Harvard University
Gadis itu berjalan dari tempat parkir menuju ke kelasnya sendirian saja dalam keheningan. Sesekali ia bersenandung kecil menghilangkan kecanggungan karena terbiasa kemana-mana berdua dengan sang bestfriend. Ia yang biasa akan bersenda-gurau dengan sahabatnya kini harus terbiasa sendirian, karena sahabatnya tiba-tiba memutuskan untuk cuti. Dia adalah Hani sahabat dekat Medina. Di tangannya menyangga beberapa buku berukuran lumayan besar sehingga tidak bisa masuk ke dalam tas tangan miliknya. Sedang asyik berjalan, ia dikejutkan oleh sebuah tangan besar yang mencengkeram tangan mungilnya.
"Gibran!" Gadis itu terkejut hampir saja ia mengangkat buku yang dipegangnya ingin memukul orang yang lancang mencekal tangannya.
"Astaga, hampir saja ... aku mau pukul kamu. Kenapa mengagetkanku tiba-tiba?" Hani bernafas lega mendapati kekasih sahabatnya yang menarik tangannya. Ia langsung tahu maksud pria tampan itu mencarinya.
"Han, bisa bicara sebentar? Kita duduk di kafe sana yuk. Ada yang mau aku tanyain. Lima belas menit saja. Ini masih awal, kelas kamu belum dimulai kan? Please." Pria itu mengatupkan kedua tangannya di depan gadis berperawakan mungil tersebut.
Gadis itu melirik jam di tangannya masih ada waktu dua puluh lima menit sebelum kelasnya dimulai. Ia kemudian mengangguk pelan, mengekor langkah pemuda itu menuju kafe yang disebut.
"Mau minum apa Han?" Gibran membolak-balikan buku menu setelah mereka duduk di bangku kafe.
"Nggak usah, langsung saja ke intinya. Aku tak punya banyak waktu. Kamu mau tanya apa?" Hani langsung pada pokok pembicaraan tak mau membuang-buang waktu.
"Han, kamu tahu nggak Medina ada dimana? Aku cari dia di kampus beberapa hari ini nggak ada. Aku telepon nomornya nggak aktif juga." Gibran langsung mengemukakan maksudnya yang ingin tahu keberadaan kekasih, ralat mantan kekasihnya. Karena dia sendiri yang memutuskan untuk mencampakkan gadis itu.
"Ck, aneh. Kamu kan pacarnya? Mana mungkin kamu nggak tahu pacarmu dimana?" Hani berbicara seolah-olah tak mengerti apapun.
Hani menghembuskan nafas kasar, ia menetralkan emosinya yang sebenarnya meluap-luap. Ingin rasanya ia meninju wajah pria kurang ajar itu.
"Hahahaha, benar juga ya? Kamu kan sudah mencampakkannya. Bagaimana bisa, kamu tau dia ada dimana? Dan kenapa baru sekarang, kamu sok peduli?" sindir Hani.
Hani terdiam sebentar melirik wajah Gibran yang pucat pasi. Kemudian ia berkata lagi, "Dua minggu yang lalu, dengan air mata berlinang dia curhat sama aku. Dia mengatakan bahwa hubungan kalian telah berakhir. Dia terlihat kusut dan hancur. Aku memang nggak tau masalah kalian apa? Tapi aku yakin masalahnya di kamu. Apa sih kurangnya sahabatku itu? Dia sangat mencintaimu. Setiap hari yang dia bicarakan kamu. Di hatinya hanya ada kamu. Setiap ia bercerita tentangmu matanya akan berbinar. Kamu pikir hatinya nggak hancur kamu campakkan begitu saja? Aku kira kamu berbeda dengan laki-laki lainnya, ternyata kamu sama aja brengsek." Hani memaki Gibran karena tak mampu menahan amarahnya mengingat bagaimana sahabatnya hancur gara-gara laki-laki di depannya itu.
Gibran terdiam terkena pukulan telak tepat di hatinya oleh makian Hani. Semua perkataan Hani benar adanya. Benar, ia pria brengsek yang sudah memperkosa pacarnya sendiri. Ia pria bejat yang memberikan obat tidur kedalam minuman pacarnya untuk memuluskan rencana jahatnya. Bahkan ketika Medina memohon pertanggungjawaban ia tak segan-segan menyuruh wanita itu untuk menggugurkan kandungannya. Kurang brengsek apa coba? Kalau saja Hani tahu, ia pasti sudah menghajarnya sampai babak belur.
Flashback On
Dua bulan yang lalu Gibran meminta Medina datang ke apartemennya. Awalnya Medina menolak keras ajakan kekasihnya itu. Ia tak pernah mengunjungi rumah seorang pria. Dan ia tahu itu bukan hal yang benar untuk dilakukan. Karena ada seribu kemungkinan yang akan terjadi kalau mereka hanya berduaan. Walaupun sudah berpacaran selama setahun dengan Gibran ia selalu menetapkan batasan di antara mereka. Ia ingin menjaga amanah bunda.
Namun Gibran tak menyerah, ia terus membujuk Medina sehingga Medina menyetujuinya. Gibran sangat penasaran pada Medina yang selalu membatasi dirinya dengan Gibran. Bahkan untuk berciuman saja Medina tak mau. Karena itulah Gibran yang sudah dikuasai oleh pikiran setan, ingin menjebak Medina.
Tak ada yang aneh dengan mereka saat itu. Mereka hanya menonton televisi bersama sambil bersenda gurau. Kemudian Gibran memasakkan makanan untuk mereka berdua. Medina sangat bahagia dengan perlakuan manis kekasihnya, ia tak sedikit pun pernah menyangka ada niat terselubung di balik kebaikan lelaki itu.
Ketika Gibran menata makanan di meja, Medina meminta izin pergi ke toilet sebentar. Gibran yang sedang menjalankan rencananya, tersenyum penuh kemenangan dan yakin rencananya mulus. Di saat gadis itu berada di toilet Ia menyiapkan dua gelas jus jeruk untuknya dan Medina. Namun jus jeruk yang disiapkan untuk Medina sudah ia campur dengan obat tidur.
Medina keluar dari toilet dan akhirnya makan bersama. Medina sangat bahagia menikmati makanan buatan sang kekasih. Selesai makan Medina menenggak habis jus jeruk yang Gibran siapkan untuknya.
Tiba-tiba ia merasa pusing dan jatuh pingsan. Gibran yang tahu mangsanya sudah terjerat, membawa Medina ke kamarnya. Dan dengan tega ia menodai gadis malang itu. Ia menelanjangi gadis itu, tubuh seksi yang semakin membuatnya bernafsu untuk segera menikmatinya. Ia sudah kehilangan akal sehat dan nuraninya. Ia menyalurkan semua nafsu birahinya kepada kekasihnya yang tidak sadar. Ia tersenyum lebar, saat mengetahui gadisnya yang masih suci. Ia beruntung menjadi pria pertama yang menjamahnya. Tak ada penyesalan sama sekali, ia malah bangga melakukan perbuatan bejat itu. Ia menikmati tubuh gadis itu dengan bahagia. Bahkan bukan hanya sekali ia melakukan hal keji itu saat gadis itu tengah pingsan. Ia mendapatkan pelepasan berkali-kali sampai kelelahan. Parahnya lagi, ia melakukannya tanpa pengaman. Setelah puas, akhirnya ia ikut tidur memeluk kekasihnya.
