NovelToon NovelToon

Noda Perkawinan

Prolog

Amelia Soraya perempuan berusia 33 tahun. Postur tubuhnya yang kecil dengan wajah yang imut dan cantik menawan. Sora memiliki wajah babyface, sehingga ia nampak jauh lebih mudah dari usianya. Kehidupan sehari-hari ia habiskan di kantor. Itu karena untuk mengisi waktu luangnya, ia bosan jika harus tinggal di rumah saja.

Ketika berusia 23 tahun, Sora memutuskan untuk menerima pinangan dari pria yang sudah memacari dirinya sejak bangku SMA. Pernikahan Sora nampak bahagia seperti pasangan menikah pada umumnya. Ia merasa bersyukur mendapatkan seorang suami yang bisa menerima segala kekurangan dirinya.

Alan Manco Kardinov. Pria berusia 34 tahun, ia adalah suami dari Sora. Pria tampan yang memikat hati Sora saat ia berada di bangku SMA. Alan adalah kakak kelas sekaligus tetangga Sora di perumahan tempat tinggalnya dulu. Saat di SMA dulu ia sangat populer di antara para gadis abu-abu. Ia adalah idola dan banyak menjadi rebutan adik kelasnya.

Pribadi Alan yang hangat membuat Sora begitu mencintai suaminya kala itu. Selama mengarungi bahtera rumah tangga sepuluh tahun lebih, jarang ada percikan pertikaian diantara keduanya.

Namun, hal yang paling di takuti sora akhirnya terjadi. Kini badai besar telah menghantam hidup Sora. Peristiwa besar yang tidak akan pernah ia lupakan. Kenangan hidup bahagia bersama Alan akan segera sirna. Berganti dengan hari-hari buruk yang akan menguras air matanya.

Ini semua bermula ketika semua orang mengulas hidup rumah tangganya. Orang-orang di sekelilingnya sibuk mengomentari kesuburan dirinya serta Alan, itu karena dirinya dan Alan tidak kunjung di beri keturunan.

"Aku benci sekali ketika para tetangga menayankan kapan aku akan memiliki momongan. Setiap orang di sekitar rumah, bila berjumpa denganku pasti menanyakan kapan aku punya anak. Apakah mereka tidak tahu, aku juga bertanya pada yang Maha Kuasa mengapa aku tak kunjung di beri keturunan," ucap Sora kepada Alan yang sedang duduk setengah berbaring di sampingnya.

Alan bersikap lebih dewasa, dengan tidak menghiraukan apa kata para tetangga dan orang lain. Ia lebih fokus pada pekerjaan dan kebahagiaan dirinya dengan Sora, ia memilih melupakan perihal keturunan yang jadi akar masalah bagi keluarga besarnya. Alan pun sebenarnya sangat tertekan, Ibunya selalu menanyakan anak pada dirinya.

Alan bisa memahami perasaan sang ibu, karena dia adalah putra satu-satunya. Wajar bila keluarganya menginginkan dia segera memiliki seorang anak. Tapi ntah mengapa, pernikahan yang ia jalani cukup lama dengan Sora tak kunjung menghadirkan buah hati di antara mereka berdua.

"Sabarlah Sora, mungkin belum saatnya. Bila waktunya tiba, pasti akan terjawab doa-doa kita," ucap Alan sembari membelai rambut istri yang ia cintai. Matanya menerawang jauh, seolah ia juga mencari jawaban. Kapan ia akan dipercaya untuk menjadi seorang Ayah.

"Tapi hatiku hancur jika pertanyaan itu keluar dari Ibumu Mas. Beliau sangat menginginkan cucu dari rahimku. Kita sudah menikah sepuluh tahun lebih. Tidak ada tanda-tanda bahwa aku hamil. Semua program hamil sudah ku jalani, semua sia-sia tidak mendapatkan hasil sama sekali," kata Sora dengan putus asa.

Sora seakan-akan sudah menyerah, rasanya ia tidak mampu mendengar ragam cibiran dan sindiran yang menyerang dirinya. Kalimat-kalimat tanya yang mereka lontarkan tanpa sengaja menyakiti hatinya.

"Sudahlah Sora, ayo tidur. Besok kita kembali kerja, jangan habiskan tenagamu untuk memikirkan hal yang hanya membuatmu sakit hati. Alihkan saja pada hal lainnya, bagaimana kalau akhir pekan kita berlibur. Sepertinya pikiranmu sudah sangat kacau," Alan merebahkan tubuhnya disisi Sora, ia memeluk tubuh perempuan yang sudah lama menemani hidupnya.

