Dunia Athalita Andara kini terasa lebih bersemangat, terbagi antara tuntutan kuliah yang padat dan getaran notifikasi chat antara dirinya dan Stevan.
Sejak pertemuan kedua hari itu, di toko buku mereka rutin bertukar pesan dan yang paling mengejutkan, sering kali berakhir dengan panggilan telepon larut malam.
Anehnya, hubungan mereka yang baru terjalin singkat itu malah semakin intens dan akrab melalui sambungan telepon. Stevan, pria tampan yang hadir di kafe dengan pembawaan yang sangat berwibawa dan sedikit misterius, menjadi sosok yang hangat dan terbuka di ujung sambungan telepon.
Setiap malam, Atha akan menantikan telepon dari nomor asing yang kini ia simpan sebagai ‘Pilot Nekat’. Stevan sering menelepon dari hotel di berbagai belahan dunia—dari Toronto, Dubai, hingga Tokyo—memberi tahu Atha betapa sunyinya kamar hotel bintang lima itu tanpa suara manusia.
Suatu malam, Stevan dengan fasih menceritakan pengalamannya di kokpit. Lelaki itu bukan hanya berbicara soal take-off dan landing, tetapi juga tentang detail teknis yang membuat Atha sangat antusias mendengarnya.
"Tadi malam, di ketinggian 38.000 kaki, kami melewati badai petir. Itu bukan hal yang menyenangkan, Tha. Harus bermanuver cepat, memastikan semua penumpang nyaman, padahal di luar kaca kokpit kilatan petir itu benar-benar dekat. Rasanya seperti menari di atas awan, tapi dengan tanggung jawab penuh," cerita Stevan suaranya terdengar lelah namun penuh gairah.
Atha, yang sedang berbaring di tempat tidur sambil memegang ponsel, tertawa. "Wow! Kedengarannya seperti adegan film, Steve. Tapi apa kau tidak takut?"
"Aku sudah melewati ribuan jam terbang. Takut itu ada, tapi lebih didominasi oleh kewaspadaan dan insting. Kita dilatih untuk itu. Tapi, kalau kau tanya apa yang paling aku suka..." Stevan berhenti sejenak. "Aku suka melihat lautan awan dari atas. Kadang, awan itu terlihat seperti hamparan kapas tak berujung, dan di bawahnya, dunia terlihat begitu tenang dan kecil. Itu memberiku perspektif."
Atha merasakan dirinya terbawa sepenuhnya ke dalam dunia Stevan. Dia tidak pernah tahu bahwa profesi pilot bisa memiliki sisi puitis seperti itu. Atha selalu menanggapi cerita Stevan dengan pertanyaan cerdas dan kekaguman yang tulus, membuat Stevan merasa dihargai dan didengar.
Mereka menemukan ritme komunikasi yang sempurna, seolah-olah pertemuannya di toko buku kemarin hanyalah formalitas, dan ikatan mereka memang ditakdirkan untuk dibangun melalui frekuensi suara.
“Tha, apa kamu masih bangun…” suara Stevan lembut dari seberang sana. Namun, tidak ada jawaban dari sambungan telepon itu. Stevan tersenyum. Ya, begitulah mereka mengakhiri perbincangan. “Dia pasti sudah tertidur.”
Janji untuk tidak memberikan jadwal penerbangan berubah menjadi sapaan wajib yang Stevan lontarkan sebelum lepas landas. Baru saja, penerbangan Stevan ke Paris dan Atha menjadi orang pertama yang mengetahui akan hal itu.
Tentu saja, seperti biasa setiap doa dan harapan untuk keselamatan Stevan meluncur manis dari bibir Atha membuat Stevan semakin bersemangat di setiap aktivitasnya.
“Apa kamu ingin aku belikan sesuatu? Buah tangan?” tanya Stevan sebelum take off. Pria itu tersenyum menanti suara lembut Atha menyahut dari sambungan teleponnya.
“Ah tidak, Steve. Tidak usah repot-repot untuk membeli oleh-oleh. Cerita tentang pengalaman terbangmu sudah cukup bagiku,” ujar Atha sambil memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya. “Hari ini aku kuliah siang. Dan ini ujian terakhirku di semester ini.”
“Oh ya, berarti kamu akan libur Panjang,” lanjut Stevan. “Sayangnya aku belum ada jadwal penerbangan ke Indonesia.”
Ada sesal dalam suara Stevan yang membuat Atha mendesah pelan. “kita pasti akan bertemu lagi, Steve. Waktu kita masih Panjang.”
***
Sore ini, akhir perkuliahan Atha di semester tujuh. Teman-temannya sedang membincangkan rencana liburan yang sudah lama mereka rencanakan.
“Oh, ayolah, sebelum drama akhir semester yang begitu mencekam datang, kita holiday dulu,” rengek Kamila. Dia sedang menagih janji agar Atha ingat rencana yang mereka buat saat pertama memulai semester enam lalu.
Wajah Atha datar menanggapinya. Kamila mengerutkan kening, mengartikan raut wajah Atha yang nampak tidak bersemangat. “Kenapa? Apa yang sedang menganggumu, Tha?”
Atha menoleh menatap Kamila dengan perasaan bersalah. “Entahlah, aku ragu dengan liburan ini, Mil.” ungkapnya.
Mendengar itu, Kamila gegas duduk di sebelah Atha. Di bawah pohon mangga, depan perpustakaan kampus, mereka berada. Ada kursi panjang di sana. Biasanya, Atha, Kamila dengan sahabat Atha yang lainnya janji bertemu sebelum bersama-sama pulang keluar dari gerbang kampus.
"Kita kan sudah atur semua, Tha. Resort yang view-nya langsung ke laut, snorkeling di Gili Trawangan... fix ini liburan terbaik kita!" Kamila memelas.
Atha masih ragu, seakan ada hal yang menggerogoti pikirannya. “Tapi…”
“Jadi ini tentang pria misterius itu,” potong Kamila dengan wajah kesal. Gadis itu lantas bersedekap, napasnya cepat naik-turun seakan sedang mengontrol emosi.
“Tidak, bukan itu,” Atha berkelit. “Hanya saja, aku…”
Tebakan Kamila tidak sepenuhnya salah. Akhir-akhir ini, ada satu variabel baru yang mengubah semua perhitungan Atha, yaitu Stevan. Laki-laki itu memang sedang berada di sudut hati Atha, mulai menyemai benih-benih cinta di hatinya.
“Lantas, apa Tha?” Kamila menoleh mencari jawaban sejujur-jujurnya dari kedua mata Atha yang redup. Kamila menatapku lama.
“Ya...ya aku akui, ini semua karena Stevan,” jujur Atha. “Bagaimana kalau dia datang lagi ke kafe itu sementara kita sedang berlibur?”
Mata Kamila menyipit. Ia kemudian tersenyum kecil, senyum yang menunjukkan dia sudah menduga sesuatu. "Oh, jadi ini alasan kamu akhir-akhir ini senyum-senyum sendiri saat pegang ponsel. Benar pria misterius itu kan ya?"
"Ya," bisik Atha malu-malu. "Dan aku benar-benar dilema. Antara janji persahabatan kita—yang sangat berharga bagiku atau kesempatan untuk menggali lebih dalam tentang dia."
Kamila tersenyum simpul. Di satu sisi dia senang mendengar sahabatnya sedang membuka hati, tetapi di sisi lainnya Kamila sudah membayangkan betapa serunya berlibur ke Lombok
“Bagaimana kalau kita tentukan tanggal keberangkatannya setelah Steve menghubungiku. Akan kupastikan dia tidak sedang berada di Indonesia saat kita liburan?” wajah Atha berubah ceria.
Kamila mengangguk. “Janji ya.”
***
Atha melemparkan tubuhnya di atas Kasur. Dia merasa hari ini sangat melelahkan. Ya, ini ujian akhir di semester tujuh. Dengan konsentrasi penuh dia mengejakan soal dalam waktu 60 menit. Itu tidak mudah mengingat beberapa mata kuliah terberat di semester ini di uji secara bersamaan.
Di rumah ini Atha sendiri, dulu dia tinggal bersama ibunya di Bandung. Semenjak kebakaran merenggut sang ayah, Atha hanya tinggal bersama ibunya. Gadis itu juga tidak punya saudara lainnya.
Atha merogoh kantong rok denimnya, mencari-cari ponsel yang kini menjadi benda yang harus paling dekat dengan jangkauannya. Dia mulai menyapu layer dengan jari telunjuk lentiknya. Kosong, tidak ada notifikasi pesan ataupun telepon dari Stevan.
Atha mendesah resah, dia merasa begitu sunyi begitu hampa, sepertinya gadis itu sudah terbiasa dengan rutinitas barunya yaitu suara dering ponsel entah chat tau sambungan telepon.
Atha menatap jam di dinding kamarnya. “Ini sudah hampir larut malam, sepertinya Steve sedang sibuk.”
Malam ini, Atha merasa resah. Seperti ada yang hilang dari dirinya. Apakah sang Pilot baik-baik saja?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments