Bab 4

Di bawah gerimis yang turun dengan ritme lembut, seorang pria melangkah santai, melindungi dirinya dan seorang gadis kecil dalam gendongannya dengan payung hitam besar. Gadis kecil itu tampak cantik, matanya yang berwarna hijau mulai memancarkan binar kehidupan. Rambut hitam legamnya diikat kuncir kuda, sementara beberapa anak rambut jatuh lembut di sekitar wajah mungilnya.

Ragna menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu. Pakaian yang ia kenakan terasa asing di tubuhnya, tetapi nyaman. Jalanan dipenuhi orang-orang dengan payung beraneka warna, beberapa bahkan mengenakan jubah plastik transparan atau berwarna-warni untuk melindungi diri dari rintik hujan.

Sesekali kendaraan yang belum pernah ia lihat sebelumnya melintas, menciptakan cipratan air yang menari di genangan hujan. Bau aspal basah bercampur dengan udara dingin menyelinap ke dalam hidungnya, menghadirkan sensasi yang baru dan aneh.

"Pa, turunin aku! Aku bisa jalan sendiri!" protes Ragna dengan suara nyaring, menatap Verio dari dalam gendongannya.

Verio hanya melirik sekilas sebelum kembali melangkah tanpa ragu. "Kakimu pendek. Yang ada, kau kelelahan lalu menghilang karena tidak bisa menyusulku," jawabnya datar, seakan itu fakta mutlak yang tidak bisa dibantah.

Ragna mengerucutkan bibirnya. "Ih, Papa jahat! Aku kan masih kecil!"

Verio mengangkat bahu dengan ekspresi santainya. "Itu sebabnya aku bilang begitu. Kalau aku mulai bohong, kau bisa-bisa lupa kalau kau itu masih kecil."

Gadis kecil itu mendengus kesal, tapi di sudut bibirnya tersungging senyum kecil. "Terserah Papa. Tapi nanti kalau aku sudah besar, aku pasti lebih tinggi dari Papa!"

Verio menatapnya sekilas sebelum terkekeh pelan. "Baiklah. Kita lihat saja nanti," balasnya dengan nada santai, seolah ingin melihat sejauh mana kepercayaan diri gadis itu bisa bertahan.

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di halte. Verio menutup payungnya dan mengibaskan sisa air dari permukaannya. Orang-orang yang sebelumnya berdiri di sana perlahan menjauh, menjaga jarak tanpa alasan yang jelas. Entah karena wajah Verio yang memang terlihat galak, atau mungkin karena aura yang terpancar darinya.

Ragna memperhatikan sekelilingnya, lalu menatap Verio dengan penuh rasa ingin tahu. "Papa, kenapa mereka menjauh? Papa makan orang, ya?" tanyanya polos.

"Itu urusan mereka," jawab Verio santai sambil menyandarkan payung ke bangku halte. "Kalau aku memang makan orang, kau pasti jadi yang pertama aku masak."

Mata Ragna membulat seolah benar-benar terkejut. "Hei! Dagingku nggak enak, Pa! Yakin mau masak aku?"

Verio menatapnya sekilas sebelum menimpali dengan nada sarkastik, "Makanya, makan lebih banyak. Kau kurus sekali. Sebelumnya, kau dikasih makan apa, sih? Makan lidi?"

Wajah mungil Ragna langsung memerah karena kesal. "Papa! Aku nggak sekurus itu!" serunya sambil memukul-mukul bahu Verio dengan tangan kecilnya. Semangat bertengkarnya jauh lebih hidup dibanding sikap malu-malu yang ia tunjukkan kemarin.

Verio hanya terkekeh ringan, membiarkan gadis kecil itu mengomel sesuka hatinya. Namun, perhatian mereka segera teralihkan ketika sebuah kendaraan panjang dengan warna mencolok berhenti tepat di depan halte.

Verio melirik ke arah kendaraan itu, lalu menepuk kepala Ragna pelan. "Hei, busnya sudah datang. Mengamuknya dilanjutkan nanti," ucapnya santai.

"Bus?" Ragna memiringkan kepala, berusaha mencerna istilah baru itu. Ia menatap kendaraan besar yang kini berdiri gagah di hadapannya, matanya dipenuhi rasa ingin tahu. "Kita mau ke mana, Pa?"

Senyum tipis tersungging di sudut bibir Verio. Tanpa menjawab, ia melangkah ke arah bus dengan langkah mantap, masih menggendong Ragna. Namun, sebelum menaiki tangga bus, ia menoleh sebentar dan berkata, "Kita pulang ke rumah baru."

Kata-kata itu terdengar sederhana, namun bagi Ragna, itu adalah janji—janji akan awal baru yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.

🐾

Bus melaju membelah jalanan basah, sementara Ragna duduk nyaman dalam dekapan Verio. Matanya sibuk mengamati interior bus dengan penuh minat.

"Ini jauh lebih luas dan cepat daripada kereta kuda. Dan bisa membawa banyak orang sekaligus? Dunia ini benar-benar canggih." Ia celingukan, matanya berbinar oleh rasa penasaran. "Tapi... aku ingin tahu bagaimana rasanya duduk di kursi ini. Sayangnya, aku malah duduk di pangkuan pria ini."

Ia mendongak, melirik Verio yang menatap jendela dengan tatapan datar namun terlihat tenggelam dalam pikirannya. "Kenapa aku jadi bersikap begini padanya, ya? Apa karena dia baik? Atau... ada alasan lain? Aku rasa dia memang pria yang baik."

Pemandangan kota yang perlahan mengering menarik perhatian Ragna. Gerimis yang sedari tadi membasahi jalan mulai mereda, dan semburat cahaya matahari perlahan muncul di antara awan kelabu.

"Wah, Papa! Pelangi!" serunya tiba-tiba, matanya berbinar saat jari kecilnya menunjuk langit. Pelangi melengkung indah di cakrawala, menambah warna pada pagi yang sebelumnya kelabu. Dengan semangat, ia menoleh ke Verio, berharap melihat ekspresi yang sama.

Verio melirik ke arah yang ditunjukkan Ragna. Raut wajahnya tetap datar, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat—seolah diam-diam menikmati keceriaan anak kecil di pangkuannya.

"Pelangi itu cantik sekali, kan, Pa?" suara Ragna penuh kekaguman.

Verio mengangguk kecil. Ragna sangat berbeda dari anak-anak lain yang biasanya menghindar atau takut padanya. Gadis kecil ini, yang awalnya malu-malu, kini menunjukkan keberanian yang tak biasa.

Ia menatap Ragna sejenak, pikirannya melayang jauh. "Anak ini," gumamnya dalam hati, "akan tumbuh menjadi seseorang yang kuat dan cerdas."

Namun, keceriaan itu tak bertahan lama. "Yah~ Pelanginya memudar," gumam Ragna, suaranya meredup kecewa.

"Hujannya sudah reda dan langit mulai cerah. Jadi, pelangi memang akan segera menghilang," ujar Verio santai, masih menatap langit.

Ragna menoleh, menatap pria itu dengan rasa ingin tahu. "Benarkah, Pa?" tanyanya, mengharapkan jawaban lebih panjang.

Verio hanya mengangkat bahu kecil. "Entahlah. Mungkin kita bisa mencobanya nanti," sahutnya acuh.

Ragna menatapnya dengan mata berbinar. "Papa bisa membuat pelangi?" tanyanya penuh harap.

Verio terkekeh kecil. "Kalau alatnya mendukung, mungkin saja." Jawabannya singkat, tapi cukup untuk membangkitkan rasa penasaran gadis itu.

Namun, ia tak memberi kesempatan untuk bertanya lebih jauh. "Simpan tenagamu. Perjalanan kita masih panjang. Tidurlah," ucapnya sambil menarik tubuh kecil Ragna ke pelukannya.

"Tapi, Pa... aku belum ngantuk," gumam Ragna, meski tubuhnya sudah mulai terasa hangat dalam dekapan pria itu.

Verio tak menjawab. Tangannya terangkat, mengusap kepala gadis kecil itu dengan gerakan lembut. Keheningan pun menyelimuti mereka.

Tak lama, Ragna menguap kecil, matanya perlahan terasa berat hingga akhirnya tertutup.

Saat gadis itu terlelap, Verio meliriknya sekilas. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Bagi mereka, pemandangan ini mungkin tampak aneh, tapi bagi Verio... Ragna adalah satu-satunya yang berhasil mencairkan kebekuan dalam hidupnya.

🐾

Ragna menggeliat pelan dalam pelukan Verio sebelum membuka matanya, memperlihatkan sepasang manik hijau Zircon yang berkilau. Sekitarnya tampak asing, namun alih-alih panik, gadis kecil itu justru memandang dengan penuh rasa ingin tahu.

Begitu keluar dari bus, bangunan tinggi menjulang di hadapannya, membuatnya mendongak dengan takjub. "Papa tinggal di sini?" tanyanya polos, matanya berbinar menatap gedung megah yang berdiri kokoh di depannya.

Verio melirik sekilas sebelum menjawab santai, "Tidak."

Ragna memiringkan kepalanya, bingung. Bukankah Verio tadi bilang mereka akan pulang?

"Tapi aku tinggal di salah satu unit di sini," lanjut pria itu dengan nada datar. "Ini apartemen, bukan rumahku."

"Oh." Ragna mengangguk paham, meski pikirannya masih dipenuhi rasa penasaran.

"Istana saja sudah dianggap mewah, tapi ini jauh lebih besar dan tinggi," pikirnya. "Aku ingin tahu seperti apa di dalamnya."

Seolah membaca isi kepalanya, Verio menepuk pelan kepalanya dan berkata, "Ayo masuk."

Gadis kecil itu menurut, membiarkan dirinya dibawa masuk ke dalam gedung. Begitu melewati lobi apartemen, kepalanya bergerak ke sana kemari, matanya tak pernah diam menelusuri setiap sudut ruangan.

"Wah," gumamnya kagum, memperhatikan lampu gantung besar yang berkilauan di langit-langit.

Namun, saat mereka memasuki lift, suasana berubah drastis. Orang-orang yang tadinya berdiri di dalam langsung keluar, sementara yang lain memilih menjaga jarak, seolah keberadaan Verio adalah ancaman yang tak terlihat.

Bisik-bisik mulai terdengar, lirih tapi cukup jelas untuk sampai ke telinga mereka. Ragna, yang awalnya sibuk mengamati interior lift, kini mulai memperhatikan tatapan aneh yang diberikan orang-orang pada mereka—atau lebih tepatnya, pada Verio.

Ia menoleh ke pria itu, memperhatikannya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Jaket kulit hitam yang ketat di tubuhnya, sepatu sneakers hitam yang sedikit lusuh, rambut ungu gelap yang acak-acakan, mata hitam tajam yang dalam, dan wajah tampan yang dihiasi tindik kecil di telinga serta satu di bawah bibirnya.

"Papa tampan," gumamnya dalam hati, "tapi kenapa mereka takut?"

Gadis kecil itu menoleh ke sekeliling, lalu tanpa ragu melambaikan tangan kecilnya ke arah beberapa orang yang masih berdiri di luar lift, mencoba menampilkan keceriaan khas anak-anak. Namun, yang ia dapatkan hanyalah tatapan tidak nyaman dan bisikan yang lebih kencang.

"Jadi itu anak haram Verio?"

"Dia itu berandalan. Pantas saja punya anak di luar nikah."

"Tidak ada masa depan untuk pria itu. Kasihan anak kecilnya."

"Anaknya pasti akan jadi berandalan juga. Aku iba."

Pintu lift tertutup, menghalangi pandangan mereka dari dunia luar. Keheningan menguasai ruangan kecil itu, tapi kata-kata yang terucap tadi masih bergema di udara.

Verio melirik Ragna, mencoba menilai reaksinya. Namun, gadis kecil itu hanya diam, wajahnya datar. Tidak ada tanda-tanda kekecewaan, tidak ada amarah, tidak ada air mata.

"Papa," akhirnya ia bersuara, menatap pria itu dengan ekspresi serius yang jarang terlihat. "Mulut mereka berisik, ya?"

Sejenak, Verio terdiam. Lalu, sudut bibirnya terangkat sedikit, terkekeh kecil. "Ya, mereka memang berisik. Jangan terlalu dipikirkan. Mereka hanya iri karena tidak punya keberanian untuk mengatakan itu langsung di depanku."

Ragna mengangguk pelan, tampaknya puas dengan jawaban itu. Tanpa ragu, ia melingkarkan tangannya di leher Verio, memeluknya erat. "Aku tidak suka mereka ngomongin Papa seperti itu."

Senyuman tipis kembali terukir di wajah pria itu. Ia tidak menjawab, hanya membiarkan kehangatan aneh menyelinap ke dalam dadanya.

Lift akhirnya berhenti di lantai tujuan mereka. Verio melangkah keluar dengan langkah tenang, membawa serta Ragna dalam pelukannya.

"Kita tidak perlu peduli apa kata mereka," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri, sementara mereka menyusuri koridor apartemen. "Yang penting kita tahu siapa kita sebenarnya."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!