Boni menarik napas panjang dan dalam ketika bus tua yang membawanya dari kota berhenti dengan decitan keras di depan gerbang kayu yang sudah lapuk yang merupakan penanda masuk ke Desa Duren, tanah kelahirannya. Lima tahun sudah ia meninggalkan desa ini, menukar sawah dan pepohonan dengan gedung tinggi dan jalanan padat ibu kota. Namun kini, saat kakinya menyentuh tanah berkerikil yang berdebu, hatinya terasa seperti menemukan kembali bagian yang lama hilang.
Pintu bus terbuka perlahan, seolah menambah kesan bahwa waktu memang berjalan lebih lambat di desa. Angin sore langsung menerpa wajahnya, membawa serta aroma sawah yang menguning, dedaunan kering, dan bau asap kayu yang membumbung dari dapur rumah-rumah di kejauhan. Sungguh aroma yang tak pernah bisa ia temukan di tengah beton dan aspal.
Dari tempat duduknya di dekat jendela, Boni menatap keluar dengan mata yang membelalak kagum sekaligus haru. Hamparan sawah luas membentang di sisi jalan, bergoyang perlahan seiring tiupan angin, seolah menyambutnya pulang. Deretan pohon pisang berdiri rapi di sepanjang jalan, menjulang seperti barisan prajurit yang tengah berbaris. Di kejauhan, sekelompok anak kecil berlarian mengejar ayam, tertawa riuh dengan kaki telanjang menyentuh tanah merah yang hangat. Tak banyak yang berubah. Bahkan debu jalanan pun terasa seperti teman lama.
Dengan langkah pelan, Boni turun dari bus. Suara gesekan sol sepatu dengan kerikil membangkitkan kenangan tentang masa kecilnya, tentang petualangan di sore hari, tentang harapan-harapan yang ia tinggalkan ketika memutuskan pergi demi masa depan yang lebih cerah. Ia berdiri sejenak, membiarkan semua itu mengalir kembali. Matanya menatap lurus ke rumah panggung kayu di seberang jalan, rumah tempat ia dibesarkan. Cat cokelatnya memudar, atap sengnya sedikit miring, tapi tak ada yang bisa menghapus jejak kasih sayang yang tertanam di dalamnya.
Di teras rumah itu, sosok Ibu berdiri sambil melambai. Di sebelahnya, seorang gadis kecil dengan kepangan kembar Mia, adik bungsunya yang terakhir ia peluk ketika masih duduk di bangku kelas lima SD. Kini, tubuhnya lebih tinggi, wajahnya bersinar riang, tapi semangat cerianya masih sama.
“Ibu…” Boni berbisik, suaranya tercekat oleh haru. Ia segera berlari, ranselnya hampir terlepas dari punggung, dan memeluk sang ibu erat-erat.
“Anakku…” Ibu membalas pelukan itu dengan tangan kasar, hasil kerja bertahun-tahun di dapur dan ladang. Bau melati dari rambutnya bercampur dengan minyak kelapa yang khas, aroma yang tak pernah hilang dari ingatan Boni. “Rasanya ada yang kurang di desa ini tanpamu, Bon? Tapi, Akhirnya kamu pulang juga.”
Mia melompat-lompat di sisi mereka. “Kakak pulang! Aku mau minta es durian, Kak!” katanya sambil tertawa dan menarik-narik baju kakaknya.
Boni tertawa, mengusap rambut Mia yang mulai kusut. “Tenang, Mi. Kakak traktir nanti. Kita ke warung Pak Jaya, ya?”
Mereka masuk ke rumah, disambut aroma daun pisang yang dibakar, pertanda nasi sedang dimasak. Di ruang tengah, tikar anyaman tergelar rapi. Di atas meja yang begitu pendek, nasi kuning hangat, ayam kampung goreng, sambal terasi, dan irisan mentimun segar sudah menanti. Semua itu sederhana, namun lebih menggugah selera daripada makanan mahal di restoran kota. Di sinilah kehangatan sejati berada.
Tak lama kemudian, Ayah muncul dari dapur. Ia mengenakan sarung lusuh dan kemeja kotak-kotak. Wajahnya lebih tua dari terakhir kali Boni melihatnya, namun mata dan senyumnya masih memancarkan keteduhan yang sama. Tangan tuanya yang dipenuhi kapalan menepuk pundak Boni dengan penuh makna.
“Lama tak pulang, Nak,” katanya pelan. “Gimana kabar di kota?”
“Baik, Pak. Tapi lebih baik di sini.” jawab Boni. Ia mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.
Ayah mengangguk. “Pulangmu ini pas waktunya. Panen durian sebentar lagi.”
Boni mengangguk, tersenyum. “Insya Allah, aku di sini untuk bantu.”
Mereka makan bersama. Cerita demi cerita mengalir dari mulut Boni, tentang gemerlapnya kota, macetnya jalanan, pekerjaan kantoran dan betapa cepatnya waktu berlalu di sana. Ibu dan Mia mendengarkan dengan mata terbelalak dan sesekali tersenyum geli. Ayah hanya sesekali berkomentar, tapi setiap kali ia menatap Boni, ada rasa bangga dan lega yang begitu jelas terpancar.
Sore mulai berganti senja. Matahari menurunkan cahayanya perlahan, meninggalkan jejak emas di dinding rumah dan di antara celah jendela. Setelah makan, Boni keluar ke halaman, mencium aroma asap dapur dan jagung yang dijemur. Angin berembus lembut, menyapu dedaunan pepaya yang menari pelan. Ia menghampiri sumur tua, menimba air, lalu membasuh wajahnya. Airnya dingin, segar, dan jernih. berbeda dari air keran yang ada di kota yang penuh kaporit.
Dalam keheningan itu, suara angin dan burung pipit menjadi latar belakang di desa. Hatinya begitu tenang, Kota terasa begitu jauh, seperti mimpi yang tak lagi perlu ia kejar.
Dari balik bayangan pohon mangga, Mia muncul. Ia menghampiri Boni dan menepuk bahunya.
“Kak, yuk ke kebun. Aku mau tunjukin sesuatu.”
Tanpa bertanya, Boni mengikuti adiknya melewati jalan setapak di belakang rumah. Tanahnya basah akibat baru saja turun hujan, rumput dan daun berserakan dan aroma tanah begitu kuat. Mereka sampai di kebun durian tua milik keluarga mereka. Pohon-pohon tinggi berdiri dengan gagah, batangnya besar, dahan-dahannya kokoh oleh buah yang hampir matang.
Di bawah pohon tertua, kenangan masa kecil Boni membanjir kembali. Di sanalah ia dulu bermain ayunan dari tali tambang yang diikat di cabang rendah. Ia ingat tawa riang bersama teman-teman, bagaimana ia pernah jatuh dan lututnya berdarah, namun tetap kembali naik ke ayunan esok harinya.
Mia dengan lincah memanjat salah satu dahan, lalu meraih durian yang menggantung rendah. “Lihat, Kak. Ingat ini?”
Boni menerima durian itu dengan kedua tangan. Kulitnya tajam berduri, tapi ia mendekapnya seolah itu harta karun. Matanya menatap buah itu dengan rasa rindu yang tak bisa diungkapkan.
“Rasanya seperti rindu yang bertahun-tahun menunggu.” katanya lirih.
Mia tertawa. “Rindu, tapi yang berduri, ya, Kak.”
Mereka tertawa bersama. Langit mulai berubah warna, jingga berbaur ungu. Suara burung kembali ke sarang, dan dari jauh, terdengar sayup suara adzan magrib. Mereka berjalan pulang dengan langkah ringan, membawa durian sebagai oleh-oleh mereka di rumah.
Di teras rumah, lampu pijar mulai menyala. Kunang-kunang menari di udara. Ibu duduk di ayunan rotan sambil mengipas, Ayah mengutak-atik radio tua, dan aroma masakan malam mulai menyusup keluar dari dapur.
Boni meletakkan durian itu di atas meja, menatap langit yang mulai gelap, lalu menoleh ke keluarganya.
“Besok kita mulai lagi rawat kebun milik keluarga kita, siap panen dan bangun masa depan kita bersama-sama dari sekarang.”
Ibu menggenggam tangannya erat. Ayah mengangguk dengan senyum bangga. Mia mengangkat durian tinggi-tinggi dan berseru, “Mulai dari sini, Kak!”
Pagi itu, sinar matahari perlahan menembus celah-celah pepohonan, menciptakan bayangan lembut di tanah. Boni bangun dengan perasaan yang hangat dan penuh semangat. Setelah bertahun-tahun hidup di kota dengan hiruk-pikuknya, berada kembali di Kampung Duren rasanya seperti pulang ke pangkuan alam yang damai. Ia membuka jendela kamarnya, menghirup udara segar, dan menikmati kicauan burung-burung yang seolah-olah ikut menyambut harinya.
Sambil meregangkan badan, Boni teringat percakapan semalam dengan para warga kampung yang diantaranya terdiri dari Yuni, Budi, Pak Jono, dan Mamat. Mereka telah sepakat membentuk tim Pengawal Duren untuk melindungi kebun durian yang menjadi sumber penghidupan warga desa dari rencana serakah Kepala Desa yang baru. Dengan penuh antusias, mereka menyusun rencana sederhana untuk menjaga perkebunan tetap aman. Meskipun rencana itu belum sepenuhnya matang, semangat kebersamaan dan rasa cinta mereka pada desa sudah terasa seperti fondasi yang kuat.
Boni berjalan menuju dapur, di mana ia melihat ibunya sedang menyiapkan sarapan. “Pagi, Bu!” sapanya sambil mengambil tempat duduk.
Ibunya tersenyum hangat sambil menyodorkan secangkir teh hangat. “Pagi, Boni. Kamu terlihat lebih segar sekarang. Ibu senang akhirnya kamu pulang dan bisa istirahat di sini.”
Boni mengangguk sambil menyeruput teh. “Iya, Bu. Rasanya sudah lama sekali aku enggak bisa menikmati pagi seindah ini. Di kota, semuanya terasa cepat dan ribut. Di sini, semuanya terasa damai.”
Setelah selesai sarapan, Boni berpamitan kepada ibunya. Ia akan bertemu dengan anggota tim Pengawal Duren untuk membahas rencana pertama mereka. Ia pun berjalan santai menuju tempat mereka biasa berkumpul, sebuah area lapang di dekat kebun durian yang rindang. Di sana, ia melihat Yuni, Budi, Pak Jono, dan Mamat sudah menunggunya sambil duduk santai di bawah pohon besar.
“Hei, kalian datang lebih cepat daripada ayam berkokok!” seru Boni sambil tersenyum lebar.
“Pagi, Bon! Udah siap buat rencana hari ini?” Yuni menyapa dengan semangat. Ia mengenakan pakaian sederhana, tetapi senyum dan sorot matanya menunjukkan ketegasan yang siap untuk bertindak.
Budi menimpali, “Siap, dong! Aku sudah bawa beberapa ide jebakan yang bikin Kepala Desa dan orang-orangnya kapok masuk ke sini. Kalau kena jebakan ini, mereka bakal berpikir dua kali!”
Pak Jono tertawa kecil mendengar semangat Budi. “Budi ini kalau soal jebakan memang jagonya. Kita butuh orang seperti dia buat menjaga kebun kita.”
Mamat, yang duduk sambil memerhatikan sekitarnya, ikut tersenyum. “Dan aku siap jadi mata-mata kita dari atas pohon. Aku bakal kasih tanda setiap kali ada orang mencurigakan yang mendekat.”
Boni tersenyum puas melihat antusiasme teman-temannya. Mereka duduk melingkar di atas tikar sederhana yang sudah disiapkan. Dengan santai, Boni mulai membuka pembicaraan sambil menyusun ide-ide mereka secara perlahan.
“Jadi, aku pikir kita bisa mulai dengan mengamati kebun durian kita. Kita perlu memastikan jalur mana saja yang biasa dilewati warga desa dan jalur mana yang kemungkinan akan dilalui oleh orang-orang Kepala Desa,” Boni menjelaskan sambil sesekali menatap Yuni yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
Yuni mengangguk setuju. “Benar, Bon. Kalau kita tahu jalur-jalur itu, kita bisa mulai memasang beberapa jebakan sederhana. Yang penting enggak kelihatan terlalu mencurigakan.”
Budi tersenyum lebar. “Aku udah punya ide buat jebakan pertama, nih! Kita pasang daun-daun kering di tanah. Jadi kalau ada yang nginjak, bakal keluar bunyi gemeretak. Lumayan buat kagetin mereka!”
Pak Jono yang bijak menambahkan, “Itu ide bagus, Bud. Tapi jangan terlalu berlebihan. Kita cuma mau kasih mereka peringatan, bukan bikin masalah besar. Kalau Kepala Desa tahu, bisa-bisa kita malah dituduh macam-macam.”
Mereka semua tertawa kecil, menyadari bahwa meski serius melawan Kepala Desa, mereka tetap harus menjaga kehormatan dan tidak merusak hubungan dengan warga desa lainnya. Setelah beberapa menit berdiskusi, mereka sepakat untuk memulai dari langkah sederhana: mengamati kebun dan mempelajari jalur-jalur masuk. Mereka berencana untuk memulai observasi mereka keesokan harinya.
Hari itu dihabiskan dengan santai namun penuh kebersamaan. Sambil berdiskusi, Pak Jono menceritakan beberapa cerita lucu tentang masa mudanya, yang sukses membuat mereka semua tertawa terbahak-bahak. Cerita-cerita Pak Jono selalu kocak dan menghibur, meskipun terkadang tidak jelas ujungnya.
Setelah sesi cerita, Yuni dan Boni berjalan-jalan mengelilingi kebun durian, menikmati suasana dan sesekali membicarakan rencana mereka. Sambil melihat pohon-pohon durian yang rimbun, Boni merasa ada ikatan kuat antara dirinya dan desa ini. Tidak hanya karena kenangan masa kecil, tapi juga karena desa ini adalah tempat yang membentuk siapa dirinya sekarang.
“Boni, kamu tahu enggak, dulu aku sering berharap kamu bakal balik ke desa. Rasanya sepi kalau enggak ada kamu,” kata Yuni pelan sambil melangkah di sampingnya.
Boni tersenyum mendengar pengakuan Yuni. “Aku juga sering ingat kamu, Yun. Meskipun di kota aku sibuk, rasanya ada yang selalu kurang. Sekarang aku tahu, ternyata yang kurang itu adalah desa ini... dan kamu.”
Yuni tersipu malu, tapi tidak menolak tatapan lembut Boni. Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati keheningan yang nyaman. Langit di atas mereka semakin cerah, burung-burung berkicau, dan angin berhembus lembut di sekitar kebun durian.
Setelah sore mulai menjelang, mereka semua berkumpul lagi di tikar untuk mengakhiri pertemuan mereka hari itu. Sambil meneguk air kelapa yang dibawakan Mamat, mereka saling bercanda dan tertawa, merasakan kebahagiaan yang sederhana tapi begitu bermakna.
“Kalian sadar enggak sih, kita ini kelihatan seperti geng anak-anak kampung yang enggak ada kerjanya?” Budi bergurau sambil tertawa.
Pak Jono tertawa sambil menepuk pundak Budi. “Ya, Bud. Tapi kalau bukan kita yang menjaga desa ini, siapa lagi?”
Dengan senyuman dan rasa kebersamaan yang hangat, mereka sepakat untuk bertemu lagi esok hari dan melanjutkan misi mereka. Hari itu ditutup dengan perasaan damai di hati masing-masing. Meskipun mereka hanya sekumpulan warga desa yang sederhana, namun ikatan mereka kuat, didorong oleh rasa cinta pada kampung halaman dan semangat untuk melindunginya.
Boni berjalan pulang bersama Yuni, mengobrol ringan tentang masa-masa kecil mereka. Ia sadar, bukan hanya perjuangan melawan Kepala Desa yang membuatnya bersemangat, tapi juga kebersamaan dengan teman-temannya, terutama Yuni. Di sepanjang jalan, mereka tertawa dan bercanda, menikmati momen-momen kecil yang seolah-olah melengkapi potongan-potongan kenangan lama mereka.
Malam itu, Boni merasa hatinya penuh. Tidak hanya karena rencana mereka, tapi juga karena ikatan yang semakin erat dengan teman-temannya. Di desa kecil ini, di tengah kebun durian yang sederhana, ia merasa menemukan kebahagiaan yang selama ini dicari.
Pagi-pagi sekali, Boni terbangun dengan semangat baru. Suara ayam berkokok dari kandang belakang rumahnya seolah menjadi tanda bahwa hari ini adalah awal dari petualangan kecil mereka sebagai Tim Pengawal Duren. Ia menyusuri koridor rumahnya, menghirup aroma wangi nasi goreng yang dimasak ibunya. Boni duduk di meja makan sambil tersenyum.
Ibunya menyodorkan sepiring nasi goreng yang masih mengepul hangat. “Sarapan yang banyak ya, Nak. Hari ini pasti sibuk.”
Boni tertawa kecil. “Iya, Bu. Hari ini kami mau mulai patroli pertama di kebun durian.”
Setelah sarapan, Boni berpamitan kepada ibunya dan bergegas menuju kebun durian, tempat mereka berkumpul setiap pagi. Sesampainya di sana, ia melihat Yuni sedang duduk di atas akar pohon yang besar, menggoyang-goyangkan kakinya sambil menunggu. Wajahnya tampak ceria, seperti biasa, dengan rambutnya yang diikat ke belakang.
“Pagi, Boni!” sapa Yuni sambil melambaikan tangan.
“Pagi, Yuni! Kamu duluan, nih?” Boni balas menyapa sambil tersenyum.
“Iya, aku terlalu bersemangat buat jaga kebun durian kita!” jawab Yuni sambil tertawa kecil.
Tak lama, Budi muncul dengan seikat bambu kecil di tangannya. “Nih, aku bawa bambu buat jebakan sederhana. Rencananya, kita pasang di sepanjang jalan setapak di kebun.”
Yuni memandang bambu itu dengan heran. “Kamu yakin itu bakal berhasil, Bud? Jangan-jangan nanti malah kamu sendiri yang kena jebakan itu!”
Budi terkekeh, “Tenang aja, Yun. Aku udah atur semuanya. Ini cuma buat latihan, kok!”
Sambil menunggu Pak Jono dan Mamat yang sedikit terlambat, mereka bertiga mulai mengobrol dengan santai. Boni menceritakan pengalamannya merantau di kota, bagaimana ia kangen suasana desa yang tenang, dan bagaimana akhirnya ia memutuskan untuk pulang. Yuni dan Budi mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menyela dengan candaan.
Tak lama, Pak Jono dan Mamat datang dengan membawa beberapa peralatan sederhana. Pak Jono membawa alat ukir kecil, sementara Mamat membawa tali tambang yang sudah diikatkan beberapa daun kering.
“Maaf telat, tadi ada ayam yang nyelonong ke kebun tetangga,” kata Pak Jono sambil menghela napas.
Mamat menimpali sambil tertawa, “Ayam Pak Jono tuh suka cari perhatian, Pak! Mau ikutan tim Pengawal Duren mungkin.”
Mereka semua tertawa mendengar candaan Mamat. Setelah suasana kembali tenang, mereka pun mulai membahas rencana patroli pertama mereka di kebun durian.
“Kita mulai dari bagian barat dulu,” ujar Boni sambil menunjuk peta kebun yang sederhana. “Di sana paling banyak pohon durian yang sedang berbuah. Kita cek jalur-jalur masuknya dan lihat apakah ada tanda-tanda orang asing yang masuk.”
Budi dengan penuh semangat mengeluarkan seikat bambu yang dibawanya tadi. “Aku mau pasang jebakan di jalur masuk utama. Nanti kalau ada yang lewat, jebakan ini bakal berbunyi. Kita bisa langsung tahu kalau ada yang mencoba masuk.”
Pak Jono yang bijak mengangguk. “Ide yang bagus, Bud. Tapi hati-hati, jangan sampai ada warga yang kena jebakan kita. Kita nggak mau bikin ribut sama orang desa.”
Boni, Yuni, dan Budi pun berjalan ke arah barat kebun durian, dengan Pak Jono dan Mamat mengikuti di belakang. Sepanjang jalan, mereka bercanda dan sesekali berhenti untuk memperhatikan sekitar. Matahari semakin tinggi, sinarnya menyusup di antara dedaunan, menciptakan bayangan-bayangan di tanah yang menambah suasana kebun durian yang damai.
Sesampainya di titik yang ditentukan, mereka mulai bekerja. Budi memasang jebakan sederhana dari bambu yang diberi tali, sementara Mamat memanjat pohon tinggi untuk mengawasi keadaan. Yuni dan Pak Jono berjaga-jaga di sekitar, memastikan tidak ada yang melihat aktivitas mereka.
Saat Budi sedang sibuk memasang jebakan, ia tak sengaja menarik tali terlalu keras hingga bambunya terlepas dan mengenai kakinya sendiri. “Aduh!” seru Budi sambil meloncat kesakitan.
Yuni tertawa kecil, “Kataku juga apa, Bud! Kamu sendiri yang kena jebakanmu!”
Budi tertawa malu. “Ah, sial! Tapi ini cuma kejadian sekali aja kok. Nanti kalau Kepala Desa atau orang-orangnya datang, pasti mereka yang kena.”
Setelah semua jebakan terpasang, mereka duduk beristirahat di bawah pohon durian. Pak Jono mengeluarkan termos berisi teh hangat, dan mereka minum bersama sambil menikmati suasana alam yang tenang.
“Kadang aku berpikir, kampung kita ini benar-benar tempat yang indah,” kata Yuni sambil menatap jauh ke arah pepohonan yang hijau. “Sayang sekali kalau nanti jadi kebun sawit.”
Pak Jono mengangguk pelan. “Itulah sebabnya kita harus melindungi desa ini. Kebun durian ini bukan cuma soal mata pencaharian, tapi juga soal warisan yang harus kita jaga.”
Boni terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Pak Jono. Ia semakin yakin bahwa apa yang mereka lakukan ini bukan sekadar perjuangan melawan Kepala Desa yang serakah, tapi juga perjuangan untuk menjaga warisan dan kenangan masa kecil mereka.
Setelah istirahat, mereka melanjutkan patroli ke bagian lain kebun. Sepanjang jalan, mereka berbagi cerita, dari cerita lucu masa kecil hingga rencana-rencana kecil yang ingin mereka lakukan di desa. Mamat bercerita tentang mimpinya membuka warung kelontong, sementara Yuni bercerita tentang keinginannya mengembangkan pariwisata kebun durian.
Setelah hampir seharian berkeliling kebun, mereka akhirnya kembali ke titik awal. Jebakan sudah terpasang, dan mereka semua merasa lega telah menjalankan langkah pertama dari misi mereka.
Sebelum berpisah, Boni mengajak teman-temannya untuk berkumpul kembali di rumahnya malam itu. Mereka semua setuju, terutama setelah Boni mengatakan ibunya akan membuatkan kue pisang favorit mereka. Masing-masing pulang ke rumah mereka dengan hati yang hangat, merasa bahwa ikatan persahabatan mereka semakin erat.
Malam harinya, seperti yang dijanjikan, mereka berkumpul di rumah Boni. Ibunya menyajikan kue pisang yang harum, dan mereka semua duduk melingkar di ruang tamu, menikmati makanan dan mengobrol dengan santai.
“Ini baru namanya kehidupan,” kata Mamat sambil menggigit kue pisangnya. “Kumpul bareng teman-teman, makan enak, dan nggak perlu mikirin masalah berat.”
Pak Jono tertawa. “Tapi, jangan lupa juga dengan misi kita. Kita masih harus melindungi kebun durian dari Kepala Desa.”
Yuni mengangguk. “Iya, Pak Jono benar. Tapi aku yakin, selama kita bersatu, kita pasti bisa menjaga desa ini.”
Boni merasakan kehangatan di hatinya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan sebenarnya bukan hanya soal materi atau pencapaian besar, tapi juga soal kebersamaan dan rasa saling peduli. Malam itu, mereka berbincang hingga larut, membicarakan rencana-rencana mereka, saling bercanda, dan mengenang masa-masa indah yang mereka lalui bersama.
Sebelum berpisah, mereka semua saling berjanji untuk tetap bersama dan melindungi desa mereka, apa pun yang terjadi. Dan dengan hati yang penuh semangat dan tekad, mereka pulang ke rumah masing-masing, siap menyambut tantangan berikutnya.
Hari itu diakhiri dengan perasaan damai dan keyakinan bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai. Tim Pengawal Duren resmi beraksi, dengan hati yang siap melindungi kampung halaman mereka dari ancaman siapa pun yang berusaha merusaknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!