Meet You Again
Jakarta siang itu nampak mendung. Awan-awan tebal menggantung rendah, membentuk gumpalan-gumpalan yang berat, seolah menyimpan tangis yang tak tertahankan. Semburat oranye dari sinar matahari hanya terlihat sekilas, selepas itu tenggelam bersama awan yang mulai menelan cahaya.
Benar saja, tak lama kemudian, hujan mulai turun membasahi bumi. Cukup deras, hingga membuat orang-orang yang sedang di jalan mencari tempat untuk berteduh.
Stevan Wagner – tidak mengenakan seragam pilot kebanggaannya, melainkan kaus polo hitam dan celana khaki yang nyaman. Di usianya yang menginjak akhir dua puluhan, ia sudah punya nama sebagai salah satu pilot termuda di maskapai internasional.
Namun, hari ini lelaki tampan itu hanya seorang pengunjung biasa, singgah sebentar di area kampus yang terletak tak jauh dari rumah sakit tempat sahabatnya baru selesai menjalani operasi kecil.
Setelah menjenguk, Stevan memilih mampir ke sebuah kafe unik yang berseberangan dengan gerbang sebuah universitas terkemuka.
Hujan begini, menikmati pahitnya kopi panas adalah sebuah kenikmatan. Dia baru saja memarkirkan Aston Martin Vantage abu-abunya yang berkilauan di tempat parkir VIP, kontras mencolok dengan motor-motor mahasiswa.
Stevan melangkah gagah. Postur tubuhnya yang tinggi tegap, hasil dari kedisiplinan dan gaya hidup sehat, membuat setiap gerakannya tampak berwibawa. Matanya yang tajam menyapu seisi kafe. Dia mencari tempat yang tenang, tapi pandangannya tiba-tiba terhenti.
Di sudut paling tersembunyi, di bawah naungan rak buku yang menjulang, ada seorang gadis yang tengah tenggelam dalam bukunya.
Cahaya lampu yang lembut dari sudut plafon membingkai profil wajah sang gadis yang sedang fokus. Rambut cokelatnya yang panjang diikat longgar, beberapa helai jatuh menutupi dahinya, menambah kesan lugu dan serius.
Sebuah pena menari di buku catatan di hadapannya, sesekali gadis itu menyeruput kopi dingin dari gelas di sampingnya. Dia mengenakan blus putih sederhana dengan rok jeans selutut, pakaian yang sangat biasa, tetapi entah mengapa, di mata Stevan dia tampak luar biasa.
Dunia Stevan yang biasanya dipenuhi kokpit, menara kontrol, dan kecepatan suara, mendadak melambat. Laki-laki itu tahu persis apa yang dirasakannya—sebuah ketertarikan yang begitu kuat, mendadak, dan tak terbantahkan.
Stevan telah melihat banyak wajah di seluruh dunia, tetapi tatapan mata Atha yang sesekali terangkat, menunjukkan sorot mata yang cerdas dan dalam, berhasil mengunci perhatiannya.
Apakah ini cinta pada pandangan pertama? Sejelas turbulensi yang dia hindari saat penerbangan. Stevan menggelengkan kepala, tanpa sadar menyunggingkan seliris senyuman ringan.
Stevan berpaling berjalan ke arah meja pemesanan. Namun, ia tidak benar-benar fokus pada menu. Pikirannya sibuk menyusun strategi. Bagaimana cara dia memulai percakapan? Bagaimana dia bisa, setidaknya, tahu siapa namanya?
Laki-laki gagah itu mengambil napas dalam-dalam. Menjadi pilot memberinya kepercayaan diri untuk menghadapi situasi apa pun, baik di udara maupun di darat. Dia mengambil kopi hitam dan sepotong scone, lalu dengan langkah yang terukur dan penuh tekad, ia mulai berjalan, bukan menuju meja kosong, tapi menuju sudut tempat sang gadis sedang belajar.
"Permisi," bisiknya pelan, memastikan suaranya tidak mengganggu konsentrasinya, "Apakah kursi di seberangmu ini sudah ada yang menempati?"
Gadis itu terlonjak sedikit, mendongak kaget dari buku tebalnya. Matanya yang bening membulat sesaat, menatap Stevan yang berdiri tegap di hadapannya. Kemudian dia menatap sekelilingnya.
Kafe itu terbilang ramai, mungkin karena hari sedang hujan. Hanya tersisa meja kosong di depan pintu keluar. Gadis itu seakan mengerti maksud Stevan yang ingin menumpang duduk di mejanya.
