Boni duduk di bangku bus sambil memandang ke luar jendela dengan perasaan campur aduk. Lima tahun di luar negeri telah mengubahnya; Ia tumbuh menjadi pemuda yang lebih percaya diri, namun juga kerap merasa rindu dengan desa tempat ia dibesarkan, Kampung Duren. Kini, seiring jarak yang semakin dekat dengan rumah, perasaan nostalgia dan kegelisahan bercampur menjadi satu. Ia bertanya-tanya, apakah semuanya masih sama seperti dulu?
Di dalam bus yang sempit itu, Boni mencoba mengingat kenangan masa kecilnya—berlari di antara pohon durian, mendaki bukit di sore hari, bermain layang-layang di sawah bersama teman-temannya. Namun, yang paling jelas dalam ingatannya adalah wajah gadis yang biasa menemaninya bermain—Yuni. Sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan Yuni, gadis yang selalu membuatnya merasa nyaman, meski tak pernah ia ungkapkan perasaannya lebih dari sekedar sahabat.
Begitu bus berhenti di terminal desa kecil, Boni merasa waktu berputar kembali. Terminalnya masih sama, ramai dengan pedagang yang menjual kue tradisional, petani yang baru pulang dari sawah, dan anak-anak kecil berlarian kesana kemari. Segarnya udara desa menyegarkan pikiran Boni. Dia tersenyum, merasa damai.
Saat dia menurunkan barang-barangnya dari bus, sebuah suara yang familiar menyambutnya.
“Boni! Boni, akhirnya kamu pulang!” teriak Bu Sari, tetangganya yang dulu sering mengiriminya makanan semasa kecil.
“Iya, Bu! Akhirnya pulang juga, rindu desa,” Boni menjawab sambil tersenyum lebar, lalu menyalami tangan Bu Sari yang sudah keriput tapi masih hangat.
Obrolan ringan pun mengalir di antara mereka, membuat Boni merasa seolah-olah ia tidak pernah benar-benar pergi dari desa ini. Penduduk desa yang lain mulai menghampiri, menyambut Boni dengan antusias. Banyak yang mengira ia tidak akan kembali karena sudah bertahun-tahun tak ada kabar. Beberapa teman masa kecilnya bahkan memeluknya, menepuk-nepuk punggungnya sambil tertawa.
“Anak kota sekarang, nih!” seru salah satu temannya.
“Eh, enggak lah! Aku masih anak kampung!” Boni tertawa, mencoba merendah.
Di tengah-tengah keramaian itu, tiba-tiba pandangan Boni tertuju pada seseorang yang berdiri di kejauhan. Seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, mengenakan baju sederhana berwarna biru, tapi tampak begitu menawan. Itu Yuni, gadis yang dulu selalu menjadi teman setianya. Boni seolah terdiam melihatnya, wajah Yuni yang kini dewasa tampak begitu cantik, namun tetap memiliki senyum hangat yang sama.
Seolah merasakan tatapan Boni, Yuni akhirnya melihat ke arahnya. Seketika senyum mengembang di bibirnya, dan ia melambaikan tangan, berjalan mendekat.
“Boni! Wah, kamu benar-benar balik! Kupikir kamu sudah lupa dengan desa ini,” Yuni menyapa dengan nada penuh kegembiraan.
Boni tersenyum kikuk, merasa sedikit canggung. “Enggak mungkin lah, Yun. Aku selalu ingat kamu... eh maksudku, ingat desa ini.”
Yuni tertawa kecil, suara tawanya masih sama, renyah dan ceria. Mereka berbicara sejenak, mengobrol tentang hal-hal sederhana—perjalanannya di kota, kabar keluarga, dan kehidupan di desa. Dalam hati, Boni tak bisa menyembunyikan rasa kagum melihat betapa dewasa dan anggun Yuni sekarang. Tapi di balik semua itu, Yuni tetaplah Yuni, gadis yang dulu selalu menjadi teman dekatnya.
Yuni akhirnya mengajak Boni berjalan bersama menuju rumahnya, menawarkan untuk membawakan tas besar yang dibawanya. Sepanjang jalan, mereka terus berbicara, mengenang kenangan masa lalu sambil tertawa. Boni merasa seolah-olah mereka masih anak-anak, meski semuanya telah berubah.
Ketika mereka tiba di depan rumah Boni, keluarganya sudah menunggu di depan pintu. Ibu dan Ayahnya segera menyambutnya dengan pelukan hangat, mata mereka berbinar melihat anak lelaki mereka pulang dengan selamat. Ayahnya, Pak Hardi, menepuk punggungnya bangga, dan Ibu tak bisa berhenti mengusap wajah Boni yang terasa asing karena kini berjanggut.
“Boni, nak, akhirnya kamu pulang juga. Ibu kangen sekali!” suara Ibu terdengar bergetar penuh haru.
“Aku juga kangen, Bu, Pak,” Boni menjawab, suaranya serak menahan emosi.
Yuni yang masih berdiri di dekat mereka pun ikut tersenyum, senang melihat reuni keluarga yang begitu hangat. Setelah beberapa saat, Boni pun mengajak Yuni duduk di teras rumah, dan mereka melanjutkan obrolan. Saat itu, Yuni mulai bercerita tentang perubahan yang terjadi di desa sejak ia pergi.
“Boni, kamu tahu nggak? Kepala desa kita sekarang sudah ganti,” Yuni berkata, nada suaranya sedikit berubah serius.
Boni mengangguk, “Iya, aku dengar. Terus bagaimana Kepala Desa yang baru itu?”
Yuni menghela napas panjang. “Dia... berbeda. Sombong, dan sepertinya punya rencana besar yang nggak baik buat desa kita. Dia ingin mengubah semua perkebunan durian di sini jadi perkebunan kelapa sawit.”
Boni terkejut mendengar hal itu. “Kelapa sawit? Tapi... banyak warga yang hidupnya bergantung pada durian. Desa ini kan memang dikenal sebagai Kampung Duren!”
Yuni mengangguk, raut wajahnya cemas. “Betul. Banyak warga yang nggak setuju, tapi Kepala Desa punya pengaruh besar. Banyak orang yang takut untuk melawan.”
Boni terdiam sejenak, merenung. Ia baru saja pulang, tapi sudah dihadapkan dengan masalah besar yang bisa mengubah kehidupan di desa ini selamanya. Apalagi, ia tahu bahwa perkebunan durian adalah identitas desa mereka. Tanpa durian, desa ini tidak akan sama lagi.
Malam itu, setelah makan malam bersama keluarganya, Boni duduk sendiri di beranda, memikirkan kata-kata Yuni. Dalam hati, ia merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu. Meski ia baru saja kembali, ia tidak bisa membiarkan desa yang dicintainya berubah menjadi ladang keuntungan bagi Kepala Desa yang tamak.
Di pagi hari, ia kembali bertemu dengan Yuni. Mereka memutuskan untuk mengunjungi beberapa warga desa, mendengar pendapat mereka tentang rencana Kepala Desa. Di setiap rumah yang mereka kunjungi, banyak warga mengeluh dan merasa cemas, tapi juga merasa tidak berdaya. Beberapa bahkan merasa putus asa karena takut kehilangan lahan yang sudah mereka tanam bertahun-tahun.
“Boni, mungkin kita bisa melakukan sesuatu. Kalau kita diam saja, desa ini bisa hilang identitasnya,” Yuni berkata dengan tatapan penuh harap.
Boni mengangguk mantap. “Kamu benar, Yun. Aku nggak bisa diam saja. Kita harus menjaga desa ini.”
Setelah berbicara dengan beberapa warga lagi, mereka sepakat untuk membentuk tim kecil yang akan berusaha melindungi perkebunan durian dan mencegah rencana Kepala Desa. Mereka memberi nama tim ini “Pengawal Duren.” Meski hanya beranggotakan beberapa orang, mereka memiliki semangat yang kuat.
Di akhir hari, Boni dan Yuni duduk di puncak bukit, menikmati pemandangan matahari terbenam yang indah. Hembusan angin sore membuat dedaunan durian bergoyang pelan, seolah memberi dukungan pada tekad mereka.
“Terima kasih ya, Bon, sudah mau membantu,” Yuni berkata pelan, matanya menatap lembut ke arah Boni.
Boni tersenyum, menatap Yuni dengan perasaan yang sulit diungkapkan. “Aku lakukan ini untuk desa kita... dan juga untuk kamu, Yun.”
Mereka saling tersenyum, tanpa kata-kata, tapi dengan pemahaman bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai. Meski tantangan besar menanti, Boni dan Yuni merasa yakin bahwa bersama-sama, mereka bisa melindungi desa mereka. Di balik segala kekhawatiran, malam itu berakhir dengan perasaan harapan yang baru, menanti hari esok dengan penuh tekad.
Pagi itu, sinar matahari perlahan menembus celah-celah pepohonan, menciptakan bayangan lembut di tanah. Boni bangun dengan perasaan yang hangat dan penuh semangat. Setelah bertahun-tahun hidup di kota dengan hiruk-pikuknya, berada kembali di Kampung Duren rasanya seperti pulang ke pangkuan alam yang damai. Ia membuka jendela kamarnya, menghirup udara segar, dan menikmati kicauan burung-burung yang seolah-olah ikut menyambut harinya.
Sambil meregangkan badan, Boni teringat percakapan semalam dengan para warga kampung yang diantaranya terdiri dari Yuni, Budi, Pak Jono, dan Mamat. Mereka telah sepakat membentuk tim Pengawal Duren untuk melindungi kebun durian yang menjadi sumber penghidupan warga desa dari rencana serakah Kepala Desa yang baru. Dengan penuh antusias, mereka menyusun rencana sederhana untuk menjaga perkebunan tetap aman. Meskipun rencana itu belum sepenuhnya matang, semangat kebersamaan dan rasa cinta mereka pada desa sudah terasa seperti fondasi yang kuat.
Boni berjalan menuju dapur, di mana ia melihat ibunya sedang menyiapkan sarapan. “Pagi, Bu!” sapanya sambil mengambil tempat duduk.
Ibunya tersenyum hangat sambil menyodorkan secangkir teh hangat. “Pagi, Boni. Kamu terlihat lebih segar sekarang. Ibu senang akhirnya kamu pulang dan bisa istirahat di sini.”
Boni mengangguk sambil menyeruput teh. “Iya, Bu. Rasanya sudah lama sekali aku enggak bisa menikmati pagi seindah ini. Di kota, semuanya terasa cepat dan ribut. Di sini, semuanya terasa damai.”
Setelah selesai sarapan, Boni berpamitan kepada ibunya. Ia akan bertemu dengan anggota tim Pengawal Duren untuk membahas rencana pertama mereka. Ia pun berjalan santai menuju tempat mereka biasa berkumpul, sebuah area lapang di dekat kebun durian yang rindang. Di sana, ia melihat Yuni, Budi, Pak Jono, dan Mamat sudah menunggunya sambil duduk santai di bawah pohon besar.
“Hei, kalian datang lebih cepat daripada ayam berkokok!” seru Boni sambil tersenyum lebar.
“Pagi, Bon! Udah siap buat rencana hari ini?” Yuni menyapa dengan semangat. Ia mengenakan pakaian sederhana, tetapi senyum dan sorot matanya menunjukkan ketegasan yang siap untuk bertindak.
Budi menimpali, “Siap, dong! Aku sudah bawa beberapa ide jebakan yang bikin Kepala Desa dan orang-orangnya kapok masuk ke sini. Kalau kena jebakan ini, mereka bakal berpikir dua kali!”
Pak Jono tertawa kecil mendengar semangat Budi. “Budi ini kalau soal jebakan memang jagonya. Kita butuh orang seperti dia buat menjaga kebun kita.”
Mamat, yang duduk sambil memerhatikan sekitarnya, ikut tersenyum. “Dan aku siap jadi mata-mata kita dari atas pohon. Aku bakal kasih tanda setiap kali ada orang mencurigakan yang mendekat.”
Boni tersenyum puas melihat antusiasme teman-temannya. Mereka duduk melingkar di atas tikar sederhana yang sudah disiapkan. Dengan santai, Boni mulai membuka pembicaraan sambil menyusun ide-ide mereka secara perlahan.
“Jadi, aku pikir kita bisa mulai dengan mengamati kebun durian kita. Kita perlu memastikan jalur mana saja yang biasa dilewati warga desa dan jalur mana yang kemungkinan akan dilalui oleh orang-orang Kepala Desa,” Boni menjelaskan sambil sesekali menatap Yuni yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
Yuni mengangguk setuju. “Benar, Bon. Kalau kita tahu jalur-jalur itu, kita bisa mulai memasang beberapa jebakan sederhana. Yang penting enggak kelihatan terlalu mencurigakan.”
