha merampungkan pekerjaannya. Laptop itu ditutup dan disimpannya kemudian merebahkan tubuh memberikan sebuah relaksasi. Ia mengambil handphonenya. Dan mendapati sebuah bukti transaksi yang ia lakukan sore tadi, dengan seorang perempuan. Dikha bangun mengubah posisinya menjadi duduk.
Tangan kirinya ia kepalkan lalu diletakkan di depan mulutnya sembari berfikir. "Apakah perempuan itu akan benar-benar datang?" atau pikirannya yang lain mengatakan. "Untuk apa dia datang? Uang sudah masuk ke rekeningnya dan itu tidak bisa ditarik." Bahkan jika ia di posisi perempuan itu, tentu saja dirinya akan memilih yang paling mudah. Membawa uang itu kabur tanpa melakukan apapun.
Namun Dikha tersenyum puas. Karena apapun yang terjadi, dia akan tetap menang. Pertama, jika perempuan itu membawa uangnya kabur, maka ia telah membeli kejujuran dari perempuan tersebut. Dan yang kedua, jika perempuan itu datang untuk menyerahkan diri atas nominal seratus juta itu, maka ia telah membeli harga dirinya. Berapa tak begitu berharganya nominal tersebut baginya. Bahkan ia pernah membelikan mantan pacarnya sebuah tas mahal yang lebih dari nominal tersebut.
Larut dalam terka pikirannya, pintu kamarnya terdengar diketuk. Dikha melirik jam pada layar handphone yang menunjukkan pukul delapan tepat. Ia pun berjalan membuka pintu kamar hotel. Sebelum pintu terbuka penuh, dari bawah ia melihat sepatu datar kemudian perlahan naik dengan pakaian yang cukup lebar dan berhenti di wajah perempuan berkerudung.
Dikha, tak percaya akan hal ini. Namun perempuan itu benar-benar datang kepadanya. Dan tentunya semua orang akan paham dengan apa yang dapat dilakukan seorang pria dan perempuan dewasa di kamar hotel. Langsung saja Dikha mempersilahkannya masuk. Langkah perempuan itu sama sekali tidak ragu seolah ia sudah bertekad kuat sebelum benar-benar tiba di sini.
Pintu kamar itu ditutupnya kembali. Hal pertama yang perempuan itu lakukan adalah meletakkan tasnya di meja. Entah apa isinya Dikha tak tahu.
"Aku tak ingin bercinta sepagi ini ..." tukas Dikha. Pukul delapan masih begitu cepat baginya.
"Lalu apa yang ingin Anda lakukan?" mereka saling menatap. Dikha mencari sedikit saja bagian dari tubuh perempuan itu yang dapat membangkitkan jiwa kelaki-lakiannya, namun tak ia temukan. Ah, sekalipun malam ini akan berakhir dengan sebuah penyesalan baginya, ia akan tetap mendoktrin diri bahwa ia membeli sebuah harga diri.
"Menonton film mungkin?" tawar Dikha. Perempuan itu setuju.
"Kalau begitu, saya akan berganti pakaian."
Dikha mengangguk. "Aku akan menyiapkan filmnya. Kau ingin genre apa? Film dewasa?"
Perempuan itu menggeleng lembut namun penuh ketegasan. "Jangan itu. Saya tidak suka horor dan jenis film dewasa. Tapi saya suka thriller." ucapannya di tutup dengan senyuman sebelum ia masuk ke kamar mandi.
Dikha pun memutuskan menyiapkan film thriller Hollywood. Tak butuh waktu lama Tv LED itu akan menampilkan sebuah film hanya dengan menekan tombol pada remote. Namun perempuan masih belum selesai. Dikha tidak merasakan sensasi apapun. Karena ia kerap menjumpai perempuan-perempuan cantik. Akan tetapi, kalimat itu ditariknya sesaat setelah pintu kamar mandi terbuka.
Bagai melihat sebuah permata dalam wujud manusia, perempuan itu nampak bersinar dalam remangnya lampu yang sengaja Dikha matikan. Perempuan itu ternyata memiliki lekuk tubuh yang indah dibalik pakaian longgarnya. Lingerie berwarna burgundy itu membuat kulit natural beige-nya terlihat lebih menyala. Kakinya yang jenjang, tubuhnya yang ramping, dan rambut panjangnya membuat Dikha seketika terkesiap.
Perlahan ... Perempuan itu mengambil posisi duduk di sofa disampingnya. "Durasi film-nya dua jam lebih." perempuan itu mengangguk dan tombol pada remote pun ditekannya.
Film itu dimulai. Perempuan itu melipat kedua lengannya bersiap menikmati film tersebut bersama Dikha. Menit demi menit berlalu dilalui Dikha dengan perasan yang tak tenang. Jiwa kelaki-lakiannya meronta. Ia sering melirik kearah perempuan itu saat adegan tembak menembak dan suara peluru yang beruntun melatar belakangi suasana film. Suara peluru itu sama halnya dengan suara jantungnya yang berdetak lebih cepat.
Berbanding terbalik dengan perempuan itu yang fokus pada film. Adegan tembak menembak dan kucuran darah itu tak membuatnya terusik sama sekali. Bahkan ia tetap pada posisi semula dengan duduk tenang dan melipat kedua lengan di depan dada.
Akh ... Tubuh Dikha memanas. Namun ia tak kunjung gegabah. Meski jiwa kelaki-lakiannya memberi tahu bahwa ia tengah merasa lapar, ia mencoba mengikatnya dan menahan sebisa mungkin. Walau setiap pendar cahaya tv mengenai wajah perempuan itu, menyorot pada leher, dada, dan kemolekan pahanya, Dikha tetap berdiri pada keyakinannya. Menahan semua itu.
Kelaparan yang terburu-buru hanya akan membawanya pada sebuah keserakahan. Maka ia pun memutuskan untuk menunggu hingga mencapai titik didih dari kelaparannya.
Sampai tibalah kalimat 'The End' pada film tersebut dan memunculkan nama-nama dari tim yang memproduksinya, Dikha segera mematikan dan tanpa ba-bi-bu menyergap leher perempuan itu dengan bibirnya. Perempuan itu sempat tersentak, namun buru-buru menyesuaikan diri.
Dikha menaikkan tubuh perempuan itu agar menindihnya. Ia beralih melakukan sebuah ciuman yang panas. Perempuan itu tak diam saja. Ia berusaha mengimbangi meski terasa sedikit kaku. Hal itu membuat Dikha merasa gerah hingga harus menanggalkan kaosnya yang diliputi keringat. AC di dalam kamar itu serasa tak ada harga dirinya.
Dikha pun memeluk tubuh perempuan itu dan mengangkatnya lalu membawanya ke ranjang. Tubuh perempuan itu direbahkannya dengan sangat lembut sembari berkata. "Aku tak tahu namamu. Bagaimana bisa kita bercinta tanpa mengetahui nama masing-masing?" Dikha mendekatkan mulutnya di telinga perempuan itu sembari berbisik. "Namaku Pradikha Mahananda."
"Anda benar-benar ingin mengetahui nama saya? Pertemuan kita hanya untuk malam ini. Tak ada gunanya saling mengetahui nama."
"Kita bisa mengulang pertemuan malam ini." Dikha mengelus belikat perempuan itu kemudian perlahan menuju leher dan naik ke telinga.
"Sayangnya saya tidak ingin!" Dikha nampak terdiam. Perempuan itu menyadari arti diam itu lalu mencoba mencairkan suasana. "Permata. Namaku permata." Dikha tersenyum puas lalu melanjutkan kegiatannya. Mereka saling membelai dan kulit mereka beradu hembusan nafas yang bergemuruh, hanyut dalam gelora yang panas, membuncah dan mendidih.
Pakaian sama-sama ditanggalkan hingga tak ada lagi kain penghalang. Mereka benar-benar saling berbagi tubuh. Tergerus dalam sebuah gelombang yang tak mampu didefinisikan, karena yang tersisa hanyalah sebuah kenikmatan. Pertanyaannya, benarkah ini semua adalah kenikmatan? Jika memang benar, lalu kenikmatan seperti apa?
Ketika lapar, seseorang akan merasakan sebuah kenikmatan sesaat setelah menikmati sebuah hidangan dalam suapan pertama. Lalu suapan-suapan berikutnya akan mengurangi rasa kenikmatan itu sendiri. Kemudian jika rasa lapar itu terpuaskan dan berganti rasa kenyang, maka jika suapan itu terus menerus berlanjut, maka bukan lagi kenikmatan yang dirasakan. Melainkan sebuah siksa. Dan siksa itu didapat karena buah hasil dari keserakahan.
Tak peduli seberapa serakahnya kedua manusia itu malan ini, intinya mereka ingin menghabiskan porsi kenikmatan itu bersama. Mereka berbagi erangan, lenguhan, derit panjang dari sebuah ranjang hingga mereka mencapai titik kepuasan atas rasa lapar. Tak ada yang lapar sebelah. Mereka sama-sama terpuaskan. Entah itu sang perempuan yang merasakan kenikmatan pertamanya, dan sang pria yang sudah pernah merasakan kenikmatan namun kali ini ia mendapat kenikmatan yang berbeda.
Mereka pun luluh di atas ranjang tersebut. Dapat disimpulkan, keduanya sampai di titik kekenyangan. Keduanya terengah lelah. Pergumulan itu begitu dahsyat. Sampai si sang pria menyadari bahwa ia telah memecahkan rekor. Rekor untuk dirinya, dan diri si perempuan.
"Permata ... Kau berdarah." tukas Dikha terkejut. Perempuan itu mengangguk masih dengan menengahi nafasnya yang belum teratur.
"Saya tak begitu cantik. Tapi paling tidak, nominal yang Anda berikan itu bisa menukar sebuah cawan permata." Dikha tersenyum sambil mengecup kening perempuan itu, menyiratkan sebuah rasa bangga.
Setelah itu kelopak mata mereka terasa berat. Rasa letih membuat Dikha mau tak mau harus terpejam. Ia ingin kembali merasakan suapan-suapan itu. Namun tak bisa dipaksa. Ia sudah merasa kenyang. Jika memaksa, ia tak akan merasakan kenikmatan, melainkan siksa. Untuk itu ia memilih tidur sebentar untuk menurunkan kadar kekenyangannya, agar kembali merasa lapar dan merasakan suapan-suapan kenikmatan tadi.
Begitu terbangun, ia merasakan sebuah semangat. Sayangnya, hidangannya hilang tanpa meninggalkan jejak. Tas di atas meja juga tidak ada. Perempuan itu pergi tanpa pamit. Padahal ini masih pukul tiga dini hari. Seketika, matanya tertuju pada kertas di bawah handphone. Ada sebuah catatan.
"Saya pergi ... Dengan harapan, kita tidak bertemu di kemungkinan manapun. Jangan pernah Anda menganggap telah membeli harga diri dari sebuah permata. Karena saya tidak menjualnya. Saya sengaja membuangnya. Dan beruntungnya, Anda sukarela menghargainya."
^^^~Permata yang cacat^^^
PAGI-PAGI sekali bahkan sebelum garis hitam pada langit berganti cerah, Dikha sudah menuju pantai. Tujuan utamanya adalah warung tradisional kemarin. Gerak geriknya yang tergesa-gesa, tak kurang seperti seorang pecandu yang absen mengonsumsi ekstasinya. Ia tahu warung itu buka sekitar pukul tujuh. Dan sekarang masih pukul enam lewat lima. Dirinya siap menunggu akan hal itu.
Dikha menunggu di bawah pohon Ketapang yang sama seperti kemarin. Tak pernah ia merasa segelisah ini. Perempuan itu tak membawa dan memberikan apapun kepadanya yang dapat disangkakan sebagai obat yang mampu membuatnya gila seperti saat ini. Perasaannya begitu aneh.
Sampai pada tiba pukul tujuh itu, warung masih saja belum buka. Dikha mencoba tenang memberi prasangka pada dirinya bahwa perempuan akan datang hari ini. Tepat saat warung itu dibuka, buru-buru Dikha menghampiri. Pura-pura membeli rokok adalah alternatif paling atas dalam pikirannya.
"Bu! rokoknya satu!" seru Dikha bersamaan dengan matanya yang mencuri kesempatan menjelajahi isi warung. Seorang perempuan berhijab di dalam sana membersihkan meja. Mata Dikha berbinar saat perempuan itu mengarahkan wajahnya ke arah etalase. Pandangan mereka bertemu, dan sayang sekali itu bukan permatanya yang semalam.
Setelah mendapatkan rokoknya, Dikha kembali ke bawah pohon Ketapang. Berjam-jam ia menghabiskan waktu dan melewatkan sarapan hingga makan siang. Berharap, perempuan itu datang. Hingga sampai pada menjelang senja, Dikha tak mampu lagi menahan rasa penasarannya akan keberadaan perempuan itu.
"Bu, rokoknya satu lagi." serunya.
"Lho, Mas! Ini mau bungkus ketiga. Bukannya Ibu Ndak mau dagangan Ibu laris. Tapi ndak enak Ibu ngeliat anak muda seperti kamu kebanyakan merokok."
Dikha tersenyum simpul. "Perempuan ... Yang kemarin itu ... Anaknya Ibu?"
Bu Iin terdiam sejenak. Perempuan kemarin? Hanya ada Thia yang membantunya kemarin. Bu Iin pun menggeleng. "Oh, bukan ... Anak ibu yang itu," ia menunjuk dengan arah kepalanya. "Yang kemarin cuma bantu-bantu Ibu buat makan siang kalian."
Bu Iin mendorong rokok di atas etalase. Dikha mengambil dan membayarnya. "Jadi dia kerja di sini?"
Bu Iin kembali menggeleng. "Oh, Ndak. Dia memang sering ke sini. Cuma kebetulan dia bantu-bantu Ibu kemarin."
"Ada nomor WA-nya nggak Bu?" Lagi-lagi Bu Iin menggeleng. Namun kali ini disertai kecurigaan.
"Memangnya ada apa ya, Mas?" selidiknya lembut.
"Ah, ini ... kemarin saya sempat ngobrol sama dia. Ada ... sesuatu yang saya butuh bantuannya dia, tapi kemarin lupa buat minta nomor telepon atau WA-nya."
"Sayangnya Ibu Ndak punya, Mas. Ibu memang kenal dia karena sering ke sini. Tapi kita Ndak pernah komunikasi yang intens. Setahu ibu, dia kuliah di kampus negeri di sini, dan tunggal di daerah Dasan Agung."
"Nggak ada alamat lengkapnya, Bu?"
"Ndak ada, Mas. Hanya segitu informasi yang Ibu tahu."
Dikha pun mengucapkan terima kasih dan berlalu pergi. Sambil mengingat kalimat pada surat perempuan itu yang mengatakan tak ingin bertemu dengannya di kemungkinan manapun.
Seminggu berlalu, Dikha membuang waktu liburannya untuk mencari perempuan itu. Dari pagi hingga siang ia mencarinya ke kampus negeri daerah tersebut dan ke tempat tinggalnya. Sorenya kembali ke pantai. Dan hasil selama seminggu itu nihil. Tak ada yang tahu nama permata. Jikapun ada, itu bukan permata yang dimaksudnya. Dan Dikha ... Sudah harus kembali ke Bandung, dengan melewatkan liburannya, juga perasaan tertahan yang tak tertuntaskan.
***
"Hidup menjadi seorang perempuan itu tak perlu repot. Kenapa kamu harus bersusah-susah menempuh jalan pendidikan yang itu belum tentu bisa membawa kamu pada kesuksesan? Menikahlah dengan Danu. Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan sebagai seorang perempuan. Coba kamu sebutkan! apa kekurangan dia?" perempuan setengah baya itu sibuk membersihkan ikan sambil sesekali melirik ke arah Thia.
Thia yang duduk sambil memeluk lututnya hanya bisa tersenyum pahit. "Dia hanya anak laki-laki payah, pecandu, gila wanita, bodoh, tempramen, dan sayangnya dia diberi sedikit anugerah ketampanan dan lahir dari keluarga kaya. Selebihnya, dia ndak punya apa-apa untuk dibanggakan. Andai kata paman Said meninggal, dia Ndak lebih dari sampah masyarakat!"
Prang! Ibunya Thia melempar pisau ke sembarang arah. "Siapa yang mengajari kamu jadi perempuan yang banyak omong seperti ini? Heran! Kamu terlalu menuntut kesulitan dalam hidupmu sendiri."
Thia diam. Meski hatinya masih menyisakan gemuruh untuk memberontak. Seminggu yang lalu, Ibu dan Bibinya menjemputnya secara paksa ke kost-an. Mereka memaksakan kehendak agar Thia mau menikah dengan sepupunya yang batal menikah. Pengantinnya kabur membawa lari semua mahar ratusan juta dan semua seserahan mahal lainnya.
Sudah bagus keputusan yang perempuan itu ambil. Ia sudah membuang takdir buruk menjadi istri seorang pria yang tak berguna yang akan menyengsarakan hidupnya. Tapi bagian paling tak menyenangkannya, takdir buruk itu malah ditimpakan kepadanya.
"Kamu Ndak kasihan sama Ibu? Tiga tahun setelah kematian bapakmu, hidup kita pas-pasan. Kamu juga sok-sokan kuliah. Kayak punya duit banyak saja. Sudah tidak ada pilihan lain selain menikah!" tegas ibunya Thia.
"Bu!! Aku kuliah dengan beasiswa. Tanpa menyulitkan ibu sedikitpun. Padahal aku hanya butuh dukungan. Tapi ibu tidak mampu memberikannya. Jika ibu berharap harta dari pernikahan ini, ibu tak lebih dari seorang ibu yang memperjual-belikan putri sendiri!"
Plak! pipi Thia terasa kebas setelah ibunya mengayunkan tangannya begitu keras hingga membuat wajahnya terhempas. Sakit bercampur kebas.
"Ingin merasa pintar kamu? ingin menjadi anak durhaka? Sifatmu semakin lama semakin menjadi-jadi saja!"
"Lalu ibu merasa sudah menjadi ibu yang baik? Ibu mengambil takdir instan, dengan menukar takdir buruk untuk aku!" segera Thia bangkit dan menuju kamar. Ia mengunci pintu lalu menangis sejadi-jadinya. Bahkan jika bapaknya masih hidup, takdir seperti ini tak akan pernah menimpanya.
***
Pernikahan itu berlangsung sangat singkat. Karena pernikahan sebelumnya Danu —sepupunya— batal, pihak keluarga mereka tak ingin berlama-lama demi mengembalikan nama baik keluarganya. Serangkaian upacara adat pun terselesaikan dengan singkat. Dan orang-orang tahu, Thia tak menghendaki pernikahan ini. Jelas dari raut wajahnya yang tak pernah bersemangat.
Perangai dan tabiat Danu yang tidak baik, menjadi momok dari mulut para tetangga yang menyayangkan pernikahan ini. Semuanya tahu, ibunya Thia bersikeras dengan harta yang dijanjikan. Mirisnya, semua orang memandangnya penuh kasihan. Bagaimana tidak? Perempuan yang selalu gemilang prestasi itu harus menarik mimpi-mimpinya hanya untuk menikahi pria yang tak bermoral.
"Berhenti menangis. Jangan jadi material bakaran untuk para tetangga agar mengasihanimu!" peringatnya.
"Takdirku memang pantas dikasihani, Bu!" Thia menatap tajam ibunya. Dan wanita itu menahan diri untuk tak menyembur putrinya. Daripada berlama-lama disamping putrinya dan dapat memantik api amarah, ibunya Thia memilih keluar dari kamar. "Padahal aku butuh dia untuk memeluk dan menenangkanku ..." isaknya tertahan.
Rumah kecil itu dipenuhi para tamu dari dua keluarga. Yang paling mendominasi adalah keluarga besar dari mempelai pria. Ruang tamu yang kecil itu dihias seindah mungkin dengan dekorasi yang menarik. Riuh orang-orang diluar sana mengatakan bahwa penghulu telah tiba. Dan akad akan segera berlangsung.
Dari dalam kamar, Thia mampu mendengar jelas. Pria yang akan menjadi suaminya itu akan mengucap Ijab Qabul dengan lancar dan tanpa hambatan. Suara "Sah" dari para saksi mendominasi suasana. Thia bergeming, saat menyadari dirinya telah resmi menjadi seorang istri, dari pria yang tak ia inginkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!