Mendengar ucapan Alan, mata Sora semula yang belum merasa ngantuk terpaksa ia pejamkan dengan berat hati. Ia memeluk balik tubuh Alan yang memeluk dirinya. Keduanya tidur di atas ranjang yang sama. Dan malam ini mungkin akan jadi malam terakhir bagi keduanya bisa berduaan di dalam kamar dengan begitu mesra.

Pagi menjelang, matahari menerobos masuk lewat jendela kamar Sora. Tangannya merayap di sebelah tempat tidurnya. Ia mencari sosok Alan yang tidak ada jejaknya.

"Kemana mas Alan? Mengapa ia tidak membangunkan aku," ucapnya lirih, seraya menyambar ponsel yang terletak di atas meja dekat ranjangnya.

Sora mengerjapkan kedua matanya, pandangan matanya masih nampak samar dan buram. Ia bangkit dari pembaringan menuju ke dalam kamar mandi, Sora melirik jam dinding yang bertenger di samping pigura besar berisi potret pernikahan dirinya dan Alan. Sebuah gambar yang mengambarkan kebahagiaan mereka berdua.

Bibirnya tersenyum kecut, ia teringat kembali masa-masa indah dulu. Dimana ia masih berstatus pengantin baru. Ingatannya menerawang jauh. Setelah prosesi pernikahan usai, Alan suaminya mengendong tubuhnya memasuki rumah yang besat Dan megah. Rumah hadiah pernikahan dari Alan untuk dirinya.

Harusnya rumah ini diisi dengan gelak tawa anak kecil, bukan seperti sekarang. Sudah mirip seperti kuburan, karena begitu sepi dan sunyi. Sora hanya tinggal berdua dengan Alan di rumah ini setelah mereka resmi menikah. Tidak ada orang lain, kecuali pak Dadang. Ia merupakan tukang kebun sekaligus penjaga rumah Sora yang sudah lama mengabdi pada Alan.

Setelah memakai pakaian yang rapi dan fashionable, Sora meminta pak Dadang membuka pagar pintunya. Ia hendak berangkat kerja, tanpa sarapan sebelumnya. Alan sudah berangkat kerja terlebih dahulu, meninggalkan Sora yang kelihatan kesepian. Dari pada sarapan seorang diri, ia memilih sarapan bersama rekan-rekannya di kantor.

Begitulah kehidupan sehari-hari Sora dan Alan. Suasana yang hangat, lambat laun menjadi dingin karena tidak adanya anak di antara mereka. Keduanya sudah memeriksakan kesuburan masing-masing di rumah sakit, dan sepertinya ada masalah dengan kandungan Sora. Membuat ia susah untuk hamil.

Namun hal itu tidak membuat keduanya menyerah, ntah program apa saja yang sudah mereka jalani. Semua usaha sudah mereka lakukan, usaha dan doa sudah mereka maksimalkan. Tapi mungkin Tuhan belum percaya pada keduanya, hingga usia pernikahan memasuki sepuluh tahun lebih tak kunjung muncul sang buah hati.

Lambat laun Sora merasa jenuh, hingga sempat terpikirkan oleh dirinya. Ia pernah bicara omong kosong pada suaminya. Sora meminta agar Alan menikah lagi. Meski itu bukan permintaan tulus dari hatinya, namun ia kadang merasa tak berdaya sebagai seorang wanita.

Sora ingin melihat suaminya bahagia, terbebas dari tekanan keluarganya. Ia tahu dan paham betul karakteristik sang mertua. Di depan dirinya ibu dari suaminya berkata manis kepadanya. Namun sikapnya berbanding terbalik bila di belakang dirinya. Ia tahu betul karena sudah sering menangkap basah sang mertua yang mengosipkan dirinya mandul ke semua tetangga dan orang-orang yang dikenalnya.

Rasanya tembok pun bisa berbicara. Ia sampai kesal pada sang mertua, namun mau bagaimana lagi. Sora hanya mampu memendam rasa kesalnya. Ia mengambil napas dalam-dalam. Rasanya beban di pundaknya terasa berat. Bila ada yang menjual anak, maka ialah orang pertama yang maju kedepan.

Sora sudah buntu dengan apa yang kini mendera dirinya, ia tidak tahu jalan apa lagi yang harus ia tempuh. Rasanya semua jalan tertutup rapat untuk keluar dari masalah yang menghadapinya. Mendapatkan anak tak semudah membeli jajanan di pasar. Sora meremas kepalanya dengan kasar.

Ia memarkir mobilnya sembarangan di tepi jalan, pagi ini pikirannya benar-benar kacau. Memikirkan anak membuat dirinya prustasi. Haruskah ia merelakan Alan menikah lagi? Haruskah ia merelakan Alan membagi hati? Semua pertanyaan yang mustahi ia jawab. Istri mana yang mau suaminya membagi hati? Istri mana yang rela suaminya berbagi hati?

Tidak terasa, bulir bening turun dari kedua mata Sora. Kedua pipinya basah oleh air mata kesedihan. Sora dilema, apa yang harus ia lakukan untuk menyenangkan hati semua orang tampa harus melukai hatinya sendiri.

Bersambung

Mencari istri untuk suami

Sora sedang beradu dengan hati kecilnya, mobil yang semula ia kendarai masih terparkir di sembarang tempat. Untung saja tidak ada bunyi peluit yang menghentikan laju mobilnya. Karena untuk beberapa saat Sora sudah dapat menguasai hatinya. Ia sudah berdamai dengan perasaannya.

Mesin mobil kembali menderu, melaju menembus debu halus yang kasat mata. Beberapa saat berlalu, Sora sudah tiba di depan kantor tempat ia bekerja sehari-hari. Ia bekerja di sebuah Bank swasta, posisi Manager sudah ia dapatkan cukup lama. Sora menjabat sebagai manager disana setelah pindah dari kantor cabang sebelumnya. Karirnya yang lumayan mulus berbanding terbalik dengan kehidupan rumah tangganya.

Lagi-lagi perkara keturunan yang menjadi biang keladinya, bagaimana tidak. Hampir semua teman temannya sudah memiliki anak, namun dirinya dan Alan tak kunjung mendapatkan kepercayaan dari sang Maha Kuasa. Bila mengingat hal itu, rasa prustasinya kembali mendera. Kini Sora tengah duduk dalam di ruang kerjanya. Jari-jarinya yang lentik menari-nari di atas layar ponsel. Ia sedang membaca beberapa obrolan dalam group.

Di antara teman-temanya ada yang menyarankan untuk reuni. Sekedar makan bareng dan berkumpul santai, namun Sora memilih menghindar dari pertemuan semacam itu. Kalau sudah bertemu dengan teman temannya hal yang mereka tanyakan pada dirinya selalu mengenai momongan, membuat Sora merasa tidak nyaman. Makanya ia tidak pernah menhadiri perkumpulan yang di adakan oleh teman-temanya. Sora malas dengan pertanyaan yang sama setiap tahunnya.

Di tempat yang berbeda, terlihat Alan sedang meeting bersama benerapa pemegang saham. Alan terpihat begitu memikat dengan setelan jas hitam yang ia kenakan. Bila ia belum menikah dan berstatus lajang, sudah pasti banyak yang mengantri untuk menjadi istrinya. Namun sayang, para wanita harus menelan pil kekecewaan. Karena Alan begitu setia kepada istrinya.

Meskipun belum memiliki anak, Alan tetap menyayangi Sora istrinya. Hanya saja mungkin kadarnya semakin lama semakin berkurang. Karena tidak ada buah hati yang mengikat keduanya, kadang ia iri bila melihat teman sebayanya bermain dengan putra putri mereka. Jauh di lubuk hatinya, perkara buah hati sangat lah berpengaruh pada hidup rumah tangganya. Sayang sekali, Tuhan belum berkenan memberinya keturunan.

Setelah meeting selesai, ia menyambar telpon gengam miliknya. Alan akan menghubungi istrinya. Tadi pagi ia tidak sempat berpamitan pada sang istri. Sora masih tertidur pulas ketika ia berangkat kerja.

"Sora.." panggil Alan di ujung telpon. Alan mengetuk-ngetuk ibu jarinya di atas meja kerjanya.

Sora yang tengah duduk terdiam karena melamun, sedikit kaget ketika telpon gengam miliknya berbunyi. Ada pangilan masuk dari mas Alan suaminya. Sora mengambil napas dalam-dalam. Batulah ia menerima pangilan dai Alan.

"Halo Mas, iya ada apa?' tanya Sora pada laki laki tersebut.

"Aku nanti pulang telat, kamu makan malam sendiri ya. Ada pertemuan dengan salah satu rekan bisnis. Tidak apa-apa kan?" tanya Alan.

