Kabar Buruk

Embun pagi belum sempat benar-benar menguap ketika aku tiba di balai desa untuk menghadiri pertemuan darurat yang dipanggil oleh ketua RT. Jalanan masih sepi, hanya suara dedaunan kembang sepatu dan cumi-cumi burung hantu yang masih tersisa di pepohonan. Namun di pelataran balai desa, sudah berkumpul puluhan warga seperti petani, pedagang kaki lima, hingga anak-anak yang penasaran. Di antara mereka, wajah-wajah penuh penasaran dan kecemasan, pertanda bahwa kabar buruk sudah lebih dulu sampai.

“Boni!” panggil Pak Wira, ketua RT. Tubuhnya tegap meski usianya sudah lanjut, raut wajahnya serius. “Ayo masuk, kita mulai.”

Aku mengangguk dan menyusup perlahan ke barisan belakang. Di meja panjang terbuat dari kayu jati, terpajang beberapa berkas resmi dan sebuah papan pengumuman yang belum sempat kudekati. Panas mentari yang baru meniti puncak atap membuat udara di halaman bergemuruh, memacu detak jantungku.

Suara ketukan palu kayu oleh Pak Wira memecah kerumunan. “Assalamualaikum, warga Desa Duren.”

“Waalaikumsalam,” jawab warga serempak.

“Kita berkumpul di sini untuk menanggapi kabar terbaru tentang kebijakan Pemerintah Kabupaten yang melibatkan Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit (IUPKS) di wilayah kita.” ujarnya dengan nada rendah. “Ada surat edaran resmi yang menugaskan Desa Duren membuka lahan seluas…

Warga terkejut. “Luasnya berapa, Pak?” tanya Pak Boy, petani durian yang sehari-hari kujumpai di kebun.

“Sebesar … dua ratus hektar,” jawab ketua RT sambil menatap berkas di hadapannya. “Surat ini menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten telah mengeluarkan Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit untuk lahan di Desa Duren, termasuk sebagian kebun durian kita.”

Gelombang kaget menyusul dengan gumaman, bisik-bisik dan suara serak menyatakan, “Itu… lahan kita!”

Hatiku mencekam. Dua ratus hektar? Kebun durian warisan kakek sendiri saja belum sebesar itu. Belum termasuk pekarangan warga yang terbengkalai di pinggir jalan yang selama ini dialihfungsikan menjadi kebun kolaborasi.

“Kami baru menerima salinan surat beberapa jam lalu.” ketua RT melanjutkan. “Kami diundang ke kantor kecamatan sore nanti untuk membahas perencanaan lebih lanjut.”

Kegaduhan pun merebak. Seorang ibu tua menangis tertahan, suaranya terputus. “Bagaimana nasib panen durian tahun ini? Bagaimana nasib anak cucu kami?”

Aku merasakan desakan di dadaku. Namun aku tahu, reaksi spontan harus diimbangi rencana matang. Aku menatap Yuni di sisiku dengan mata lembutnya kini diselimuti beban. Dia mengangguk, seakan memberi sinyal untuk tenang.

Setelah kerumunan perlahan mereda, aku menjelaskan dengan suara tenang namun tegas. “Saudara-saudaraku, kita tidak boleh panik. Pertama, IUPKS ini hanyalah izin awal, masih akan ada tahapan perizinan lanjutan, analisis dampak lingkungan, sosialisasi, hingga persetujuan DPRD setempat. Kedua, kita akan hadir sore ini di kantor kecamatan, membawa suara kita secara terorganisir.”

Seorang pemuda berani maju. “Boni benar! Jika kita hanya berteriak, pemerintah akan menganggap kita tidak memiliki data. Kita butuh bukti, data luas kebun durian kita, sertifikat tanah dan dukungan tertulis warga.”

Beberapa warga lain setuju, anggukan demi anggukan mengepakkan semangat.

Ketua RT menghela napas. “Boni, bisa kau dan tim Pengawal Duren bantu mengumpulkan dokumen sertifikat tanah, data luas kebun, serta pendataan warga terdampak, sebelum sore?”

Aku mengangguk cepat. “Tentu, Pak! Saya akan hubungi Anton, Rafi, Sari, dan Ilham. Kita harus bergerak cepat.”

Pertemuan ditutup dengan doa singkat dipimpin oleh Pak Haji Salim. Suara merdu membaca ayat Al-Qur’an mengalun, menguatkan semangat. Setelah itu, warga bubar, bergegas ke rumah masing-masing untuk bersiap.

