Bab 2

Verio menatap hujan yang mengguyur di luar penginapan dengan ekspresi datar, seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, lamunannya terhenti ketika suara ketukan terdengar di pintu.

Dengan sigap, Verio mendekati pintu, suaranya dingin saat bertanya, "Siapa?"

"Maaf, Tuan. Saya membawa pesanan Anda. Dua porsi makan malam dan satu set pakaian anak perempuan," jawab suara pria dari balik pintu.

Verio mengintip sejenak melalui lubang kecil sebelum membuka pintu. Dua pengurus penginapan berdiri di sana, memegang tray makan malam dan sebuah paperbag. "Terima kasih," ucap Verio pendek, mengambil barang-barang itu tanpa basa-basi, lalu menutup pintu dengan bunyi 'blam.'

Ia berjalan mendekati Ragna yang masih duduk di ranjang. Dengan gerakan santai, Verio melemparkan paperbag itu ke arahnya. Ragna menangkapnya dengan kedua tangan, keningnya berkerut bingung.

"Apa ini, Pa?" tanyanya penasaran.

"Pakaian untukmu," jawab Verio sambil mulai menata piring-piring makan malam di atas meja kecil di dekat jendela.

Ragna membuka paperbag itu dengan hati-hati, lalu matanya berbinar saat melihat dress hijau cantik di dalamnya. Ia memandangi pakaian itu dengan kagum, jemarinya menyusuri kain lembutnya. Pakaian seperti ini adalah sesuatu yang tak pernah ia miliki sebelumnya.

"Terima kasih, Papa," ucapnya tulus, senyumnya kecil namun begitu berharga.

Verio meliriknya sekilas sebelum berkomentar dengan nada sarkas, "Itu untuk dipakai besok. Aku nggak mau orang bilang aku menelantarkan anak karena pakaiannya robek."

Ragna mengangguk pelan dan dengan hati-hati melipat kembali dress itu, lalu meletakkannya di atas meja kecil di dekat ranjang.

"Ayo, makan," ajak Verio sambil duduk di kursi dan mengambil garpu.

"Papa duluan saja. Aku makan setelah Papa selesai," sahut Ragna santai sambil menggoyangkan kakinya di tepi ranjang. Setelah itu, ia merebahkan diri, meregangkan tubuhnya seperti seekor kucing yang baru saja menemukan tempat nyaman.

Verio menatapnya sejenak, lalu menggeleng kecil, tak bisa menahan senyum samar di balik wajah dinginnya. "Dasar bocah aneh," gumamnya

Verio melirik sekilas ke arah Ragna yang sedang merebahkan diri di ranjang. Bibirnya sedikit terangkat dalam senyum kecil yang nyaris tak terlihat. Namun, ia tak berkata apa-apa dan mulai mendekati bocah itu.

Ragna yang asik menatap langit-langit penginapan menoleh ke arah Verio yang menjulang di atasnya. Tanpa ragu, pria itu mengangkat tubuh kecil gadis itu ke pelukannya.

"Tubuhmu ringan sekali." Komentarnya sambil membawa Ragna menuju meja makan dadakan, "Kau sekarang putriku. Tidak ada salahnya makan bersama."

Ragna terdiam. Sejak tinggal di panti asuhan, dia selalu makan sendirian dan paling akhir. Bahkan saat diadopsi pun, gadis kecil itu selalu makan paling akhir dan terkadang mendapatkan makanan sisa.

Verio mendudukkan Ragna di kursi yang berhadapan dengannya. Gadis kecil itu memandang piring berisi makanan yang terhidang di hadapannya dengan tatapan ragu-ragu. Ini adalah makanan yang terlihat jauh lebih enak daripada apa yang biasa dia makan di panti asuhan maupun saat di adopsi dulu. "Papa yakin aku boleh makan ini?" tanyanya pelan.

Verio yang kini sudah duduk di hadapan gadis itu mengangkat sebelah alisnya. "Kau pikir makanan ini untuk siapa lagi? Ayo makan, atau aku yang akan memakannya."

Ragna tersenyum kecil dan mulai menyantap makanannya. Setelah beberapa gigitan, matanya berbinar. "Ini enak sekali!" serunya dengan antusias.

"Jangan terlalu terkesan. Itu cuma makanan penginapan biasa," komentar Verio datar sambil menyuap makanannya, meskipun ada nada samar kepuasan dalam suaranya melihat Ragna menikmati makanan itu.

Setelah selesai makan, Ragna kembali ke ranjang, menatap Verio yang sedang membereskan meja. "Papa selalu seperti ini ya? Dingin tapi baik," gumamnya dengan suara pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

Verio berhenti sejenak, lalu menoleh dengan ekspresi datar. "Aku bukan orang baik, Ragna. Jangan salah paham."

"Tapi Papa berbeda," balas Ragna cepat, matanya penuh keyakinan. "Papa tidak seperti mereka."

Verio tidak menjawab, hanya kembali mengalihkan perhatiannya pada jendela. Di luar, hujan masih mengguyur deras, membentuk irama monoton yang entah kenapa terasa menenangkan. Di dalam kamar itu, meskipun tanpa kata-kata lebih lanjut, ada kehangatan yang perlahan mengisi ruang di antara keduanya.

🐾

Verio tidak pernah menyangka akan mengadopsi seorang anak. Ia bukan tipe pria yang terlihat cocok menjadi seorang ayah—dengan jaket kulit lusuh, rambut berantakan, dan ekspresi dingin yang sering disalahartikan sebagai ketidakpedulian. Namun, sejak pertama kali melihat Ragna, gadis kecil itu seakan menarik sesuatu dalam dirinya yang selama ini tak pernah ia sadari.

Malam ini, Ragna tampak lelah.

"Aku keluar sebentar. Kau tidur di sini," ujar Verio, mengangkat tubuh mungil Ragna dan membaringkannya di atas ranjang.

"Uhm," gadis kecil itu mengangguk patuh.

Verio merapikan selimutnya, memastikan tubuh kecil itu terbungkus dengan hangat sebelum ia bangkit dan meraih dompet serta ponselnya.

Namun, saat ia hendak pergi, matanya bertemu dengan tatapan Ragna yang penuh kekhawatiran.

Ia menghela napas pelan.

"Aku akan kembali. Jangan sembarangan membuka pintu," katanya, sebelum melangkah keluar dan menutup pintu dengan rapat.

Ragna hanya menatap pintu yang kini tertutup, bibir mungilnya melengkung tipis dalam senyum yang nyaris tak terlihat.

Tubuhnya terasa ringan, matanya mulai berat. Namun, sebelum terlelap, ia berbisik pelan.

"Papa, terima kasih sudah mengadopsiku… Aku tahu, kau orang baik."

Ia memejamkan mata, napasnya semakin pelan.

"Seandainya aku bisa hidup lebih lama, aku pasti akan bahagia menjadi anakmu…" suaranya semakin lirih, nyaris tak terdengar.

"Terima kasih sudah memberiku kesempatan merasakan kasih sayang seorang ayah… Aku sungguh senang. Di kehidupan berikutnya, aku berharap kau tetap menjadi ayahku."

Dalam keheningan malam, Ragna menghembuskan napas terakhirnya.

🐾

Manik hijau itu perlahan terbuka, menyambut dunia dengan tatapan kosong yang penuh kebingungan.

Hal pertama yang menyambutnya adalah ruangan asing yang diterangi cahaya lampu redup.

"Ini… di mana?"

Gadis kecil itu menatap sekeliling, mencoba memahami tempat ini.

Sebuah ranjang empuk, meski tak bisa dibilang mewah, menopang tubuhnya dengan nyaman. Dinding bercat putih polos mengelilinginya, sementara jendela besar menampilkan pemandangan hujan yang membasahi malam. Cahaya gedung-gedung di kejauhan berpendar indah di balik tetesan air, menciptakan panorama yang asing namun menenangkan.

Sekartaji turun dari ranjang, langkah kecilnya membawa dirinya ke sebuah cermin besar di pintu lemari.

"Siapa?"

Sosok di balik cermin menatapnya dengan mata hijau yang sama. Ragu-ragu, ia menggerakkan tangan. Pantulan itu melakukan hal yang sama.

"Tunggu… ini aku?"

Gadis kecil dalam cermin itu tampak cantik, nyaris seperti boneka porselen. Mata hijaunya jernih, rambutnya hitam legam, panjang dan tampak halus saat tergerai.

Sekartaji, ahli racun dan pembunuh bayaran terbaik, kini berada di dalam tubuh seorang anak kecil?

"Aku bereinkarnasi ke tubuh ini?" gumamnya, menatap jemari mungil yang tampak kurus dan rapuh.

Tiba-tiba, bayangan kehidupan pemilik tubuh ini melintas di kepalanya—begitu jelas, begitu menyakitkan.

Hidup gadis kecil ini begitu menyedihkan.

Ia mengepalkan tangan kecil itu.

"Tenang saja, Nak. Aku akan membalas mereka."

Cklek!

Suara pintu terbuka membuatnya menoleh.

Seorang pria masuk, membawa kantong plastik besar yang entah berisi apa. Penampilannya jauh dari kata lembut. Jaket kulit lusuh, tindik di telinga, serta tatapan tajam yang penuh ketidakpedulian.

Sekartaji—yang kini menjadi Ragna—memandangnya tanpa ekspresi.

"Ah, jadi dia yang mengadopsi anak ini?" pikirnya dalam diam.

Mata hitam pria itu menyipit, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.

"Kenapa kau belum tidur, Ragna?"

Sekartaji mengingat nama itu.

"Jadi, anak ini bernama Ragna? Nama yang indah."

"Aku belum mengantuk," jawabnya datar. Namun, tubuh mungil ini tak bisa berbohong—bibirnya malah menguap lebar.

Verio menyeringai kecil. "Hoo? Tapi mulutmu berkata lain, tuh?" Ia melepas jaketnya dan menggantungnya di belakang pintu. "Sebaiknya kau cepat tidur, Nak. Besok kita menempuh perjalanan panjang."

Ragna—atau lebih tepatnya Sekartaji yang kini menghuni tubuh gadis kecil itu—hanya menatap pria itu dalam diam.

"Perjalanan panjang?"

Ia meneliti gerak-gerik pria bernama Verio itu dengan seksama. Ada sesuatu dalam tatapan dan caranya berbicara yang membuatnya sulit untuk ditebak. Apakah pria ini benar-benar orang baik? Atau hanya serigala berbulu domba?

Namun, mengingat ingatan pemilik tubuh ini, pria itu telah menyelamatkannya dari neraka yang selama ini ia jalani. Ia yang mengadopsinya. Ia yang menawarkannya kehidupan baru.

Ragna menghela napas pelan dan berjalan kembali ke ranjang. Tubuh kecil ini terlalu lelah, seolah-olah setiap langkah membutuhkan tenaga ekstra.

Verio menatapnya sebentar sebelum akhirnya mendekat dan menyampirkan selimut ke tubuh mungilnya.

"Jangan berpikir macam-macam. Istirahat yang cukup," katanya dengan nada santai, namun tetap terasa seperti perintah.

Ragna tidak menjawab. Ia hanya membiarkan kelopak matanya tertutup perlahan, membiarkan tubuh ini beristirahat setelah sekian lama dipaksa menahan luka dan penderitaan.

Namun, tidak ada yang tahu bahwa yang kini terbaring di ranjang itu bukan lagi Ragna yang dulu.

Sekartaji telah kembali.

Dan kali ini, ia tidak akan membiarkan dirinya diinjak-injak lagi.

Terpopuler

Comments

Listya ning

Listya ning

kasih sayang papa yang tulus
Semangat author...jangan lupa mampir 💜

2025-01-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!