Noda Perkawinan
Amelia Soraya perempuan berusia 33 tahun. Postur tubuhnya yang kecil dengan wajah yang imut dan cantik menawan. Sora memiliki wajah babyface, sehingga ia nampak jauh lebih mudah dari usianya. Kehidupan sehari-hari ia habiskan di kantor. Itu karena untuk mengisi waktu luangnya, ia bosan jika harus tinggal di rumah saja.
Ketika berusia 23 tahun, Sora memutuskan untuk menerima pinangan dari pria yang sudah memacari dirinya sejak bangku SMA. Pernikahan Sora nampak bahagia seperti pasangan menikah pada umumnya. Ia merasa bersyukur mendapatkan seorang suami yang bisa menerima segala kekurangan dirinya.
Alan Manco Kardinov. Pria berusia 34 tahun, ia adalah suami dari Sora. Pria tampan yang memikat hati Sora saat ia berada di bangku SMA. Alan adalah kakak kelas sekaligus tetangga Sora di perumahan tempat tinggalnya dulu. Saat di SMA dulu ia sangat populer di antara para gadis abu-abu. Ia adalah idola dan banyak menjadi rebutan adik kelasnya.
Pribadi Alan yang hangat membuat Sora begitu mencintai suaminya kala itu. Selama mengarungi bahtera rumah tangga sepuluh tahun lebih, jarang ada percikan pertikaian diantara keduanya.
Namun, hal yang paling di takuti sora akhirnya terjadi. Kini badai besar telah menghantam hidup Sora. Peristiwa besar yang tidak akan pernah ia lupakan. Kenangan hidup bahagia bersama Alan akan segera sirna. Berganti dengan hari-hari buruk yang akan menguras air matanya.
Ini semua bermula ketika semua orang mengulas hidup rumah tangganya. Orang-orang di sekelilingnya sibuk mengomentari kesuburan dirinya serta Alan, itu karena dirinya dan Alan tidak kunjung di beri keturunan.
"Aku benci sekali ketika para tetangga menayankan kapan aku akan memiliki momongan. Setiap orang di sekitar rumah, bila berjumpa denganku pasti menanyakan kapan aku punya anak. Apakah mereka tidak tahu, aku juga bertanya pada yang Maha Kuasa mengapa aku tak kunjung di beri keturunan," ucap Sora kepada Alan yang sedang duduk setengah berbaring di sampingnya.
Alan bersikap lebih dewasa, dengan tidak menghiraukan apa kata para tetangga dan orang lain. Ia lebih fokus pada pekerjaan dan kebahagiaan dirinya dengan Sora, ia memilih melupakan perihal keturunan yang jadi akar masalah bagi keluarga besarnya. Alan pun sebenarnya sangat tertekan, Ibunya selalu menanyakan anak pada dirinya.
Alan bisa memahami perasaan sang ibu, karena dia adalah putra satu-satunya. Wajar bila keluarganya menginginkan dia segera memiliki seorang anak. Tapi ntah mengapa, pernikahan yang ia jalani cukup lama dengan Sora tak kunjung menghadirkan buah hati di antara mereka berdua.
"Sabarlah Sora, mungkin belum saatnya. Bila waktunya tiba, pasti akan terjawab doa-doa kita," ucap Alan sembari membelai rambut istri yang ia cintai. Matanya menerawang jauh, seolah ia juga mencari jawaban. Kapan ia akan dipercaya untuk menjadi seorang Ayah.
"Tapi hatiku hancur jika pertanyaan itu keluar dari Ibumu Mas. Beliau sangat menginginkan cucu dari rahimku. Kita sudah menikah sepuluh tahun lebih. Tidak ada tanda-tanda bahwa aku hamil. Semua program hamil sudah ku jalani, semua sia-sia tidak mendapatkan hasil sama sekali," kata Sora dengan putus asa.
Sora seakan-akan sudah menyerah, rasanya ia tidak mampu mendengar ragam cibiran dan sindiran yang menyerang dirinya. Kalimat-kalimat tanya yang mereka lontarkan tanpa sengaja menyakiti hatinya.
"Sudahlah Sora, ayo tidur. Besok kita kembali kerja, jangan habiskan tenagamu untuk memikirkan hal yang hanya membuatmu sakit hati. Alihkan saja pada hal lainnya, bagaimana kalau akhir pekan kita berlibur. Sepertinya pikiranmu sudah sangat kacau," Alan merebahkan tubuhnya disisi Sora, ia memeluk tubuh perempuan yang sudah lama menemani hidupnya.
Mendengar ucapan Alan, mata Sora semula yang belum merasa ngantuk terpaksa ia pejamkan dengan berat hati. Ia memeluk balik tubuh Alan yang memeluk dirinya. Keduanya tidur di atas ranjang yang sama. Dan malam ini mungkin akan jadi malam terakhir bagi keduanya bisa berduaan di dalam kamar dengan begitu mesra.
Pagi menjelang, matahari menerobos masuk lewat jendela kamar Sora. Tangannya merayap di sebelah tempat tidurnya. Ia mencari sosok Alan yang tidak ada jejaknya.
"Kemana mas Alan? Mengapa ia tidak membangunkan aku," ucapnya lirih, seraya menyambar ponsel yang terletak di atas meja dekat ranjangnya.
Sora mengerjapkan kedua matanya, pandangan matanya masih nampak samar dan buram. Ia bangkit dari pembaringan menuju ke dalam kamar mandi, Sora melirik jam dinding yang bertenger di samping pigura besar berisi potret pernikahan dirinya dan Alan. Sebuah gambar yang mengambarkan kebahagiaan mereka berdua.
Bibirnya tersenyum kecut, ia teringat kembali masa-masa indah dulu. Dimana ia masih berstatus pengantin baru. Ingatannya menerawang jauh. Setelah prosesi pernikahan usai, Alan suaminya mengendong tubuhnya memasuki rumah yang besat Dan megah. Rumah hadiah pernikahan dari Alan untuk dirinya.
Harusnya rumah ini diisi dengan gelak tawa anak kecil, bukan seperti sekarang. Sudah mirip seperti kuburan, karena begitu sepi dan sunyi. Sora hanya tinggal berdua dengan Alan di rumah ini setelah mereka resmi menikah. Tidak ada orang lain, kecuali pak Dadang. Ia merupakan tukang kebun sekaligus penjaga rumah Sora yang sudah lama mengabdi pada Alan.
Setelah memakai pakaian yang rapi dan fashionable, Sora meminta pak Dadang membuka pagar pintunya. Ia hendak berangkat kerja, tanpa sarapan sebelumnya. Alan sudah berangkat kerja terlebih dahulu, meninggalkan Sora yang kelihatan kesepian. Dari pada sarapan seorang diri, ia memilih sarapan bersama rekan-rekannya di kantor.
Begitulah kehidupan sehari-hari Sora dan Alan. Suasana yang hangat, lambat laun menjadi dingin karena tidak adanya anak di antara mereka. Keduanya sudah memeriksakan kesuburan masing-masing di rumah sakit, dan sepertinya ada masalah dengan kandungan Sora. Membuat ia susah untuk hamil.
Namun hal itu tidak membuat keduanya menyerah, ntah program apa saja yang sudah mereka jalani. Semua usaha sudah mereka lakukan, usaha dan doa sudah mereka maksimalkan. Tapi mungkin Tuhan belum percaya pada keduanya, hingga usia pernikahan memasuki sepuluh tahun lebih tak kunjung muncul sang buah hati.
Lambat laun Sora merasa jenuh, hingga sempat terpikirkan oleh dirinya. Ia pernah bicara omong kosong pada suaminya. Sora meminta agar Alan menikah lagi. Meski itu bukan permintaan tulus dari hatinya, namun ia kadang merasa tak berdaya sebagai seorang wanita.
Sora ingin melihat suaminya bahagia, terbebas dari tekanan keluarganya. Ia tahu dan paham betul karakteristik sang mertua. Di depan dirinya ibu dari suaminya berkata manis kepadanya. Namun sikapnya berbanding terbalik bila di belakang dirinya. Ia tahu betul karena sudah sering menangkap basah sang mertua yang mengosipkan dirinya mandul ke semua tetangga dan orang-orang yang dikenalnya.
Rasanya tembok pun bisa berbicara. Ia sampai kesal pada sang mertua, namun mau bagaimana lagi. Sora hanya mampu memendam rasa kesalnya. Ia mengambil napas dalam-dalam. Rasanya beban di pundaknya terasa berat. Bila ada yang menjual anak, maka ialah orang pertama yang maju kedepan.
Sora sudah buntu dengan apa yang kini mendera dirinya, ia tidak tahu jalan apa lagi yang harus ia tempuh. Rasanya semua jalan tertutup rapat untuk keluar dari masalah yang menghadapinya. Mendapatkan anak tak semudah membeli jajanan di pasar. Sora meremas kepalanya dengan kasar.
Ia memarkir mobilnya sembarangan di tepi jalan, pagi ini pikirannya benar-benar kacau. Memikirkan anak membuat dirinya prustasi. Haruskah ia merelakan Alan menikah lagi? Haruskah ia merelakan Alan membagi hati? Semua pertanyaan yang mustahi ia jawab. Istri mana yang mau suaminya membagi hati? Istri mana yang rela suaminya berbagi hati?
Tidak terasa, bulir bening turun dari kedua mata Sora. Kedua pipinya basah oleh air mata kesedihan. Sora dilema, apa yang harus ia lakukan untuk menyenangkan hati semua orang tampa harus melukai hatinya sendiri.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
martina melati
ikut program aja.. inteminasi gt
2024-04-06
0
komalia komalia
mampir
2024-03-02
0
Wiek Soen
mbk sept baru mampir
2023-01-16
0