Obrolan di Warung Mbok Sri

Pagi itu, saat sinar matahari pertama menembus celah atap genteng rumah Boni, Boni keluar dari rumah dengan langkah yang begitu ringan. Hangat pelukan keluarga semalam masih membekas di dadanya, senyum Ibu Retno, tepukan lembut Pak Jono, canda Mira, Riko, Santi, dan keusilan Beni. Ia menyanggul kembali rambutnya yang panjang, mengikatnya sederhana di belakang kepala, lalu mengenakan sendal jepit yang telah akrab di kakinya sejak kecil. Dengan helm kampung tergantung di lengan, ia menapaki jalan setapak yang menghampar di antara rumpun bambu dan gerbang kayu bergambar durian, menuju warung Mbok Sri.

Segera setelah tiba, aroma kopi tubruk yang baru diseduh dan gorengan hangat menyeruak di udara. Warung kecil itu telah ramai, beberapa kakek duduk menghadap ke pintu, menyesap kopi sambil membaca koran lusuh. Para Anak muda bercengkerama tentang nilai penjualan durian pekan lalu, ibu-ibu saling bertukar kabar tetangga dan anak-anak balita berlarian, tertawa riuh penuh kegirangan. Di balik meja kayu panjang, Mbok Sri, perempuan paruh baya berkerudung sarung dan celemek bermotif bunga sedang berdiri dengan senyum khasnya.

“Lihat ini, Bon! Kopi abis semalam, jadi aku bikin baru. Duduk sebentar, ya?” seru Mbok Sri, tangannya menenteng satu teko kopi panas.

Boni membalas dengan tawa kecil. “Makasih, Mbok Sri. Kopi andalan sini selalu bikin kangen.” Ia meletakkan helm di ujung bangku, lalu menatap deretan gorengan, ada pisang goreng garing, bakwan renyah dan pastel isi sayur panas mengepul.

Tak lama dari itu, Yuni muncul, berlari kecil dari arah kebun durian. Wajahnya masih segar, meski beberapa helai rambut terurai tertiup angin pagi. Ia menenteng dua cangkir kopi, langsung duduk di samping Boni.

“Pagi, Bon! Mbok Sri, tambah dua kopi lagi ya. Aku punya kabar penting.” sapa Yuni ramah.

Mbok Sri mengangguk, menyerahkan secarik kertas daftar pesanan dan pulpen. “Tanda tangan dulu, Nduk.” katanya sambil tersenyum. Yuni mencoret namanya dengan cekatan, lalu mengambil kopi dan meminumnya dengan pelan.

Setelah menuangkan kopi untuk semua, Mbok Sri pergi sebentar mengisi piring bakwan panas. Sementara itu, Yuni mencondongkan tubuh, sekarang suaranya menjadi serius.

“Kemarin aku sudah kontak Pak Slamet dan Riko. Mereka setuju bantu survei lahan. Tapi yang kita butuhkan saat ini adalah data akurat, jumlah pohon, estimasi hasil panen per pohon dan lokasi yang rawan banjir atau area sulit akses. Kita juga butuh peta kasar sebagai panduan awal.” jelas Yuni, jarinya menunjuk meja.

Boni menyipitkan mata, memikirkan rencana. “Setuju! Nanti siang kita ke kebun, pasang patok satu per satu, sekaligus mencatat diameter batang dan tinggi pohon. Setelah itu, kita tandai area yang harus dibuat saluran tambahan atau lubang resapan.”

Yuni mengangguk, matanya berbinar. “Betul! Kita gunakan tiga warna patok, merah untuk pohon tua dan produktif, hijau untuk pohon muda yang perlu perawatan ekstra, dan biru untuk area rawan banjir. Nanti hasilnya kita rangkum jadi tabel lengkap.”

Suasana hangat tercipta di warung sederhana itu desahan kopi, gemerisik daun pisang, tawa ringan dan aroma gorengan yang menggoda. Namun di balik keramahan itu, semangat perjuangan mulai menyalak, seolah benih tekad sedang tumbuh subur.

Tiba-tiba Pak Kusno, tetangga yang rumahnya terletak dekat warung, berjalan menghampiri dengan langkah hati-hati. Sorot matanya tenang, namun ada kilat kekhawatiran di sudut bibirnya.

“Eh... Boni, kudengar kalian mau bikin kelompok ‘Pengawal Duren’, ya?” tanyanya rendah, menengok kanan-kiri menghindari pendengar lain. “Bagus sih namanya… tapi hati-hati. Kepala Desa Pak Suyono tidak main-main. Dia bukannya tak peduli, tapi dia punya tekanan dari atasan untuk cetak keuntungan cepat.”

Boni menatapnya dengan mantap. “Iya, Pak Kusno. Itu sebabnya kita butuh fakta dan angka yang kuat. Bukan sekadar teriak-teriak. Nanti kita tunjukkan laporan ekonomi: proyeksi pendapatan agroforestry durian, potensi agro-wisata panen, dan peluang ekspor durian premium. Jika angka kami lebih baik, pasti Kepala Desa mempertimbangkan ulang rencananya.”

Yuni menimpali, suaranya tegas. “Kita juga akan libatkan semua warga seperti ibu-ibu pengrajin manisan durian, bapak-bapak penjual keliling, bahkan anak-anak sekolah. Semuanya punya peran dalam gerakan ini.”

Pak Kusno mengangguk pelan lalu meneguk kopi. “Bagus! Semoga sukses, Nak. Aku dukung penuh.”

Di sela perkataan itu, Mbok Sri datang dengan sepiring bakwan panas. “Ini buat kalian dulu, ganjaran semangat pagi-pagi. Tapi ingat, habiskan kopi dan gorengannya, lalu berangkat. Jangan sampai kelaparan di kebun!”

Semua yang duduk di situ tertawa kecil, tetapi getaran semangat tak bisa disembunyikan. Hangatnya suasana menumbuhkan rasa kebersamaan. Kopi, gorengan dan percakapan serius tentang masa depan desa berpadu sempurna.

Sekitar pukul sembilan, keduanya bangkit dari bangku panjang, membawa peralatan sederhana seperti peta cetak kasar, pulpen, patok kayu berwarna, meteran gulung dan catatan kecil. Mereka berjalan bersama menuju aula balai desa, di mana beberapa warga telah berkumpul dengan wajah penuh antusias.

Di atas sokoguru kayu balai desa, mereka membuka peta yang dibentangkan. Yuni menunjuk empat sektor utama:

Sektor A: Pohon Tua

Barisan pohon durian yang sudah berumur puluhan tahun, rata-rata menghasilkan 30–40 buah setiap musim. Terletak di utara jalan setapak utama.

Sektor B: Pohon Muda

Deretan pohon berumur 2–5 tahun yang mulai berbuah sedikit demi sedikit. Lokasinya dekat sumur tua di tengah kebun.

Sektor C: Area Rawan Banjir

Sebidang lahan rendah yang sering tergenang saat hujan lebat. Membutuhkan saluran pembuang dan lubang resapan.

Sektor D: Pinggiran Kebun

Batas luar yang berbatasan langsung dengan jalan desa yang menjadi akses mudah, tetapi rawan dibabat oleh alat berat.

Boni mengambil patok merah dan menancapkannya di tengah Sektor A. “Merah untuk pohon produktif.” ujarnya sambil memastikan patok lurus. Kemudian ia meletakkan patok hijau di barisan Sektor B. “Hijau untuk pohon percobaan atau potensial, tapi masih perlu perhatian ekstra.” Terakhir, ia menancapkan patok biru di titik-titik rendah Sektor C. “Biru untuk area mitigasi banjir.”

Yuni mencatat koordinat menggunakan GPS sederhana yang dibawa Riko. “Koordinat tiap patok akan kita simpan supaya laporan nanti rapi. Pak Slamet akan pakai alat uji tanah untuk memeriksa kadar unsur hara di beberapa titik.”

Beberapa pemuda desa mengelilingi peta, berebut untuk melihat. Seorang ibu paruh baya mengangkat jari. “Bagaimana dengan jalur turis yang kita rencanakan?” tanyanya. “Kalau nanti ada pengunjung agro-wisata, jalurnya harus aman dan nyaman.”

Boni menimpali, “Betul! Kita tandai juga jalur trotoar dan area istirahat. Renungkan jarak antar pohon agar orang bisa lewat dengan rapi.”

Seorang pemuda yang mengenakan rompi oranye menambahkan, “Saya bisa bantu buat papan penunjuk arah dan petunjuk informasi tentang varietas durian.”

Semangat gotong-royong menyebar cepat. Daftar tugas terbentuk secara alami: tim pemetaan, tim pendataan hasil panen, tim mitigasi banjir, tim desain jalur wisata, hingga tim komunikasi publik.

Mbok Sri sekali lagi muncul membawa keranjang isi kelapa muda untuk rehidrasi. “Minum dulu, ya? Panas ini bisa bikin capek.” Ia membagikan kelapa satu per satu. Keharuman daging kelapa dan kesegaran airnya menyegarkan tubuh yang mulai berkeringat.

Sebelum memecah tim, Yuni menepuk pundak Boni. “Kita mulai dari sini, Bon? Warung Mbok Sri, tempat semangat ini lahir. Nanti kalau sudah berhasil, kita kumpulkan cerita dan foto, tampilkan di papan informasi desa.”

Boni menatap peta, kemudian menoleh ke sekitar. Wajah-wajah penuh semangat, sikap saling membantu, bertukar pikiran. Di sinilah akar persatuan mereka tumbuh, dari canda di warung, hingga tekad melindungi kebun durian.

“Kita bangun gerakan ini menjadi nyata.” kata Boni pelan, namun suaranya terdengar di seluruh lingkaran warga. “Data kita, bukti kita, akan jadi senjata paling ampuh. Dengan begitu, kita bukan hanya mempertahankan kebun kita, tetapi kita juga menjaga jati diri dan masa depan Desa Duren.”

Sorak-sorai kecil dan tepuk tangan mengiringi kata-katanya. Angin pagi berhembus lembut, membawa sejuta harapan. Saat mereka bersiap membagi kelompok, menegakkan patok, mencatat data, dan memetakan rencana, terasa jelas betapa tekad bersama lebih kuat daripada kegelisahan atau tekanan apa pun.

Terpopuler

Comments

Kardi Kardi

Kardi Kardi

langsung waelahhh. LAMAR KANG

2025-02-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!