Tiga Tahun Yang Lalu (2)
🌈🌈🌈🌈🌈
“Saya harap semua bisa tenang, akan saya jelaskan kondisi pasien saat ini”, dokter mencoba menjelaskan
kondisi Edo. “Pasien mengalami cedera berat berupa fraktur pada tulang betis, luka robek di bahu kanan, serta
mengalami penurunan kesadaran karena sudah kehilangan banyak darah. Sekarang tingkat kesadaran pasien hanya
7, dan kami harus segera melakukan operasi penyelamatan pada pasien. Untuk itu, tolong pihak keluarga
menyelesaikan prosedur awal tindakan agar tim dokter bisa segera bertindak”.
Tante Sandara nyaris pingsan, mukanya seputih kapas. Om Rendra memeluk kuat tubuh lunglai itu, air mata
mengalir deras di wajah tampannya. Entah apa yang berkecamuk di dalam pikirannya sekarang, anak semata
wayang mereka tengah berjuang dari maut, sementara istri tercintanya terkulai lemas, dan dia sendiri, dia serasa
hancur perlahan menerima kenyataan ini.
Nia pun menangis tersedu-sedu sambil menutup muka dengan kedua tangannya. Ya Tuhan..tolong selamatkan
Edo, tolonglah ya Tuhanku..aku akan melakukan apapun demi kekasih hatiku. Aku nggak sanggup ya Tuhan
dengan kenyataan ini. Kasihan om Rendra, kasihan tante Sandara, kasihani kami Tuhan. Doa Nia dalam hati sambil
menutup mata. Nia merasa pusing yang teramat sangat, apa yang harus aku lakukan? Edo, Edo kuatlah sayang.
Toni menepuk pelan pundak Nia, dia tak kalah sedihnya dengan Nia. “Berdoalah Nia, aku tahu doa tulusmu pasti akan dikabulkan”. Toni menatap iba pada Nia.
Tiba-tiba om Rendra membopong tante Sandara ke arah kursi di dekat Nia dan Toni duduk. Aneh, pikir Nia, kenapa
Om Rendra tidak menyadari keberadaannya saat lewat didepannya tadi. Apa mungkin karena rasa khawatir yang
mendera sehingga keberadaan Nia bisa terabaikan.
“Ma, sadar ma..jangan ngini Ma. Papa butuh Mama, Edo bahkan sangat butuh Mama saat ini. Kuat sayang, harus
kuat. Kita harus segera bertindak untuk menyelamatkan nyawa anak kita”. Kata-kata itu meluncur dari mulut Om
Rendra disertai air mata. Tante Sandara hanya membeku dalam pelukan Om Rendra, “Pa, anak kita Pa..Mama gak
sanggup Pa. Pa, tolong Edo, Pa, bilang dokter pindahkan aja sakit Edo ke Mama, Mama gak mau Edo kenapa-napa !
Pa bilang dokter Pa, cepat Pa !"
Semua yang menyaksikan itu sangat-sangat tersayat, ratapan dan permohonan Tante Sandara sangat memilukan.
Nia berusaha berdiri ingin mendekati orang tua kekasihnya itu. Tapi lagi-lagi Toni menahannya, “ jangan sekarang.
Semua sedang bersedih, menghibur dirimu saja kamu enggak bisa, malah mau menguatkan mereka. Kamu mau
mereka tambah terpuruk?”
Nia menghembuskan nafas sambil kembali duduk di samping Toni. Maaf Nia, aku takut Om dan Tante akan marah
besar padamu. Kita semua mendengar keadaan Edo tidak sedang baik-baik saja. Guman sedih Toni di dalam
hatinya.
Sudah hampir 40 menit operasi Edo berjalan. Semua orang pindah menunggui di depan pintu kamar operasi, tetapi
lagi-lagi Toni memilih menjauhkan posisi duduk Nia dari orang tua sahabatnya itu. Nia sebenarnya sedikit heran
dengan perlakuan Toni, tidak cuma itu Nia sebenarnya juga mulai bingung. Kenapa sepertinya Om Rendra dan Tante
Sandara tidak menyadari keberadaan dirinya sedari IGD tadi.
“ Ton, aku harus menyapa Om dan Tante. Aku gak bisa diam aja di sini seperti ini. Aku harus berbicara dengan mereka”. Nia mulai berdiri.
“ Denger deh kalau aku tuh gomong Nia, gak usah sekarang kamu temui mereka. Kita semua sedang kalut, bagus
kamu duduk di sini dan banyak berdoa !" Perintah Toni sambil menunjuk bangku yang tadi diduduki Nia. Tetapi Nia
tetap berkeras, dia tidak mau mendengarkan kata-kata Toni. Dia mulai melangkah ingin mendekati Om dan Tante
Rendra, Toni pun berusaha melarang dengan memegang tangan Nia. Tapi Nia menepisnya dan mulai melanjutkan
langkah kakinya mendekati Om dan Tante Rendra.
“Om, tante”, ujar Nia dengan lemah dan mata berkaca-kaca. Nia mengulurkan tangannya untuk menyalami orang
tua kekasihnya itu.
Om Rendra yang pertama mengangkat kepalanya menatap langsung ke mata Nia, ada rasa iba di dalam hatinya
melihat orang yang dikasihi anak kesayangan mereka sekarang dalam kondisi kacau, sama seperti dia dan istrinya.
“Nia”, hanya itu kata yang bisa diucapkannya.
Om Rendra berusaha melepaskan pelukannya dari istrinya, dia ingin menerima salam Nia. Tetapi diluar dugaan
Tante Sandara menarik tangan suaminya menjauh dari Nia dan menepiskan tangan Nia dengan kasar.
“Menjauhlah dari suami saya”. Ujar Tante Sandara dengan emosinya.
Nia sangat kaget mendapatkan sambutan seperti itu, firasat Toni, Dafi, Angga dan Ardi sudah buruk. Nia, aku sudah
melarangmu menjauh dari mereka. Kata hati Toni mulai takut.
“Tante, ini Nia. Nia ada di sini bersama Om dan Tante. Tante gak perlu khawatir, Edo pasti baik-baik aja”. Nia
berusaha menepis keterkejutannya tadi dengan menyemangati sepasang suami istri itu.
“Buat apa kamu di sini haaaaaaaaa, BUAT APA??” teriak Tante Sandara dengan emosinya. “Pergi kamu, pergi jauh-
jauh kamu dari hadapan saya”. Tante Sandara membentak dan mendorong Nia.
Nia terjatuh, dorongan Tante Sandara membuat kondisinya yang sedikit lemah terhuyung ke samping, terasa sakit mendapat perlakuan sedemian rupa. Nia benar-benar bingung dengan sikap Tante Sandara, kenapa begitu membencinya. Sengaja mengusirnya dengan kasar. Apa salahnya?
“Kenapa kamu berani datang kesini, ha? Dasar perempuan pembawa SIAL, pergilah menjauh dari hadapan saya,
kami tidak butuh kamu di sini. Semakin kamu jauh semakin bagus bagi Edo. Saya sangat membenci kamu”. Tante
Sandara tidak bisa menguasai emosinya begitu melihat Nia berdiri dihadapannya.
“Ada apa ini, kenapa Tante seperti ini, apa salah Nia, Tante”. Nia mulai panik mendapati kenyataan barusan.
“Ooo, masih berani tanya apa salahmu? Heh, dasar pembawa sial tidak tahu diri. Saya jijik melihatmu, PERGI,
menjauhlah dari hadapan saya.” Lagi-lagi Nia di buat bingung dengan kemarahan Tante Sandara.
Air mata mengalir di sudut mata Nia, dia sangat merasa terpuruk. Apa salah dirinya hingga diperlakukan seperti ini.
“Tante, apa salah Nia, jangan usir Nia. Biarkan Nia di sini. Nia nanti akan merawat Edo”.
Mendengar nama anaknya di sebut, emosi Tante Sandara semakin menjadi. “Jangan coba-coba mendekati anak
saya lagi, kamu hanya pembawa masalah bagi kehidupannya. Kamu hanya pembawa sial yang menularkan
kesialanmu pada anak saya. Kalau bukan karena anak saya memacari kamu, pasti tidak pernah ada kejadian dia
ingin membawakan bunga liar itu, Edo pasti baik-baik saja. Dia pasti sehat dan tidak seperti ini. Tapi karena kamu,
semua ini terjadi. Dari dulu saya sudah bilang, kamu bukan pasangan terbaik untuk Edo, kamu gak selevel sama kami, kamu itu hanya anak pembawa sial bagi orang-orang di sekelilingmu. Apa yang mau kamu banggakan dengan
dirimu, hidupmu ha. Apaaa??”
Sakit sekali rasanya menerima hinaan ini, Nia berusaha menutupi mulutnya agar isak tangisnya tak terdengar jelas.
Bolehkah aku mati saja, kenapa sesakit ini rasanya dihina oleh orang yang sudah kuanggap seperti orang tuaku
sendiri. Hati kecil Nia mulai gundah, mulai merasakan kepedihan mendalam.
“Sudah Ma, Mama jangan seperti ini. Kita gak boleh menyalahkan Nia, apa lagi memakinya. Semua sudah terjadi,
sudah garis tangan Edo. Sekarang gimana agar Edo membaik dan pulih seperti biasa. Itu yang harus kita pikirkan.
Nia tidak bersalah dengan musibah ini. Ini semua musibah Ma”. Om Rendra berusaha menyudahi keributan tersebut. Dia tidak tega melihat Nia yang sekarang sudah bersimpuh di kedua kaki istrinya, menangis menerima semua kesalahan yang ditimpakan padanya.
Entah sejak kapan Nia sudah duduk bersimpuh di kaki Tante Sandara. Toni sangat ingin mendekati Nia dan
membawanya jauh dari situasi rumit ini. Tapi sorot mata Dafi, Angga dan Ardi terhadap Toni menyiratkan kata,
jangan ikut campur atau semua akan bertambah kacau.
“Ooo, jadi ini bukan salah perempuan sial ini? Iya Pa, gituh maksud Papa. Papa ingin membelanya? Heh, jangan harap kesialannya akan mengikuti kehidupan anak kita lagi. Sekarang Edo kritis karena dia, besok Edo kenapa lagi karena dia. Najissss Mama sama dia Pa ! Ayahnya meninggal kecelakaan saat Ibunya mengandung dia, Ibunya meninggal saat dia baru tamat SMA, kemudian Neneknya meninggal saat dia baru wisuda. Sekarang Pa, Edo..Edo Pa..anak semata wayang kita kritis karena dia. Semua orang-orang di sekitar perempuan pembawa sial ini akan tertimpa kesialannya, akan mati Pa. Wanita tidak sederajat yang membawa sialnya ke mana-mana. Wanita miskin dari atah barantah, saya muak dengan mukamu”. Kemarahan Tante Sandara telah sampai diubun-ubunnya. Walaupun Nia telah bersimpuh dikakinya tetap tidak meluluhkan hatinya, Tante Sandara semakin menjadi menghina Nia dengan amarah-amarahnya.
“Maafkan Nia tante, maafkan Nia”. Nia berujar diiringi tangisannya sambil mengguncang kaki Tante Sandara.
“Maaf, heh..segampang itu kamu minta maaf. Setelah kesialanmu membuat anak saya celaka. Jangan harap,
sampai matipun saya tidak akan sudi memaafkan kamu pembawa sial”.
“Lantas Nia harus gimana Tante? Nia benar-benar minta maaf atas semua ini. Nia gak pernah menyangka Edo akan
begini Tante. Nia sayang Edo, sangat sayang Tante. Tante, mohon maafkan Nia”.
“Saya minta satu hal padamu, tolong kamu pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan Edo. Bawa semua kesialanmu pada
orang lain. Biarkan Edo hidup tenang, dan biarkan kami bahagia melihat Edo hidup normal tanpa harus kami
khawatir musibah apa lagi yang akan menunggunya karena kesialan yang kamu bawa”. Tante Sandara sudah tidak
tahan lagi dengan keberadaan Nia. Pikiran jahat telah memenuhi hatinya. Rasa takut membuat dia yakin Nialah
penyebab semua ini.
Semua orang terkejut mendengar permintaan Tante Sandara. Tidak ada yang percaya Tante Sandara akan setega itu pada Nia.
“Ma..Mama gomong apa? Mama gak boleh menyalahkan Nia, apa lagi memisahkan Nia dari Edo. Mama jangan
sekejam itu pada Nia. Nia nggak salah, Mama tahu itu. Sudah, sudahi omong kosong ini, lebih baik kita berdoa agar
operasi Edo lancar”. Om Rendra berusaha menengahi suasana yang semakin tidak enak, dia kasihan melihat Nia
bersimpuh memohon pada istrinya seperti itu.
“Maafkan Nia Tante, maafkan Nia”. Hanya kata itu yang bisa diucapnya, saat ini Nia merasa sudah hancur. Hatinya
sakit sekali mendapati kenyataan ini.
“Baik Nia, saya yang akan memohon padamu. Demi kebahagiaan anak saya, saya akan memohon kepadamu agar
menghilang selamanya dari kehidupan anak saya, agar anak saya tidak tertimpa sialmu lagi. Baiklah saya akan
lakukan. Tapi setelah itu, tolong menghilanglah selamanya Nia”. Tante Sandara berusaha berdiri hendak bersimpuh di dapan Nia.
“Tante, jangan seperti itu”, Nia memegang tangan Tante Sandara agar tidak bangkit berdiri. Hati Nia serasa teriris
mendapati kenyataan bahwa tante Sandara sangat membenci dia. “Baiklah, Nia akan pergi menghilang dari
kehidupan Edo, baik Tante. Nia akan penuhi keinginan Tante. Tapi Nia mohon Tante, saat Edo sadar nanti tolong
bilang kalau Nia sangat mencintai dia”. Nia sudah bulat dengan keputusannya.
“Jangan pernah bermimpi saya akan menyebut namamu di depan Edo lagi. Saya tidak mau Edo terus hidup dalam
kesialanmu, dalam cinta yang penuh sial itu”. Tante Sandara menjawab keinginan Nia dengan begitu jijiknya.
Om Rendra memegang ke dua bahu Nia dan berusaha mengajaknya berdiri. Sungguh malang nasib gadis yang
dicintai anak semata wayangnya. Tapi Om Rendra tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin dengan sementara waktu Nia tidak ada di sini bisa membuat suasana tenang. Saat ini dia hanya ingin konsentrasi pada anaknya. Kemarahan istrinya semakin membuat Om Rendra takut hal-hal buruk akan berlanjut. Dia takut kesehatan istrinya nanti akan menurun. Dengan lembut Om Rendra berusaha mengajak Nia berbicara.
“Nia yakin akan pergi?”, tentu maksud pergi Om Rendra adalah pergi sejenak keluar dulu dari Rumah Sakit sampai istrinya tenang kembali.
Dengan susah payah Nia menjawab, “ iya Om, Nia akan menjauh dan menghilang dari sisi Edo, dari kehidupan Edo.
Nia janji Om, tapi Nia mohon Om, saat Edo sadar nanti tolong bilang kalau Nia sangat menyayangi dia, sangat
mencintainya”. Pinta Nia dengan cucuran air mata.
“Iya nak..Nia ngak perlu khawa...”
“Jangan harap saya akan menyampaikan”, Tante Sandara langsung memotong jawaban suaminya. “Pergilah, tolong
menghilanglah. Saya mohon, saya mohon”. Tiba-tiba tante Sandara terisak mengajukan permohonan pada Nia.
Seketika tubuhnya melemah kembali.
Nia mendapati kenyataan tersebut, sudah tidak tahu lagi harus apa. Dia sangat takut terjadi apa-apa dengan Edo, tetapi dia juga merasa sangat sakit di hina dan di anggap pembawa sial. Salahkah dia atas semua musibah yang menimpa orang-orang disekitarnya? Salahkah dia yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah? Apakah dia juga bersalah karena Tuhan memanggil Ibu dan Nenek dari sisinya? Bukankah semua itu sudah ketetapan Tuhan? Lantas kenapa sekarang musibah yang terjadi pada Edo juga merupakan kesalahan dia? Lantas kenapa sekarang latar Nia yang bukan berasal dari keluarga kaya menjadi sebuah masalah?
Toni berusaha mengejar Nia yang telah menjauh dari ruang operasi. Toni heran kenapa semua berakhir seperti ini?
Kenapa Tante Sandara bisa semarah itu pada Nia. “Nia, kamu mau ke mana? Biar aku antar ya”
“Ngak usah Ton, kamu di sini aja. Aku mau pergi Ton, pergi jauh. Hingga bayang-bayangku pun takkan mungkin
terlihat di depan keluarga itu lagi”. Ujar Nia dalam keputuasaanya.
“Iya..iya..tapi kemana? Lihat kondisi kamu sekarang, jangan membuat aku khawatir, ayo aku antar kamu.”.
Nia hanya berjalan pasrah di samping Toni sambil menggandeng tangannya. “Aku mau pulang ke kontrakan Ton”.
Sepanjang perjalanan pulang menuju kontrakannya Nia hanya terdiam. Air mata sedih dan kecewa tidak juga habis
dari matanya. Lelah sekali rasanya, tetapi sakit sekali rasa yang dirasakannya melebihi segalanya. Semua bercampur jadi satu.
Sesampainya di kontrakan, Nia hanya melamun. Semua kejadian di Rumah Sakit berputar kembali. SIAL, SIAL, SIAL,
entah sudah berapa banyak kata itu terucap dari mulut Tante Sandara. Bayangan akan Edo yang tengah kesakitan
tidak berdaya, dan bayangan wajah Ibu serta Neneknya. Nia sangat lelah hingga tanpa disadarinya diapun tertidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 339 Episodes
Comments
Di
kangen sm nia..auto bc ulang lg
2022-09-29
0
Yosa
sedih bnget aq baca nya😢😢😢
2020-08-07
1
ini YANI
hmmmmmmmmm
2020-07-03
1