Wanita paruh baya itu tak henti menatap pria yang berdiri di depannya itu. Rasanya tak percaya laki-laki asing yang walaupun lumayan tampan ini, adalah suami dari putrinya.
Mutia menghela nafas sebentar. Bingung akan memarahi anaknya atau mau bagaimana. Akhirnya ia menyuruh mereka masuk.
"Masuk, kita bicara di dalam. Malu didengar tetangga." Mutia berlalu menuju ruang tamu diikuti putrinya dan laki-laki yang mengaku suaminya.
"Jadi kalian sudah berapa bulan menikah?" tanya bunda setelah duduk di sofa ruang tamu dengan penuh selidik.
"Empat bulan Bunda," jawab mereka bersamaan.
"Lalu kamu Me, jadi bagaimana dengan kuliahmu?" tanya bunda lagi.
"Me, ambil cuti Bun. Karena Me sekarang sedang hamil." Medina menjawab ragu-ragu takut bundanya marah. Walau ia tahu bundanya pantas marah setelah apa yang terjadi padanya karena ia mengingkari janjinya pada bunda. Karena ia sudah melanggar larangan bunda untuk tidak berpacaran.
"Ck ck ck, Me ... Me ..."
"Dari awal Bunda tak mengizinkan kamu belajar jauh-jauh karena takut hal yang seperti ini terjadi.Tak ada yang menjagamu di sana tak ada yang mengawasi dan memberi nasehat. Lihat sekarang belum selesai kuliah sudah menikah dan sekarang hamil. Kamu bisa jaga anak kamu nanti sambil kuliah? Kamu pikir mudah membesarkan seorang anak?" ucap Bunda sedikit emosi.
"Maafkan Me, Bun. Tapi Me akan berusaha sebaik mungkin untuk membesarkan anak ini sambil kuliah. Me yakin Me bisa." Medina berusaha meyakinkan bunda.Tentu saja wanita yang sudah banyak makan garam kehidupan, tak semudah itu percaya pada anaknya.
"Lalu kamu ... siapa nama kamu tadi?" Bunda bertanya pada menantunya.
"Rayga Bun. Bunda boleh panggil Ray." Rayga menjawab dengan gugup.
"Kamu juga masih kuliah? Mau dikasih makan apa anak saya nanti? Masih kuliah kok ngajak anak saya menikah. Apa kalian pikir berumah tangga itu hanya ada enaknya saja? Berumah tangga itu lebih banyak susahnya daripada senangnya." Tanpa bertanya dulu bunda menilai Ray seenaknya.
"Maaf Bun, saya udah nggak kuliah. Saya pengusaha kecil Bun. Saya di Amerika karena urusan pekerjaan. Walau saya hanya pengusaha kecil tapi saya yakin bisa mencukupi Medina dan bayi kami." Ray menjelaskan dengan mantap. Walaupun semua yang dikatakan hanya kebohongan semata.
"Oh baguslah. Setidaknya kamu bisa dipercaya untuk bertanggung jawab terhadap anak saya dan calon cucu saya." Bunda sedikit lega mendengar jawaban Ray.
"Lalu mana surat nikah kalian?" tanya bunda menyelidik lagi.
"Ehm.. tertinggal di Amerika Bun. Karena kami berencana hanya sebentar disini dan ingin segera kembali ke Amerika. Tapi kalau Bunda menginginkan saya akan telepon teman saya untuk mengirimkan ke sini." Ray berbohong lagi karena takut bunda curiga. Padahal kalau bunda tetap kekeh mau melihat surat nikah dan memintanya untuk mengambil di Amerika, dia akan bingung setengah mati. Karena dari semula surat nikah itu memang tidak ada.
"Kak Me ...," Alif yang baru pulang dari sekolah berteriak kegirangan menghambur memeluk kakak yang sudah tak dijumpainya dua tahun ini.
"Kangen Kak. Kapan Kakak pulang? Dan ... dia siapa?" Alif memandang Ray dengan tatapan tajam
"Dia Ray. Suami kakak kamu, itu artinya dia kakak ipar kamu." Bunda menjelaskan pada putra bungsunya membuat ia melupakan pertanyaan soal surat nikah. Me sedikit berterima kasih karena berkat Alif dapat mengalihkan pembicaraan berbahaya tentang surat nikah.
"Kenalin, aku Ray. Kakak ipar kamu. Kamu pasti Alif Mahendra, adik Me kan?" Ray mengulurkan tangan berusaha untuk akrab. Alif menyambut uluran tangan Ray dengan gembira.