Pagi harinya Medina terkejut melihat dirinya telanjang dalam pelukan Gibran. Ia kecewa saat melihat ada bekas darah di sprei tempat tidur. Ia menyadari apa yang telah terjadi saat merasakan sakit dan nyeri di bagian bawah tubuhnya. Ia sakit hati saat dada dan lehernya dipenuhi bercak merah tanda kepemilikan. Hatinya hancur, tangisnya pecah seketika. Ia tak percaya lelaki yang sangat ia percaya melakukan hal keji kepadanya. Semua harapannya hancur. Apa yang dijaganya selama ini dihancurkan begitu saja oleh kekasih yang paling dicintainya. Ia sudah menghianati kepercayaan bunda.
Gibran yang tidurnya terusik karena tangisan Medina akhirnya bangun. Ia mencoba menenangkan gadis yang meraung-raung itu. Gadis itu mengamuk, memukul Gibran dengan guling sambil berteriak histeris. Gibran mencoba menenangkan gadis itu dengan kata-kata manis. Ia memeluk tubuh polos kekasihnya yang berusaha memukul-mukul dadanya. Berharap wanita itu akan segera berhenti mengamuk.
***
Satu setengah bulan kemudian Medina mengajak Gibran bertemu di sebuah taman. Ini pertemuan mereka setelah perang dingin selama satu setengah bulan setelah kejadian hari itu. Medina membawa testpack dengan dua garis merah, ia menyerahkan testpack itu pada Gibran. Ia menuntut laki-laki itu bertanggungjawab menikahinya.
"Semua ini adalah kesalahan kamu, kamu harus bertanggungjawab. Kamu harus menikahiku." Medina menghiba dengan cucuran air mata.
"Heh, kamu sudah gila? Aku nggak mau. Aku belum siap untuk menikah apalagi punya bayi. Dan kalau orang tuaku tahu aku akan dihapus dari ahli waris." Gibran menolak mentah-mentah.
"Lebih baik kamu menggugurkan bayi itu. Belum tentu juga itu anakku. Bisa saja kamu melakukannya dengan laki-laki lain. Mulai sekarang, kita putus," kata gibran sambil meletakkan segepok uang dolar di tangan Medina.
"Dasar brengsek. Aku tak semurahan itu untuk melakukannya dengan pria lain. Makan uang kamu!" Medina melemparkan uang tersebut ke wajah Gibran. Kemudian Medina berlari meninggalkan tempat itu dengan menangis tersedu-sedu. Hatinya begitu hancur, ia berasa habis manis sepah dibuang.
Flashback off
Gibran mengingat semua memori kejahatan yang ia lakukan pada Medina termasuk ketika ia menolak bertanggungjawab dan dengan kejam menyuruh Medina melenyapkan darah dagingnya. Kini ia sudah kembali ke realitas, dengan tak sabar ia mendesak Hani. Bahkan sampai meremas lengan Hani kuat, berharap mendapat jawaban.
"Han, please kasih tau dimana Medina? Aku mengaku salah. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kembali pada Me," desak Gibran.
"Terlambat. Medina memutuskan untuk cuti sementara waktu. Ia sudah pulang ke Indonesia." Hani memotong perkataan Gibran. Kemudian ia berlalu meninggalkan Gibran yang terdiam karena terkejut.
"Argggghhhhh. Sialannn! Brengsekk ...."
Lelaki itu mengacak rambutnya dan mengumpat frustasi. Ia menyesal telah menolak Medina dengan bayinya. Ia begitu merindukan gadis itu. Kini Medina sudah kembali ke Indonesia. Ia tak tahu alamat Medina di Indonesia. Bagaimana ia akan mencarinya. Gibran menyesal dan kehilangan arah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 185 Episodes
Comments
Imas Adlya Ardhani
kan bisa nanya kepihak kampus alamat Medinah pasti adakan biodatanya
2021-08-28
0
Darsih Dharma Wati
kita akan merasa sangat kehilangan,setelah org yg kita cintai,benar benar telah pergi meninggalkan kita😪
2020-08-13
2
Parti
asal main aja giliran jadi gak mau tanggung jawab 😪
2020-08-12
1