Sementara meja sang gadis terbilang meja yang lebih lebar dari meja yang lain. Itu juga salah satu yang membuatnya nyaman belajar di sana, agar dapat leluasa meletakkan buku-buku tebalnya.
"Ah, ti-tidak. Silakan," jawabnya, sedikit terbata-bata, merasakan gelombang aura yang kuat dari pria di depannya. Dia belum pernah melihat orang seberwibawa ini di kafe dekat kampusnya.
Stevan tersenyum, senyum yang begitu tulus lalu meletakkan cangkir kopinya dan duduk.
Pertempuran di udara mungkin mudah ia taklukkan, tetapi menghadapi keindahan yang murni dan tak terduga di depannya ini terasa seperti penerbangan perdana.
"Stevan Wagner," katanya sambil mengulurkan tangan. "Panggil saja Steve."
Gadis itu mendongak dan tersenyum simpul lalu membalas uluran tangan, merasakan kehangatan yang kontras dengan suasana dingin kafe.
"Atha… Athalita Andara," jawab sang gadis. "Senang bertemu denganmu." Suara Atha lembut dengan tatapan mata yang dalam semakin membuat Stevan hanyut dalam ketertarikan.
Senyum di wajah Stevan sedikit meredup, tetapi matanya tetap fokus pada Atha. Laki-laki dengan sorot mata tajam itu akan melontarkan pertanyaan pertamanya. “Apa yang sedang kamu baca?”
Atha menunduk memperlihatkan cover buku tebalnya. “Ah, hanya modul perkuliahan,” ujarnya sambil tersenyum. Lalu Atha kembali meraih penanya, dan memulai mencoret lembaran yang ada di hadapannya lalu tiba-tiba suara riang dan tergesa-gesa memecah suasana yang baru saja Stevan bangun.
"Atha! Aku cari-cari ternyata di sini!"
Seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda dan tas ransel yang tampak penuh, terengah-engah mendekati meja mereka. Itu adalah Kamila, sahabat karib Atha. Kamila menoleh sekilas ke arah Stevan, ekspresi bingung melintas di wajahnya, sebelum kembali fokus pada Atha.
"Tugas Prof Danu harus dikumpulkan sekarang, deadline jam lima sore, dan dia sudah ada di ruang dosen. Kita harus buru-buru!" Kamila langsung menarik buku catatan Atha.
Atha mengangguk mengerti, ekspresi panik terlihat di matanya. Dia lupa pada tenggat waktu itu. Gadis manis itu segera menutup buku tebalnya dan membereskan barang-barang dengan cepat.
"Demi Tuhan, aku lupa," ucapnya pada Kamila.
Atha menoleh ke Stevan dengan ekspresi menyesal. "Maaf, Steve, aku harus segera kembali ke kampus. Ada tugas mendesak."
Stevan berdiri. Walaupun kecewa karena interupsi mendadak ini, lelaki itu tidak ingin terlihat memaksa atau menghalangi. Stevan tersenyum tipis, senyum seorang pilot yang tahu kapan harus menunda pendaratan.
"Tentu. Tugas lebih penting," katanya dengan suara yang tenang dan meyakinkan. "Semoga lancar."
Atha merasakan gejolak aneh di dadanya. Dia ingin berlama-lama, ingin tahu lebih banyak tentang pria tampan yang baru dikenalnya ini, tapi kewajiban memanggil.
"Aku duluan ya. Sampai jumpa," kata Atha cepat, sebelum ditarik Kamila menuju pintu keluar kafe.
Stevan hanya bisa mengamati kepergian mereka. Dia melihat punggung Atha menghilang di balik kerumunan mahasiswa yang mulai padat di depan kafe karena hujan yang mulai mereda.
Setelah Atha dan Kamila benar-benar menghilang di balik gerbang kampus seberang jalan, Stevan kembali duduk. Kafe itu terasa kembali bising dan biasa, tidak ada lagi aura magis seperti beberapa menit yang lalu. Cangkir kopi Atha sudah kosong, hanya menyisakan sisa embun.
Stevan menghela napas. Pertemuan singkat itu, sentuhan tangan yang hanya sesaat, dan tatapan mata yang menghanyutkan, kini meninggalkan rasa penyesalan yang dalam di hatinya. “Kenapa aku tidak menanyakan nomor teleponnya,” dia bergumam sendiri.
Siapa Athalita Andara? Mahasiswa jurusan apa? Bagaimana caranya bertemu dengannya lagi?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments