NovelToon NovelToon

Meet You Again

Pertemuan Pertama ; Bernaung di Sudut Kafe

Jakarta siang itu nampak mendung. Awan-awan tebal menggantung rendah, membentuk gumpalan-gumpalan yang berat, seolah menyimpan tangis yang tak tertahankan. Semburat oranye dari sinar matahari hanya terlihat sekilas, selepas itu tenggelam bersama awan yang mulai menelan cahaya.

Benar saja, tak lama kemudian, hujan mulai turun membasahi bumi. Cukup deras, hingga membuat orang-orang yang sedang di jalan mencari tempat untuk berteduh.

Stevan Wagner – tidak mengenakan seragam pilot kebanggaannya, melainkan kaus polo hitam dan celana khaki yang nyaman. Di usianya yang menginjak akhir dua puluhan, ia sudah punya nama sebagai salah satu pilot termuda di maskapai internasional.

Namun, hari ini lelaki tampan itu hanya seorang pengunjung biasa, singgah sebentar di area kampus yang terletak tak jauh dari rumah sakit tempat sahabatnya baru selesai menjalani operasi kecil.

Setelah menjenguk, Stevan memilih mampir ke sebuah kafe unik yang berseberangan dengan gerbang sebuah universitas terkemuka.

Hujan begini, menikmati pahitnya kopi panas adalah sebuah kenikmatan. Dia baru saja memarkirkan Aston Martin Vantage abu-abunya yang berkilauan di tempat parkir VIP, kontras mencolok dengan motor-motor mahasiswa.

Stevan melangkah gagah. Postur tubuhnya yang tinggi tegap, hasil dari kedisiplinan dan gaya hidup sehat, membuat setiap gerakannya tampak berwibawa. Matanya yang tajam menyapu seisi kafe. Dia mencari tempat yang tenang, tapi pandangannya tiba-tiba terhenti.

Di sudut paling tersembunyi, di bawah naungan rak buku yang menjulang, ada seorang gadis yang tengah tenggelam dalam bukunya.

Cahaya lampu yang lembut dari sudut plafon membingkai profil wajah sang gadis yang sedang fokus. Rambut cokelatnya yang panjang diikat longgar, beberapa helai jatuh menutupi dahinya, menambah kesan lugu dan serius.

Sebuah pena menari di buku catatan di hadapannya, sesekali gadis itu menyeruput kopi dingin dari gelas di sampingnya. Dia mengenakan blus putih sederhana dengan rok jeans selutut, pakaian yang sangat biasa, tetapi entah mengapa, di mata Stevan dia tampak luar biasa.

Dunia Stevan yang biasanya dipenuhi kokpit, menara kontrol, dan kecepatan suara, mendadak melambat. Laki-laki itu tahu persis apa yang dirasakannya—sebuah ketertarikan yang begitu kuat, mendadak, dan tak terbantahkan.

Stevan telah melihat banyak wajah di seluruh dunia, tetapi tatapan mata Atha yang sesekali terangkat, menunjukkan sorot mata yang cerdas dan dalam, berhasil mengunci perhatiannya.

Apakah ini cinta pada pandangan pertama? Sejelas turbulensi yang dia hindari saat penerbangan. Stevan menggelengkan kepala, tanpa sadar menyunggingkan seliris senyuman ringan.

Stevan berpaling berjalan ke arah meja pemesanan. Namun, ia tidak benar-benar fokus pada menu. Pikirannya sibuk menyusun strategi. Bagaimana cara dia memulai percakapan? Bagaimana dia bisa, setidaknya, tahu siapa namanya?

Laki-laki gagah itu mengambil napas dalam-dalam. Menjadi pilot memberinya kepercayaan diri untuk menghadapi situasi apa pun, baik di udara maupun di darat. Dia mengambil kopi hitam dan sepotong scone, lalu dengan langkah yang terukur dan penuh tekad, ia mulai berjalan, bukan menuju meja kosong, tapi menuju sudut tempat sang gadis sedang belajar.

"Permisi," bisiknya pelan, memastikan suaranya tidak mengganggu konsentrasinya, "Apakah kursi di seberangmu ini sudah ada yang menempati?"

Gadis itu terlonjak sedikit, mendongak kaget dari buku tebalnya. Matanya yang bening membulat sesaat, menatap Stevan yang berdiri tegap di hadapannya. Kemudian dia menatap sekelilingnya.

Kafe itu terbilang ramai, mungkin karena hari sedang hujan. Hanya tersisa meja kosong di depan pintu keluar. Gadis itu seakan mengerti maksud Stevan yang ingin menumpang duduk di mejanya.

Sementara meja sang gadis terbilang meja yang lebih lebar dari meja yang lain. Itu juga salah satu yang membuatnya nyaman belajar di sana, agar dapat leluasa meletakkan buku-buku tebalnya.

"Ah, ti-tidak. Silakan," jawabnya, sedikit terbata-bata, merasakan gelombang aura yang kuat dari pria di depannya. Dia belum pernah melihat orang seberwibawa ini di kafe dekat kampusnya.

Stevan tersenyum, senyum yang begitu tulus lalu meletakkan cangkir kopinya dan duduk.

Pertempuran di udara mungkin mudah ia taklukkan, tetapi menghadapi keindahan yang murni dan tak terduga di depannya ini terasa seperti penerbangan perdana.

"Stevan Wagner," katanya sambil mengulurkan tangan. "Panggil saja Steve."

Gadis itu mendongak dan tersenyum simpul lalu membalas uluran tangan, merasakan kehangatan yang kontras dengan suasana dingin kafe.

"Atha… Athalita Andara," jawab sang gadis. "Senang bertemu denganmu." Suara Atha lembut dengan tatapan mata yang dalam semakin membuat Stevan hanyut dalam ketertarikan.

Senyum di wajah Stevan sedikit meredup, tetapi matanya tetap fokus pada Atha. Laki-laki dengan sorot mata tajam itu akan melontarkan pertanyaan pertamanya. “Apa yang sedang kamu baca?”

Atha menunduk memperlihatkan cover buku tebalnya. “Ah, hanya modul perkuliahan,” ujarnya sambil tersenyum. Lalu Atha kembali meraih penanya, dan memulai mencoret lembaran yang ada di hadapannya lalu tiba-tiba suara riang dan tergesa-gesa memecah suasana yang baru saja Stevan bangun.

"Atha! Aku cari-cari ternyata di sini!"

Seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda dan tas ransel yang tampak penuh, terengah-engah mendekati meja mereka. Itu adalah Kamila, sahabat karib Atha. Kamila menoleh sekilas ke arah Stevan, ekspresi bingung melintas di wajahnya, sebelum kembali fokus pada Atha.

"Tugas Prof Danu harus dikumpulkan sekarang, deadline jam lima sore, dan dia sudah ada di ruang dosen. Kita harus buru-buru!" Kamila langsung menarik buku catatan Atha.

Atha mengangguk mengerti, ekspresi panik terlihat di matanya. Dia lupa pada tenggat waktu itu. Gadis manis itu segera menutup buku tebalnya dan membereskan barang-barang dengan cepat.

"Demi Tuhan, aku lupa," ucapnya pada Kamila.

Atha menoleh ke Stevan dengan ekspresi menyesal. "Maaf, Steve, aku harus segera kembali ke kampus. Ada tugas mendesak."

Stevan berdiri. Walaupun kecewa karena interupsi mendadak ini, lelaki itu tidak ingin terlihat memaksa atau menghalangi. Stevan tersenyum tipis, senyum seorang pilot yang tahu kapan harus menunda pendaratan.

"Tentu. Tugas lebih penting," katanya dengan suara yang tenang dan meyakinkan. "Semoga lancar."

Atha merasakan gejolak aneh di dadanya. Dia ingin berlama-lama, ingin tahu lebih banyak tentang pria tampan yang baru dikenalnya ini, tapi kewajiban memanggil.

"Aku duluan ya. Sampai jumpa," kata Atha cepat, sebelum ditarik Kamila menuju pintu keluar kafe.

Stevan hanya bisa mengamati kepergian mereka. Dia melihat punggung Atha menghilang di balik kerumunan mahasiswa yang mulai padat di depan kafe karena hujan yang mulai mereda.

Setelah Atha dan Kamila benar-benar menghilang di balik gerbang kampus seberang jalan, Stevan kembali duduk. Kafe itu terasa kembali bising dan biasa, tidak ada lagi aura magis seperti beberapa menit yang lalu. Cangkir kopi Atha sudah kosong, hanya menyisakan sisa embun.

Stevan menghela napas. Pertemuan singkat itu, sentuhan tangan yang hanya sesaat, dan tatapan mata yang menghanyutkan, kini meninggalkan rasa penyesalan yang dalam di hatinya. “Kenapa aku tidak menanyakan nomor teleponnya,” dia bergumam sendiri.