Budi tersenyum lebar. “Aku udah punya ide buat jebakan pertama, nih! Kita pasang daun-daun kering di tanah. Jadi kalau ada yang nginjak, bakal keluar bunyi gemeretak. Lumayan buat kagetin mereka!”
Pak Jono yang bijak menambahkan, “Itu ide bagus, Bud. Tapi jangan terlalu berlebihan. Kita cuma mau kasih mereka peringatan, bukan bikin masalah besar. Kalau Kepala Desa tahu, bisa-bisa kita malah dituduh macam-macam.”
Mereka semua tertawa kecil, menyadari bahwa meski serius melawan Kepala Desa, mereka tetap harus menjaga kehormatan dan tidak merusak hubungan dengan warga desa lainnya. Setelah beberapa menit berdiskusi, mereka sepakat untuk memulai dari langkah sederhana: mengamati kebun dan mempelajari jalur-jalur masuk. Mereka berencana untuk memulai observasi mereka keesokan harinya.
Hari itu dihabiskan dengan santai namun penuh kebersamaan. Sambil berdiskusi, Pak Jono menceritakan beberapa cerita lucu tentang masa mudanya, yang sukses membuat mereka semua tertawa terbahak-bahak. Cerita-cerita Pak Jono selalu kocak dan menghibur, meskipun terkadang tidak jelas ujungnya.
Setelah sesi cerita, Yuni dan Boni berjalan-jalan mengelilingi kebun durian, menikmati suasana dan sesekali membicarakan rencana mereka. Sambil melihat pohon-pohon durian yang rimbun, Boni merasa ada ikatan kuat antara dirinya dan desa ini. Tidak hanya karena kenangan masa kecil, tapi juga karena desa ini adalah tempat yang membentuk siapa dirinya sekarang.
“Boni, kamu tahu enggak, dulu aku sering berharap kamu bakal balik ke desa. Rasanya sepi kalau enggak ada kamu,” kata Yuni pelan sambil melangkah di sampingnya.
Boni tersenyum mendengar pengakuan Yuni. “Aku juga sering ingat kamu, Yun. Meskipun di kota aku sibuk, rasanya ada yang selalu kurang. Sekarang aku tahu, ternyata yang kurang itu adalah desa ini... dan kamu.”
Yuni tersipu malu, tapi tidak menolak tatapan lembut Boni. Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati keheningan yang nyaman. Langit di atas mereka semakin cerah, burung-burung berkicau, dan angin berhembus lembut di sekitar kebun durian.
Setelah sore mulai menjelang, mereka semua berkumpul lagi di tikar untuk mengakhiri pertemuan mereka hari itu. Sambil meneguk air kelapa yang dibawakan Mamat, mereka saling bercanda dan tertawa, merasakan kebahagiaan yang sederhana tapi begitu bermakna.
“Kalian sadar enggak sih, kita ini kelihatan seperti geng anak-anak kampung yang enggak ada kerjanya?” Budi bergurau sambil tertawa.
Pak Jono tertawa sambil menepuk pundak Budi. “Ya, Bud. Tapi kalau bukan kita yang menjaga desa ini, siapa lagi?”
Dengan senyuman dan rasa kebersamaan yang hangat, mereka sepakat untuk bertemu lagi esok hari dan melanjutkan misi mereka. Hari itu ditutup dengan perasaan damai di hati masing-masing. Meskipun mereka hanya sekumpulan warga desa yang sederhana, namun ikatan mereka kuat, didorong oleh rasa cinta pada kampung halaman dan semangat untuk melindunginya.
Boni berjalan pulang bersama Yuni, mengobrol ringan tentang masa-masa kecil mereka. Ia sadar, bukan hanya perjuangan melawan Kepala Desa yang membuatnya bersemangat, tapi juga kebersamaan dengan teman-temannya, terutama Yuni. Di sepanjang jalan, mereka tertawa dan bercanda, menikmati momen-momen kecil yang seolah-olah melengkapi potongan-potongan kenangan lama mereka.