"Iya gak apa-apa," Sora mengusap air yang merembas dari kedua matanya.

Bibirnya berbicara ia tidak apa-apa, namun hati kecilnya meronta. Sora seperti perempuan yang haus kasih sayang. Suaminya jarang memiliki waktu bersamanya. Keduanya sama-sama sibuk dalam pekerjaan masing-masing. Bagaimana ia akan hamil jika terus saja begini, batin Sora.

Sora meletakkan telpon gengam miliknya di atas meja kerjanya. Untuk mengalihkan rasa kecewa yang mendera saat ini ia memilih tengelam dalam berkas-berkas yang ada di hadapannya. Setidaknya itu bisa membuat ia sedikit lupa dengan persoalan yang mengelayut dalam benakknya.

Malam pun datang, mengantikan siang yang melelahkan bagi Sora. Selepas adzan Isya' dirinya baru menginjakkan kakinya di rumah. Ini karena ia tahu Alan pulang terlambat, makanya ia memilih makan di luar bersama rekan kerjanya. Dari pada makan malam sendirian membuatnya tidak nafsu makan.

Saat akan memasuki ruang tamu, telinganya menangkap suara mobil milik Alan. Sora langsung melempar tasnya ke sembarang kursi yang ada di ruang tamu. Ia akan menyambut suami tercintanya.

Sora nampak membuat bibirnya tersenyum sempurna ketika akan menyambut sang suami, namun baru beberapa langkah. Kaki sora terpaku di tempatnya. Matanya kembali memerah, melihat aksi sang suami. Alan pulang dengan berjalan sempoyongan di bantu Pak Dadang.

"Sini Pak, biar saya saja," ucapnya pada pak Dadang, seraya mengambil alih lengan sang suami yang telah hilang kesadaran akibat pengaruh alkohol.

Entah sudah berapa gelas yang sudah di habiskan sang suami, baunya begitu menyengat membuat Sora tidak tahan.

"Berapa kali ini yang kau minum Mas?" tanya sora pada pria yang telah mabuk itu. Sepertinya ini bukan kali pertama Sora mendapati Alan pulang dengan kondisi mabuk parah seperti saat ini.

"Sedikit, hanya sedikit.. Hahaha," ucap Alan dengan tawa yang membuat Sora bertambah kecewa pada pria yang kini menjadi suaminya.

"Sudahlah Mas, jangan minum-minum lagi. Mungkin ini yang membuat kita tak kunjung mendapatkan momongan," kata Sora sembari melepaskan sepatu suaminya.

"Ah.. Persetan, aku tidak peduli dengan semua itu. Aku tidak peduli," Alan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia langsung tertidur.

Sora merasa miris dengan pemandangan yang ada di hadapannya saat ini. Dengan telatennya ia melepas kaos kaki suaminya. Ia juga melepas jas yang masih melekat pada tubuh bidang Alan, Sora mengusap kening sang suami. Matanya kembali berair, ketika ia mengusap bulir bening di ekor mata sang suami.

Dalam mabuknya dan di dalam alam bawah sadarnya, Alan menangis. Ia menyimpan kesedihannya sendiri, membuat Sora semakin larut dalam kedukaan. Sudah pasti masalah keturunan yang menjadi akar masalah. Hanya saja Alan tidak pernah membahasnya. Alan selalu berkata tidak masalah, tapi itu benar-benar menjadi masalah besar di tengah-tengah kehidupan rumah tangganya.

Sora melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, ia menyalakan keran air. Kemudian membasahi wajahnya yang nampak sangat lelah. Ia lelah dengan semua yang ada. Kini keputusannya sudah bulat. Sora tidak ingin suaminya semakin lama terjerumus dalam pengaruh minum minuman.

Kini ia sudah bertekad, Sora akan mencarikan istri untuk suaminya. Istri yang mampu memberikan Alan keturunan. Tidak seperti dirinya, yang sudah bertahun-tahun hidup dengan Alan namun tak kunjung mendapatkan momongan.

Sora mengusap wajahnya dengan kedua tangan, ia memandangi pantulan wajahnya pada cermin yang ada di depannya. Keputusan dirinya sudah bulat. Tidak masalah jika nanti ia akan terluka, karena lebih menyakitkan melihat Alan semakin lama semakin terpuruk dalam kesedihan yang ia pendam sendirian.

Sora ingin melihat pria yang di kenalnya hangat itu kembali ceria, ia ingin melihat kebahagiaan di mata Alan yang kini mulai pudar. Sora akan mencarikan istri yang bisa melahirkan anak untuk suaminya. Walau hatinya sangat berat mengambil keputusan ini, tapi Sora belajar merelakan untuk kebahagian sang suami.

