Sebuah rumah bergaya kuno dilalap si jago merah yang mengamuk tanpa belas kasihan. Jeritan kesakitan menggema di seluruh area paviliun, bercampur dengan derak kayu yang terbakar. Di antara kobaran api dan darah yang menggenang, tubuh para pelayan dan prajurit keluarga Mpu Suranggana bergelimpangan, sebagian masih menggeliat meregang nyawa, sebagian lainnya sudah tak bergerak.
"Habisi semua keturunan dan pengikut Mpu Suranggana!" seru pemimpin pasukan dengan suara lantang, penuh amarah. Pedangnya menebas siapa saja yang menghalangi jalannya, mengukir jejak kematian di sepanjang koridor. Langkah mereka tak terhentikan, hingga akhirnya tiba di sebuah paviliun yang masih utuh—tempat Sekartaji Suranggana tengah bertapa dalam keheningan.
Putri bungsu Mpu Suranggana, gadis yang dikenal karena kecantikan dan kecerdasannya, membuat banyak bangsawan berlomba-lomba melamarnya. Namun, dari sekian banyak lamaran, hatinya hanya terpaut pada seorang panglima perang yang dijuluki Singasakti, pahlawan kerajaan yang menorehkan kemenangan di banyak pertempuran.
Tetapi malam ini, sosok yang seharusnya menjadi pelindungnya justru berdiri dengan pedang berlumuran darah.
“Jleb!”
Ujung pedang menembus dada Sekartaji, merobek daging dan paru-parunya. Gadis itu terbatuk, memuntahkan darah segar yang mengalir dari bibirnya. Mata yang sejak tadi terpejam dalam ketenangan, kini terbuka, menatap orang yang berdiri di hadapannya—orang yang seharusnya menggenggam tangannya dalam cinta, bukan dalam pengkhianatan.
Aryaweda.
Sosok yang selama ini dicintainya, kini menatapnya dengan penuh kebencian.
"Kenapa...?" bisik Sekartaji lemah, dadanya berdenyut nyeri, bukan hanya karena luka, tetapi juga karena pengkhianatan yang tak pernah ia bayangkan.
“Kau tega meracuni putri kedua karena cemburu padaku?” suara Aryaweda dingin, penuh tuduhan. “Kau memang licik, Sekar.”
Tanpa ragu, ia menekan pedangnya lebih dalam, memutar bilah tajam itu hingga kesakitan Sekartaji kian menjadi. Gadis itu menggigit bibir, menahan erangan, tapi tubuhnya tak bisa berbohong—darah semakin deras mengalir dari lukanya.
Dengan kasar, Aryaweda mencabut pedangnya. Tubuh Sekartaji terjerembab, tangannya gemetar menyangga dirinya yang hampir jatuh sepenuhnya ke tanah. Napasnya tersengal, namun matanya tetap tajam menatap lelaki yang kini berdiri di atas kehancurannya.
"Kau tidak akan percaya... meskipun aku mengatakan yang sebenarnya," suara Sekartaji bergetar, tetapi tekadnya tetap kuat. “Kau telah membantai keluargaku, menghancurkan segalanya… Aku mengutukmu, Aryaweda! Kau akan menyesal!”
Langit bergemuruh. Petir menyambar dengan dahsyat, angin kencang berputar di sekitar mereka, seolah semesta ikut murka. Namun, Aryaweda hanya menatapnya dengan tatapan dingin.
“Aku tidak pernah menyesal telah membunuhmu, Sekartaji,” bisiknya, seraya berjongkok di hadapan gadis yang mulai kehilangan kesadaran. “Dan aku tidak akan pernah menyesal.”
Seketika, pedang di tangannya terayun cepat.
Darah segar menyembur.
Leher Sekartaji Suranggana terpisah dari tubuhnya.
Kepala Sekartaji Suranggana jatuh ke tanah, matanya yang indah masih terbuka, seolah hendak mengutuk lelaki yang telah menghancurkan hidupnya. Darahnya membasahi lantai kayu paviliun, merembes ke dalam retakan, bercampur dengan abu dari bangunan yang terbakar.
Aryaweda menatap tubuh tak bernyawa itu tanpa ekspresi, seakan kematian gadis itu bukanlah sesuatu yang perlu disesali. Namun, saat hendak berbalik, hembusan angin dingin menyapu tempat itu—angin yang bukan berasal dari alam, melainkan dari sesuatu yang lebih kelam.
Langkahnya terhenti.
Di sekelilingnya, api yang membakar istana keluarga Mpu Suranggana mendadak meredup. Bara merah yang berkobar perlahan berubah menjadi nyala biru, menjilat-jilat udara dengan gerakan yang aneh dan tidak wajar.
Para prajurit yang berdiri di belakangnya mulai gelisah.
"Tuanku... ada yang tidak beres," bisik salah satu prajurit, suaranya dipenuhi ketakutan.
Aryaweda menghunus pedangnya, waspada.
Lalu terdengar suara.
Bukan jeritan, bukan gemuruh api, bukan suara reruntuhan—melainkan tawa.
Tawa lirih seorang wanita, bergema di seluruh paviliun yang porak-poranda.
Tubuh Sekartaji yang sudah tak bernyawa, perlahan-lahan bergerak.
Tidak, bukan tubuhnya.
Kepalanya.
Mata Sekartaji yang sudah kehilangan cahaya, kini berangsur-angsur bersinar, berubah menjadi keemasan dengan retakan-retakan hitam di sekelilingnya. Ujung bibirnya menyunggingkan senyum kecil, senyum yang membuat bulu kuduk meremang.
Para prajurit yang melihatnya segera mundur, ketakutan.
"L-Lebih baik kita pergi, tuanku!" seru salah satu prajurit, suaranya gemetar.
Namun, Aryaweda tetap diam. Pedangnya erat digenggam, namun untuk pertama kalinya, tangan yang selama ini mantap memegang senjata itu terasa dingin.
Kepala Sekartaji tertawa pelan.
"Aryaweda..."
Ia memanggil namanya dengan suara yang seharusnya tidak mungkin keluar dari tubuh yang telah mati.
"Kau bilang tak akan pernah menyesal?"
Suara itu menggema, semakin lama semakin nyaring, hingga terdengar seperti seruan ribuan arwah yang terjebak dalam kegelapan.
Lalu sesuatu terjadi.
Tubuh para prajurit yang masih hidup, satu per satu membiru. Nafas mereka tercekat. Mata mereka melotot, mulut mereka berbusa.
Racun.
Racun yang tidak berasal dari makanan, tidak berasal dari senjata, tetapi dari udara.
Satu per satu mereka terjatuh, kejang-kejang, merasakan racun yang menggerogoti tubuh mereka dari dalam.
Hanya Aryaweda yang masih berdiri, meski kakinya mulai lemas.
Ia mencoba melangkah mundur, namun bayangan hitam merayap dari tubuh Sekartaji, mengikat pergelangan kakinya.
Senyuman di wajah gadis itu semakin lebar, matanya semakin terang.
"Ku harap kita tidak akan bertemu lagi, Aryaweda..."
Itu adalah kalimat terakhir yang ia dengar sebelum semuanya menjadi gelap.
🐾
Dunia Modern
Seorang pria melangkah dengan penuh kesombongan di lorong panti asuhan, matanya menyapu sekeliling dengan tatapan tajam, membuat anak-anak kecil yang berada di sana menatapnya dengan ketakutan. Beberapa dari mereka bahkan tak kuasa menahan air mata. Pria itu memiliki wajah tampan, rambut ungu kehitaman yang sedikit berantakan, serta mata hitam yang tajam, seolah mampu menembus siapa pun yang dipandangnya. Telinganya dihiasi beberapa piercing yang mencolok. Dia tidak mengenakan jas formal, melainkan pakaian sederhana berwarna gelap, dengan gaya yang lebih mirip seorang berandalan.
Anak-anak di panti asuhan itu tampak terawat, mengenakan pakaian yang rapi dan bagus. Namun, mata pria itu tertuju pada seorang anak perempuan berusia tujuh tahun yang mengintip malu-malu dari balik bilik. Rambutnya hitam legam, terkesan kusut, sementara matanya yang hijau tampak kosong, tanpa sorot emosi apapun. Penampilannya yang tak terawat menarik perhatian pria itu, membuatnya melangkah mendekat ke arahnya.
Tatapan mereka bertemu. Manik mata hijau yang jernih milik anak itu beradu dengan mata hitam dan hijau setajam mata elang milik pria itu, seolah saling menyelami satu sama lain, menciptakan keheningan sejenak. Lalu, pria itu dengan tenang mengalihkan pandangannya, menatap pengurus panti dengan ekspresi datar. "Aku pilih anak ini," katanya tanpa ragu.
Pengurus panti memandang anak itu dengan tatapan sinis, lalu beralih menilai pria berpenampilan preman tersebut. Mereka berdua sama-sama berpikir bahwa anak ini mungkin pembawa sial yang sebaiknya disingkirkan.
"Oh, tentu! Tentu!" sahut pengurus panti dengan nada yang terkesan terlalu ceria, "Aku harap dia betah tinggal bersamamu. Didik dia agar tidak membuat masalah, dan kalau bisa, jangan kembalikan dia nanti. Dia sudah tiga kali diadopsi dan selalu berakhir dikembalikan." Curhat sang pengurus panti membuat pria itu mengernyit, sedikit terganggu dengan informasi tersebut.
"Baiklah. Siapkan dokumennya," ujar pria itu dengan nada tegas.
"Ah! Tunggu sebentar, Tuan," sahut pengurus panti dengan tergesa-gesa sebelum bergegas pergi, meninggalkan pria itu bersama anak-anak lain yang masih berkumpul. Beberapa di antaranya menatap gadis kecil itu dengan sorot sinis.
Gadis kecil itu menatap pria di depannya dengan pandangan yang seolah penuh penilaian. Tangannya semakin erat memeluk boneka usangnya yang terlihat lusuh, dengan kain robek di beberapa bagian. Dia melirik sekeliling, menyadari tatapan kebencian yang diarahkan kepadanya, lalu perlahan menundukkan kepala.
"Siapa namamu?" tanya pria itu datar, memecah keheningan.
Gadis itu mendongak, menatap pria itu sejenak sebelum menjawab pelan, "Ragna."
"Nama yang bagus," pria itu berkomentar singkat, sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih tajam. "Mulai sekarang kau ikut denganku. Tapi kau harus tahu, aku bukan orang baik."
Ragna terdiam sesaat, pikirannya melayang pada orang-orang sebelumnya yang pernah mengadopsinya. Wajah mereka selalu manis di awal, tetapi semuanya berubah menjadi dingin dan kasar setelah beberapa waktu.
Namun, kali ini berbeda. Tanpa keraguan sedikit pun, dia menganggukkan kepala. "Uhm," jawabnya lugas, tanpa emosi, seolah sudah terbiasa dengan kehidupan yang tidak memberinya banyak pilihan.
🐾
"Ku harap kau cepat mati, Ragna. Kalau kau membuat ulah lagi dan kembali ke sini, aku nggak akan pernah menerimamu lagi. Kau mengerti?" geram pengurus panti, menyisir rambut hitam gadis itu dengan kasar.
"Iya," jawab Ragna pelan, hampir berbisik.
"Bagus! Aku harap kau tidak pernah kembali. Kalau kau diusir, itu urusanmu!"
Ragna hanya terdiam dan mengangguk tanpa perlawanan. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin dengan kosong. Meski kini ia tampak lebih rapi, pakaian dengan warna pudar dan rambut yang digerai membuatnya tampak sedikit lebih layak daripada sebelumnya.
"Sudah selesai. Sekarang cepat pergi! Jangan membuatnya menunggu lama!" bentak wanita itu seraya mendorong tubuh kecil Ragna dengan kasar menuju ruang tamu.
Tak lama, pria itu muncul dengan membawa beberapa berkas di tangannya. Pandangannya menyapu ke arah Ragna sebelum ia berbicara dengan nada dingin, "Ayo pergi."
Tanpa suara, Ragna mengangguk dan mulai mengikuti pria itu. Namun langkah pria itu tiba-tiba terhenti. Tanpa sepatah kata, ia berbalik, menarik Ragna ke dalam pelukannya dengan satu gerakan tegas.
Tubuh kecil itu kaku dalam pelukannya, namun pria itu tidak peduli. Ia melanjutkan langkahnya, membawa Ragna dalam gendongannya tanpa memperhatikan tatapan terkejut yang terpancar dari para penghuni panti. Ragna hanya bisa membenamkan wajahnya di dada pria itu, merasakan kehangatan yang asing namun entah mengapa menenangkan.
"Kenapa?" bisik Ragna pelan, suaranya hampir tenggelam dalam angin.
"Mulai sekarang, kau putriku," jawab pria itu tanpa menoleh, suaranya datar namun tegas. "Aku nggak akan biarkan putriku terlihat hina." Langkahnya tetap mantap, perlahan meninggalkan panti asuhan yang suram itu.
Ragna terdiam dalam pelukannya, merasakan sesuatu yang asing menyelimuti dirinya. Bukan cinta, bukan pula kasih sayang, tetapi ada kehangatan yang aneh—dingin namun nyata. Seolah-olah pria itu berkata tanpa kata, bahwa ia tidak lagi sendirian, tidak lagi terbuang.
Ketika mereka tiba di luar gerbang panti, pria itu menghentikan langkahnya. Ia menatap bangunan tua itu sekilas, mata hitamnya menyiratkan sesuatu yang tak dapat ditebak. Keheningan sejenak menyelimuti mereka sebelum pria itu kembali melangkah.
Ragna melirik panti asuhan itu untuk terakhir kalinya, tempat yang selama ini ia kenal sebagai "rumah" meski penuh luka. Ada kelegaan dalam hatinya, tapi juga kegelisahan tentang apa yang menunggunya di luar sana. Ia tidak bertanya lagi. Ia hanya memeluk erat boneka usangnya, menggenggam satu-satunya hal yang membuatnya merasa aman di tengah ketidakpastian.
Langit mendung di atas mereka, angin dingin menerpa wajah Ragna, namun dalam gendongan pria itu, ia merasakan sedikit rasa aman. Mereka berjalan menyusuri jalan yang sepi, meninggalkan bayangan masa lalu Ragna di balik pintu gerbang panti yang mulai menutup.
🐾
Pria itu mendudukkan Ragna di atas ranjang yang empuk, membuat gadis kecil itu sedikit terpana dengan kenyamanan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Setelah itu, ia melepas jaket kulit hitamnya yang basah oleh hujan dan menggantungkannya di balik pintu kamar.
"Kita menginap di sini untuk malam ini," ucap pria itu sambil menatap ke luar jendela, di mana hujan badai mengguyur kota tanpa henti.
Ragna hanya mengangguk kecil sebagai jawaban, memeluk boneka usangnya erat-erat. Kakinya yang kecil menggantung di tepi ranjang, sementara ia memandangi pria itu dengan rasa penasaran yang tak berani diungkapkan.
"Om belum memperkenalkan diri," akhirnya Ragna memberanikan diri untuk berbicara, suaranya kecil namun terdengar di tengah suara hujan yang deras.
Pria itu menoleh, wajahnya tetap dingin namun ada sedikit kelembutan di balik matanya. "Aku lupa. Namaku Verio Jayaksha, yang mulai hari ini adalah ayahmu," ucapnya, suaranya tegas namun terdengar seperti janji yang takkan diingkari.
Ragna menatapnya sejenak, lalu menunduk sedikit, menggenggam bonekanya lebih erat. "Aku Ragna. Hanya Ragna. Aku nggak punya nama panjang seperti yang lainnya," ucapnya pelan, ada nada rendah diri dalam suaranya.
Verio terdiam beberapa saat, menatap gadis kecil itu yang tampak begitu rapuh di hadapannya. Ia mendekati ranjang, lalu duduk di samping Ragna. "Mulai sekarang, kau adalah Ragna Jayaksha," ucapnya datar, namun penuh keyakinan.
Ragna mendongak, menatap pria itu dengan mata membulat, hampir tak percaya. "Jayaksha?" ulangnya, suaranya bergetar pelan.
"Ya," jawab Verio singkat, matanya kembali menatap ke luar jendela yang dihiasi gemuruh petir. "Kau bagian dari keluargaku sekarang."
Ragna tidak berkata apa-apa lagi, tapi sesuatu di dalam dirinya mulai terasa sedikit lebih hangat. Untuk pertama kalinya, ia merasa memiliki tempat di dunia ini, meskipun bersama seseorang yang masih asing baginya.
"Terimakasih... Papa." Suara Ragna terdengar seperti bisikan.
Verio menoleh pelan ke arah Ragna, keningnya berkerut mendengar kata-kata itu. "Apa yang kau bilang?" tanyanya dengan suara rendah, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Ragna menunduk, menggigit bibir bawahnya sebelum berbisik, "Terimakasih... Papa." Suaranya kecil, tapi cukup jelas di tengah gemuruh hujan yang terus turun di luar sana.
Pria itu terdiam. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Kata "Papa" itu terasa asing di telinganya—sesuatu yang belum pernah ia dengar diarahkan padanya. Pandangannya melembut, meskipun wajahnya tetap dingin seperti biasa.
"Kau benar-benar anak aneh," gumam Verio, namun ada nada samar yang terdengar seperti senyum dalam suaranya. Ia mengusap kepala Ragna dengan tangannya yang besar dan hangat, membuat gadis itu sedikit tersentak. "Jangan cepat percaya pada orang lain. Bahkan aku."
Ragna mengangguk kecil, tapi tidak mengelak dari sentuhan itu. Dalam keheningan, Verio kembali berdiri, melangkah ke jendela untuk mengamati badai yang tak kunjung reda. Sementara itu, Ragna duduk di ranjang, tangannya menggenggam erat bonekanya, dan untuk pertama kalinya, dia merasa nyaman mengucapkan kata "Papa."
Di luar, petir menyambar, menerangi ruangan sesaat. Namun di dalam kamar itu, ada kehangatan kecil yang mulai tumbuh, membalut dua hati yang tadinya sama-sama dingin dan terluka.
Verio menatap hujan yang mengguyur di luar penginapan dengan ekspresi datar, seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, lamunannya terhenti ketika suara ketukan terdengar di pintu.
Dengan sigap, Verio mendekati pintu, suaranya dingin saat bertanya, "Siapa?"
"Maaf, Tuan. Saya membawa pesanan Anda. Dua porsi makan malam dan satu set pakaian anak perempuan," jawab suara pria dari balik pintu.
Verio mengintip sejenak melalui lubang kecil sebelum membuka pintu. Dua pengurus penginapan berdiri di sana, memegang tray makan malam dan sebuah paperbag. "Terima kasih," ucap Verio pendek, mengambil barang-barang itu tanpa basa-basi, lalu menutup pintu dengan bunyi 'blam.'
Ia berjalan mendekati Ragna yang masih duduk di ranjang. Dengan gerakan santai, Verio melemparkan paperbag itu ke arahnya. Ragna menangkapnya dengan kedua tangan, keningnya berkerut bingung.
"Apa ini, Pa?" tanyanya penasaran.
"Pakaian untukmu," jawab Verio sambil mulai menata piring-piring makan malam di atas meja kecil di dekat jendela.
Ragna membuka paperbag itu dengan hati-hati, lalu matanya berbinar saat melihat dress hijau cantik di dalamnya. Ia memandangi pakaian itu dengan kagum, jemarinya menyusuri kain lembutnya. Pakaian seperti ini adalah sesuatu yang tak pernah ia miliki sebelumnya.
"Terima kasih, Papa," ucapnya tulus, senyumnya kecil namun begitu berharga.
Verio meliriknya sekilas sebelum berkomentar dengan nada sarkas, "Itu untuk dipakai besok. Aku nggak mau orang bilang aku menelantarkan anak karena pakaiannya robek."
Ragna mengangguk pelan dan dengan hati-hati melipat kembali dress itu, lalu meletakkannya di atas meja kecil di dekat ranjang.
"Ayo, makan," ajak Verio sambil duduk di kursi dan mengambil garpu.
"Papa duluan saja. Aku makan setelah Papa selesai," sahut Ragna santai sambil menggoyangkan kakinya di tepi ranjang. Setelah itu, ia merebahkan diri, meregangkan tubuhnya seperti seekor kucing yang baru saja menemukan tempat nyaman.
Verio menatapnya sejenak, lalu menggeleng kecil, tak bisa menahan senyum samar di balik wajah dinginnya. "Dasar bocah aneh," gumamnya
Verio melirik sekilas ke arah Ragna yang sedang merebahkan diri di ranjang. Bibirnya sedikit terangkat dalam senyum kecil yang nyaris tak terlihat. Namun, ia tak berkata apa-apa dan mulai mendekati bocah itu.
Ragna yang asik menatap langit-langit penginapan menoleh ke arah Verio yang menjulang di atasnya. Tanpa ragu, pria itu mengangkat tubuh kecil gadis itu ke pelukannya.
"Tubuhmu ringan sekali." Komentarnya sambil membawa Ragna menuju meja makan dadakan, "Kau sekarang putriku. Tidak ada salahnya makan bersama."
Ragna terdiam. Sejak tinggal di panti asuhan, dia selalu makan sendirian dan paling akhir. Bahkan saat diadopsi pun, gadis kecil itu selalu makan paling akhir dan terkadang mendapatkan makanan sisa.
Verio mendudukkan Ragna di kursi yang berhadapan dengannya. Gadis kecil itu memandang piring berisi makanan yang terhidang di hadapannya dengan tatapan ragu-ragu. Ini adalah makanan yang terlihat jauh lebih enak daripada apa yang biasa dia makan di panti asuhan maupun saat di adopsi dulu. "Papa yakin aku boleh makan ini?" tanyanya pelan.
Verio yang kini sudah duduk di hadapan gadis itu mengangkat sebelah alisnya. "Kau pikir makanan ini untuk siapa lagi? Ayo makan, atau aku yang akan memakannya."
Ragna tersenyum kecil dan mulai menyantap makanannya. Setelah beberapa gigitan, matanya berbinar. "Ini enak sekali!" serunya dengan antusias.
"Jangan terlalu terkesan. Itu cuma makanan penginapan biasa," komentar Verio datar sambil menyuap makanannya, meskipun ada nada samar kepuasan dalam suaranya melihat Ragna menikmati makanan itu.
Setelah selesai makan, Ragna kembali ke ranjang, menatap Verio yang sedang membereskan meja. "Papa selalu seperti ini ya? Dingin tapi baik," gumamnya dengan suara pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.
Verio berhenti sejenak, lalu menoleh dengan ekspresi datar. "Aku bukan orang baik, Ragna. Jangan salah paham."
"Tapi Papa berbeda," balas Ragna cepat, matanya penuh keyakinan. "Papa tidak seperti mereka."
Verio tidak menjawab, hanya kembali mengalihkan perhatiannya pada jendela. Di luar, hujan masih mengguyur deras, membentuk irama monoton yang entah kenapa terasa menenangkan. Di dalam kamar itu, meskipun tanpa kata-kata lebih lanjut, ada kehangatan yang perlahan mengisi ruang di antara keduanya.
🐾
Verio tidak pernah menyangka akan mengadopsi seorang anak. Ia bukan tipe pria yang terlihat cocok menjadi seorang ayah—dengan jaket kulit lusuh, rambut berantakan, dan ekspresi dingin yang sering disalahartikan sebagai ketidakpedulian. Namun, sejak pertama kali melihat Ragna, gadis kecil itu seakan menarik sesuatu dalam dirinya yang selama ini tak pernah ia sadari.
Malam ini, Ragna tampak lelah.
"Aku keluar sebentar. Kau tidur di sini," ujar Verio, mengangkat tubuh mungil Ragna dan membaringkannya di atas ranjang.
"Uhm," gadis kecil itu mengangguk patuh.
Verio merapikan selimutnya, memastikan tubuh kecil itu terbungkus dengan hangat sebelum ia bangkit dan meraih dompet serta ponselnya.
Namun, saat ia hendak pergi, matanya bertemu dengan tatapan Ragna yang penuh kekhawatiran.
Ia menghela napas pelan.
"Aku akan kembali. Jangan sembarangan membuka pintu," katanya, sebelum melangkah keluar dan menutup pintu dengan rapat.
Ragna hanya menatap pintu yang kini tertutup, bibir mungilnya melengkung tipis dalam senyum yang nyaris tak terlihat.
Tubuhnya terasa ringan, matanya mulai berat. Namun, sebelum terlelap, ia berbisik pelan.
"Papa, terima kasih sudah mengadopsiku… Aku tahu, kau orang baik."
Ia memejamkan mata, napasnya semakin pelan.
"Seandainya aku bisa hidup lebih lama, aku pasti akan bahagia menjadi anakmu…" suaranya semakin lirih, nyaris tak terdengar.
"Terima kasih sudah memberiku kesempatan merasakan kasih sayang seorang ayah… Aku sungguh senang. Di kehidupan berikutnya, aku berharap kau tetap menjadi ayahku."
Dalam keheningan malam, Ragna menghembuskan napas terakhirnya.
🐾
Manik hijau itu perlahan terbuka, menyambut dunia dengan tatapan kosong yang penuh kebingungan.
Hal pertama yang menyambutnya adalah ruangan asing yang diterangi cahaya lampu redup.
"Ini… di mana?"
Gadis kecil itu menatap sekeliling, mencoba memahami tempat ini.
Sebuah ranjang empuk, meski tak bisa dibilang mewah, menopang tubuhnya dengan nyaman. Dinding bercat putih polos mengelilinginya, sementara jendela besar menampilkan pemandangan hujan yang membasahi malam. Cahaya gedung-gedung di kejauhan berpendar indah di balik tetesan air, menciptakan panorama yang asing namun menenangkan.
Sekartaji turun dari ranjang, langkah kecilnya membawa dirinya ke sebuah cermin besar di pintu lemari.
"Siapa?"
Sosok di balik cermin menatapnya dengan mata hijau yang sama. Ragu-ragu, ia menggerakkan tangan. Pantulan itu melakukan hal yang sama.
"Tunggu… ini aku?"
Gadis kecil dalam cermin itu tampak cantik, nyaris seperti boneka porselen. Mata hijaunya jernih, rambutnya hitam legam, panjang dan tampak halus saat tergerai.
Sekartaji, ahli racun dan pembunuh bayaran terbaik, kini berada di dalam tubuh seorang anak kecil?
"Aku bereinkarnasi ke tubuh ini?" gumamnya, menatap jemari mungil yang tampak kurus dan rapuh.
Tiba-tiba, bayangan kehidupan pemilik tubuh ini melintas di kepalanya—begitu jelas, begitu menyakitkan.
Hidup gadis kecil ini begitu menyedihkan.
Ia mengepalkan tangan kecil itu.
"Tenang saja, Nak. Aku akan membalas mereka."
Cklek!
Suara pintu terbuka membuatnya menoleh.
Seorang pria masuk, membawa kantong plastik besar yang entah berisi apa. Penampilannya jauh dari kata lembut. Jaket kulit lusuh, tindik di telinga, serta tatapan tajam yang penuh ketidakpedulian.
Sekartaji—yang kini menjadi Ragna—memandangnya tanpa ekspresi.
"Ah, jadi dia yang mengadopsi anak ini?" pikirnya dalam diam.
Mata hitam pria itu menyipit, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.
"Kenapa kau belum tidur, Ragna?"
Sekartaji mengingat nama itu.
"Jadi, anak ini bernama Ragna? Nama yang indah."
"Aku belum mengantuk," jawabnya datar. Namun, tubuh mungil ini tak bisa berbohong—bibirnya malah menguap lebar.
Verio menyeringai kecil. "Hoo? Tapi mulutmu berkata lain, tuh?" Ia melepas jaketnya dan menggantungnya di belakang pintu. "Sebaiknya kau cepat tidur, Nak. Besok kita menempuh perjalanan panjang."
Ragna—atau lebih tepatnya Sekartaji yang kini menghuni tubuh gadis kecil itu—hanya menatap pria itu dalam diam.
"Perjalanan panjang?"
Ia meneliti gerak-gerik pria bernama Verio itu dengan seksama. Ada sesuatu dalam tatapan dan caranya berbicara yang membuatnya sulit untuk ditebak. Apakah pria ini benar-benar orang baik? Atau hanya serigala berbulu domba?
Namun, mengingat ingatan pemilik tubuh ini, pria itu telah menyelamatkannya dari neraka yang selama ini ia jalani. Ia yang mengadopsinya. Ia yang menawarkannya kehidupan baru.
Ragna menghela napas pelan dan berjalan kembali ke ranjang. Tubuh kecil ini terlalu lelah, seolah-olah setiap langkah membutuhkan tenaga ekstra.
Verio menatapnya sebentar sebelum akhirnya mendekat dan menyampirkan selimut ke tubuh mungilnya.
"Jangan berpikir macam-macam. Istirahat yang cukup," katanya dengan nada santai, namun tetap terasa seperti perintah.
Ragna tidak menjawab. Ia hanya membiarkan kelopak matanya tertutup perlahan, membiarkan tubuh ini beristirahat setelah sekian lama dipaksa menahan luka dan penderitaan.
Namun, tidak ada yang tahu bahwa yang kini terbaring di ranjang itu bukan lagi Ragna yang dulu.
Sekartaji telah kembali.
Dan kali ini, ia tidak akan membiarkan dirinya diinjak-injak lagi.