Malam itu, Boni merasa hatinya penuh. Tidak hanya karena rencana mereka, tapi juga karena ikatan yang semakin erat dengan teman-temannya. Di desa kecil ini, di tengah kebun durian yang sederhana, ia merasa menemukan kebahagiaan yang selama ini dicari.
Pagi-pagi sekali, Boni terbangun dengan semangat baru. Suara ayam berkokok dari kandang belakang rumahnya seolah menjadi tanda bahwa hari ini adalah awal dari petualangan kecil mereka sebagai Tim Pengawal Duren. Ia menyusuri koridor rumahnya, menghirup aroma wangi nasi goreng yang dimasak ibunya. Boni duduk di meja makan sambil tersenyum.
Ibunya menyodorkan sepiring nasi goreng yang masih mengepul hangat. “Sarapan yang banyak ya, Nak. Hari ini pasti sibuk.”
Boni tertawa kecil. “Iya, Bu. Hari ini kami mau mulai patroli pertama di kebun durian.”
Setelah sarapan, Boni berpamitan kepada ibunya dan bergegas menuju kebun durian, tempat mereka berkumpul setiap pagi. Sesampainya di sana, ia melihat Yuni sedang duduk di atas akar pohon yang besar, menggoyang-goyangkan kakinya sambil menunggu. Wajahnya tampak ceria, seperti biasa, dengan rambutnya yang diikat ke belakang.
“Pagi, Boni!” sapa Yuni sambil melambaikan tangan.
“Pagi, Yuni! Kamu duluan, nih?” Boni balas menyapa sambil tersenyum.
“Iya, aku terlalu bersemangat buat jaga kebun durian kita!” jawab Yuni sambil tertawa kecil.
Tak lama, Budi muncul dengan seikat bambu kecil di tangannya. “Nih, aku bawa bambu buat jebakan sederhana. Rencananya, kita pasang di sepanjang jalan setapak di kebun.”
Yuni memandang bambu itu dengan heran. “Kamu yakin itu bakal berhasil, Bud? Jangan-jangan nanti malah kamu sendiri yang kena jebakan itu!”
Budi terkekeh, “Tenang aja, Yun. Aku udah atur semuanya. Ini cuma buat latihan, kok!”
Sambil menunggu Pak Jono dan Mamat yang sedikit terlambat, mereka bertiga mulai mengobrol dengan santai. Boni menceritakan pengalamannya merantau di kota, bagaimana ia kangen suasana desa yang tenang, dan bagaimana akhirnya ia memutuskan untuk pulang. Yuni dan Budi mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menyela dengan candaan.
Tak lama, Pak Jono dan Mamat datang dengan membawa beberapa peralatan sederhana. Pak Jono membawa alat ukir kecil, sementara Mamat membawa tali tambang yang sudah diikatkan beberapa daun kering.
“Maaf telat, tadi ada ayam yang nyelonong ke kebun tetangga,” kata Pak Jono sambil menghela napas.
Mamat menimpali sambil tertawa, “Ayam Pak Jono tuh suka cari perhatian, Pak! Mau ikutan tim Pengawal Duren mungkin.”
Mereka semua tertawa mendengar candaan Mamat. Setelah suasana kembali tenang, mereka pun mulai membahas rencana patroli pertama mereka di kebun durian.
“Kita mulai dari bagian barat dulu,” ujar Boni sambil menunjuk peta kebun yang sederhana. “Di sana paling banyak pohon durian yang sedang berbuah. Kita cek jalur-jalur masuknya dan lihat apakah ada tanda-tanda orang asing yang masuk.”
Budi dengan penuh semangat mengeluarkan seikat bambu yang dibawanya tadi. “Aku mau pasang jebakan di jalur masuk utama. Nanti kalau ada yang lewat, jebakan ini bakal berbunyi. Kita bisa langsung tahu kalau ada yang mencoba masuk.”
Pak Jono yang bijak mengangguk. “Ide yang bagus, Bud. Tapi hati-hati, jangan sampai ada warga yang kena jebakan kita. Kita nggak mau bikin ribut sama orang desa.”
Boni, Yuni, dan Budi pun berjalan ke arah barat kebun durian, dengan Pak Jono dan Mamat mengikuti di belakang. Sepanjang jalan, mereka bercanda dan sesekali berhenti untuk memperhatikan sekitar. Matahari semakin tinggi, sinarnya menyusup di antara dedaunan, menciptakan bayangan-bayangan di tanah yang menambah suasana kebun durian yang damai.