Bersambung

Sarapan Paling Lezat

Malam ini begitu dingin bagi Sora, Alan yang ia kenal nampak memperlihatkan banyak perubahan. Sekarang suaminya sering pulang dengan kondisi mabuk, membuat hati Sora perih seperti tergores pisau belati.

Sejatinya Sora tahu betul alasan di balik perubahan sikap suaminya. Hanya saja ia mencoba membiarkan nya, berharap waktu akan merubah Alan seperti sedia kala. Namun harapannya sirna dan musnah sudah. Alan yang dulu berbeda dengan Alan yang sekarang. Alannya yang dulu ia kenal kini telah hilang, Sora dengan segala rasa putus asanya bertekad akan membawa Alan kembali seperti semula.

Sora akan mencari perempuan lain, dan tekadnya kini sudah kuat. Demi kebahagiaan Alan ia rela membagi cintanya. Karena malam semakin larut, sora membaringkan tubuhnya di sisi pria yang akan ia carikan seorang istri lagi. Sora memeluk tubuh Alan yang penuh bau alkohol. Ia seakan tidak peduli, Sora merapatkan tubuhnya dan terlelap dengan memeluk Alan.

Cahaya matahari pagi memaksa masuk ke dalam sela sela jendela kamar Sora, ia kini sudah bangun. Di lihatnya laki laki yang masih terlelap di sampingnya.

"Mas bangun," ucap Sora dengan mengoyang-goyangkan lengan suaminya.

"Akh... Kepalaku pusing banget Ra," Alan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Rasanya kepala Alan begitu pusing sekali.

"Siapa suruh Mas minum-minum," jawab Sora dengan sedikit kesal pada Alan. Ia sangat tidak suka dengan sifat mabuk-mabukan suaminya itu. Padahal dulu Alan adalah anak baik-baik, ia tidak suka minum-minum. Bahkan Alan juga tidak merokok. Ia selalu menjalani gaya hidup sehat. Tapi setelah beberapa tahun belakangan ini sikap Alan mulai berubah.

Alan sekarang sering pulang malam, kadang juga tidak pulang. Alasannya bertemu dengan rekan bisnis, alasan meeting dan banyak alasan lainnya. Membuat Sora kesal bila mengingat perubahan sikap suaminya itu.

"Aku minum hanya sedikit Ra," elak Alan, ia tidak ingin disalahkan oleh Sora.

"Sedikit kok sampai teler begitu," sindiran demi sindiran terlontar dari bibir Sora, ia masih merasa kesal dengan kelakuan suaminya semalam.

"Iya .. iya maaf ya Baginda Ratu," ucap Alan, ia ingin mengakhiri perdebatannya dengan Sora istrinya.

Setelah mendengar permintaan maaf dari suaminya, Entah itu permintaan yang tulus dari hati Alan atau sekedar kata pemanis, Sora sudah tidak ambil pusing. Ia juga ingin kedamaian di pagi ini, lelah rasanya bila ia harus berdebat dengan sang suami.

Andaikan saja ada kehadiran anak di tengah-tengah mereka, mungkin ceritanya akan sedikit berbeda. Sora tengelam dalam lamunannya. Andai saja ia bisa hamil, tiba-tiba bulir air kembali menetes di kedua pipinya. Mengapa ia menjadi sangat sensitif bila menyangkut kehadiran seorang anak. Sora menarik napas cukup dalam, mencoba menguatkan hatinya yang galau dan risau.

Sora melangkahkan kedua kakinya ke dapur, ia ingin membuatkan teh hangat untuk suaminya. Peralatan masak yang ada di dapurnya nyaris jarang terpakai. Itu karena keduanya sering makan di luar, itu pun sendiri-sendiri. Jarak antara Sora dan Alan kian hari kian menjauh, tanpa mereka berdua sadari.

Sekarang teh yang Sora buat sudah siap, ia kembali masuk ke dalam kamar. Dengan nampan yang berada di tangannya, Sora menyentuh lengan sang suami. Alan masih merasa pusing, ia kembali berbaring.

"Minum ini dulu," ucap Sora.

"Makasih Ra," Alan mengulurkan tangannya untuk menyambar gelas yang di sodorkan sang istri.

