Pagi itu, udara Desa Duren terasa lebih tegang daripada biasanya, ada panggilan mendadak dari Kepala Desa baru, Pak Arman Satria, mengundang beberapa tokoh masyarakat termasuk aku, kakek, Yuni dan ketua RT untuk pertemuan di kantornya pukul sembilan.
Dengan langkah pelan namun mantap, aku menuntun sepeda ontel tua melintasi jalan berbatu. Di sampingku, Yuni menuntun sepeda juga, wajahnya berseri meski rona cemas tak bisa sepenuhnya disembunyikan.
Sesampainya di halaman kantor desa, suasana berubah. Sejumlah pemuda berpakaian resmi dengan seragam aparatur desa berdiri rapi di depan pintu. Mereka menatapku dan Yuni dengan senyum terpaksa. Kursi lipat sudah tersusun di ruang tamu kayu, di mana pajangan foto kenangan pejabat desa lama kini digantikan foto Pak Arman dengan latar belakang perkebunan sawit.
“Silakan duduk.” kata seorang ajudan, mengarahkan kursi lipat ke kami. Suaranya kaku, mengisyaratkan bahwa tatanan baru terbentuk di sini, dunia di mana suara rakyat masih dianggap gangguan.
Aku dan Yuni saling bertukar pandang singkat, lalu duduk bersebelahan. Kakek, yang berjalan sedikit lebih lambat, segera didampingi ketua RT, Pak Wira. Aura kekhawatiran melingkupi ruangan, namun aku berusaha menenangkan diri. Ingatanku kembali ke pagi hari di kebun tentang harum durian, keringat menetes, janji pada kakek untuk mempertahankan warisan. Ini adalah ujian nyata pertama, berhadapan langsung dengan figur otoritas yang hendak memaksakan kehendak.
Pintu ruang tamu terbuka, dan muncullah sosok Pak Arman. Jas biru tua membalut tubuhnya yang tegap, kepala sedikit menunduk seakan ingin memberi kesan santun. Namun langkahnya mantap, matanya menyiratkan kewenangan yang tegas, sepertihampir menggigit. Ia melangkah ke depan, meraih kursi kayu tua, lalu duduk bak raja di tahtanya.
“Selamat pagi, warga Desa Duren.” sapanya dengan nada dingin. “Terima kasih telah meluangkan waktu untuk bertemu saya hari ini.”
Aku menahan napas. Pagi ini, pertemuan ini bukan dialog setara, aku duga ini akan lebih mirip arahan sepihak. Namun demi desa, aku harus bersuara.
Pak Wira membuka pembicaraan lebih dulu. “Pak Arman, kami menghargai undangan ini. Setelah paparan kemarin, warga berharap ada penjelasan lanjut terkait IUPKS.”
Seorang ajudan menyerahkan berkas tebal kepada Pak Arman. Ia menggeser pandangan sejenak ke kami, lalu membuka berkas itu dengan suara halaman berpindah yang keras. “Saya lihat data kalian sudah lengkap.” gumamnya. Alisnya terangkat samar.
Yuni mengerling semangat ke arahku. Aku mengangguk pelan bahwa ini waktuku.
“Apa benar ” tanya Pak Arman dengan suara diplomatis, “Bahwa IUPKS tersebut akan memakan 200 hektar lahan? Padahal data kalian menyebut hanya 150 hektar kebun durian?”
Aku merespon mantap, “Betul, Pak. Berdasarkan data citra satelit dan sertifikat tanah, luas kebun durian total adalah 150 hektar, bukan 200. Sisanya adalah lahan kritis atau milik desa yang tidak digunakan produksi.”
Pak Arman menutup berkas dengan satu sentakan. “Datamu mungkin benar, tapi izinku sudah terbit atas nama seluruh desa. Rekomendasi pendapatan jangka panjang sawit jauh melebihi durian. Pemerintah daerah menunggu realisasi proyek ini.”
Nada suaranya naik sedikit, menunjukkan ketidaksabaran. Ajudan di sampingnya mencatat dengan cepat. Sejenak aku tergelitik marah, ia seolah meremehkan suara kami dan menganggap data kami hanya formalitas saja.
“Kami tidak menolak kemajuan, Pak.” balasku dengan tenang, “Tapi perlu ada formula win–win, bagaimana agar sawit dan durian bisa sama-sama berkontribusi?”
Pak Arman tertawa pelan, sinis. “Durian dan sawit? Itu pemikiran utopis. Sawit adalah industri masa depan, sedangkan durian… hanya sebatas budaya dan komoditas niche. Jika kalian yakin data kalian unggul, kalian bisa ajukan gugatan administrasi. Tapi itu memakan waktu, sementara lahan akan kami garap segera.”
Detik itu, dadaku sesak. Ia menyiratkan, bicara atau diam, hasilnya sama. Lahan kami akan diambil dan proses penundaan hanya akan mengulur waktu, sementara alat berat menunggu izin lanjutan.
Yuni meneguk ludah, suaranya terdengar gemetar saat menyela, “Pak Arman, alat berat mana yang akan kalian gunakan?”
Ia tersenyum dingin. “Truk-truk berat dari perusahaan kontraktor akan tiba dua minggu lagi. Setelah izin lingkungan selesai, pengerjaan langsung dimulai.”
Aku menatap matanya, mencoba menangkap kelemahan. “Sebelum itu, kita minta satu kesepakatan yaitu tidak akan ada aktivitas apa pun sampai rapat desa terbuka disetujui dan masyarakat memutuskan nasib kebun mereka.”
Pak Arman melipat tangan. “Putusan sudah dibuat. Jika kalian coba menghalang-halangi proses hukum… saya tidak akan segan memberlakukan prosedur keamanan desa.”
Seketika, ajudan yang duduk di balik meja meraih ponsel, menatap layar samar-samar, lalu menyimpannya kembali. Ia menunggu konfirmasi, seakan rumahnya sendiri bisa saja berubah status ke militer swasta.
Suara kakek bergema pelan. “Pak Arman, ini tanah nenek moyang kami. Bolehkan kita bicara di tempat lain saja seperti misalnya di desa tetangga?”
Pak Arman menoleh pada kakek dengan nada mengejek. “Pak Tua, Anda boleh bicara apa pun. Tapi ingat, kemajuan tak bisa menunggu sejarah.”
Hatiku menggelegak. Empat puluh tahun sejarah kebun, tangisan saat gagal panen, tawa bersama panen raya, semua bagai debu tua di hadapannya. Ia terlalu angkuh untuk mendengar.
Aku menahan amarah, mengusap pelan keringat di dahi. “Baik.” kataku pelan. “Jika begitu, kami akan menempuh jalur hukum.”
Ia tersenyum mengejek. “Silakan! Tak ada yang bisa menghentikan kemajuan.”
Setelah beberapa detik canggung, Pak Wira bangkit. “Kalau tidak ada kata lain, kami mengucapkan terima kasih.” Ia mengangguk hormat, meski wajahnya memerah menahan amarah dan kesedihan warga.
Yuni berdiri dengan anggun, memungut tasnya. “Terima kasih atas waktunya, Pak Arman.”
Aku mengakhiri pertemuan singkat itu dengan satu kalimat tegas “Kami akan bangun opini publik dan aku yakin desakan warga tak akan padam.”
Pak Arman membalas dengan senyum dingin, lalu mematikan mesin rekaman di mejanya. Ajudan membukakan pintu dan rombongan kecil warga kami melangkah keluar.
Di halaman depan kantor desa, angin membawa desus daun kelapa sawit yang sedang dipelihara di pekarangan yang memiliki arti ilustrasi bijak bahwa ia akan menggantikan durian? Atau hanya simbol kecil dari niatnya memaksakan kehendak? Aku tidak tahu.
Yuni memegang lenganku. “Apa yang akan kita lakukan sekarang, Boni?”
Aku menatap langit, menahan gejolak amarah. “Kita akan konsolidasi mengenai data hukum, dukungan media dan aliansi desa tetangga. Pertemuan tadi… sikap arogan itu justru menguatkan kita.”
Yuni mengangguk mantap. “Benar! Semakin besar tantangan, semakin besar pula kemenangan nantinya.”
Aku menarik napas panjang. “Mulai sekarang, ini bukan lagi soal durian semata. Ini soal kedaulatan kita, hak kita menentukan masa depan Desa Duren.”
Yuni tersenyum penuh semangat. “Pengawal Duren, kita bangkit.”
Kakek memandang kami dengan mata berkaca. “Anak-anak muda ini… kalian yang akan melanjutkannya.”
Saat aku menoleh ke kakek, sosoknya tampak kecil di bawah pepohonan kantor desa. Namun getar semangatnya masih sama seperti pagi di kebun yaitu penuh keyakinan.
Aku mengangkat tangan, menatap teman-teman kami yaitu Anton, Rafi, Sari, serta Ilham. Mereka sudah menunggu tak jauh di sebelah sepeda ontel. “Ayo pulang, kita rapat di posko.”
Mereka tergabung dalam satu sorak kecil yaitu “Pengawal Duren!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Kardi Kardi
MUSUHNYA belum nongol yaaa/Sneer/
2025-02-25
1