Gerimis pagi masih setia menyelimuti kota, membawa udara dingin yang merayapi jendela penginapan kecil itu. Suara ribut terdengar dari salah satu kamar, bercampur dengan suara percikan air dan dengusan kesal seorang gadis kecil yang tengah duduk di dalam bathtub, mengembungkan pipinya sambil bermain busa sabun dengan ekspresi jengkel.
Di depannya, seorang pria berpenampilan urakan dengan tindikan di telinga menggosok tubuh kecil itu dengan hati-hati, meski pikirannya melayang ke mana-mana.
Ragna—atau lebih tepatnya Sekartaji yang kini menghuni tubuh gadis kecil itu—masih merasa frustrasi. Bagaimana tidak?
Baru saja ia beradaptasi dengan tubuh ini, Verio tiba-tiba membangunkannya sepagi ini, menyuruhnya mandi dan bersiap. Mata Ragna yang masih berat karena kantuk hanya bisa melirik tajam ke arah pria itu, tapi tetap berjalan menuju kamar mandi dengan langkah gontai.
Namun, masalah dimulai begitu ia masuk.
Sekartaji, yang terbiasa dengan zaman lamanya, hanya bisa berdiri di depan bathtub dengan ekspresi bingung. Matanya mengamati benda-benda di sekitarnya—keran, shower, dan botol-botol aneh dengan tulisan yang tak bisa ia baca.
"Apa ini?" pikirnya, menatap botol biru dengan curiga, "Apa dia memberiku racun?"
Gadis kecil itu memutar botol itu dengan penasaran, dia memikirkan cara untuk membuka botol itu meski tampak ragu-ragu.
"Kenapa orang itu memberikan aku botol ini untuk mandi?" Pikir Ragna heran.
Seharusnya ia hanya menuangkan air ke dalam gayung, tapi di tempat ini… tidak ada gayung!
Lima menit berlalu, dan tidak ada suara air mengalir dari dalam kamar mandi.
Karena curiga, Verio mendobrak pintu tanpa peringatan, membuat Ragna melonjak kaget.
"Kenapa kau belum mandi?" tanyanya, menatap gadis kecil itu dengan ekspresi tak percaya.
Ragna—masih mencoba menyembunyikan kebingungannya—hanya bisa mengedip polos. "Aku nggak sampai…"
Verio mengangkat sebelah alis, tatapannya menyelidik. "Kenapa nggak pakai shower aja?"
Ragna mengikuti arah jarinya, menatap benda aneh yang tinggi itu. "Oh, jadi ini namanya shower? Aku pikir hiasan dinding." pikirnya dalam hati.
"Aku nggak bisa menjangkaunya," jawabnya dengan polos, mengangkat tangannya sekuat tenaga hanya untuk membuktikan perkataannya. Namun, tetap saja… gagal.
Verio menyilangkan tangan di dadanya, senyum miring terukir di wajahnya. "Oh, jadi kau pendek ternyata."
"Aku nggak pendek, Papa!" Ragna langsung memprotes, wajahnya mulai memerah. "Aku cuma belum tumbuh! Nanti aku pasti lebih tinggi dari Papa!"
Verio mendengus kecil, nadanya santai tapi terdengar menyindir. "Iya, iya. Pendek tapi banyak alasan."
“Papa!” Ragna melotot kesal.
Verio mengacak rambutnya sembarangan. "Kau lama sekali. Sudah, biar aku yang mandikan. Kalau dibiarkan, kita bakal menginap semalam lagi di sini, dan aku rugi.”
Ragna ingin menolak, namun pada akhirnya hanya bisa mendengus pelan dan menyerah. "Baiklah... Tapi jangan lama-lama!"
Verio hanya menggeleng kecil. Pagi ini terasa lebih berisik dari biasanya.
Namun, keributan itu langsung mereda begitu Verio menyibak pakaian atas Ragna.
Langkah tangannya seketika terhenti. Matanya membeku.
Lebam keunguan yang mulai memudar... Bekas luka samar yang menjalar di punggung kecil itu...
Verio menarik napas dalam, jemarinya tanpa sadar mencengkeram kain yang sudah lapuk itu, membuatnya robek dengan mudah. Punggung gadis kecil itu kini terbuka lebih lebar, memperlihatkan bekas luka yang lebih banyak dari yang ia kira.
Waktu terasa berhenti.
Tatapan Verio mengeras. Emosinya bergejolak.
Apa yang telah mereka lakukan padamu?
Punggung itu tak seharusnya dimiliki oleh seorang anak kecil. Luka-luka itu tak seharusnya ada di tubuh yang sekecil ini.
Ragna menunduk, tangannya meremas ujung pakaian yang tersisa. Ada ketakutan yang jelas di matanya.
"Kau... terluka seperti ini, tapi tidak bilang apa-apa padaku?" Suara Verio terdengar serak, nadanya penuh keterkejutan yang bercampur amarah.
Bukan amarah yang diarahkan padanya. Tetapi pada orang-orang yang telah menyakitinya.
Ragna menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. "Aku... Aku baik-baik saja, Pa," gumamnya pelan.
Namun, kebohongan itu terlalu kentara.
Verio memejamkan matanya sejenak, berusaha menahan emosi yang hendak meledak.
Lalu, dengan gerakan hati-hati, ia menarik gadis kecil itu ke dalam pelukannya.
Tidak erat, tidak menekan, hanya cukup untuk memberikan kehangatan.
"Maaf, Ragna." Suaranya nyaris tak terdengar. "Maaf aku terlambat datang."
Tubuh mungil itu membeku di pelukannya.
Mata hijau Ragna membelalak kecil. Perlahan, ia mulai menyadari sesuatu.
Kehangatan ini berbeda.
Ini bukan kasih sayang semu yang pernah ia kenal.
Ini adalah perlindungan yang tulus.
Satu-satunya kata yang keluar dari bibirnya hanyalah, "Papa..."
🐾
Ragna menatap pantulan dirinya di cermin, matanya bergulir menilai sosok mungil yang kini ia huni. Sekilas, ia melirik pria yang telah mengadopsinya—sosok yang tampak acuh, namun secara mengejutkan begitu telaten merawatnya.
Verio dengan hati-hati mengikat rambutnya, jemarinya lincah memoleskan lotion bayi sebelum akhirnya menyempurnakan penampilannya dengan dress hijau lembut. Kini, gadis kecil itu tampak begitu menggemaskan, meski raut wajahnya masih menyiratkan kebingungan.
“Sudah selesai.” Verio melangkah mundur, menatap hasil karyanya dengan puas. “Sekarang kau terlihat lebih baik. Diam di sini.”
Ragna hanya mengangguk kecil, menuruti titah pria itu tanpa banyak protes. Begitu punggung lebar Verio menghilang di balik pintu kamar mandi, ia perlahan beranjak dari tempatnya. Langkahnya ringan saat mendekati jendela, kedua tangannya bertumpu pada bingkai kayu sembari menatap pemandangan yang terbentang di luar sana.
Dunia yang asing.
Bangunan menjulang tinggi dengan atap beton, deretan toko dengan kaca besar, serta lampu-lampu yang masih menyala meski pagi telah datang. Saat jendela terbuka, suara gerimis bercampur dengan gemuruh mesin segera menyapa pendengarannya.
Tidak ada pejalan kaki yang mengenakan kain panjang seperti di zamannya. Tak ada kereta kuda, apalagi orang-orang yang menunggangi kuda dengan gagah. Yang ada hanyalah benda-benda aneh yang melaju di jalanan, berbaris rapi dengan suara bising yang entah mengapa terasa mengintimidasi.
Matanya menyapu pemandangan sekali lagi. Tidak ada rumah kayu beratap jerami, tidak ada jalanan berbatu yang biasa ia lewati. Dunia ini… dunia macam apa sebenarnya?
Ragna masih terpaku di tempatnya, matanya menelusuri dunia asing yang kini menjadi kenyataannya. Setiap sudutnya begitu berbeda dari apa yang pernah ia kenal. Bahkan udara yang ia hirup terasa lebih bersih, tanpa aroma asap kayu atau bau khas jalanan di tempat asalnya.
Tiba-tiba, suara pintu kamar mandi terbuka, membuatnya menoleh cepat. Verio keluar dengan handuk yang masih tersampir di lehernya, rambut hitamnya sedikit berantakan karena air. Pria itu menyipitkan mata saat melihat gadis kecil itu berdiri di tepi jendela, tangannya terangkat seolah ingin menyentuh kaca.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan nada malas.
Ragna tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Verio sejenak, lalu kembali menoleh ke luar jendela. "Dunia ini… sangat berbeda," gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Verio mengangkat alis, lalu berjalan mendekat. Ia melongok ke luar, mengikuti arah pandangan Ragna. "Berbeda dari mana?" tanyanya, meski nada suaranya tidak benar-benar menuntut jawaban.
Ragna terdiam. Tentu saja berbeda. Di zamannya, tidak ada bangunan setinggi ini, tidak ada cahaya terang di jalanan, dan tentu saja tidak ada benda aneh yang melaju di jalan raya dengan suara bising. Namun, ia tidak bisa mengatakan semua itu.
Dia berpikir cepat. "Dulu aku tinggal di desa," jawabnya akhirnya. "Di sana tidak ada bangunan tinggi seperti ini."
Verio hanya menatapnya sekilas, lalu menghela napas. "Ya, tentu saja. Kau dulu tinggal di tempat terpencil, bukan?"
Ragna mengangguk kecil, membiarkan pria itu menariknya menjauh dari jendela.
"Ayo, kita turun. Sarapan dulu sebelum berangkat," ujar Verio sambil menepuk pelan kepala gadis kecil itu.
Ragna hanya menurut, meski pikirannya masih dipenuhi kebingungan. Satu hal yang ia tahu pasti—ini bukan hanya sekadar tempat yang berbeda. Ini adalah dunia yang benar-benar asing, dan ia tidak tahu apa yang menantinya di masa depan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!