"Benarkah Kak Ray suami Kak Me? Kukira tidak ada laki-laki yang mau menikah dengan wanita sebawel kakak. Hahaha selamat ya kakak iparku, malangnya nasib kak Ray punya istri galak seperti dia." Alif tertawa terbahak-bahak. Ray hanya tersenyum, dalam hati ia membenarkan perkataan Alif mengingat kegalakan Medina di pesawat.
"Apaan sih Lif. Siapa yang galak?" kata Medina bersungut-sungut tak suka.
"Sudah Lif, berhenti mengganggu kakak dan kakak iparmu. Kalian pasti capek kan? Sana istirahat di kamar tamu sana." Bunda memerintah anak dan menantunya agar istirahat.
"Tapi Me kan punya kamar sendiri bunda." Medina ingin protes tapi kemudian bunda memotong perkataannya.
"Me ... Me ... kamu ini bodoh ya? Ranjang kamu kecil, mana muat untuk tidur berdua." Ucapan bunda menyadarkan kalau mereka akan tidur sekamar mulai hari ini.
"Baik Bunda," jawab mereka bersamaan.
"Ya sudah kalian istirahat sana," perintah Bunda.
Akhirnya untuk menghindari topik berbahaya lagi, mereka segera masuk ke kamar. Sesampai di kamar rasa canggung itu muncul. Bagaimanapun mereka yang bukan suami istri bisa berduaan di dalam kamar, pasti sangat tidak nyaman. Apalagi baru sehari kenal. Namun Ray sangat pengertian, ia memilih tidur di lantai agar Medina tak canggung lagi. Ia juga menyuruh Medina agar mengabaikannya seolah dia tak ada. Akhirnya mereka istirahat karena kecapekan. Namun keduanya tetap tak dapat memejamkan mata, karena kegelisahan masing-masing.
"Mas Ray," panggil Medina lirih.
"Iya Me, kenapa? Ada yang tak nyaman?" Ray yang tadinya berbaring kembali duduk melihat keadaan Medina yang memanggilnya.
Medina malah menangis sesenggukan sambil memeluk guling. Ia sangat terharu sekaligus sedih. Ayah dari bayi yang dikandungnya bahkan tak peduli dan mencampakkannya. Tapi laki-laki asing yang di hadapannya ini malah begitu memperhatikannya dan kelihatan khawatir.
Melihat Medina menangis, Ray menjadi panik. Tanpa pikir panjang, ia naik ke atas ranjang dan mendekap kepala Medina.
"Shhhh ... kenapa Me menangis? Apa ada yang sakit Me?" Ray masih mendekap Medina yang menangis seraya mengelus lengan Medina pelan. Berharap dapat menenangkan wanita yang rapuh itu. Medina hanya menggelengkan kepala, sambil mengusap air matanya.
"Hiks hiks, Mas Ray. Betapa tidak beruntungnya nasib Me. Hamil di luar nikah dan sekarang harus menipu bunda Me sendiri. Dan Me juga merepotkan Mas Ray." Medina mengungkap rasa sedihnya. Ray hanya terdiam, tak tau harus bicara apa. Karena ide suami istri pura-pura ini adalah berasal darinya.
"Me, maafkan aku ya? Aku malah membuat situasi kamu lebih sulit karena harus berbohong." Ray merasa bersalah. Semua ide gilanya terasa berat untuk dilanjutkan.
Karena mereka harus terus berbohong untuk menutupi kebohongan yang telah mereka buat.
"Ini bukan salah Mas Ray. Semua salah Me. Kalau saja Me tidak bertemu lelaki brengsek itu, hidup Me tidak akan hancur seperti ini. Me malah sangat berterimakasih pada Mas Ray. Terimakasih sudah menolong Me, Mas." Tanpa sadar Medina membalas pelukan Ray. Ia merasa nyaman ada lelaki itu di sampingnya. Andai lelaki itu tak membantunya, maka mungkin sekarang ia sudah menggelandang di jalan jika diusir bunda. Ray hanya bisa mendekap erat sambil mengecup kening Medina agar wanita itu bisa tenang.
Tok tok tok
"Me ... Ray ... ayo turun makan!" Bunda memanggil dari balik pintu membuat mereka melepaskan pelukan masing-masing. Sehingga membuat mereka sadar apa yang telah mereka lakukan dan keduanya menjadi canggung.
"Sebentar Bun, Me mandi dulu." Medina menjawab tanpa membuka pintu.
"Okay, Bunda tunggu di bawah ya?" Terdengar suara sandal bunda ketika menuruni tangga.
Akhirnya Medina menyuruh Ray mandi terlebih dulu dan kemudian giliran Medina yang mandi. Setelah mandi, mereka segera turun ke bawah makan malam bersama.
Bunda memasak makanan lezat begitu banyak. Bunda bilang karena ini pertama kalinya menantu datang kerumah jadi bunda ingin membuatkan makan malam yang spesial. Sebagai tanda penyambutan dan perkenalan.
Mereka menikmati makan malam dengan bahagia. Medina sedikit melupakan kesedihannya dengan bercengkerama dengan keluarganya dan juga dengan suami pura-puranya.
***
Kediaman Keluarga Besar Ilyansyah
"Dasar anak bodoh!" Suara bariton lelaki paruh baya itu memenuhi seluruh ruangan yang cukup luas itu.
"Kamu ini bisanya apa? Papa suruh belajar bisnis sungguh-sungguh diluar negeri. Papa biayai sekolah kamu mahal-mahal malah kamu disana seenaknya main-main. Nongkrong sana sini keluar masuk klub malam. Mau kamu apa? Hanya bisa menghabiskan uang Papa. Kamu itu pewaris perusahaan Ilyansyah, tapi kelakuan kamu begini. Dasar anak tak berguna." Tak cukup memaki putranya kini ia menampar wajahnya.
Plakk
Pria yang mendapatkan tamparan verbal dan non verbal tadi adalah Gibran Ilyansyah. Pewaris Ilyansyah grup.
"Papa, bagaimanapun dia adalah anak semata wayang kita Pa. Papa jangan kasar-kasar sama Gibran." Rika memeluk putranya yang sedang memegang pipinya yang sakit karena tamparan ayahnya. Rika tak rela suaminya memperlakukan anak semata wayang mereka seperti itu. Namun kata-kata yang diucapkan ayahnya lebih menyakitkan daripada tamparan yang dilayangkan padanya.
Ilham masih sangat murka terhadap putranya tersebut. Ia sudah cukup pusing dengan perusahaannya yang di ambang kebangkrutan. Dan kini putranya yang diharapkan menjadi penerusnya sangat mengecewakan.
"Kamu tahu? Perusahaan Papa diambang kebangkrutan? Kamu masih mau berfoya-foya? Heh?" Ilham mencengkeram kerah Gibran.
"Papa nggak mau tahu. Papa mau jodohkan kamu dengan putri Haryanto Grup. Keluarga mereka cukup kaya untuk membantu kita, dan setelah menikah segera punya anak. Agar warisan kakek jatuh ketanganmu. Kamu sudah tahu kan kalau warisan kakek diberikan kepadamu dengan syarat kamu harus menikah dan punya anak? Kalau sampai kamu tak mempunyai anak sampai usia kamu 30 tahun otomatis perusahaan kakek jatuh ketangan pamanmu, Om Reza." Ilham berbicara membelakangi putranya yang masih menundukkan kepala. Dalam hatinya sakit diperlakukan ayahnya seperti itu.
"Pa, tapi Gibran sudah mempunyai calon sendiri," protes Gibran mengingat hubungannya dengan Medina dan anak yang dikandungnya.
"Bagus kalau kamu sudah punya calon, segera bawa ke sini dan akan papa nikahkan dengan segera," jawab Ilham.
"Kami bertemu di Amerika Pa. Sedangkan di Indonesia Gibran tidak tahu alamatnya. Kasih waktu Gibran buat mencari kekasih Gibran." Gibran memohon pada papanya agar memberinya kesempatan.
"Baik, Papa kasih waktu kamu dua minggu kalau kamu tak dapat menemukan gadis itu lebih baik Papa jodohkan dengan wanita lainnya."
Ilham mencoba memberikan kesempatan pada anaknya untuk mencari kekasihnya. Gibran hanya mengangguk pasrah, ia bersyukur masih diberikan kesempatan oleh ayahnya setidaknya masih ada harapan untuk hidup bersama Medina.
Kemudian ia berusaha menghubungi nomor whatsapp Medina yang sebelumnya tidak aktif. Nasib baik menghampirinya, gadisnya mau mengangkat telepon darinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 185 Episodes
Comments
Ayunina Sharlyn
hmm mulai seru
2020-07-14
1
Gus Rianto
mantap Thor ceritanya nanti saya kasih vote dech 😍😍😍
2020-07-14
4
Eti Guslidar
maunya..
2020-07-11
0