Di rumah, aku menyalakan ponsel dan mengirim pesan grup WhatsApp Pengawal Duren:

[Boni]: “Urgent! Data lapangan dan sertifikat tanah dibutuhkan untuk rapat kecamatan sore ini. Yuni, bawa berkas di lemari, Sari bantu input data ke Excel, Rafi cek satelit Google Earth untuk luas kebun, Anton & Ilham hitung rata-rata panen tahun lalu, aku akan hubungi ketua RT untuk akses arsip desa.”

Beberapa detik kemudian:

[Yuni]: “Oke! Aku ambil berkas sekarang.”

[Sari]: “Siap, aku sudah buka laptop.”

[Rafi]: “Sedang cek citra satelit, kirim koordinatnya.”

[Anton]: “Kami mulai survei lapangan.”

[Ilham]: “Hitung data panen, aku kirim estimasi dalam 30 menit.”

Aku menyalakan kipas angin di ruang tamu, lalu bergegas ke meja belajar. Segumpal kertas sertifikat tanah tertumpuk rapi di sudut. Kakek memang selalu menata arsipnya dengan baik. Kuambil berkas satu per satu, kemudian kulipat dengan hati-hati dan kugabung di map biru tebal.

Tiba-tiba pintu diketuk. Yuni masuk dengan ransel dan nampan berisi dua gelas kopi pahit dengan cairan hitam pekat yang kami butuh setelah berlari-lari pagi ini. “Ini kopi, Boni.” katanya dengan lembut.

Aku menoleh dan tersenyum. “Makasih, Yun.” Secangkir kopi yang menenangkan meresap perlahan ke tubuh, membakar kantuk. Kubalas perlahan, lalu kembali fokus pada sertifikat tanah.

“Batas barat kebun durian kita tepat sejajar tunggul pepaya itu.” ujar Yuni sambil menunjuk peta kertas. “Jaraknya sekitar seratus meter sampai pagar bambu, tanpa adanya pohon sawit.”

“Aku akan foto sertifikat ini dan kirim ke grup.” kataku sambil membuka kamera ponsel. Kupotret halaman depan dan belakang, memastikan kualitas gambar jelas.

Di layar ponsel, aku mengetik:

[Boni]: “Foto sertifikat sudah dikirim. Mohon diperiksa, ada 120 bidang milik warga plus 30 bidang milik desa.”

Beberapa detik muncul balasan.

[Rafi]: “Data satelit selesai. Total luas 150 hektar area kebun durian. Foto citra dikirim.”

[Anton]: “Data panen rata-rata per hektar 2 ton per musim, dikirim spreadsheet.”

Semua bergerak efisien. Kami mencocokkan data satelit Rafi dengan sertifikat fisik. Sari memasuk­kan angka ke lembar kerja Excel di laptop dengan kolom A untuk nama pemilik, kolom B untuk nomor sertifikat, kolom C untuk luas lahan dan kolom D untuk hasil panen. Data terurus rapi, siap dipresentasikan di rapat sore nanti.

Sementara itu, kukabarkan pada ketua RT lewat telepon.

[Boni]: “Pak, data tengah kami susun. Selesai sekitar jam dua siang. Tolong siapkan ruang rapat di kantor kecamatan.”

[Pak Wira]: “Baik, Boni. Saya kontak Camat sekarang.”

Setelah memastikan semua siap, aku mengajak Yuni duduk di teras depan. Teduhnya atap teralis bambu membawakan kesejukan. “Yun, terima kasih bantuanku. Kita ini tim hebat.”

Yuni tersenyum tipis. “Kita harus bisa, Boni. Kalau kita kalah di tingkat administrasi, mereka akan pakai angka-angka ini untuk melawan kita.”

Aku mengangguk setuju. “Betul. Sore nanti, kita akan sampaikan data dan tuntutan warga dengan tegas.”

Sebelum kami beranjak, di kejauhan kulihat dua petugas desa mengibarkan spanduk baru di depan kantor desa dengan spanduk berwarna putih dengan huruf hitam tebal bertuliskan:

“PENGUMUMAN: IUPKS DESA DUREN NO. 012/2025 – KONVERSI 200 HA KE SAWIT”

Dua petugas menggeser tiang bambu, menancapkannya di tanah. Warga yang lewat menahan napas, beberapa mengambil foto dengan ponsel, lalu ada yang berbisik dengan cepat.

Aku menahan amarah. Spanduk itu dipasang tanpa melalui forum desa! Ini langkah provokatif, seolah-olah pemerintah sudah final dan warga harus ikhlas menerima.

“Yun!” seruku pelan, memanggil Yuni. Kami bergegas menghampiri.

“Ini—ini tidak bisa dibiarkan!” teriak Yuni saat kami tiba di depan spanduk. “Ini belum dibahas di rapat desa!”

