Seminggu setelah pertemuan yang menggetarkan hati sama persis seperti penerbangan trans-Atlantik tanpa henti bagi Stevan.
Pikirannya terus dihantui oleh bayangan Athalita Andara, gadis yang hanya dia temui selama lima belas menit di kafe itu. Stevan telah kembali menjalankan rutinitasnya sebagai pilot, melintasi zona waktu dan benua, hanya saja setiap pendaratan selalu terasa hampa.
Ini bukan perasaan sesaat. Entahlah, Stevan yakin dia menyukai Atha, yang sampai saat ini Stevan sendiri bingung dorongan apa yang membuat dia jatuh pada perasaan yang amat mendalam.
Apakah sorot mata Atha yang menghanyutkan? Atau cara Atha yang serius dalam menghadapi sesuatu, atau sekilas senyuman manis yang selalu membuat mata bulatnya nyaris membentuk garis lengkungan nan tipis.
Gadis itu sangat memikat, walau hanya menampilkan sebuah kesederhanaan.
Hari ini, jadwal Stevan kembali pada penerbangan ke Jakarta. Di sela waktu istirahatnya yang hanya sehari itu, sudah pasti Stevan tidak akan melewatkan untuk mencari dimana hasratnya berada.
Laki-laki itu kembali memarkirkan Aston Martin-nya di parkiran kafe itu, sengaja memilih di jam yang sama dengan pertemuan mereka sebelumnya. Jam-jam menjelang sore, saat mahasiswa biasanya berburu kopi sebelum atau sesudah kelas. Stevan mengenakan kemeja biru muda yang santai dan duduk di kursi yang sama, kursi tempat ia pertama kali melihat Atha belajar.
Dua jam berlalu. Ia sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam dan membaca majalah penerbangan tanpa benar-benar mencerna isinya. Laki-laki itu terus menoleh ke pintu, ke setiap gadis yang berjalan masuk, berharap siluet Atha muncul.
Nihil.
Stevan mulai merasa putus asa. Hanya serangkai nama indah itu yang dia tahu, Athalita Andara. Tidak ada nomor telepon, tidak ada akun media sosial bahkan jurusan kuliahnya pun ia tidak tahu.
Stevan menyesali kebodohannya. Rasanya ingin kembali kesepekan kemarin, dia dengan berani akan meminta nomor kontak agar sekarang bisa menghabiskan waktu bersama.
Sementara, matanya menatap keluar dinding kaca transparan yang menyajikan gedung kokoh Universitas. Kampus seberang jalan itu adalah sebuah labirin berisi ribuan mahasiswa. Mencari Atha tanpa petunjuk apa pun terasa seperti mencari jarum di tumpukan jerami yang terhampar luas.
Stevan meneguk sisa kopinya. Kepalanya mulai memikirkan rencana yang lebih ekstrem—mungkin ia harus berani masuk ke kampus dan bertanya di bagian administrasi. Ah! kamu sudah gila, Steve. Dia bermonolog dalam hati.
Stevan mendesah, memutuskan untuk menyerah hari ini. Dia mengeluarkan dompetnya untuk membayar, ketika pandangannya secara otomatis melirik ke luar jendela, ke trotoar seberang jalan.
Dan kemudian, jantungnya seolah melakukan take-off mendadak. Stevan terpaku, akan tetapi ada rasa gembira yang membuncah dalam hatinya.
Akhirnya...
Di antara kerumunan mahasiswa yang berjalan tergesa-gesa, Atha muncul. Rambutnya kali ini terurai, membiarkan gelombang cokelatnya berayun seirama langkahnya yang riang. Ia tampak tertawa lepas, kepalanya sedikit mendongak ke arah teman-temannya.
Dia tidak sendirian.
Atha berjalan di tengah gerombolan sekitar enam temannya. Mereka semua tampak bersemangat, mungkin baru selesai dari kelas yang menyenangkan atau sedang merencanakan sesuatu. Mereka melangkah cepat, melewati pintu gerbang kampus dan melintas persis di depan jendela kafe, terlalu sibuk dengan obrolan sehingga tidak menyadari ada seorang pilot gagah yang sedang menatapnya penuh harap dari dalam.
Stevan keluar dengan tersenyum, senyum yang kali ini lebih lega dan penuh harapan daripada kekecewaan. Meskipun ia hanya melihat Atha sekilas, melihatnya tertawa bahagia sudah cukup untuk mengisi energinya.
Dia ada di sini. Dia nyata.
Namun, sekali lagi, dia tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa berdiri di teras kafe itu, mengamati dalam diam.
Berlari keluar dan memanggil namanya di depan enam orang temannya? Itu akan menjadi tindakan yang terlalu tergesa-gesa dan berpotensi memalukan bagi Atha. Stevan, yang selalu menjaga profesionalisme, tahu bahwa dia harus bersikap sopan dan terencana.
Stevan hanya bisa menatap punggung Atha yang perlahan menjauh, hingga rombongan itu belok di tikungan jalan, lenyap dari pandangan.
"Baiklah, Atha," bisik Stevan. Rasa penasarannya kini bercampur dengan tekad yang membara. "Setidaknya aku tahu rute perjalananmu. Kamu pasti akan melintasi tempat ini lagi." Pikirnya.
Dia kembali ke mobilnya, menyalakan mesin Aston Martin yang menderu pelan. Pilot tidak pernah mengandalkan keberuntungan. Pilot mengandalkan perencanaan. Dan Stevan, sang pilot, kini tengah merencanakan strategi serangan berikutnya.
Tidak. Jika tidak sekarang, entah kapan kesempatan itu hadir! Tekad Stevan kini sekeras fuselage pesawat terbang. Dia tidak akan menyerah hanya karena rintangan kecil berupa kerumunan teman. Setelah melihat Atha menghilang di tikungan, Stevan segera memutar kemudi Aston Martin-nya, mengikuti rute yang dia yakini akan diambil oleh gerombolan mahasiswa itu.
Dia mengemudi dengan pelan dan penuh perhitungan, menjaga jarak agar tidak menarik perhatian. Itu dia!
Semakin pelan Stevan mengendarai mobilnya. Sebagai seorang pilot, Stevan terbiasa memantau pergerakan radar dan lalu lintas udara, menguntit sebuah kelompok mahasiswa di jalanan kota terasa seperti permainan kucing-kucingan yang santai tapi krusial.
Rombongan itu tidak langsung kembali ke kos atau rumah. Mereka rupanya bergerak menuju sebuah toko buku besar yang terletak beberapa blok dari kampus.
“Sempurna,” gumam Stevan, seringai tipis muncul di wajahnya. Toko buku adalah tempat yang ideal dan memungkinkan terjadinya perpisahan sementara dari kelompok.
Stevan memarkir mobilnya di sudut yang cukup tersembunyi. Ia menunggu selama dua menit, membiarkan rombongan itu masuk. Atha tak luput dari radar pandangannya, masih tertawa-tawa bersama Kamila dan teman-temannya. Dia menghitung, ada enam orang dalam kelompok itu.
Stevan menarik napas dalam-dalam. Kali ini, dia harus berhasil. Stevan harus mendapatkan kontak lengkap Atha. Ini bukan lagi soal perkenalan, ini adalah misi penerbangan yang harus mendarat mulus.
Laki-laki itu mulai memasuki koridor pertama, mengikuti gadisnya yang mulai mencari-cari buku dan kali ini ke enam temannya tidak mengikuti.
Senyum merekah di bibir Stevan, seakan bunga-bunga bermekaran dalam hatinya dan dia tengah menikmati warna-warni bunga indah kontras dengan rerumputan hijau yang menenangkan hati.
“Hai, Atha … kita bertemu lagi.” Stevan melatih dialognya bila saatnya dia berjumpa. Stevan menunduk sambil menyembunyikan senyumnya. Laki-laki itu kembali menatap, memandang kemana arah Atha berjalan.
Sementara, sang gadis masih belum menyadari ada laki-laki yang sedari tadi mengawasinya. Atha hanya asyik mengabsen buku satu persatu, entah buku apa yang sedang dia cari.
Sampai di lorong ke dua. Atha menarik sebuah buku tebal, begitupun Stevan dari arah berlawanan. Mata mereka bertemu. Satu hal yang Atha ingat, mata coklat keemasan Stevan dengan alis tebal rapi yang simetris membingkai.
“Steve?!”
Atha tersenyum, berjalan menghampiri dan benar dia Stevan. “Hai…”
Stevan tersenyum, “Hai, Atha. Nice to meet you, again!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments