NovelToon NovelToon

My Crazy Daughter

Bab 1

"Ragna, maafkan aku, maaf. Aku gagal sebagai seorang ayah, hiks..." Seorang pria berlutut, air matanya mengalir deras di wajah yang kini tampak penuh penyesalan. Di hadapannya berdiri seorang gadis cantik dengan surai hitam yang menjuntai anggun. Mata hijaunya memandang pria itu tanpa sedikit pun kehangatan, hanya tatapan dingin yang menusuk.

"Baguslah kalau kau sadar." Suara gadis itu terdengar tenang namun tajam, seperti bilah pisau yang menyayat tanpa ampun. Dia adalah Ragna Ganeshara, gadis tujuh belas tahun yang telah melalui kehidupan penuh cobaan bersama ayah angkatnya, Verio Ganeshara.

"Tapi aku nggak butuh kamu lagi di hidupku, Tuan." Lanjutnya dengan nada sinis, bibirnya melengkung dalam seringai penuh ejekan. "Apa kau masih ingat, dulu, bagaimana kau menyeretku, lalu melemparku ke lautan demi menyenangkan selingkuhanmu? Apa kau kira aku lupa?"

Kata-katanya menghantam pria itu seperti palu godam, membuat tubuhnya bergetar. Namun, Ragna hanya berdiri dengan penuh keangkuhan, menunjukkan bahwa luka lamanya takkan pernah terhapus dengan sekadar air mata dan permohonan maaf.

Pria itu menunduk semakin dalam, bahunya berguncang seiring isak tangis yang kian deras. "Aku... aku menyesal. Aku benar-benar bodoh, Ragna. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan waktu itu. Kumohon... beri aku kesempatan untuk menebus semuanya."

Ragna hanya tertawa kecil, namun tawanya tidak membawa kehangatan. Sebaliknya, tawa itu penuh sarkasme, seperti pisau yang sengaja dia tancapkan ke hati pria itu. "Menebus? Menebus apa? Hidupku yang hampir kau ambil? Luka yang sudah menorehkan jejaknya di setiap ingatanku? Jangan bercanda, Tuan."

Matanya yang hijau bersinar dingin, menatap pria itu dengan kebencian yang telah ia pendam bertahun-tahun. "Kalau kau benar-benar menyesal, kau tidak akan pernah melakukan itu sejak awal. Tapi kau melakukannya, dengan sadar, demi menyenangkan perempuan yang bahkan tidak ada di sisimu sekarang."

Pria itu mengangkat kepalanya perlahan, wajahnya penuh air mata. "Aku tahu... aku tahu aku tak layak. Tapi, aku hanya ingin kau tahu, aku menyesalinya. Aku ingin kau bahagia."

Ragna mendekatkan wajahnya ke pria itu, hingga mereka hanya terpisah beberapa sentimeter. "Kebahagiaanku? Sayangnya, kebahagiaan itu sudah kupelajari sendiri—tanpa kau, tanpa siapa pun. Kau tahu siapa yang benar-benar layak disebut ayah?"

Dia berdiri tegak, menyapu debu yang tak ada di bajunya, lalu mengangkat dagu dengan angkuh. "Verio. Pria itu, meskipun sarkas dan menyebalkan, dia tidak pernah menyerah untuk merawatku. Dia melindungiku ketika dunia menghancurkanku. Kau? Kau hanya sisa dari mimpi burukku."

Setelah melontarkan kata-kata itu, Ragna membalikkan badan, berjalan pergi tanpa sedikit pun menoleh. Pria itu hanya bisa terduduk di lantai, menatap punggung gadis yang pernah dia sia-siakan, tahu bahwa penyesalannya tidak akan pernah cukup untuk menebus dosa masa lalunya.

🐾🐾

Seorang pria melangkah dengan penuh kesombongan di lorong panti asuhan, matanya menyapu sekeliling dengan tatapan tajam, membuat anak-anak kecil yang berada di sana menatapnya dengan ketakutan. Beberapa dari mereka bahkan tak kuasa menahan air mata. Pria itu memiliki wajah tampan, rambut ungu kehitaman yang sedikit berantakan, serta mata hitam yang tajam, seolah mampu menembus siapa pun yang dipandangnya. Telinganya dihiasi beberapa piercing yang mencolok. Dia tidak mengenakan jas formal, melainkan pakaian sederhana berwarna gelap, dengan gaya yang lebih mirip seorang berandalan.

Anak-anak di panti asuhan itu tampak terawat, mengenakan pakaian yang rapi dan bagus. Namun, mata pria itu tertuju pada seorang anak perempuan berusia tujuh tahun yang mengintip malu-malu dari balik bilik. Rambutnya hitam legam, terkesan kusut, sementara matanya yang hijau tampak kosong, tanpa sorot emosi apapun. Penampilannya yang tak terawat menarik perhatian pria itu, membuatnya melangkah mendekat ke arahnya.

Tatapan mereka bertemu. Manik mata hijau yang jernih milik anak itu beradu dengan mata hitam setajam mata elang milik pria itu, seolah saling menyelami satu sama lain, menciptakan keheningan sejenak. Lalu, pria itu dengan tenang mengalihkan pandangannya, menatap pengurus panti dengan ekspresi datar. "Aku pilih anak ini," katanya tanpa ragu.