Seorang petugas, Pak Hasan, memalingkan wajah. “Perintah atasan, Mbak. Kami hanya melaksanakan.”

Aku melangkah ke depan, menatap spanduk. “Pak Hasan, spanduk ini menyesatkan. Kami masih dalam proses sosialisasi. Pasal 10 Perda 5/2024 menyebut, ‘Setiap penerbitan IUPKS wajib disertai rapat terbuka desa sebelum pemasangan pengumuman permanen.’ Seharusnya kalian konsultasi!”

Pak Hasan terdiam, kemudian menyahut terbata: “Maaf, Pak. Saya tidak tahu aturan itu secara detail…”

Aku menepuk bahu Pak Hasan. “Bapak manusia baik. Tapi tolong rapatkan tim kalian. Ini urusan warga semua.”

Dia mengangguk, kemudian bersama kami melepas tiang spanduk. Warga yang menonton bertepuk tangan ringan, sebuah kemenangan kecil melawan kekuatan administratif.

Kami membawa spanduk terlepas ke posko sementara Pengawal Duren. Percikan semangat terbakar kembali. Yuni menuliskan “CABUT SPANDUK IUPKS” di papan tulis kayu, lalu kukomandoi.

[Boni]: “Tim! Kita harus presentasi data, tunjukkan aturan, dan tuntut pencabutan IUPKS sementara sampai ada persetujuan warga. Siapkan argumen hukum dan teknis. Kita rapat di posko pukul dua nanti.”

Semua menyahut, “Siap!”

Sore hari tiba. Kami berkumpul di kantor kecamatan, ruangan rapat tertata dengan meja melingkar, kursi lipat, proyektor, dan layar putih. Di sana sudah menanti Camat Andi Prasetyo, Kabid Pertanian, perwakilan Dinas Kehutanan, serta pengacara desa, mereka semua tampak serius. Pihak desa utusan kami ditemani ketua RT dan tokoh masyarakat.

“Kami Persilakan perwakilan Desa Duren memulai,” kata Camat Andi membuka rapat.

Aku berdiri di depan, Yuni di sampingku menyalakan proyektor. Slide pertama menampilkan judul:

“TINJAUAN DATA KEBUN DURIAN DESA DUREN DAN DAMPAK PENERBITAN IUPKS NO. 012/2025”

Aku menarik napas dan memulai presentasi:

“Bapak-Ibu hadirin sekalian, saya Boni, mewakili warga Desa Duren. Berdasarkan data satelit dan sertifikat tanah, total luas kebun durian kami adalah 150 hektar, bukan 200 hektar. Sebanyak 120 hektar adalah milik warga, 30 hektar milik desa, dan sisanya 20 hektar adalah lahan kritis—bukan area produksi. Apabila IUPKS No. 012/2025 diberlakukan, maka setidaknya 50–80 hektar kebun durian warga akan dialihfungsikan tanpa persetujuan mereka…”

Kulanjutkan dengan tabel pendapatan petani durian (berisi harga durian, jumlah panen, dan pendapatan rata-rata per keluarga), membandingkannya dengan perkiraan pendapatan sawit. Data membuktikan bahwa secara ekonomi jangka panjang, durian tetap lebih menguntungkan, karena harga premium dan kelangkaan varietas lokal. Yuni lalu memaparkan kerusakan ekologis dengan perluasan sawit akan merusak saluran irigasi, mempersempit habitat satwa dan meningkatkan erosi tanah.

Para pejabat mencatat dengan serius. Seorang perwakilan Dinas Kehutanan mengangkat tangan:

“Data ini sangat membantu. Namun, kami harus memverifikasi ulang di lapangan. Mungkin ada kawasan hutan desa yang terlewat…”

Aku mengangguk. “Silakan. Kami persilakan tim teknis mengecek titik koordinat yang sudah kami lampirkan di slide 7.”

Camat Andi kemudian menutup presentasi.

“Baik! Berdasarkan paparan Desa Duren, IUPKS No. 012/2025 akan ditinjau ulang. Kami akan tunda sosialisasi lanjutan hingga verifikasi lapangan selesai, mohon kerjasama warga untuk dampak minimal. Rapat berikutnya dijadwalkan dua minggu lagi.”

Desa gemuruh tepuk tangan. Sebuah kemenangan kecil, namun krusial.

Setibanya di halaman kecamatan, aku memandang Yuni. “Kita berhasil menunda, setidaknya untuk sementara.”

Dia tersenyum lelah namun puas. “Iya. Namun ini baru babak awal.”

Terpopuler

Comments

Kardi Kardi

Kardi Kardi

langsung waelahhh. LAMAR KANG

2025-02-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!