Siapa Athalita Andara? Mahasiswa jurusan apa? Bagaimana caranya bertemu dengannya lagi?

Seminggu Penantian di Kafe Kampus

Seminggu setelah pertemuan yang menggetarkan hati sama persis seperti penerbangan trans-Atlantik tanpa henti bagi Stevan.

Pikirannya terus dihantui oleh bayangan Athalita Andara, gadis yang hanya dia temui selama lima belas menit di kafe itu. Stevan telah kembali menjalankan rutinitasnya sebagai pilot, melintasi zona waktu dan benua, hanya saja setiap pendaratan selalu terasa hampa.

Ini bukan perasaan sesaat. Entahlah, Stevan yakin dia menyukai Atha, yang sampai saat ini Stevan sendiri bingung dorongan apa yang membuat dia jatuh pada perasaan yang amat mendalam.

Apakah sorot mata Atha yang menghanyutkan? Atau cara Atha yang serius dalam menghadapi sesuatu, atau sekilas senyuman manis yang selalu membuat mata bulatnya nyaris membentuk garis lengkungan nan tipis.

Gadis itu sangat memikat, walau hanya menampilkan sebuah kesederhanaan.

Hari ini, jadwal Stevan kembali pada penerbangan ke Jakarta. Di sela waktu istirahatnya yang hanya sehari itu, sudah pasti Stevan tidak akan melewatkan untuk mencari dimana hasratnya berada.

Laki-laki itu kembali memarkirkan Aston Martin-nya di parkiran kafe itu, sengaja memilih di jam yang sama dengan pertemuan mereka sebelumnya. Jam-jam menjelang sore, saat mahasiswa biasanya berburu kopi sebelum atau sesudah kelas. Stevan mengenakan kemeja biru muda yang santai dan duduk di kursi yang sama, kursi tempat ia pertama kali melihat Atha belajar.

Dua jam berlalu. Ia sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam dan membaca majalah penerbangan tanpa benar-benar mencerna isinya. Laki-laki itu terus menoleh ke pintu, ke setiap gadis yang berjalan masuk, berharap siluet Atha muncul.

Nihil.

Stevan mulai merasa putus asa. Hanya serangkai nama indah itu yang dia tahu, Athalita Andara. Tidak ada nomor telepon, tidak ada akun media sosial bahkan jurusan kuliahnya pun ia tidak tahu.

Stevan menyesali kebodohannya. Rasanya ingin kembali kesepekan kemarin, dia dengan berani akan meminta nomor kontak agar sekarang bisa menghabiskan waktu bersama.

Sementara, matanya menatap keluar dinding kaca transparan yang menyajikan gedung kokoh Universitas. Kampus seberang jalan itu adalah sebuah labirin berisi ribuan mahasiswa. Mencari Atha tanpa petunjuk apa pun terasa seperti mencari jarum di tumpukan jerami yang terhampar luas.

Stevan meneguk sisa kopinya. Kepalanya mulai memikirkan rencana yang lebih ekstrem—mungkin ia harus berani masuk ke kampus dan bertanya di bagian administrasi. Ah! kamu sudah gila, Steve. Dia bermonolog dalam hati.

Stevan mendesah, memutuskan untuk menyerah hari ini. Dia mengeluarkan dompetnya untuk membayar, ketika pandangannya secara otomatis melirik ke luar jendela, ke trotoar seberang jalan.

Dan kemudian, jantungnya seolah melakukan take-off mendadak. Stevan terpaku, akan tetapi ada rasa gembira yang membuncah dalam hatinya.

Akhirnya...

Di antara kerumunan mahasiswa yang berjalan tergesa-gesa, Atha muncul. Rambutnya kali ini terurai, membiarkan gelombang cokelatnya berayun seirama langkahnya yang riang. Ia tampak tertawa lepas, kepalanya sedikit mendongak ke arah teman-temannya.

Dia tidak sendirian.

Atha berjalan di tengah gerombolan sekitar enam temannya. Mereka semua tampak bersemangat, mungkin baru selesai dari kelas yang menyenangkan atau sedang merencanakan sesuatu. Mereka melangkah cepat, melewati pintu gerbang kampus dan melintas persis di depan jendela kafe, terlalu sibuk dengan obrolan sehingga tidak menyadari ada seorang pilot gagah yang sedang menatapnya penuh harap dari dalam.

Stevan keluar dengan tersenyum, senyum yang kali ini lebih lega dan penuh harapan daripada kekecewaan. Meskipun ia hanya melihat Atha sekilas, melihatnya tertawa bahagia sudah cukup untuk mengisi energinya.

Dia ada di sini. Dia nyata.

Namun, sekali lagi, dia tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa berdiri di teras kafe itu, mengamati dalam diam.

Berlari keluar dan memanggil namanya di depan enam orang temannya? Itu akan menjadi tindakan yang terlalu tergesa-gesa dan berpotensi memalukan bagi Atha. Stevan, yang selalu menjaga profesionalisme, tahu bahwa dia harus bersikap sopan dan terencana.

Stevan hanya bisa menatap punggung Atha yang perlahan menjauh, hingga rombongan itu belok di tikungan jalan, lenyap dari pandangan.

"Baiklah, Atha," bisik Stevan. Rasa penasarannya kini bercampur dengan tekad yang membara. "Setidaknya aku tahu rute perjalananmu. Kamu pasti akan melintasi tempat ini lagi." Pikirnya.

Dia kembali ke mobilnya, menyalakan mesin Aston Martin yang menderu pelan. Pilot tidak pernah mengandalkan keberuntungan. Pilot mengandalkan perencanaan. Dan Stevan, sang pilot, kini tengah merencanakan strategi serangan berikutnya.

Tidak. Jika tidak sekarang, entah kapan kesempatan itu hadir! Tekad Stevan kini sekeras fuselage pesawat terbang. Dia tidak akan menyerah hanya karena rintangan kecil berupa kerumunan teman. Setelah melihat Atha menghilang di tikungan, Stevan segera memutar kemudi Aston Martin-nya, mengikuti rute yang dia yakini akan diambil oleh gerombolan mahasiswa itu.

Dia mengemudi dengan pelan dan penuh perhitungan, menjaga jarak agar tidak menarik perhatian. Itu dia!

Semakin pelan Stevan mengendarai mobilnya. Sebagai seorang pilot, Stevan terbiasa memantau pergerakan radar dan lalu lintas udara, menguntit sebuah kelompok mahasiswa di jalanan kota terasa seperti permainan kucing-kucingan yang santai tapi krusial.

Rombongan itu tidak langsung kembali ke kos atau rumah. Mereka rupanya bergerak menuju sebuah toko buku besar yang terletak beberapa blok dari kampus.

“Sempurna,” gumam Stevan, seringai tipis muncul di wajahnya. Toko buku adalah tempat yang ideal dan memungkinkan terjadinya perpisahan sementara dari kelompok.

Stevan memarkir mobilnya di sudut yang cukup tersembunyi. Ia menunggu selama dua menit, membiarkan rombongan itu masuk. Atha tak luput dari radar pandangannya, masih tertawa-tawa bersama Kamila dan teman-temannya. Dia menghitung, ada enam orang dalam kelompok itu.

Stevan menarik napas dalam-dalam. Kali ini, dia harus berhasil. Stevan harus mendapatkan kontak lengkap Atha. Ini bukan lagi soal perkenalan, ini adalah misi penerbangan yang harus mendarat mulus.

Laki-laki itu mulai memasuki koridor pertama, mengikuti gadisnya yang mulai mencari-cari buku dan kali ini ke enam temannya tidak mengikuti.

Senyum merekah di bibir Stevan, seakan bunga-bunga bermekaran dalam hatinya dan dia tengah menikmati warna-warni bunga indah kontras dengan rerumputan hijau yang menenangkan hati.

“Hai, Atha … kita bertemu lagi.” Stevan melatih dialognya bila saatnya dia berjumpa. Stevan menunduk sambil menyembunyikan senyumnya. Laki-laki itu kembali menatap, memandang kemana arah Atha berjalan.

Sementara, sang gadis masih belum menyadari ada laki-laki yang sedari tadi mengawasinya. Atha hanya asyik mengabsen buku satu persatu, entah buku apa yang sedang dia cari.

Sampai di lorong ke dua. Atha menarik sebuah buku tebal, begitupun Stevan dari arah berlawanan. Mata mereka bertemu. Satu hal yang Atha ingat, mata coklat keemasan Stevan dengan alis tebal rapi yang simetris membingkai.

“Steve?!”

Atha tersenyum, berjalan menghampiri dan benar dia Stevan. “Hai…”

Stevan tersenyum, “Hai, Atha. Nice to meet you, again!”

Misi Bertukaran Kontak Berhasil

Atha tersentak, menatap dengan terkejut.

Matanya yang indah membulat sempurna saat melihat siapa yang berdiri di sana.

Wajah Stevan, yang terakhir dia lihat di kafe seminggu lalu, kini muncul lagi, seolah-olah deja vu yang paling menyenangkan.

"Steve?" ucap Atha sekali lagi meyakinkan. Sebuah senyum kecil tak tertahankan muncul di bibirnya. "Astaga, aku pikir aku salah lihat."

Stevan bersandar sedikit di rak buku, melihat gadis itu tersenyum tepat di depan matanya kembali membuat Stevan hanyut. "Sungguh kebetulan yang menakjubkan, bukan?”

“Hm...” Atha mengangguk pelan. Gadis itu tak dapat menyembunyikan rasa gembiranya. “Ya, kebetulan kita bertemu lagi.”

Stevan mendekat. “Sepertinya semesta menakdirkan kita bertemu, kita belum selesai mengobrol. Terakhir kali, aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menghubungimu sampai sahabatmu menyeretmu pergi. Dan aku merasa... terputus tiba-tiba."

Atha tertawa kecil, melirik ke sekitar mencari dimana teman-temannya berada, sesaat dia mendengar suara tawa Kamila. "Itu Kamila. Dia memang dramatis soal tenggat waktu."

Stevan terbahak sebentar. “Ya...ya itu dia.” Lelaki itu lalu diam, menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan. "Jadi, kau benar-benar Atha Andara. Mahasiswa yang sibuk, sepertinya," Stevan menyimpulkan.

Atha menghela napas cepat. "Athalita Andara, tapi ya, Atha saja. Dan kau Steve, yang..." Atha berhenti sejenak, menatap Stevan dari ujung kaki hingga kepala. "...yang mengendarai mobil sport mewah dan muncul tiba-tiba di kafe kampusku?"

Stevan tertawa renyah, tawa yang membuat Atha merasakan getaran aneh. "Kamu bahkan memperhatikan ku se-detail itu. Aku sedang mampir saat itu, tanpa sengaja," jelasnya. "Dan ya, itu mobilku. Sebenarnya, aku hanya ingin menikmati kopi panas saat itu."

Atha memiringkan kepalanya, tersenyum. "Baiklah."

"Ya, kemudian kamu begitu menganggu pikiranku, kamu begitu focus dengan buku-bukumu sampai tidak tahu kalau di luar sedang hujan. Apa kamu memang sefokus itu jika belajar? Sungguh mahasiswa teladan," Stevan sengaja sedikit menggoda, membuat suasana semakin akrab.

Atha tersipu lagi, mencoba menyembunyikan senyumnya. "Mungkin karena tugas-tugas itu lebih menarik daripada pemandangan sekitar." Atha menghela napas pelan. “Bagaimana denganmu Steve, apa yang kamu lakukan di Jakarta?”

Stevan mengulum senyum. Ya akhirnya gadis itu mulai menanyakan hal yang sedikit pribadi. “Saat itu aku menjenguk sahabatku di rumah sakit, Tha. Dia dan aku seorang pilot,” akunya bangga.

Atha menatap dengan ekspresi kagum. “Wah, itu pekerjaan yang sangat keren,” puji Atha. “Ah pasti sangat menyenangkan berada di ribuan kilometer di atas permukaan laut.”

"Tolong, jangan membuat aku besar kepala, Atha," canda Stevan, lalu ia mengubah nada suaranya menjadi lebih serius dan mendalam. "Jujur, Atha. Aku kembali ke kafe itu hari ini, berharap kamu ada. Kamu tahu, di udara, aku punya peta dan rute yang pasti. Tapi rute untuk bertemu denganmu... sangat misterius."

Atha menatap mata Stevan. Ia bisa merasakan ketulusan di balik nada menggoda itu. Jantungnya berdebar kencang. ini, pilot tampan dengan aura yang kuat, telah mencariku, benarkah? Batin Atha.

“Kamu mencari ku?” Atha bertanya dengan nada lembut. Kedua mata Atha makin menatap dalam, menerka-nerka isi kepala Stevan.

“Ya, entahlah. Kenapa aku begitu penasaran terhadapmu,” kekehan kecil Stevan menyimpulkan suasana canggung di Lorong itu.

Pengakuan Stevan membuat pipi Atha merona. “Aku... aku biasanya memang belajar di sana, tapi seminggu ini aku sibuk menyiapkan presentasi," jelas Atha sambil mendesah pelan, gadis itu merasa perlu memberi sedikit alasan atas ketidakhadirannya.

"Aku mengerti. Jadi, aku harus menggunakan cara lama," Stevan mengambil jeda, lalu mengulurkan tangannya sekali lagi, kali ini dengan tujuan yang berbeda. Di tangannya sudah ada ponsel yang menandakan Stevan ingin terus berhubungan dengan Atha secara kontinyu.

"Aku tidak bisa terus-menerus mengandalkan 'kebetulan' di kafe atau di manapun. Bisakah aku mendapatkan kontakmu, Atha? Ponsel, email, atau mungkin nama akun media sosial yang kau gunakan, agar kita bisa membuat pertemuan ini... lebih terencana?"

Atha ragu sejenak. Dia bukan tipe gadis yang mudah memberikan nomor teleponnya. Apalagi Stevan Adalah laki-laki yang baru dia temui seminggu kemarin. Namun, ada sesuatu pada Stevan—karisma, ketulusan, dan kegigihannya yang membuatnya merasa istimewa. Lagipula, dia tidak terlihat berbahaya; dia terlihat seperti pahlawan dalam film-film.

Gadis dengan dress pink bunga-bunga itu menghela napas, menyerah pada pesona sang pilot. "Aku rasa... aku harus menghargai usahamu dalam 'perencanaan rute' ini."

Atha mengeluarkan ponselnya. "Ambil saja nomorku. Tapi jangan mengirimiku jadwal penerbanganmu."

Stevan tersenyum lebar. Itu adalah senyum kemenangan seorang pilot yang baru saja berhasil mendarat darurat dengan sukses. Dia meraih ponsel Atha dengan cepat, membuka barcode untuk menyalin nomor kontak.

Sambil bertukar nomor, Stevan berkata, "Aku bersumpah tidak akan mengirim jadwal penerbangan. Aku janji, aku hanya akan mengirimimu pesan untuk tahu kapan kamu bebas agar aku bisa mengajakmu makan malam. Sebagai gantinya, aku akan bercerita lebih banyak tentang petualangan di langit. Tertarik?"

Atha menatap Stevan yang sudah menyimpan nomornya. "Tergantung. Apa kau bisa menjamin makan malam itu bebas dari interupsi Kamila dan teman-temanku?"

"Aku bisa menjaminnya. Pertemuan selanjutnya, aku akan menjemputmu di lokasi yang jauh dari kampus. Bagaimana?" Stevan menyarankan.

"Itu terdengar sangat... terencana," Atha tersenyum.

Stevan menatap waktu yang melingkar di pergelangan tangannya. “Sementara, aku harus berpisah denganmu, Tha. Aku ada jadwal penerbangan ke Singapura mala mini.” Wajah Stevan nampak murung. Dia tidak ingin waktu bergulir cepat memisahkan mereka berdua.

“Apa aku bilang, kamu sudah membagikan jadwal penerbanganmu, bukan?!” canda Atha membuat keduanya saling tertawa.

Tiba-tiba, suara Kamila terdengar dari lorong depan. "Atha! Kau sudah dapat bukunya? Kita harus segera pulang, ini sudah sangat sore!"

Stevan menoleh kebelakang, tawanya masih terukir di sana. “Ya, dia juga selalu ikut andil dalam perpisahan kita.”

Atha sedikit terbahak. “Kebetulan sekali. Aku akan menunggumu Steve,” Atha menjeda kalimatnya. “Terutama makan malam itu.”

Atha segera memasukkan ponselnya ke saku, mengambil buku tebal dengan sampul buku berwarna hitam menawan pilihannya. "Aku harus pergi, Steve."

"Aku tahu," Stevan mengangguk, tetapi kali ini dia tidak khawatir. "Aku sudah punya nomor pendaratannya. Aku akan segera menghubungimu."

"Hati-hati, Capt," balas Atha, melangkah mundur perlahan.

"Sampai jumpa, Atha," Stevan berbisik.

Saat Atha bergabung kembali dengan teman-temannya di kasir, Stevan membiarkan dirinya tetap di lorong itu sebentar. Menatap deretan nomor telepon Atha yang kini tersimpan rapi di ponselnya, tepat di bawah nama Athalita Andara - Rute Pribadi. Misi berhasil.

Stevan , berjalan perlahan, mengikuti dan diam-diam mengamati Atha yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Kali ini, ia tidak hanya melihat. Ia sudah terhubung. Dan Stevan, si pilot yang berani, tahu bahwa petualangan romantisnya baru saja akan dimulai.

Dia keluar dari toko buku, kembali ke Aston Martin-nya, merasa ringan dan penuh antusias. Pesan pertamanya untuk Atha sudah tertulis jelas di benaknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!