Gerimis pagi masih setia menyelimuti kota, membawa udara dingin yang merayapi jendela penginapan kecil itu. Suara ribut terdengar dari salah satu kamar, bercampur dengan suara percikan air dan dengusan kesal seorang gadis kecil yang tengah duduk di dalam bathtub, mengembungkan pipinya sambil bermain busa sabun dengan ekspresi jengkel.
Di depannya, seorang pria berpenampilan urakan dengan tindikan di telinga menggosok tubuh kecil itu dengan hati-hati, meski pikirannya melayang ke mana-mana.
Ragna—atau lebih tepatnya Sekartaji yang kini menghuni tubuh gadis kecil itu—masih merasa frustrasi. Bagaimana tidak?
Baru saja ia beradaptasi dengan tubuh ini, Verio tiba-tiba membangunkannya sepagi ini, menyuruhnya mandi dan bersiap. Mata Ragna yang masih berat karena kantuk hanya bisa melirik tajam ke arah pria itu, tapi tetap berjalan menuju kamar mandi dengan langkah gontai.
Namun, masalah dimulai begitu ia masuk.
Sekartaji, yang terbiasa dengan zaman lamanya, hanya bisa berdiri di depan bathtub dengan ekspresi bingung. Matanya mengamati benda-benda di sekitarnya—keran, shower, dan botol-botol aneh dengan tulisan yang tak bisa ia baca.
"Apa ini?" pikirnya, menatap botol biru dengan curiga, "Apa dia memberiku racun?"
Gadis kecil itu memutar botol itu dengan penasaran, dia memikirkan cara untuk membuka botol itu meski tampak ragu-ragu.
"Kenapa orang itu memberikan aku botol ini untuk mandi?" Pikir Ragna heran.
Seharusnya ia hanya menuangkan air ke dalam gayung, tapi di tempat ini… tidak ada gayung!
Lima menit berlalu, dan tidak ada suara air mengalir dari dalam kamar mandi.
Karena curiga, Verio mendobrak pintu tanpa peringatan, membuat Ragna melonjak kaget.
"Kenapa kau belum mandi?" tanyanya, menatap gadis kecil itu dengan ekspresi tak percaya.
Ragna—masih mencoba menyembunyikan kebingungannya—hanya bisa mengedip polos. "Aku nggak sampai…"
Verio mengangkat sebelah alis, tatapannya menyelidik. "Kenapa nggak pakai shower aja?"
Ragna mengikuti arah jarinya, menatap benda aneh yang tinggi itu. "Oh, jadi ini namanya shower? Aku pikir hiasan dinding." pikirnya dalam hati.
"Aku nggak bisa menjangkaunya," jawabnya dengan polos, mengangkat tangannya sekuat tenaga hanya untuk membuktikan perkataannya. Namun, tetap saja… gagal.
Verio menyilangkan tangan di dadanya, senyum miring terukir di wajahnya. "Oh, jadi kau pendek ternyata."
"Aku nggak pendek, Papa!" Ragna langsung memprotes, wajahnya mulai memerah. "Aku cuma belum tumbuh! Nanti aku pasti lebih tinggi dari Papa!"
Verio mendengus kecil, nadanya santai tapi terdengar menyindir. "Iya, iya. Pendek tapi banyak alasan."
“Papa!” Ragna melotot kesal.
Verio mengacak rambutnya sembarangan. "Kau lama sekali. Sudah, biar aku yang mandikan. Kalau dibiarkan, kita bakal menginap semalam lagi di sini, dan aku rugi.”
Ragna ingin menolak, namun pada akhirnya hanya bisa mendengus pelan dan menyerah. "Baiklah... Tapi jangan lama-lama!"
Verio hanya menggeleng kecil. Pagi ini terasa lebih berisik dari biasanya.
Namun, keributan itu langsung mereda begitu Verio menyibak pakaian atas Ragna.
Langkah tangannya seketika terhenti. Matanya membeku.
Lebam keunguan yang mulai memudar... Bekas luka samar yang menjalar di punggung kecil itu...
Verio menarik napas dalam, jemarinya tanpa sadar mencengkeram kain yang sudah lapuk itu, membuatnya robek dengan mudah. Punggung gadis kecil itu kini terbuka lebih lebar, memperlihatkan bekas luka yang lebih banyak dari yang ia kira.
Waktu terasa berhenti.
Tatapan Verio mengeras. Emosinya bergejolak.
Apa yang telah mereka lakukan padamu?
Punggung itu tak seharusnya dimiliki oleh seorang anak kecil. Luka-luka itu tak seharusnya ada di tubuh yang sekecil ini.
Ragna menunduk, tangannya meremas ujung pakaian yang tersisa. Ada ketakutan yang jelas di matanya.
"Kau... terluka seperti ini, tapi tidak bilang apa-apa padaku?" Suara Verio terdengar serak, nadanya penuh keterkejutan yang bercampur amarah.
Bukan amarah yang diarahkan padanya. Tetapi pada orang-orang yang telah menyakitinya.
Ragna menggigit bibirnya, ragu untuk menjawab. "Aku... Aku baik-baik saja, Pa," gumamnya pelan.
Namun, kebohongan itu terlalu kentara.
Verio memejamkan matanya sejenak, berusaha menahan emosi yang hendak meledak.
Lalu, dengan gerakan hati-hati, ia menarik gadis kecil itu ke dalam pelukannya.
Tidak erat, tidak menekan, hanya cukup untuk memberikan kehangatan.
"Maaf, Ragna." Suaranya nyaris tak terdengar. "Maaf aku terlambat datang."
Tubuh mungil itu membeku di pelukannya.
Mata hijau Ragna membelalak kecil. Perlahan, ia mulai menyadari sesuatu.
Kehangatan ini berbeda.
Ini bukan kasih sayang semu yang pernah ia kenal.
Ini adalah perlindungan yang tulus.
Satu-satunya kata yang keluar dari bibirnya hanyalah, "Papa..."
🐾
Ragna menatap pantulan dirinya di cermin, matanya bergulir menilai sosok mungil yang kini ia huni. Sekilas, ia melirik pria yang telah mengadopsinya—sosok yang tampak acuh, namun secara mengejutkan begitu telaten merawatnya.
Verio dengan hati-hati mengikat rambutnya, jemarinya lincah memoleskan lotion bayi sebelum akhirnya menyempurnakan penampilannya dengan dress hijau lembut. Kini, gadis kecil itu tampak begitu menggemaskan, meski raut wajahnya masih menyiratkan kebingungan.
“Sudah selesai.” Verio melangkah mundur, menatap hasil karyanya dengan puas. “Sekarang kau terlihat lebih baik. Diam di sini.”
Ragna hanya mengangguk kecil, menuruti titah pria itu tanpa banyak protes. Begitu punggung lebar Verio menghilang di balik pintu kamar mandi, ia perlahan beranjak dari tempatnya. Langkahnya ringan saat mendekati jendela, kedua tangannya bertumpu pada bingkai kayu sembari menatap pemandangan yang terbentang di luar sana.
Dunia yang asing.
Bangunan menjulang tinggi dengan atap beton, deretan toko dengan kaca besar, serta lampu-lampu yang masih menyala meski pagi telah datang. Saat jendela terbuka, suara gerimis bercampur dengan gemuruh mesin segera menyapa pendengarannya.
Tidak ada pejalan kaki yang mengenakan kain panjang seperti di zamannya. Tak ada kereta kuda, apalagi orang-orang yang menunggangi kuda dengan gagah. Yang ada hanyalah benda-benda aneh yang melaju di jalanan, berbaris rapi dengan suara bising yang entah mengapa terasa mengintimidasi.
Matanya menyapu pemandangan sekali lagi. Tidak ada rumah kayu beratap jerami, tidak ada jalanan berbatu yang biasa ia lewati. Dunia ini… dunia macam apa sebenarnya?
Ragna masih terpaku di tempatnya, matanya menelusuri dunia asing yang kini menjadi kenyataannya. Setiap sudutnya begitu berbeda dari apa yang pernah ia kenal. Bahkan udara yang ia hirup terasa lebih bersih, tanpa aroma asap kayu atau bau khas jalanan di tempat asalnya.
Tiba-tiba, suara pintu kamar mandi terbuka, membuatnya menoleh cepat. Verio keluar dengan handuk yang masih tersampir di lehernya, rambut hitamnya sedikit berantakan karena air. Pria itu menyipitkan mata saat melihat gadis kecil itu berdiri di tepi jendela, tangannya terangkat seolah ingin menyentuh kaca.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan nada malas.
Ragna tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Verio sejenak, lalu kembali menoleh ke luar jendela. "Dunia ini… sangat berbeda," gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Verio mengangkat alis, lalu berjalan mendekat. Ia melongok ke luar, mengikuti arah pandangan Ragna. "Berbeda dari mana?" tanyanya, meski nada suaranya tidak benar-benar menuntut jawaban.
Ragna terdiam. Tentu saja berbeda. Di zamannya, tidak ada bangunan setinggi ini, tidak ada cahaya terang di jalanan, dan tentu saja tidak ada benda aneh yang melaju di jalan raya dengan suara bising. Namun, ia tidak bisa mengatakan semua itu.
Dia berpikir cepat. "Dulu aku tinggal di desa," jawabnya akhirnya. "Di sana tidak ada bangunan tinggi seperti ini."
Verio hanya menatapnya sekilas, lalu menghela napas. "Ya, tentu saja. Kau dulu tinggal di tempat terpencil, bukan?"
Ragna mengangguk kecil, membiarkan pria itu menariknya menjauh dari jendela.
"Ayo, kita turun. Sarapan dulu sebelum berangkat," ujar Verio sambil menepuk pelan kepala gadis kecil itu.
Ragna hanya menurut, meski pikirannya masih dipenuhi kebingungan. Satu hal yang ia tahu pasti—ini bukan hanya sekadar tempat yang berbeda. Ini adalah dunia yang benar-benar asing, dan ia tidak tahu apa yang menantinya di masa depan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments