Misi Bertukaran Kontak Berhasil

Atha tersentak, menatap dengan terkejut.

Matanya yang indah membulat sempurna saat melihat siapa yang berdiri di sana.

Wajah Stevan, yang terakhir dia lihat di kafe seminggu lalu, kini muncul lagi, seolah-olah deja vu yang paling menyenangkan.

"Steve?" ucap Atha sekali lagi meyakinkan. Sebuah senyum kecil tak tertahankan muncul di bibirnya. "Astaga, aku pikir aku salah lihat."

Stevan bersandar sedikit di rak buku, melihat gadis itu tersenyum tepat di depan matanya kembali membuat Stevan hanyut. "Sungguh kebetulan yang menakjubkan, bukan?”

“Hm...” Atha mengangguk pelan. Gadis itu tak dapat menyembunyikan rasa gembiranya. “Ya, kebetulan kita bertemu lagi.”

Stevan mendekat. “Sepertinya semesta menakdirkan kita bertemu, kita belum selesai mengobrol. Terakhir kali, aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menghubungimu sampai sahabatmu menyeretmu pergi. Dan aku merasa... terputus tiba-tiba."

Atha tertawa kecil, melirik ke sekitar mencari dimana teman-temannya berada, sesaat dia mendengar suara tawa Kamila. "Itu Kamila. Dia memang dramatis soal tenggat waktu."

Stevan terbahak sebentar. “Ya...ya itu dia.” Lelaki itu lalu diam, menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan. "Jadi, kau benar-benar Atha Andara. Mahasiswa yang sibuk, sepertinya," Stevan menyimpulkan.

Atha menghela napas cepat. "Athalita Andara, tapi ya, Atha saja. Dan kau Steve, yang..." Atha berhenti sejenak, menatap Stevan dari ujung kaki hingga kepala. "...yang mengendarai mobil sport mewah dan muncul tiba-tiba di kafe kampusku?"

Stevan tertawa renyah, tawa yang membuat Atha merasakan getaran aneh. "Kamu bahkan memperhatikan ku se-detail itu. Aku sedang mampir saat itu, tanpa sengaja," jelasnya. "Dan ya, itu mobilku. Sebenarnya, aku hanya ingin menikmati kopi panas saat itu."

Atha memiringkan kepalanya, tersenyum. "Baiklah."

"Ya, kemudian kamu begitu menganggu pikiranku, kamu begitu focus dengan buku-bukumu sampai tidak tahu kalau di luar sedang hujan. Apa kamu memang sefokus itu jika belajar? Sungguh mahasiswa teladan," Stevan sengaja sedikit menggoda, membuat suasana semakin akrab.

Atha tersipu lagi, mencoba menyembunyikan senyumnya. "Mungkin karena tugas-tugas itu lebih menarik daripada pemandangan sekitar." Atha menghela napas pelan. “Bagaimana denganmu Steve, apa yang kamu lakukan di Jakarta?”

Stevan mengulum senyum. Ya akhirnya gadis itu mulai menanyakan hal yang sedikit pribadi. “Saat itu aku menjenguk sahabatku di rumah sakit, Tha. Dia dan aku seorang pilot,” akunya bangga.

Atha menatap dengan ekspresi kagum. “Wah, itu pekerjaan yang sangat keren,” puji Atha. “Ah pasti sangat menyenangkan berada di ribuan kilometer di atas permukaan laut.”

"Tolong, jangan membuat aku besar kepala, Atha," canda Stevan, lalu ia mengubah nada suaranya menjadi lebih serius dan mendalam. "Jujur, Atha. Aku kembali ke kafe itu hari ini, berharap kamu ada. Kamu tahu, di udara, aku punya peta dan rute yang pasti. Tapi rute untuk bertemu denganmu... sangat misterius."

Atha menatap mata Stevan. Ia bisa merasakan ketulusan di balik nada menggoda itu. Jantungnya berdebar kencang. ini, pilot tampan dengan aura yang kuat, telah mencariku, benarkah? Batin Atha.

“Kamu mencari ku?” Atha bertanya dengan nada lembut. Kedua mata Atha makin menatap dalam, menerka-nerka isi kepala Stevan.

“Ya, entahlah. Kenapa aku begitu penasaran terhadapmu,” kekehan kecil Stevan menyimpulkan suasana canggung di Lorong itu.

Pengakuan Stevan membuat pipi Atha merona. “Aku... aku biasanya memang belajar di sana, tapi seminggu ini aku sibuk menyiapkan presentasi," jelas Atha sambil mendesah pelan, gadis itu merasa perlu memberi sedikit alasan atas ketidakhadirannya.

"Aku mengerti. Jadi, aku harus menggunakan cara lama," Stevan mengambil jeda, lalu mengulurkan tangannya sekali lagi, kali ini dengan tujuan yang berbeda. Di tangannya sudah ada ponsel yang menandakan Stevan ingin terus berhubungan dengan Atha secara kontinyu.

"Aku tidak bisa terus-menerus mengandalkan 'kebetulan' di kafe atau di manapun. Bisakah aku mendapatkan kontakmu, Atha? Ponsel, email, atau mungkin nama akun media sosial yang kau gunakan, agar kita bisa membuat pertemuan ini... lebih terencana?"

Atha ragu sejenak. Dia bukan tipe gadis yang mudah memberikan nomor teleponnya. Apalagi Stevan Adalah laki-laki yang baru dia temui seminggu kemarin. Namun, ada sesuatu pada Stevan—karisma, ketulusan, dan kegigihannya yang membuatnya merasa istimewa. Lagipula, dia tidak terlihat berbahaya; dia terlihat seperti pahlawan dalam film-film.

Gadis dengan dress pink bunga-bunga itu menghela napas, menyerah pada pesona sang pilot. "Aku rasa... aku harus menghargai usahamu dalam 'perencanaan rute' ini."

Atha mengeluarkan ponselnya. "Ambil saja nomorku. Tapi jangan mengirimiku jadwal penerbanganmu."

Stevan tersenyum lebar. Itu adalah senyum kemenangan seorang pilot yang baru saja berhasil mendarat darurat dengan sukses. Dia meraih ponsel Atha dengan cepat, membuka barcode untuk menyalin nomor kontak.

Sambil bertukar nomor, Stevan berkata, "Aku bersumpah tidak akan mengirim jadwal penerbangan. Aku janji, aku hanya akan mengirimimu pesan untuk tahu kapan kamu bebas agar aku bisa mengajakmu makan malam. Sebagai gantinya, aku akan bercerita lebih banyak tentang petualangan di langit. Tertarik?"

Atha menatap Stevan yang sudah menyimpan nomornya. "Tergantung. Apa kau bisa menjamin makan malam itu bebas dari interupsi Kamila dan teman-temanku?"

"Aku bisa menjaminnya. Pertemuan selanjutnya, aku akan menjemputmu di lokasi yang jauh dari kampus. Bagaimana?" Stevan menyarankan.

"Itu terdengar sangat... terencana," Atha tersenyum.

Stevan menatap waktu yang melingkar di pergelangan tangannya. “Sementara, aku harus berpisah denganmu, Tha. Aku ada jadwal penerbangan ke Singapura mala mini.” Wajah Stevan nampak murung. Dia tidak ingin waktu bergulir cepat memisahkan mereka berdua.

“Apa aku bilang, kamu sudah membagikan jadwal penerbanganmu, bukan?!” canda Atha membuat keduanya saling tertawa.

Tiba-tiba, suara Kamila terdengar dari lorong depan. "Atha! Kau sudah dapat bukunya? Kita harus segera pulang, ini sudah sangat sore!"

Stevan menoleh kebelakang, tawanya masih terukir di sana. “Ya, dia juga selalu ikut andil dalam perpisahan kita.”

Atha sedikit terbahak. “Kebetulan sekali. Aku akan menunggumu Steve,” Atha menjeda kalimatnya. “Terutama makan malam itu.”

Atha segera memasukkan ponselnya ke saku, mengambil buku tebal dengan sampul buku berwarna hitam menawan pilihannya. "Aku harus pergi, Steve."

"Aku tahu," Stevan mengangguk, tetapi kali ini dia tidak khawatir. "Aku sudah punya nomor pendaratannya. Aku akan segera menghubungimu."

"Hati-hati, Capt," balas Atha, melangkah mundur perlahan.

"Sampai jumpa, Atha," Stevan berbisik.

Saat Atha bergabung kembali dengan teman-temannya di kasir, Stevan membiarkan dirinya tetap di lorong itu sebentar. Menatap deretan nomor telepon Atha yang kini tersimpan rapi di ponselnya, tepat di bawah nama Athalita Andara - Rute Pribadi. Misi berhasil.

Stevan , berjalan perlahan, mengikuti dan diam-diam mengamati Atha yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Kali ini, ia tidak hanya melihat. Ia sudah terhubung. Dan Stevan, si pilot yang berani, tahu bahwa petualangan romantisnya baru saja akan dimulai.

Dia keluar dari toko buku, kembali ke Aston Martin-nya, merasa ringan dan penuh antusias. Pesan pertamanya untuk Atha sudah tertulis jelas di benaknya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!