Pengurus panti memandang anak itu dengan tatapan sinis, lalu beralih menilai pria berpenampilan preman tersebut. Mereka berdua sama-sama berpikir bahwa anak ini mungkin pembawa sial yang sebaiknya disingkirkan.

"Oh, tentu! Tentu!" sahut pengurus panti dengan nada yang terkesan terlalu ceria, "Aku harap dia betah tinggal bersamamu. Didik dia agar tidak membuat masalah, dan kalau bisa, jangan kembalikan dia nanti. Dia sudah tiga kali diadopsi dan selalu berakhir dikembalikan." Curhat sang pengurus panti membuat pria itu mengernyit, sedikit terganggu dengan informasi tersebut.

"Baiklah. Siapkan dokumennya," ujar pria itu dengan nada tegas.

"Ah! Tunggu sebentar, Tuan," sahut pengurus panti dengan tergesa-gesa sebelum bergegas pergi, meninggalkan pria itu bersama anak-anak lain yang masih berkumpul. Beberapa di antaranya menatap gadis kecil itu dengan sorot sinis.

Gadis kecil itu menatap pria di depannya dengan pandangan yang seolah penuh penilaian. Tangannya semakin erat memeluk boneka usangnya yang terlihat lusuh, dengan kain robek di beberapa bagian. Dia melirik sekeliling, menyadari tatapan kebencian yang diarahkan kepadanya, lalu perlahan menundukkan kepala.

"Siapa namamu?" tanya pria itu datar, memecah keheningan.

Gadis itu mendongak, menatap pria itu sejenak sebelum menjawab pelan, "Ragna."

"Nama yang bagus," pria itu berkomentar singkat, sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih tajam. "Mulai sekarang kau ikut denganku. Tapi kau harus tahu, aku bukan orang baik."

Ragna terdiam sesaat, pikirannya melayang pada orang-orang sebelumnya yang pernah mengadopsinya. Wajah mereka selalu manis di awal, tetapi semuanya berubah menjadi dingin dan kasar setelah beberapa waktu.

Namun, kali ini berbeda. Tanpa keraguan sedikit pun, dia menganggukkan kepala. "Uhm," jawabnya lugas, tanpa emosi, seolah sudah terbiasa dengan kehidupan yang tidak memberinya banyak pilihan.

🐾

"Ku harap kau cepat mati, Ragna. Kalau kau membuat ulah lagi dan kembali ke sini, aku nggak akan pernah menerimamu lagi. Kau mengerti?" geram pengurus panti, menyisir rambut hitam gadis itu dengan kasar.

"Iya," jawab Ragna pelan, hampir berbisik.

"Bagus! Aku harap kau tidak pernah kembali. Kalau kau diusir, itu urusanmu!"

Ragna hanya terdiam dan mengangguk tanpa perlawanan. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin dengan kosong. Meski kini ia tampak lebih rapi, pakaian dengan warna pudar dan rambut yang digerai membuatnya tampak sedikit lebih layak daripada sebelumnya.

"Sudah selesai. Sekarang cepat pergi! Jangan membuatnya menunggu lama!" bentak wanita itu seraya mendorong tubuh kecil Ragna dengan kasar menuju ruang tamu.

Tak lama, pria itu muncul dengan membawa beberapa berkas di tangannya. Pandangannya menyapu ke arah Ragna sebelum ia berbicara dengan nada dingin, "Ayo pergi."

Tanpa suara, Ragna mengangguk dan mulai mengikuti pria itu. Namun langkah pria itu tiba-tiba terhenti. Tanpa sepatah kata, ia berbalik, menarik Ragna ke dalam pelukannya dengan satu gerakan tegas.

Tubuh kecil itu kaku dalam pelukannya, namun pria itu tidak peduli. Ia melanjutkan langkahnya, membawa Ragna dalam gendongannya tanpa memperhatikan tatapan terkejut yang terpancar dari para penghuni panti. Ragna hanya bisa membenamkan wajahnya di dada pria itu, merasakan kehangatan yang asing namun entah mengapa menenangkan.

"Kenapa?" bisik Ragna pelan, suaranya hampir tenggelam dalam angin.

"Mulai sekarang, kau putriku," jawab pria itu tanpa menoleh, suaranya datar namun tegas. "Aku nggak akan biarkan putriku terlihat hina." Langkahnya tetap mantap, perlahan meninggalkan panti asuhan yang suram itu.

Ragna terdiam dalam pelukannya, merasakan sesuatu yang asing menyelimuti dirinya. Bukan cinta, bukan pula kasih sayang, tetapi ada kehangatan yang aneh—dingin namun nyata. Seolah-olah pria itu berkata tanpa kata, bahwa ia tidak lagi sendirian, tidak lagi terbuang.

Ketika mereka tiba di luar gerbang panti, pria itu menghentikan langkahnya. Ia menatap bangunan tua itu sekilas, mata hitamnya menyiratkan sesuatu yang tak dapat ditebak. Keheningan sejenak menyelimuti mereka sebelum pria itu kembali melangkah.

Ragna melirik panti asuhan itu untuk terakhir kalinya, tempat yang selama ini ia kenal sebagai "rumah" meski penuh luka. Ada kelegaan dalam hatinya, tapi juga kegelisahan tentang apa yang menunggunya di luar sana. Ia tidak bertanya lagi. Ia hanya memeluk erat boneka usangnya, menggenggam satu-satunya hal yang membuatnya merasa aman di tengah ketidakpastian.

Langit mendung di atas mereka, angin dingin menerpa wajah Ragna, namun dalam gendongan pria itu, ia merasakan sedikit rasa aman. Mereka berjalan menyusuri jalan yang sepi, meninggalkan bayangan masa lalu Ragna di balik pintu gerbang panti yang mulai menutup.

🐾

Pria itu mendudukkan Ragna di atas ranjang yang empuk, membuat gadis kecil itu sedikit terpana dengan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Setelah itu, ia melepas jaket kulit hitamnya yang basah oleh hujan dan menggantungkannya di balik pintu kamar.

"Kita menginap di sini untuk malam ini," ucap pria itu sambil menatap ke luar jendela, di mana hujan badai mengguyur kota tanpa henti.

Ragna hanya mengangguk kecil sebagai jawaban, memeluk boneka usangnya erat-erat. Kakinya yang kecil menggantung di tepi ranjang, sementara ia memandangi pria itu dengan rasa penasaran yang tak berani diungkapkan.

"Om belum memperkenalkan diri," akhirnya Ragna memberanikan diri untuk berbicara, suaranya kecil namun terdengar di tengah suara hujan yang deras.

Pria itu menoleh, wajahnya tetap dingin namun ada sedikit kelembutan di balik matanya. "Aku lupa. Namaku Verio Ganeshara, yang mulai hari ini adalah ayahmu," ucapnya, suaranya tegas namun terdengar seperti janji yang takkan diingkari.

Ragna menatapnya sejenak, lalu menunduk sedikit, menggenggam bonekanya lebih erat. "Aku Ragna. Hanya Ragna. Aku nggak punya nama panjang seperti yang lainnya," ucapnya pelan, ada nada rendah diri dalam suaranya.

Verio terdiam beberapa saat, menatap gadis kecil itu yang tampak begitu rapuh di hadapannya. Ia mendekati ranjang, lalu duduk di samping Ragna. "Mulai sekarang, kau adalah Ragna Ganeshara," ucapnya datar, namun penuh keyakinan.

Ragna mendongak, menatap pria itu dengan mata membulat, hampir tak percaya. "Ganeshara?" ulangnya, suaranya bergetar pelan.

"Ya," jawab Verio singkat, matanya kembali menatap ke luar jendela yang dihiasi gemuruh petir. "Kau bagian dari keluargaku sekarang."

Ragna tidak berkata apa-apa lagi, tapi sesuatu di dalam dirinya mulai terasa sedikit lebih hangat. Untuk pertama kalinya, ia merasa memiliki tempat di dunia ini, meskipun bersama seseorang yang masih asing baginya.

"Terimakasih... Papa." Suara Ragna terdengar seperti bisikan.

Verio menoleh pelan ke arah Ragna, keningnya berkerut mendengar kata-kata itu. "Apa yang kau bilang?" tanyanya dengan suara rendah, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Ragna menunduk, menggigit bibir bawahnya sebelum berbisik, "Terimakasih... Papa." Suaranya kecil, tapi cukup jelas di tengah gemuruh hujan yang terus turun di luar sana.

Pria itu terdiam. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Kata "Papa" itu terasa asing di telinganya—sesuatu yang belum pernah ia dengar diarahkan padanya. Pandangannya melembut, meskipun wajahnya tetap dingin seperti biasa.

"Kau benar-benar anak aneh," gumam Verio, namun ada nada samar yang terdengar seperti senyum dalam suaranya. Ia mengusap kepala Ragna dengan tangannya yang besar dan hangat, membuat gadis itu sedikit tersentak. "Jangan cepat percaya pada orang lain. Bahkan aku."

Ragna mengangguk kecil, tapi tidak mengelak dari sentuhan itu. Dalam keheningan, Verio kembali berdiri, melangkah ke jendela untuk mengamati badai yang tak kunjung reda. Sementara itu, Ragna duduk di ranjang, tangannya menggenggam erat bonekanya, dan untuk pertama kalinya, dia merasa nyaman mengucapkan kata "Papa."

Di luar, petir menyambar, menerangi ruangan sesaat. Namun di dalam kamar itu, ada kehangatan kecil yang mulai tumbuh, membalut dua hati yang tadinya sama-sama dingin dan terluka.

Bab 2

Verio menatap hujan yang mengguyur di luar penginapan dengan ekspresi datar, seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, lamunannya terhenti ketika suara ketukan terdengar di pintu.

Dengan sigap, Verio mendekati pintu, suaranya dingin saat bertanya, "Siapa?"

"Maaf, Tuan. Saya membawa pesanan Anda. Dua porsi makan malam dan satu set pakaian anak perempuan," jawab suara pria dari balik pintu.

Verio mengintip sejenak melalui lubang kecil sebelum membuka pintu. Dua pengurus penginapan berdiri di sana, memegang tray makan malam dan sebuah paperbag. "Terima kasih," ucap Verio pendek, mengambil barang-barang itu tanpa basa-basi, lalu menutup pintu dengan bunyi 'blam.'

Ia berjalan mendekati Ragna yang masih duduk di ranjang. Dengan gerakan santai, Verio melemparkan paperbag itu ke arahnya. Ragna menangkapnya dengan kedua tangan, keningnya berkerut bingung.

"Apa ini, Pa?" tanyanya penasaran.

"Pakaian untukmu," jawab Verio sambil mulai menata piring-piring makan malam di atas meja kecil di dekat jendela.

Ragna membuka paperbag itu dengan hati-hati, lalu matanya berbinar saat melihat dress hijau cantik di dalamnya. Ia memandangi pakaian itu dengan kagum, jemarinya menyusuri kain lembutnya. Pakaian seperti ini adalah sesuatu yang tak pernah ia miliki sebelumnya.

"Terima kasih, Papa," ucapnya tulus, senyumnya kecil namun begitu berharga.

Verio meliriknya sekilas sebelum berkomentar dengan nada sarkas, "Itu untuk dipakai besok. Aku nggak mau orang bilang aku menelantarkan anak karena pakaiannya robek."

Ragna mengangguk pelan dan dengan hati-hati melipat kembali dress itu, lalu meletakkannya di atas meja kecil di dekat ranjang.

"Ayo, makan," ajak Verio sambil duduk di kursi dan mengambil garpu.

"Papa duluan saja. Aku makan setelah Papa selesai," sahut Ragna santai sambil menggoyangkan kakinya di tepi ranjang. Setelah itu, ia merebahkan diri, meregangkan tubuhnya seperti seekor kucing yang baru saja menemukan tempat nyaman.

Verio menatapnya sejenak, lalu menggeleng kecil, tak bisa menahan senyum samar di balik wajah dinginnya. "Dasar bocah aneh," gumamnya

Verio melirik sekilas ke arah Ragna yang sedang merebahkan diri di ranjang. Bibirnya sedikit terangkat dalam senyum kecil yang nyaris tak terlihat. Namun, ia tak berkata apa-apa dan mulai mendekati bocah itu.

Ragna yang asik menatap langit-langit penginapan menoleh ke arah Verio yang menjulang di atasnya. Tanpa ragu, pria itu mengangkat tubuh kecil gadis itu ke pelukannya.

"Tubuhmu ringan sekali." Komentarnya sambil membawa Ratna menuju meja makan dadakan, "Kau sekarang putriku. Tidak ada salahnya makan bersama."

Ragna terdiam. Sejak tinggal di panti asuhan, dia selalu makan sendirian dan paling akhir. Bahkan saat diadopsi pun, gadis kecil itu selalu makan paling akhir dan terkadang mendapatkan makanan sisa.

Verio mendudukkan Ragna di kursi yang berhadapan dengannya. Gadis kecil itu memandang piring berisi makanan yang terhidang di hadapannya dengan tatapan ragu-ragu. Ini adalah makanan yang terlihat jauh lebih enak daripada apa yang biasa dia makan di panti asuhan maupun saat di adopsi dulu. "Papa yakin aku boleh makan ini?" tanyanya pelan.

Verio yang kini sudah duduk di hadapan gadis itu mengangkat sebelah alisnya. "Kau pikir makanan ini untuk siapa lagi? Ayo makan, atau aku yang akan memakannya."

Ragna tersenyum kecil dan mulai menyantap makanannya. Setelah beberapa gigitan, matanya berbinar. "Ini enak sekali!" serunya dengan antusias.

"Jangan terlalu terkesan. Itu cuma makanan penginapan biasa," komentar Verio datar sambil menyuap makanannya, meskipun ada nada samar kepuasan dalam suaranya melihat Ragna menikmati makanan itu.

Setelah selesai makan, Ragna kembali ke ranjang, menatap Verio yang sedang membereskan meja. "Papa selalu seperti ini ya? Dingin tapi baik," gumamnya dengan suara pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

Verio berhenti sejenak, lalu menoleh dengan ekspresi datar. "Aku bukan orang baik, Ragna. Jangan salah paham."

"Tapi Papa berbeda," balas Ragna cepat, matanya penuh keyakinan. "Papa tidak seperti mereka."

Verio tidak menjawab, hanya kembali mengalihkan perhatiannya pada jendela. Di luar, hujan masih mengguyur deras, membentuk irama monoton yang entah kenapa terasa menenangkan. Di dalam kamar itu, meskipun tanpa kata-kata lebih lanjut, ada kehangatan yang perlahan mengisi ruang di antara keduanya.

🐾

"Ayah, jangan Ayah! Kumohon!" Ragna berlutut sambil memegang kaki seorang pria yang berdiri menjulang di hadapannya. Di sebelah pria itu, seorang wanita dengan dress putih mewah bergelayut manja di lengannya, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang penuh manipulasi.

"Sayang, apakah permintaanku ini terlalu berlebihan? Aku hanya ingin dia melompat dari kapal ini. Bukankah dia anak yang tidak kau inginkan? Aku yakin, dia bisa berenang. Lagipula laut ini tidak terlalu dalam," ucap wanita itu dengan nada santai, tatapannya berbinar seolah-olah sedang meminta hadiah.

Ragna menggeleng kuat, air matanya bercucuran. "Jangan, Ayah! Jangan! Aku mohon, jangan lempar aku! Aku janji akan hidup seperti tikus mati, seperti yang Ayah inginkan! Kumohon, Ayah!"

Namun, tubuhnya terasa tertarik, seperti ada yang menyeretnya. Kepanikan membuncah di dadanya hingga suara hangat seorang pria dewasa perlahan menyelinap di pendengarannya.

"Ragna! Bangun, Ragna!"

Ragna tersentak. Nafasnya tersengal saat pandangannya bertemu dengan wajah Verio yang berada tepat di atasnya. Wajah pria itu sedikit panik, dan tangannya menggenggam kedua bahu Ragna dengan erat. Ragna merasakan wajahnya basah-mungkin karena air mata atau keringat dingin.

"Eh? Ada apa, Pa?" tanyanya dengan suara serak, khas orang yang baru saja bangun dari tidur.

Verio mengerutkan alis, tatapannya dipenuhi kebingungan bercampur kekhawatiran. 'Ada apa dengan anak ini?' pikirnya. Saat Verio hendak memejamkan mata tadi, Ragna tiba-tiba berteriak keras dalam tidurnya, wajahnya basah oleh air mata.

"Seharusnya aku yang bertanya begitu. Kau kenapa? Mimpi buruk?" tanya Verio dengan nada sedikit tegas, meski raut wajahnya menunjukkan keprihatinan.

Ragna menunduk sejenak sebelum tersenyum tipis, senyum yang tampak rapuh. "Tidak apa-apa, Pa. Hanya mimpi buruk biasa. Maaf, sudah mengganggu tidur Papa."

Verio menatapnya lekat-lekat, seperti mencoba membaca sesuatu di balik senyum gadis itu. Ia mendesah pelan, lalu mengusap kepala Ragna dengan lembut. "Kalau memang mimpi buruk, kau tidak perlu menanggungnya sendiri. Tidur lagi. Aku di sini."

Ragna menatap Verio dengan ragu, namun perlahan-lahan ia membaringkan tubuhnya kembali, memeluk bantal erat-erat. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah ia benar-benar aman sekarang. Di tengah kesunyian kamar, suara hujan yang turun perlahan menjadi pengantar tidur mereka, meski kegelisahan tetap mengintip di sudut hati kecilnya.

"Tidurlah. Malam masih panjang. Aku akan menemanimu di sini," ujar Verio dengan nada datar, meski ada kelembutan yang terselip di dalam kalimatnya.

Pria itu duduk di tepi ranjang, tangannya terulur mengusap punggung Ragna perlahan, seolah mencoba menyalurkan rasa aman dan ketenangan pada gadis kecil itu. Sentuhannya hangat, meski sikapnya tampak tetap tenang dan terukur.

Ragna mengangguk pelan. Matanya mulai terpejam sambil menguap kecil, tubuh mungilnya perlahan-lahan tenggelam ke dalam kasur yang empuk. Sebelum benar-benar tertidur, suara pelan terdengar dari bibirnya, hampir seperti bisikan.

"Terima kasih, Pa."

Verio terdiam sejenak, menatap wajah kecil yang kini tampak damai dalam tidur. Ia menarik napas panjang, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela, di mana hujan masih mengguyur deras, menciptakan irama monoton yang mengisi kesunyian kamar.

"Mungkin... aku bisa melakukan ini," gumam Verio pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Sebuah harapan kecil muncul di hatinya, meski masih diselimuti keraguan.

Ia tetap di sana, duduk tanpa suara, memastikan kehadirannya cukup untuk menghalau setiap mimpi buruk yang mungkin kembali menghampiri anak itu.

🐾

Pagi datang menjelang dengan gerimis masih setia membasahi kota. Di sebuah penginapan kecil, terdengar suara ribut dari kamar yang dihuni Verio dan Ragna. Gadis kecil itu tampak mengembungkan pipinya sembari memainkan busa sabun dengan ekspresi kesal, merasa kalah berdebat dengan pria yang kini resmi menjadi ayahnya.

Sementara Verio tampak menggosok tubuh bocah itu dengan hati-hati dan lembut, namun pikirannya melayang entah kemana.

Bagaimana tidak, Verio membangunkannya terlalu pagi dan menyuruhnya segera bersiap. Ragna yang masih setengah mengantuk, menguap kecil sebelum berjalan menuju kamar mandi dengan langkah gontai. Namun, setelah lima menit berlalu, tak terdengar suara air mengalir dari dalam. Karena curiga, Verio memutuskan mendobrak pintu kamar mandi, khawatir gadis kecil itu malah tertidur di dalam.

Saat pintu terbuka, Verio mendapati pemandangan yang membuatnya hanya bisa menghela napas panjang. Ragna berdiri di depan bathtub, tangan mungilnya berusaha keras menjangkau keran air yang posisinya terlalu tinggi untuknya.

"Kenapa kau tidak pakai shower saja?" tanya Verio dengan nada datar, membuat Ragna menoleh.

"Aku nggak sampai, Pa," jawab Ragna polos, mendekati shower untuk membuktikan ucapannya. Ia mengangkat tangannya setinggi mungkin, namun tetap tak berhasil menjangkaunya. "Papa lihat, kan?"

Verio menyilangkan tangan di dada, senyum tipis terukir di wajahnya. "Oh, jadi kau pendek ternyata."

Ragna langsung mengernyitkan alis, ekspresi wajahnya berubah kesal. "Aku nggak pendek, Papa! Aku cuma belum tumbuh! Nanti aku pasti lebih tinggi dari Papa!" balasnya dengan semangat, meski wajahnya mulai memerah karena malu.

Verio mendengus kecil, nadanya santai namun terdengar menyindir. "Iya, iya. Pendek tapi banyak alasan."

"Papa!" seru Ragna kesal, menatap Verio dengan mata melotot kecil.

"Kau lambat sekali. Sudah, biar aku yang mandikan," ujar Verio sambil menghidupkan keran air di bathtub.

"Jangan! Aku bisa mandi sendiri!" tolak Ragna cepat, tubuhnya mundur beberapa langkah.

"Kau sudah menghabiskan waktu lima menit cuma untuk menjangkau keran. Kalau dibiarkan, kita akan menginap semalam lagi di sini. Itu artinya, aku rugi," ucap Verio santai sambil menarik lengan Ragna pelan untuk mendekatinya.

Ragna hanya bisa mendengus pelan, namun akhirnya menyerah. "Baiklah... Tapi jangan lama-lama, ya!" gumamnya dengan nada enggan, sembari menunduk.

Verio hanya menggeleng kecil, tak menyangka akan memiliki pagi yang seberisik ini.

Begitu Verio menyibak pakaian atas Ragna, langkah tangannya seketika terhenti. Matanya membeku saat melihat lebam yang mulai memudar dan bekas luka berwarna keputihan di punggung kecil gadis itu. Seolah tak percaya, Verio menarik pakaian Ragna sedikit lebih tinggi untuk memastikan. Namun, karena terlalu tua dan rapuh, pakaian itu robek dengan mudah, membuat punggung Ragna terlihat jelas.

Saat itu, waktu terasa berhenti. Wajah Verio mengeras, pandangannya terpaku pada punggung gadis kecil yang penuh dengan bekas luka seperti cambukan dan lebam yang memudar. Di sudut perutnya, samar-samar terlihat bekas memar yang juga mulai hilang.

Verio menarik napas dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Namun, pikirannya berteriak keras, "Apa yang sudah dia lalui?" Wajah tenangnya tak dapat menyembunyikan tatapan penuh kemarahan yang perlahan muncul.

Dia mengangkat pandangannya ke wajah Ragna. Gadis kecil itu menunduk, tangannya meremas ujung pakaian yang tersisa. Wajahnya pucat, dan ada kilatan ketakutan di matanya yang membuat Verio terdiam lebih lama.

"Kau... Kau terluka seperti ini, tapi tidak bilang apa-apa padaku?" Verio berbicara dengan suara serak, nadanya penuh keterkejutan yang bercampur amarah, namun tidak diarahkan pada gadis itu.

Ragna menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. "Aku... Aku baik-baik saja, Pa," gumamnya pelan, tapi matanya menghindari tatapan Verio.

Perkataan itu hanya menambah rasa sesak di dada Verio. Dia menatap gadis kecil itu, mencoba mencari jawaban. Apa yang telah mereka lakukan padamu? Namun, dia tahu, memaksa gadis itu berbicara sekarang hanya akan membuatnya semakin terpojok.

Dengan gerakan pelan, Verio menarik napas panjang dan memeluk Ragna, melingkarkan lengannya dengan hati-hati agar tidak menyentuh luka-luka itu. "Maaf, Ragna. Maaf aku terlambat datang," bisiknya pelan, hampir tak terdengar.

Gadis kecil itu membeku di pelukannya, matanya membelalak kecil. Perlahan, ia mulai merasa bahwa kehangatan yang ditawarkan Verio berbeda. Ini bukan lagi kasih sayang semu yang ia kenal, tetapi perlindungan yang tulus. Satu-satunya kata yang terucap darinya hanyalah, "Papa..."

Bab 3

Di bawah gerimis hujan, seorang pria melangkah santai dengan payung besar berwarna hitam yang melindunginya dan seorang gadis kecil yang berada dalam gendongannya. Gadis kecil itu tampak sangat cantik, dengan mata hijau yang mulai memancarkan binar kehidupan. Rambut hitam legamnya diikat kuncir kuda, sementara beberapa anak rambut jatuh menghiasi wajah mungilnya.

"Pa, turunin aku! Aku bisa jalan sendiri!" seru Ragna dengan nada penuh protes dari dalam dekapan Verio.

Verio melirik sekilas, lalu melanjutkan langkahnya tanpa ragu. "Kakimu pendek. Yang ada, kau kelelahan terus menghilang karena tidak bisa menyusulku." Jawabannya datar, namun cukup untuk membuat Ragna mengerucutkan bibir.

"Ih, Papa jahat! Aku kan masih kecil!"

Verio hanya mengangkat bahu, tetap dengan ekspresi santainya. "Aku cuma bilang yang sebenarnya. Kalau aku mulai bohong, kau bisa-bisa lupa kalau kau itu masih kecil."

Ragna mendengus, tapi tetap tersenyum kecil di sela omelannya. "Terserah Papa. Tapi nanti kalau aku sudah besar, aku pasti lebih tinggi dari Papa!"

Verio tertawa pelan, menggelengkan kepalanya. "Baiklah. Kita lihat saja nanti," balasnya dengan nada ringan namun menantang.

Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di halte. Verio menutup payungnya, mengibaskan sedikit air dari kain hitam itu. Orang-orang yang sebelumnya berada di sana perlahan menjauh, menjaga jarak. Entah karena wajah Verio yang cenderung garang, atau aura intimidasi yang terpancar jelas darinya.

Ragna memperhatikan sekitar, lalu menatap Verio dengan penuh rasa ingin tahu. "Papa, kenapa orang-orang itu menjauh? Papa makan orang, ya?" tanyanya polos.

"Itu urusan mereka," jawab Verio sambil menyandarkan payungnya ke bangku halte. "Kalau aku makan orang, kau pasti jadi yang pertama aku masak."

Ragna membulatkan matanya, berpura-pura terkejut. "Hei! Dagingku nggak enak, Pa! Yakin mau masak aku?"

"Makanya, makan lebih banyak. Kau kurus sekali. Sebelumnya, kau dikasih makan apa, sih? Makan lidi?" sindir Verio dengan nada santai, tapi tetap menusuk.

Wajah Ragna memerah karena kesal. "Papa! Aku nggak sekurus itu!" serunya sambil memukul-mukul bahu Verio dengan tangan kecilnya. Sikap malu-malu yang kemarin ia tunjukkan kini hilang, digantikan oleh amukan kecil yang penuh semangat.

Verio hanya terkekeh pelan, tidak sedikit pun terganggu. Tapi perhatian mereka segera teralih ketika sebuah bus berhenti tepat di depan halte. Verio mengangguk ke arah bus itu. "Hei, busnya sudah datang. Mengamuknya dilanjutkan nanti," ucapnya santai.

Ragna menghentikan amukannya dan menatap bus dengan penuh rasa ingin tahu. Dia lalu melirik Verio, matanya memancarkan kebingungan. "Kita mau ke mana, Pa?"

Senyum tipis muncul di sudut bibir Verio. Tanpa menjawab, dia melangkah ke arah bus dengan langkah mantap, masih menggendong Ragna. Namun, sebelum menaiki tangga bus, dia menoleh sebentar dan berkata, "Kita pulang ke rumah baru."

Kata-katanya terdengar sederhana, tapi bagi Ragna, itu adalah janji akan awal baru.

🐾

Sepanjang perjalanan, Ragna menatap pemandangan jalanan dengan penuh antusias. Gerimis masih membasahi kota, namun semburat cahaya matahari perlahan muncul dari balik awan kelabu, menciptakan suasana hangat yang bertolak belakang dengan udara dingin pagi itu.

"Wah, Papa! Pelangi!" seru Ragna tiba-tiba, matanya berbinar saat menunjuk ke arah langit. Pelangi yang melengkung indah tampak di cakrawala, menambah warna pada pagi yang semula suram. Dengan riang, gadis itu menoleh ke arah Verio, mencari tanggapannya.

Verio melirik ke arah yang ditunjukkan Ragna. Ekspresinya tetap datar, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat, seolah-olah ia diam-diam menikmati keceriaan anak kecil yang duduk di pangkuannya.

"Pelangi itu cantik sekali, kan, Pa?" Ragna bertanya polos, suaranya penuh kekaguman.

Verio hanya mengangguk kecil. Gadis kecil di depannya, dengan mata hijau yang mulai bercahaya, sangat berbeda dari anak-anak lain yang biasanya menghindar atau menangis hanya karena bertemu dengannya. Ragna, meski awalnya malu-malu, namun sejak pagi tadi menunjukkan keberanian yang tidak biasa untuk seorang anak seusianya.

Dia menatap gadis itu sebentar, pikirannya melayang jauh. "Anak ini," gumamnya dalam hati, "akan tumbuh menjadi seseorang yang kuat dan cerdas."

Namun keceriaan itu tidak bertahan lama. "Yah~ Pelanginya memudar," gumam Ragna dengan nada sedikit kecewa, matanya masih terpaku pada langit.

"Hujannya sudah reda dan langit mulai cerah. Jadi, pelangi itu memang akan segera menghilang," jawab Verio santai sambil menatap langit yang mulai biru.

Ragna menoleh, melihat Verio yang berbicara tanpa menatapnya, tapi nada suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. "Benarkah, Pa?" tanyanya, menunggu penjelasan lebih lanjut.

Verio mengangkat bahu kecil, menatap gadis itu dengan pandangan datar namun penuh perhatian. "Entahlah. Mungkin kita bisa mempraktekkannya nanti," sahutnya acuh.

"Apa Papa bisa membuat pelangi?" tanya Ragna penuh rasa ingin tahu, matanya berbinar dengan semangat baru.

Verio terkekeh kecil. "Kalau alatnya mendukung, mungkin saja." Jawabannya singkat, tapi cukup untuk membuat gadis itu semakin penasaran.

Namun, Verio tak memberi kesempatan lebih lanjut untuk bertanya. "Simpan tenagamu. Perjalanan kita masih panjang. Tidurlah," katanya lembut sambil menarik Ragna ke pelukannya.

"Tapi, Pa... aku belum ngantuk," gumam Ragna sambil menyandarkan kepalanya di dada pria itu.

Verio tidak menjawab. Ia hanya mengusap lembut kepala gadis kecil itu, membiarkan keheningan mengambil alih. Tak lama, Ragna menguap kecil, matanya perlahan terasa berat hingga akhirnya tertutup.

Saat gadis kecil itu terlelap, Verio tersenyum tipis. Dia mengabaikan tatapan-tatapan ingin tahu dari orang-orang di sekitarnya. Bagi mereka, interaksi ini mungkin tampak aneh, tapi bagi Verio, Ragna adalah satu-satunya yang berhasil mencairkan kebekuan dalam hidupnya.

🐾

"Papa tinggal di sini?" tanya Ragna dengan nada penuh rasa ingin tahu, matanya menatap sebuah bangunan tinggi yang berdiri megah di hadapannya.

Verio menoleh sekilas, lalu menjawab santai, "Tidak."

Ragna memiringkan kepalanya, heran. Bukankah Verio tadi bilang mereka akan pulang?

"Tapi aku tinggal di salah satu unit di sini," sambung Verio dengan nada datar. "Ini apartemen, bukan rumahku."

Mendengar itu, Ragna mengangguk pelan, meskipun wajahnya tampak sedikit pucat. Ia menggigit bibir bawahnya, seolah mengingat sesuatu yang tidak menyenangkan.

Melihat perubahan ekspresi gadis kecil itu, Verio mengernyit. "Kenapa?" tanyanya singkat, pandangannya tak lepas dari wajah Ragna.

Ragna mengangkat wajah, matanya sedikit gelisah. "Dulu, waktu aku diadopsi sama keluarga kaya, mereka pernah bawa aku ke apartemen. Aku dengar suara kayak orang sakit dari kamar sebelah. Terus... ada suara pukulan di dinding juga," ujarnya pelan, suaranya nyaris berbisik.

Verio terdiam, mencerna cerita singkat itu. Ekspresinya mengeras, matanya sedikit menyipit. Pikiran tentang masa lalu gadis kecil itu kembali menghantamnya. "Sial! Keluarga macam apa yang pernah mengadopsi bocah ini?" gerutunya dalam hati. Wajahnya menggelap, tapi ia tak berkata apa-apa.

Melihat Verio yang terdiam, Ragna kembali bertanya dengan polos, "Apa di dekat kamar Papa ada suara kayak gitu juga?"

Verio mendengus pelan, lalu menjawab dengan tegas, "Tidak. Unit kita di ujung, jauh dari kamar lain. Kau aman."

Ragna mengangguk kecil, tapi sorot matanya masih menyiratkan sedikit kekhawatiran. Verio mengulurkan tangan dan mengacak rambut gadis itu pelan. "Tak perlu takut. Kalau ada yang berani macam-macam, mereka akan berurusan denganku," ujarnya sambil melangkah masuk ke dalam gedung apartemen.

Kali ini, Ragna hanya diam. Namun, sudut bibirnya sedikit terangkat, merasa sedikit lebih tenang di bawah perlindungan Verio.

Saat mereka melangkah masuk ke dalam lift, atmosfer segera berubah. Beberapa orang yang sudah menunggu di dalam langsung keluar dan yang lain memilih menjauh, seolah keberadaan pria itu menjadi ancaman tak kasat mata.

Bisik-bisik mulai terdengar meskipun perlahan, namun terdengar jelas di telinga mereka. Pandangan orang-orang tertuju pada Ragna yang dipeluk erat oleh Verio. Mata mereka menyiratkan rasa ingin tahu bercampur kekhawatiran, tapi tak satu pun dari mereka berani berbuat apa-apa.

Ragna dengan polosnya menatap Verio dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pakaian hitam-hitam, jaket kulit yang menempel erat di tubuh tegapnya, sneakers hitam yang sedikit lusuh, rambut ungu gelap yang berantakan, mata hitam tajam, dan wajah yang tampan tapi dingin. Tindik-tindik kecil di telinga dan satu di bawah bibirnya menjadi detail yang mencolok. Seperti berandalan, pikir Ragna.

"Papa tampan, tapi kenapa mereka takut?" tanya gadis kecil itu dengan rasa ingin tahu, menoleh ke arah ayah angkatnya.

Verio hanya mengangkat bahu, tidak memberikan jawaban. Ragna melambaikan tangan kecilnya kepada beberapa orang yang berpapasan dengan mereka, mencoba menampilkan keceriaan khas anak-anak. Namun, bisik-bisik yang terdengar mulai menghapus senyum ceria itu dari wajahnya.

"Jadi itu anak haram Verio, ya?"

"Dia itu berandalan. Pantas saja punya anak di luar nikah."

"Tidak ada masa depan untuk pria itu. Kasihan anak kecilnya."

"Anaknya pasti akan jadi berandalan juga. Aku iba."

Pintu lift akhirnya tertutup, menghilangkan suara-suara menyakitkan itu. Namun, bagi Verio, efeknya masih menggantung di udara. Tatapan pria itu turun ke arah Ragna, khawatir dengan apa yang barusan didengar gadis kecil itu. Namun, raut wajah Ragna justru datar. Tidak ada tangisan, tidak ada tanda-tanda kekecewaan.

"Papa," suara lembut itu akhirnya terdengar. Ragna menatap Verio dengan ekspresi serius yang tidak biasa, "mulut mereka berisik, ya?"

Sejenak, Verio terdiam. Hanya alisnya yang terangkat sedikit, lalu ia terkekeh kecil. "Ya, mereka memang berisik. Jangan terlalu dipikirkan. Mereka hanya iri karena tidak punya keberanian untuk mengatakan itu langsung ke depanku."

Ragna mengangguk pelan, tampaknya puas dengan jawaban itu. Ia memeluk leher Verio erat, seolah menunjukkan rasa percayanya. "Aku tidak suka mereka ngomongin Papa seperti itu."

Verio menyeringai, menyembunyikan rasa hangat yang mengalir di dadanya. "Aku juga tidak suka mereka ngomongin kau, Nak. Tapi biar saja. Ucapan mereka tidak akan mengubah apa pun."

Lift berhenti di lantai tujuan mereka. Verio melangkah keluar dengan tenang, membawa Ragna dalam pelukannya. "Kita tidak perlu peduli apa kata mereka. Yang penting kita tahu siapa kita sebenarnya," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri, sambil menyusuri koridor apartemen.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!