4. Siapa yang mengambilnya?

SELESAI akad, dilanjutkan dengan acara resepsi yang hanya berlangsung sampai tengah hari. Selepas itu, Thia pulang ke rumah suaminya. Lebih tepatnya, ke rumah mertuanya. Lalu Ibunya, seolah melepas sebuah beban yang besar. Mungkin dia merasa lega mendapatkan bagian keuntungan dari pernikahan ini.

Rumah besar berlantai satu itu masih dipenuhi beberapa kerabat. Baik ruang tamu maupun keluarga, semuanya penuh. Hingga menjelang sore, semuanya barulah benar-benar pulang dan menyisakan pemilik rumah.

Thia melirik ke arah pria berstatus suaminya yang hanya bermain game online di atas sofa dengan kaki yang selonjoran. Dari awal, Thia juga tak memiliki ekspektasi apa-apa. Ia sudah tahu bahwa pria ini tak punya kebiasaan yang bisa dibanggakan.

"Thia ... Nak ... Coba sini, bapak mau bicara." panggil Pak Said saat Thia tengah membantu ibu mertuanya di dapur.

"Bi ... Saya dipanggil paman. Ijin sebentar, ya?" Bu Hayati —Ibu mertunya— mengangguk mengiyakan. Sebelum Thia pergi, beliau berkata.

"Jangan panggil Bibi dan Paman lagi. Tapi Bapak sama Ibu." Meski ragu, Thia tetap mengangguk agar Ibu mertuanya tak tersinggung.

Thia berjalan mendekati Pak Said. Beliau menepuk betis Danu memintanya memberi tempat untuk Thia duduk. Setelah Danu mengubah posisi, Thia pun duduk di sofa panjang tersebut pada sisi yang lebih dekat dengan bapak mertuanya.

Pak Said menumpukan badannya pada lengan sofa dengan raut serius. "Bapak ingin kamu mengelola tambak dan pabrik beras bapak," Pak Said menatap putranya sendiri yang tetap fokus bermain game. Tapi beliau tahu, telinga Danu pasti aktif mendengarkan perbincangan ini. "Tahu sendiri ... Suami kamu bukan orang yang bisa bapak andalkan dalam hal ini."

Thia meneguk ludahnya kasar. Perkataan bapak mertuanya memang benar. Tapi bagaimanapun, Danu pasti akan tersinggung. Hal itu membuat Thia merasa segan karena di sini bapak mertuanya menganggap dirinya mampu, dan mencela putranya sendiri. Walau begitu, pria itu tak mengambil pusing. Seolah-olah, kalimat-kalimat seperti itu sudah menjadi makanan sehari-hari baginya.

Bu Hayati datang dengan membawakan dua cangkir kopi dan meletakkan masing-masing di depan Danu dan Pak Said.

"Anak itu jangan terlalu sering dimaki-maki dan dicela-cela. Bagaimana bisa bapak mengandalkannya kalau bapak sendiri Ndak pernah kasih dia kesempatan? Dimana-mana juga bisnis keluarga itu dilanjutkan oleh anak, bukan menantu!" Bu Hayati mengambil tempat duduk di sofa yang dekat dengan Danu.

"Hah! Kamu ini!" sergah Pak Said meninggi. "Perlu bapak ingatkan? Saat dia SMA, kerjaannya tawuran, bolos, keluar masuk BK, alhasil, kita harus menyogok sekolah agar mampu memberinya ijazah. Ndak sampai disitu! Kita kasih dia kesempatan untuk kuliah supaya dia setara dengan teman-temannya. Jangan sampai ada anggapan dari orang-orang kita punya uang banyak tapi anak kita tidak kuliah. Bapak ikut kemauan ibu! tapi anak ini! Anak ini tidak pernah menggunakan kesempatan yang kita beri dengan baik. Dia gunakan uang kuliahnya untuk beli perempuan,"

"Sepulangnya lagi dari kuliahnya yang gagal itu, padahal sudah habis uang kita puluhan bahkan ratusan juta. Dia jual juga sapi-sapi tanpa sepengetahuan kita untuk beli barang haram. Sampai lagi yang terakhir itu kemarin! Dia cari calon istri yang Ndak bener. Habis lagi uang kita ditipunya. Untung Allah masih mau menitipkan rezeki untuk kita. Lalu kesempatan seperti apa lagi yang Ibu mau untuk bapak berikan kepadanya? Mau suruh dia yang urus tambak dan pabrik? hancur! Ludes! Ditipu lagi kita sama anakmu itu!"

Thia tertunduk. Sedangkan Bu Hayati bungkam. "Andai kata Thia kemarin Ndak mau nikah sama anak ini! Bapak sudah tidak tahu lagi. Mungkin bapak buang saja! Biarkan saja dia jadi gelandangan di luar sana!"

"Cukup ... Pak ..." serak Thia tertahan. Kalimat terakhir Pak Said menyayat perasaannya. Bahkan ia sendiri terpaksa melakukan itu semua.

"Yasudahlah, Bu. Apanya yang harus dipermasalahkan sih? Biarkan saja Thia yang mengurus bisnis keluarga ini. Dia juga pasti mampu dan kompeten. Sejak SMA saja dia dulu kan sering ikut lomba-lomba nasional utusan sekolahnya." Dalam nadanya, Thia merasakan nada pengejekan dari Danu meski pria itu terdengar memujinya. Thia hanya mampu pura-pura melihat dan meremas kuku tangannya.

Bu Hayati diam dan menurut apa kata putranya. Sedangkan Pak Said sudah jengah dengan perbincangan ini. Beliau tak mau melanjutkannya di sini. Biarkan nanti beliau bicarakan ini dengan Thia dan mengajaknya langsung ke pertambakan dan pabrik. Azan Maghrib menjadi panggilan untuk beliau beranjak dari sofa dan menuju masjid.

"Bapak pergi ke masjid dulu." imbuh beliau pada semuanya. Seperginya Pak Said, Thia dan Bu Hayati kembali pada aktivitas mereka memasak, dan Danu tetap dengan handphone-nya.

Hidangan makan malam itu selesai, dan mereka makan bersama setelah Pak Said pulang dari masjid. Selepas itu, Thia masuk ke kamar sampai merampungkan sholat isya. Kala menyisir rambutnya yang setengah punggung, Danu masuk ke kamar. Hal pertama yang dilakukannya adalah meletakkan handphonenya di lemarinya sendiri.

Perlahan, langkah kaki pria itu mendekat ke arahnya. Perasaan Thia mulai cemas. Dia duduk disamping Thia. Menyampirkan rambut Thia dengan lembut ke belakang. Danu menatap penuh kagum. Mungkin baru pertama kali melihatnya tanpa hijab. Pria itu mengecup pipi Thia dengan lembut dan gerakan yang lambat.

Sisir di tangan Thia terlepas. Danu juga meraih tangannya dan membawanya dalam genggaman. Tangan pria itu hangat. Selaras dengan hawa tubuhnya yang terasa panas dan menginginkan kehangatan. Sementara itu tubuh Thia sendiri dingin dan Tremor. Pria itu menginginkan haknya sebagai pria dan suami. Namun apa jadinya sekiranya jika ia tahu bahwa Thia tak memberikan virginitasnya kepadanya.

Gerakan Danu yang lambat kini berubah cepat dan cenderung terburu-buru. Ada hasrat yang sudah mencapai puncak dan harus terselesaikan. Ia membawa Thia pada ciuman yang penuh sensual dan raupan yang menggairahkan. Lidahnya lihai. Tentu saja. Tak terhitung berapa lidah yang ia mainkan.

Tangannya meraba, menjamah, menekan, dan memelintir bagian vital pada tubuh Thia. Rasanya ... Bukan hanya jiwa kelaki-lakian dalam diri Danu yang menginginkannya. Tapi jiwa keperempuanannya juga meminta hal yang sama. Kain penutup tubuh pada keduanya ditanggalan semua. Tak ada lagi sekat bagi kedua tubuh itu menyatu.

Danu masih setia memberikan rangsangan. Dia melakukannya dengan lembut penuh perhitungan. Tak ada lagi gerakan terburu-buru itu. Gerakannya seolah-olah memberikan sebuah tuntunan praktis. Bak seorang guru yang mengajari muridnya dalam sebuah mata pelajaran, ia mempraktikkannya dengan langkah-langkah yang runut.

Namun alangkah terkejutnya ia ketika menyadari bahwa muridnya perlahan mengikuti tuntunannya. Ia pikir Thia adalah gadis polos yang akan malu-malu. Tapi Thia menunjukkan eksistensinya. Mereka hampir imbang dalam permainan.

Tangan pria itu mulai menuju titik tubuhnya. Mempermainkannya dengan begitu lihai. Suhu tubuh mereka memanas. Tubuh Thia pun terasa bergetar beberapa kali. Sampai tiba pada puncak hidangan utama, Danu menyatukan tubuh mereka. Peluh membanjiri mereka. Rasanya AC itu telah rusak dan tak berfungsi lagi.

Mereka berbagi erangan dan lenguhan. Kamar itu sangat bising atas benturan bunyi dan suara yang beragam. Pada akhirnya, Thia sampai pada pelepasannya. Namun tidak bagi Danu. Pria itu semakin gencar.

"Cukup ... Aku lelah." Thia menepuk lengan Danu beberapa kali. "Danu ... Cukup!" ulangnya lagi.

Pria itu tersenyum menyeringai. Danu semakin gencar dan mempercepat temponya. Pria itu menggila dan cengkeraman kenikmatan. "Akhh ... Memohon!" ia kembali menjamah tubuh Thia untuk mendukung libidonya agar tak segera berakhir.

Bohong jika ia tak sakit hati dengan ucapan ayahnya tadi. Ia serasa direndahkan dan perempuan yang berada di bawahnya ini dianggap istimewa. Akan ia tunjukkan kepada siapapun itu. Meski perempuan ini dinilai pantas dan hebat, perempuan ini akan tunduk dan memohon dibawah kekuasaannya.

Thia menggeleng karena tak Sudi memohon. "Berhentilah! Kamu menyiksaku!" teriak Thia kasar.

Danu tahu. Perempuan ini memiliki ego yang tinggi. Maka ia akan membuatnya tunduk. Danu semakin kasar. Ia bahkan menumpukan kedua tangannya pada kepala tempat tidur. Bagian yang tak Danu sangka, perempuan itu mencekiknya dan mampu membuat gerakannya terhenti. Thia membuat posisi mereka terbalik dan ia bangkit memisahkan tubuh mereka.

"Pria sialan!" umpatnya. Keduanya terengah-engah menormalkan deru napas. Danu pun terkekeh senang.

"Kau nikmat, Thia!" godanya dengan mengerling. Sedang Thia menampilkan ekspresi muak. Ia menutup tubuhnya dengan bedcover. Tak ingin pria itu berlama-lama melihat tubuhnya. Mata Danu pun menjelajah ke arah sprei. Dicari-carinya sebuah bercak, tak ia temukan. Di sana hanya tersisa bekas cairan pergelutan mereka.

"Tunggu! Kamu tidak berdarah?" Kini Thia yang terkekeh senang saat mendapatkan pertanyaan itu.

"Kau juga tak berdarah!?"

"Bodoh! pria memang tak berdarah!"

"Lalu jika kau sendiri tak berdarah, mengapa mengharapkan aku berdarah?" Thia mengangkat alisnya mengejek. Saat itu Danu pun memahami arti kalimat Thia.

Dengan bara di kedua bola matanya, ia menarik tangan Thia kasar. "Siapa? Siapa yang mengambilnya?" pasalnya ia tahu bahwa perempuan ini tak senang disentuh pria.

Thia menatap bara pada mata Danu. "Tak ada yang mengambilnya. Karena aku tak Sudi memberikannya pada pria sepertimu, maka aku membuangnya untuk pria lain!"

Plak! seumur hidupnya, Thia hanya pernah mendapatkan dua tamparan. Yang pertama dari ibunya beberapa hari sebelum ia menikah, dan yang kedua adalah malam ini. tepat setelah ia selesai melakukan malam pertama. Ia pikir, ucapannya akan membuat bara pada bola mata Danu padam dengan air. Tak disangka, ia malah menyiramkan minyak tanah. Pria itu beserta amarahnya, mengambil selembar handuk untuk menutupi tubuhnya sendiri, dan menyeret tubuh Thia yang terbalut bedcover keluar kamar.

Terpopuler

Comments

Ghea Syafitri

Ghea Syafitri

ini buruknya seorang pria. suka menanyakan siapa yang ambil? atau kamu kasih ke siapa keperawananmu? seolah-olah harga diri perempuan hanya diukur dari selaput darahnya saja. btw semangat Thor nulisnya. baru awal" udah seru

2025-05-27

0

Sahiba

Sahiba

kirain si Danu ini beneran dukung Thia. ternyata dia mau menguasai Thia. jangan mau Thia,,, kamu itu perempuan cerdas. jangan mau dibodohi sama suami kamu yang disfungsional itu!!!

2025-04-18

1

prenjon

prenjon

Gilaaa seru banget Thor. sering" update kata gue teh

2025-04-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!