Tiga Tahun Yang Lalu (3)
🌈🌈🌈🌈🌈🌈
Nia melihat Edo mengerang kesakitan, darah bercucuran memenuhi tubuhnya. Edo berteriak kesakitan, kemudian
terlihat Tante Sandara yang berteriak histeris memeluk tubuh Edo. Tante Sandara menatap Nia dengan tatapan ingin
membunuh, pergilah perempuan pembawa sial. Seperti itulah isi tatapan kebencian Tante Sandara padanya. Nia
gelisah, kepalanya sakit. Seketika dia membuka mata, ahh, semua hanya mimpi. Gumannya lirih sambil mengelap
keringat dingin yang memenuhi wajahnya.
Apa yang harus aku lakukan sekarang, semua sudah selesai. Aku sudah kehilangan semua, Ayah, Ibu, Nenek dan
sekarang Edo. Ya tuhan.... Kembali air mata jatuh disudut matanya. Tapi aku sudah berjanji akan menghilang
selamanya dari kehidupan Edo, lantas bagaimana dengan kehidupanku sendiri? Aku lahir dan besar di sini. Aku
bekerja di sini, aku..aku merasakan cinta indah dari Edo juga di sini. Kemana aku harus melangkah setelah ini?
Apa aku bisa?
Sejenak Nia berpikir, semua sudah terjadi. Dia pun sudah berjanji pada Tante Sandara. Ya, mau tak mau harus mau.
Walaupun berat harus dijalankan, dia sudah berjanji. Keputusan Nia sudah bulat, dia akan ke Kota Bengkulu,
bukankah di sana masih ada Bibi Ros dan Paman Jayadi Permana serta anak mereka Alika Zani Permana. Toh
selama ini Bibi dan Paman sudah mati-matian membujuk dia agar pindah dan menetap di Bengkulu saja, “tinggallah
di sini saja, di sini ada Bibi dan Pamanmu, kamu gak sendiri seperti di Jakarta. Di sini ada keluargamu, kami sangat
menyayangimu”. Nia ingat benar kata-kata membujuk dari Bibi saat terakhir dia berkunjung ke sana. Bahkan Alikapun tidak tinggal diam untuk meyakinkan Nia agar mau pindah dan menetap di Bengkulu saja. Nia mengambil handphonennya, melihat aplikasi penerbangan. Ya, aku sudah berjanji akan menghilang dari kehidupan Edo.
Maka aku harus pergi secepatnya, menjauh, sejauh mungkin demi kebahagiaan Edo. Nia berusaha mencari jalan
terbaik untuk dirinya sekarang.
Kemudian Nia mengetik dan mengirim surat pengunduran dirinya. Semua sudah diputuskan, dia akan pergi menjauh, memulai kehidupannya yang baru di Kota Bengkulu. Tanpa melihat jam, Nia menelepon Alika malam itu. Lama rasanya dering panggilan tersebut diabaikan, hingga akhirnya terdengar suara malas dari ujung telepon.
“Hallo Nia, ya ampun Nia, kamu tahu gak sih sekarang tuh udah jam 1 malam. Kamu kok niat banget buat ganggu
tidur aku. Masih ada besok Nia, kenapa harus tengah malam sih teleponnya?” Alika menerima panggilan Nia dengan
malasnya. Secara tengah malam di ganggu padahal dia sedang nyenyak di peraduan indahnya.
“Hallo, Alika, maaf aku ganggu kamu”, dan setelah itu hanya suara tangis yang terdengar oleh Alika.
“Nia..Nia..kamu kenapa? Kenapa nangis? Kamu sehatkan, baik-baik ajakan di sana? Bilang deh ma aku, kamu
kenapa? Jangan takut, kamu punya aku, Ayah dan Ibu di sini”. Alika berusaha menenangkan Nia. Tiba-tiba dia
tersadar, Nia bukan tipe orang yang suka mengisengi orang lain dan dia bukan tipe orang yang suka merepotkan
orang lain. Dia tegar, kuat dan tidak cengeng. Tetapi, di saat jam 1 malam Nia menelepon dan menangis, ini pasti telah terjadi ketidakberesan.
“Besok jam 05.10 pagi aku naik penerbangan pertama ke Bengkulu, tolong jemput aku ya Ka, aku akan tinggal di
Bengkulu”. Nia mencoba bersuara diantara derai air matanya.
“Ada apa? Kenapa mendadak sekali. Kenapa baru tengah malam kamu kabari aku? Kamu sehat Nia, kamu baik-baik
sajakan? Nggak ada yang jahatin kamukan di sana?” Alika panik, bayangan buruk melintas di pikirannya mendengar
suara sedih dan tangisan Nia, di tambah fakta ini tengah malam coy.
“Aku capek Ka, aku capek, aku ngak kuat rasanya. Aku ingin bersamamu, ingin di manja Paman dan Bibi”. Nia
merasa pagi masih sangat lama. Dia ingin segera bisa terbang dan sampai di rumah Bibi, segera bisa
menyembunyikan luka hatinya dari dunia ini. “sakit Ka, sakit sekali rasanya”.
“Astaga Nia, kamu kenapa? Aku benar-benar khawatir sekarang? Coba untuk cerita, pelan-pelan dan jangan
menangis lagi”. Alika panik mendengar kata-kata Nia, sebenarnya apa yang terjadi pada Nia pikirnya
“Edo dapat musibah Ka, dia mengalami kecelakaan saat mendaki gunung. Kondisinya kritis sekarang dan Tante
Sandara menyalahkan aku atas semua ini. Katanya, ini semua bisa terjadi pada Edo karena dia bersama aku, Nia si
perempuan pembawa sial. Alika, benarkah aku pembawa sial?” Sepenggal penjelasan dan pertanyaan itu mengalir
dari mulut Nia. Kemudian Nia mengulang kembali kata-kata makian Tante Sandara di Rumah Sakit tadi padanya. Dan semua diceritakan oleh Nia sambil menangis terisak.
Alika marah mendengar cerita Nia, Nenek lampir kurang ajar, dia yang sial. Enak aja ngatain sepupuku pembawa
sial. Dia tuh yang sial, punya mulut nggak disekolahkan. Betapa geramnya Alika terhadap Tante Sandara
“Nia, dengar aku. Kamu tuh gadis cantik dan baik, kamu tuh di kelilingi orang-orang yang sangat sayang sama kamu.
Jadi jangan pernah dengarkan kata Nenek lampir itu. Apa lagi berani menuduh kamu sebagai pembawa sial.
Sekarang dengar ya, kemasi barang-barang kamu. Trus istirahat, kemudian siap-siap berangkat ke sini. Nanti aku
tunggu kamu di bandara. Aku mohon buang pikiran-pikiran buruk dari hati kamu. Pokoknya kamu ke sini aku
tunggu”. Suara Alika mencoba membujuk Nia.
---------------------------------------------------------------------------
Seluruh penumpang sudah masuk ke dalam pesawat Ci****nk\, tetapi Nia masih berjalan gontai mencari keberadaan
kursi penumpangnya. Mata bengkak akibat terlalu banyak menangis, sayu dan sangat letih adalah tampilan Nia saat
ini. Satu persatu kursi Nia lewatkan, hingga akhirnya dia menemukan kursinya sesuai dengan tiket pesawatnya.
Pandangan mata Nia kabur, tetapi dia masih bisa melihat di kursi pertama disebelahnya sudah ada yang duduk.
Sepertinya seorang laki-laki dan orang itu tidak menyadari keberadaan Nia yang ingin masuk ke dalam menuju kursi
penumpangnya.
“Permisi. Maaf tuan, saya izin mau lewat. Kursi saya di sebelah dalam dekat jendela itu”. Sambil Nia menunjukkan
posisi kursinya.
“Ooo..iya, maaf-maaf saya gak lihat kamu berdiri di situ”. Laki-laki itu menyudahi aktivitas membolak balik majalah
di meja kecilnya, dia mendongak menatap asal suara. Cantik, sangat cantik, tapi kenapa ya mata indah itu bengkak
memerah? Apa dia habis nangis semalaman? Kenapa, kenapa cantik kamu kelihatan sangat bersedih? Laki-laki itu
penasaran sambil memandangi Nia. Ia berdiri memberi ruang pada Nia untuk lewat. “Sudah tas kamu biar aja di situ,
nanti aku yang bantu menaikkan ke bagasi atas. Kamu duduk aja lagi.”. Laki-laki itu melihat gelagat Nia yang
kepayahan untuk memasukkan tasnya ke bagasi atas.
Nia hanya mengangguk dan mengucapkan “terima kasih”. Dia tidak bisa melihat jelas wajah laki-laki yang duduk di
sebelahnya, pandangannya kabur, tetapi hati kecilnya merasa hangat mendengar suara laki-laki itu. Suara yang berat
dan menenangkan. Itu yang di rasakan hati kecilnya.
Laki-laki itu duduk setelah Nia duduk di sampingnya. Kemudian dari kursi sebelah kiri si lelaki tersebut berdirilah seorang pemuda yang dengan santainya memasukkan tas Nia ke dalam bagasi atas. Setelah selesai pemuda itu berujar kepada lelaki yang duduk di samping Nia. "Maaf tuan atas ketidaknyaman ini. Andai saja tidak terburu-buru tuan pasti tidak duduk di kelas ekonomi ini. Sempit, berdesakan dan terganggu oleh orang-orang sekitar”.
“Sudahlah Kristo, yang penting kita cepat sampai. Kegiatan kita mendesak di sana. Lagi pula kapan lagi saya bisa
mencoba penerbangan dengan kelas biasa”. Laki-laki itu berbicara sambil menyunggingkan senyum lucunya.
Pesawat siap lepas landas, tiba-tiba Nia gelisah. Di remasnya jari-jarinya tanpa ia sadari. Aku akan pergi jauh,
sangat jauh. Aku akan pergi jauh dari sisimu Edo, kita berpisah sekarang. Jaga dirimu ya sayang, semoga kamu
bahagia setelah tidak bersamaku lagi.
Lelaki di sebelah Nia melihat rona duka yang sangat mendalam di wajah Nia, tanpa berpikir panjang, di
genggamnya jemari Nia, jari-jari yang sedari tadi di remas takut oleh Nia. Nia tersentak, kaget karena lelaki
disebelahnya sudah mengenggam kuat jemarinya. Ada rasa hangat yang menenangkan menjalar ke lubuk hati Nia,
rasa hangat yang menenangkan. Nia suka berada dalam kehangatan yang menenangkan ini, dia sama sekali tidak
menolak perbuatan lelaki itu yang tanpa permisi telah mengenggam kuat jemarinya. Seakan-akan lelaki itu ingin
melindungi Nia dan tidak tahu dari mana rasa tersebut muncul. Biarlah, untuk sesaat seperti ini, Nia memang butuh
perlindungan. Sejenak tanpa disadarinya, Nia merasa aman, merasa berarti, merasa utuh lagi.
“Tenanglah kamu jangan takut, semua akan baik-baik aja. Aku janji padamu!” Suara yang berat dan menenangkan
itu serasa meninabobokan Nia, dia tidak melepaskan genggaman lelaki tersebut, Nia tidak menolaknya. Entah kenapa, hingga akhirnya Nia terlelap selama penerbangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
Uswatun Khasanah
cwok baru siapakah dia...?? kasihan d pisahiin
krna egois angkuh ortu edo beda tahta kekayaan. sedih nyesekkkkk coban terus. nia yg sabar. pasti ad kehabigian yg lain y.
2020-08-17
1
🌹Dwi Agustina⚘
bagus ceritanya thor
2020-07-15
1
Vj Nieco Dregd
mantap thor
2020-02-15
2