Dua hari. Dua hari berlalu tanpa satu pun berita, tidak ada pesan, tidak ada perbincangan lewat sambungan telepon, atau bahkan like iseng di unggahan media sosialnya.
Bagi Atha, dua hari itu terasa seperti dua abad. Kebiasaan Steve—lelaki yang beberapa waktu terakhir mengukir kenangan yang begitu mendalam di hatinya—bukanlah tipe pria yang singgah sebentar lalu menghilang tanpa jejak. Steve adalah tipe yang akan mengirimkan kabar-kabar remeh dan selalu menjadi menarik
.
Demi Tuhan, hening ini menyesakkan!
Atha duduk di sofa ruang tamunya, memeluk bantal sambil memandangi layar ponselnya yang gelap. Ia sudah berulang kali mengecek aplikasi pesan, memastikan jaringan internetnya tidak bermasalah, dan bahkan memeriksa kolom spam di emailnya. Nihil.
Televisi di ruang tamu itu juga dibiarkan menyala, dia tidak ingin melewatkan breaking news jika ada kecelakaan pesawat atau kejadian yang bisa memmberinya petunjuk.
"Apa sedang terjadi sesuatu padanya?" gumamnya, bibirnya mengerucut. “Tapi tidak ada kabar kecelakaan pesawat.”
Atha mengetuk-ngetuk layar ponselnya dengan gelisah. Haruskah ia menghubunginya duluan? Rasa gengsi beradu dengan kecemasan. Dia tak ingin terlihat putus asa, tapi rasa khawatir jauh lebih kuat. Ataukah Atha salah menilai seorang Steve? Apa dia sudah bisan dengan hubungan seperti ini? Pikiran-pikiran negatif berkerumun di benaknya, membuat kepalanya berdenyut.
Tepat saat ia hendak menyerah dan menekan tombol panggil, pintu rumahnya terbuka dengan bunyi decitan dramatis.
"Hai, Atha!" seru Kamila, sosok yang selalu high energy dan membawa semangat seperti badai tropis. Gadis itu berjalan masuk dengan tas belanjaan besar, wajahnya berseri-seri. "Aku sudah booking tiket! Besok malam kita terbang!"
Atha terlonjak. "Besok? Seriusan, Mil?"
"Iya! Aku dapat promo mendadak! Lombok, here we come!" Kamila menjatuhkan diri di sebelah Atha, mengabaikan raut wajah sahabatnya yang keruh. "Aku sudah nggak sabar, Tha! Laut, pasir putih, sunset yang epic, foto-foto aesthetic buat feed Instagram kita..."
Kamila langsung tenggelam dalam rencana detail liburan mereka, mulai dari daftar pantai yang wajib dikunjungi hingga perkiraan biaya untuk snorkeling. Sementara itu, Atha hanya mengangguk-angguk kecil, pandangannya kosong.
"Kamu kenapa, sih? Oh ya, kamu sudah menghubungi cowok misterius itu kan?" tanya Kamila sambil menengok dan menatap Atha dalam-dalam. "Jangan bilang cowok itu belum menghubungi kamu, atau kalian sedang tidak ada komunikasi?”
Atha menghela napas pelan. "Apa mungkin ada kecelakaan pesawat, Mil?"
Ekspresi ceria Kamila langsung berubah. "Serius, kamu belum ada komunikasi lagi dengan cowok itu!”
"Steve, Mil. Namanya Steve.” Atha menarik napas dalam lalu mengembuskannya cepat. “Tapi dia nggak kayak gini, Mil. Dia selalu menghubungiku, dimanapun, kapanpun, meskipun cuma kirim stiker," lanjut Atha.
Kamila mendelik. “Jangan-jangan kamu mulai suka sama Steve-steve itu, ya kan, ngaku,” goda Kamila sambil menyenggol lengan Atha dengan kedua mata yang terbingkai bulu mata penuh maskara itu menyipit.
Atha berdecak kesal. “Gak Mil, kita hanya sahabatan aja, gak lebih, lagian kita juga baru kenal,” Atha berusaha menjelaskan. Wajah Atha cemberut, tetapi jujur saja Atha sedikit senang dengan kata ‘suka’ yang dilontarkan Kamila.
“Nah, kalau memang gak punya hubungan apa-apa dan baru kenal, kenapa kamu se-frustasi ini, Tha?” sungut Kamila.
Atha mendesah resah. “Tapi…”
Kamila memegang kedua bahu Atha dan menatapnya lurus. "Dengar, Tha. Kita butuh ini. Kamu butuh ini. Sejak kenal Steve, hidup kamu kayak cuma muter-muter di sekitar dia. Kamu lupa me time kamu. Kamu lupa us time kita. Ayo, kita refreshing. Kita nikmati keindahan alam Indonesia. Begitu kamu balik, siapa tahu dia sudah ada di depan pintu kamu sambil bawa sekoper cokelat."
Kata-kata Kamila ada benarnya. Jauh di lubuk hatinya, Atha tahu dia terlalu bergantung pada kehadiran Steve. Ia terlalu cepat memasukkan Steve ke dalam pusat dunianya. Mungkin, jeda ini adalah sebuah peringatan, sebuah isyarat bahwa ia harus belajar menyeimbangkan hidup.
"Jadi... kita beneran berangkat besok malam?" tanya Atha, mencoba memasang senyum.
"Iya, besok malam! Sudah deal. Koper kamu mana? Kita packing sekarang!" Kamila berseru gembira. Gadis itu sangat bersemangat, seperti batrai yang baru dicas penuh.
Selama beberapa jam berikutnya, suasana rumah Atha nan sederhana kembali ramai. Mereka mulai memilih-milih pakaian yang akan Atha bawa, beberapa skincare dan asesoris khas pantai lainnya
Kamila dengan antusias menceritakan semua destinasi wisata yang sudah ia susun rapi di spreadsheet. Atha, meskipun pikirannya sesekali masih melayang pada Steve, gadis itu mulai menikmati kehebohan packing ini.
***
Saat malam menjelang dan Kamila sengaja menginap di rumah Atha. Perempuan manis itu sudah tertidur pulas di kamar tamu.
Sementara Atha masing termangu di kamarnya. Dia kembali menyentuh ponselnya. Dia membuka ruang chat dengan Steve. Harapannya masih sama, ada notifikasi dari Steve, tetapi centang itu masih satu.
"Oke, Steve," bisik Atha pada layar ponselnya. "Aku tidak akan menunggu telepon atau pun kabar dari mu, bila kita memang berjodoh, mungkin kita akan berjumpa lagi. Aku janji, aku akan bersenang-senang. Dan aku tidak akan membiarkan keheningan ini merusak liburanku."
Atha menelentangkan tubuhnya, menatap langit-langit kamarnya yang cukup sederhana, hanya bercat putih bersih dengan lampu yang menempel langsung di langit-langit.
Dia berpikir sejenak. Haruskah ia memberitahu Steve? Ia bisa saja meninggalkan pesan, "Aku ke Lombok selama empat hari. Sampai ketemu." Tapi, kenapa harus? Steve saja tidak memberi kabar. Ada sedikit rasa kesal yang mendorongnya untuk tidak memberitahu laki-laki itu. Dia ingin Steve merasakan sedikit kebingungan, sedikit kekhawatiran yang ia rasakan selama dua hari ini.
Lagipula, jika Steve memang benar-benar peduli, ia akan mencarinya, bukan?
Dengan perasaan campur aduk antara rasa bersalah, kegembiraan, dan sedikit pemberontakan, Atha memutuskan untuk tidak menghubungi Steve. Biarlah liburan ini menjadi rahasia kecilnya. Biarlah ini menjadi ujian bagi hubungan mereka yang baru seumur jagung.
Atha beranjak dari kasurnya, berjalan menuju tuang tamu. Melihat Kamila yang sedang tertidur di sofa ruang tamu sambil mengenggam remote televisi sedikit mendengkur halus.
Atha menggeleng pelan, mematikan televisi dan menyelimuti Kamila, sahabat randomnya yang selalu bisa menghidupkan suasana. “Ya, aku akan lebih memilih berlibur bersama mu Mil, kita sudah sepakat sebelum Steve hadir di kehidupanku,” desisnya pelan.
Atha berjalan ke dapur, mengambil segelas air untuk di bawa ke kamarnya. Kembali dia rebahkan tubuh mungilnya di kasur, dia memejamkan mata, membayangkan deburan ombak dan hangatnya pasir.
Untuk malam ini, ia akan membiarkan hatinya tenang. Dan besok, dia akan kembali menjadi Atha yang bebas, yang hanya fokus pada dirinya dan Kamila.
Mungkin, menghilang sejenak adalah cara terbaik untuk menemukan kembali dirinya serta untuk melihat seberapa besar Stevan akan merindukannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments