PAGI-PAGI sekali bahkan sebelum garis hitam pada langit berganti cerah, Dikha sudah menuju pantai. Tujuan utamanya adalah warung tradisional kemarin. Gerak geriknya yang tergesa-gesa, tak kurang seperti seorang pecandu yang absen mengonsumsi ekstasinya. Ia tahu warung itu buka sekitar pukul tujuh. Dan sekarang masih pukul enam lewat lima. Dirinya siap menunggu akan hal itu.
Dikha menunggu di bawah pohon Ketapang yang sama seperti kemarin. Tak pernah ia merasa segelisah ini. Perempuan itu tak membawa dan memberikan apapun kepadanya yang dapat disangkakan sebagai obat yang mampu membuatnya gila seperti saat ini. Perasaannya begitu aneh.
Sampai pada tiba pukul tujuh itu, warung masih saja belum buka. Dikha mencoba tenang memberi prasangka pada dirinya bahwa perempuan akan datang hari ini. Tepat saat warung itu dibuka, buru-buru Dikha menghampiri. Pura-pura membeli rokok adalah alternatif paling atas dalam pikirannya.
"Bu! rokoknya satu!" seru Dikha bersamaan dengan matanya yang mencuri kesempatan menjelajahi isi warung. Seorang perempuan berhijab di dalam sana membersihkan meja. Mata Dikha berbinar saat perempuan itu mengarahkan wajahnya ke arah etalase. Pandangan mereka bertemu, dan sayang sekali itu bukan permatanya yang semalam.
Setelah mendapatkan rokoknya, Dikha kembali ke bawah pohon Ketapang. Berjam-jam ia menghabiskan waktu dan melewatkan sarapan hingga makan siang. Berharap, perempuan itu datang. Hingga sampai pada menjelang senja, Dikha tak mampu lagi menahan rasa penasarannya akan keberadaan perempuan itu.
"Bu, rokoknya satu lagi." serunya.
"Lho, Mas! Ini mau bungkus ketiga. Bukannya Ibu Ndak mau dagangan Ibu laris. Tapi ndak enak Ibu ngeliat anak muda seperti kamu kebanyakan merokok."
Dikha tersenyum simpul. "Perempuan ... Yang kemarin itu ... Anaknya Ibu?"
Bu Iin terdiam sejenak. Perempuan kemarin? Hanya ada Thia yang membantunya kemarin. Bu Iin pun menggeleng. "Oh, bukan ... Anak ibu yang itu," ia menunjuk dengan arah kepalanya. "Yang kemarin cuma bantu-bantu Ibu buat makan siang kalian."
Bu Iin mendorong rokok di atas etalase. Dikha mengambil dan membayarnya. "Jadi dia kerja di sini?"
Bu Iin kembali menggeleng. "Oh, Ndak. Dia memang sering ke sini. Cuma kebetulan dia bantu-bantu Ibu kemarin."
"Ada nomor WA-nya nggak Bu?" Lagi-lagi Bu Iin menggeleng. Namun kali ini disertai kecurigaan.
"Memangnya ada apa ya, Mas?" selidiknya lembut.
"Ah, ini ... kemarin saya sempat ngobrol sama dia. Ada ... sesuatu yang saya butuh bantuannya dia, tapi kemarin lupa buat minta nomor telepon atau WA-nya."
"Sayangnya Ibu Ndak punya, Mas. Ibu memang kenal dia karena sering ke sini. Tapi kita Ndak pernah komunikasi yang intens. Setahu ibu, dia kuliah di kampus negeri di sini, dan tunggal di daerah Dasan Agung."
"Nggak ada alamat lengkapnya, Bu?"
"Ndak ada, Mas. Hanya segitu informasi yang Ibu tahu."
Dikha pun mengucapkan terima kasih dan berlalu pergi. Sambil mengingat kalimat pada surat perempuan itu yang mengatakan tak ingin bertemu dengannya di kemungkinan manapun.
Seminggu berlalu, Dikha membuang waktu liburannya untuk mencari perempuan itu. Dari pagi hingga siang ia mencarinya ke kampus negeri daerah tersebut dan ke tempat tinggalnya. Sorenya kembali ke pantai. Dan hasil selama seminggu itu nihil. Tak ada yang tahu nama permata. Jikapun ada, itu bukan permata yang dimaksudnya. Dan Dikha ... Sudah harus kembali ke Bandung, dengan melewatkan liburannya, juga perasaan tertahan yang tak tertuntaskan.
***
"Hidup menjadi seorang perempuan itu tak perlu repot. Kenapa kamu harus bersusah-susah menempuh jalan pendidikan yang itu belum tentu bisa membawa kamu pada kesuksesan? Menikahlah dengan Danu. Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan sebagai seorang perempuan. Coba kamu sebutkan! apa kekurangan dia?" perempuan setengah baya itu sibuk membersihkan ikan sambil sesekali melirik ke arah Thia.
Thia yang duduk sambil memeluk lututnya hanya bisa tersenyum pahit. "Dia hanya anak laki-laki payah, pecandu, gila wanita, bodoh, tempramen, dan sayangnya dia diberi sedikit anugerah ketampanan dan lahir dari keluarga kaya. Selebihnya, dia ndak punya apa-apa untuk dibanggakan. Andai kata paman Said meninggal, dia Ndak lebih dari sampah masyarakat!"
Prang! Ibunya Thia melempar pisau ke sembarang arah. "Siapa yang mengajari kamu jadi perempuan yang banyak omong seperti ini? Heran! Kamu terlalu menuntut kesulitan dalam hidupmu sendiri."
Thia diam. Meski hatinya masih menyisakan gemuruh untuk memberontak. Seminggu yang lalu, Ibu dan Bibinya menjemputnya secara paksa ke kost-an. Mereka memaksakan kehendak agar Thia mau menikah dengan sepupunya yang batal menikah. Pengantinnya kabur membawa lari semua mahar ratusan juta dan semua seserahan mahal lainnya.
Sudah bagus keputusan yang perempuan itu ambil. Ia sudah membuang takdir buruk menjadi istri seorang pria yang tak berguna yang akan menyengsarakan hidupnya. Tapi bagian paling tak menyenangkannya, takdir buruk itu malah ditimpakan kepadanya.
"Kamu Ndak kasihan sama Ibu? Tiga tahun setelah kematian bapakmu, hidup kita pas-pasan. Kamu juga sok-sokan kuliah. Kayak punya duit banyak saja. Sudah tidak ada pilihan lain selain menikah!" tegas ibunya Thia.
"Bu!! Aku kuliah dengan beasiswa. Tanpa menyulitkan ibu sedikitpun. Padahal aku hanya butuh dukungan. Tapi ibu tidak mampu memberikannya. Jika ibu berharap harta dari pernikahan ini, ibu tak lebih dari seorang ibu yang memperjual-belikan putri sendiri!"
Plak! pipi Thia terasa kebas setelah ibunya mengayunkan tangannya begitu keras hingga membuat wajahnya terhempas. Sakit bercampur kebas.
"Ingin merasa pintar kamu? ingin menjadi anak durhaka? Sifatmu semakin lama semakin menjadi-jadi saja!"
"Lalu ibu merasa sudah menjadi ibu yang baik? Ibu mengambil takdir instan, dengan menukar takdir buruk untuk aku!" segera Thia bangkit dan menuju kamar. Ia mengunci pintu lalu menangis sejadi-jadinya. Bahkan jika bapaknya masih hidup, takdir seperti ini tak akan pernah menimpanya.
***
Pernikahan itu berlangsung sangat singkat. Karena pernikahan sebelumnya Danu —sepupunya— batal, pihak keluarga mereka tak ingin berlama-lama demi mengembalikan nama baik keluarganya. Serangkaian upacara adat pun terselesaikan dengan singkat. Dan orang-orang tahu, Thia tak menghendaki pernikahan ini. Jelas dari raut wajahnya yang tak pernah bersemangat.
Perangai dan tabiat Danu yang tidak baik, menjadi momok dari mulut para tetangga yang menyayangkan pernikahan ini. Semuanya tahu, ibunya Thia bersikeras dengan harta yang dijanjikan. Mirisnya, semua orang memandangnya penuh kasihan. Bagaimana tidak? Perempuan yang selalu gemilang prestasi itu harus menarik mimpi-mimpinya hanya untuk menikahi pria yang tak bermoral.
"Berhenti menangis. Jangan jadi material bakaran untuk para tetangga agar mengasihanimu!" peringatnya.
"Takdirku memang pantas dikasihani, Bu!" Thia menatap tajam ibunya. Dan wanita itu menahan diri untuk tak menyembur putrinya. Daripada berlama-lama disamping putrinya dan dapat memantik api amarah, ibunya Thia memilih keluar dari kamar. "Padahal aku butuh dia untuk memeluk dan menenangkanku ..." isaknya tertahan.
Rumah kecil itu dipenuhi para tamu dari dua keluarga. Yang paling mendominasi adalah keluarga besar dari mempelai pria. Ruang tamu yang kecil itu dihias seindah mungkin dengan dekorasi yang menarik. Riuh orang-orang diluar sana mengatakan bahwa penghulu telah tiba. Dan akad akan segera berlangsung.
Dari dalam kamar, Thia mampu mendengar jelas. Pria yang akan menjadi suaminya itu akan mengucap Ijab Qabul dengan lancar dan tanpa hambatan. Suara "Sah" dari para saksi mendominasi suasana. Thia bergeming, saat menyadari dirinya telah resmi menjadi seorang istri, dari pria yang tak ia inginkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
prenjon
oh jadi ini kenapa Thia rela menjadi permata yang cacat itu?
2025-04-18
0
prenjon
Dikha kayaknya benar-benar udah jatuh cinta sama Thia ya ...
2025-04-18
0