Alan langsung menghabiskan isi dalam gelas hingga tak bersisa. Rasanya tenggorokannya kini kering, sesekali ia terbatuk. Alan sekarang menjadi pecandu rokok yang berat. Semakin kesal saja Sora pada suaminya.

"Jangan merokok dulu lah Mas, jaga kesehatan. Kesehatan itu penting," tutur Sora.

Seakan tidak menghiraukan perkataan sang istri, Alan bangkit dari tidurnya dan melangkahkan ke dalam kamar mandi. Ia meninggalakan Sora yang sedang kesal pada dirinya. Alan memilih pergi daripada mendengar omelan dari sang istri. Kepalanya semakin pusing bila mendengar suara Sora, istrinya.

"Ah... Kemana gadis yang manis dulu? kenapa sekarang berubah jadi wanita yang sangat cerewet dan banyak aturan," Alan mendesi kesal.

"Siapa wanita cerewet itu Mas?" tanya Sora, ternyata Sora mendengar ia bicara.

"Itu loh, ibu-ibu konpleks sebelah. Pusing banget aku kalo denger mereka kumpul kumpul di depan rumah," Alan mencoba mencari alasan, padahal tadi ia mengerutui sang istri dengan sangat pelan. Tajam juga pendengaran istrinya, batin Alan.

"Alasan!" Sora memandang suaminya dengan pandangan yang penuh arti.

"Udah ah, aku mau mandi. Nanti malah telat ke kantor," Alan kembali meningalakan Sora yang masih mau berbicara dengan dirinya.

Karena Alan sudah masuk ke dalam kamar mandi, kini Sora memebereskan seprai tempat tidurnya. Ia menganti seprai yang berbau alkohol akibat ulah Alan semalam.

Semua Sora kerjakan seorang sendiri. Di rumah yang besar itu, ia tidak memiliki asisten pribadi. Baginya percuma memperkerjakan asisten rumah tangga, toh dirinya dan sang suami jarang di rumah. Mereka berdua jarang menghabiskan waktu di rumah, lebih banyak di luar. Ini yang membuat rumah terasa sepi dan hampa.

Keduanya mencari hiburan masing-masing di luar rumah. Sama-sama merasa suntuk dengan susana rumah yang membosankan. Lagi-lagi Sora berandai-andai, bila ada anak di rumah ini pasti akan nampak berbeda.

Setelah selesai membereskan kamarnya, Sora menyiapkan pakaian untuk suaminya. Ia memilih setelan jas berwarna navy untuk Alan. Tidak lama kemudian Alan keluar dari dalam kamar mandi. Alan kelihatan mempesona dengan rambut basahnya.

"Mandi sana Ra," ucap Alan dan melangkah mendekat ke arah Sora.

Sora hanya diam tak bergerak, ia diam terpaku melihat pemandangan yang memukau matanya. Perlahan Alan mendekatkan wajahnya, ia mencium kening Sora dengan lembut.

"Sana, mandi bau asem," ledek Alan. Membuat Sora malu, ia memang sedang bermandikan keringat setelah membereskan kamar.

"Heheh.. Iya. Ini juga mau mandi," ucap Sora sembari melangkah menuju kamar mandi.

Alan mulai bersiap-siap, ia memakai pakaian yang sudah di siapkan Sora sebelumnya. Kini ia merapikan rambutnya, berkali kali ia berkaca. Ternyata dia masih tampan juga, batin Alan.

Sembari menunggu sora yang masih mandi, Alan memanggang beberapa roti. Kali ini ia akan membuat sarapan sederhana nan istimewa untuk Sora. Sebagai permintaan maafnya untuk semalam, ia sedikit merasa bersalah pada istrinya.

Beberapa saat berlalu, Sora sudah terlihat rapi dan cantik. Ini karena ia akan menghadiri acara pembukaan kantor cabang baru.

"Rapi bener Ra," ucap Alan.

"Iya Mas, ada acara resmi. Nanti ada pengesahan yang di hadiri Bapak Wali Kota," kata Sora sembari duduk di kursi.

Sora memakan sarapan buatan suaminya, meski agak sedikit gosong pada permukaan rotinya. Ia terlihat menikmati momen langkah ini, jarang sekali Alan sarapan berdua dengannya.

"Sedikit gosong ya..." ucap Alan, ia tidak bisa menutupi noda gosong yang menyelimuti roti yang ia panggang.

"Gak papa, enak kok," kata Sora seraya tidak perduli dengan rasa pahit di indra pencecapnya, ia terus mengunyah sarapan paling lezat yang di buat oleh suaminya.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!