Sesampainya di titik yang ditentukan, mereka mulai bekerja. Budi memasang jebakan sederhana dari bambu yang diberi tali, sementara Mamat memanjat pohon tinggi untuk mengawasi keadaan. Yuni dan Pak Jono berjaga-jaga di sekitar, memastikan tidak ada yang melihat aktivitas mereka.
Saat Budi sedang sibuk memasang jebakan, ia tak sengaja menarik tali terlalu keras hingga bambunya terlepas dan mengenai kakinya sendiri. “Aduh!” seru Budi sambil meloncat kesakitan.
Yuni tertawa kecil, “Kataku juga apa, Bud! Kamu sendiri yang kena jebakanmu!”
Budi tertawa malu. “Ah, sial! Tapi ini cuma kejadian sekali aja kok. Nanti kalau Kepala Desa atau orang-orangnya datang, pasti mereka yang kena.”
Setelah semua jebakan terpasang, mereka duduk beristirahat di bawah pohon durian. Pak Jono mengeluarkan termos berisi teh hangat, dan mereka minum bersama sambil menikmati suasana alam yang tenang.
“Kadang aku berpikir, kampung kita ini benar-benar tempat yang indah,” kata Yuni sambil menatap jauh ke arah pepohonan yang hijau. “Sayang sekali kalau nanti jadi kebun sawit.”
Pak Jono mengangguk pelan. “Itulah sebabnya kita harus melindungi desa ini. Kebun durian ini bukan cuma soal mata pencaharian, tapi juga soal warisan yang harus kita jaga.”
Boni terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Pak Jono. Ia semakin yakin bahwa apa yang mereka lakukan ini bukan sekadar perjuangan melawan Kepala Desa yang serakah, tapi juga perjuangan untuk menjaga warisan dan kenangan masa kecil mereka.
Setelah istirahat, mereka melanjutkan patroli ke bagian lain kebun. Sepanjang jalan, mereka berbagi cerita, dari cerita lucu masa kecil hingga rencana-rencana kecil yang ingin mereka lakukan di desa. Mamat bercerita tentang mimpinya membuka warung kelontong, sementara Yuni bercerita tentang keinginannya mengembangkan pariwisata kebun durian.
Setelah hampir seharian berkeliling kebun, mereka akhirnya kembali ke titik awal. Jebakan sudah terpasang, dan mereka semua merasa lega telah menjalankan langkah pertama dari misi mereka.
Sebelum berpisah, Boni mengajak teman-temannya untuk berkumpul kembali di rumahnya malam itu. Mereka semua setuju, terutama setelah Boni mengatakan ibunya akan membuatkan kue pisang favorit mereka. Masing-masing pulang ke rumah mereka dengan hati yang hangat, merasa bahwa ikatan persahabatan mereka semakin erat.
Malam harinya, seperti yang dijanjikan, mereka berkumpul di rumah Boni. Ibunya menyajikan kue pisang yang harum, dan mereka semua duduk melingkar di ruang tamu, menikmati makanan dan mengobrol dengan santai.
“Ini baru namanya kehidupan,” kata Mamat sambil menggigit kue pisangnya. “Kumpul bareng teman-teman, makan enak, dan nggak perlu mikirin masalah berat.”
Pak Jono tertawa. “Tapi, jangan lupa juga dengan misi kita. Kita masih harus melindungi kebun durian dari Kepala Desa.”
Yuni mengangguk. “Iya, Pak Jono benar. Tapi aku yakin, selama kita bersatu, kita pasti bisa menjaga desa ini.”
Boni merasakan kehangatan di hatinya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan sebenarnya bukan hanya soal materi atau pencapaian besar, tapi juga soal kebersamaan dan rasa saling peduli. Malam itu, mereka berbincang hingga larut, membicarakan rencana-rencana mereka, saling bercanda, dan mengenang masa-masa indah yang mereka lalui bersama.
Sebelum berpisah, mereka semua saling berjanji untuk tetap bersama dan melindungi desa mereka, apa pun yang terjadi. Dan dengan hati yang penuh semangat dan tekad, mereka pulang ke rumah masing-masing, siap menyambut tantangan berikutnya.
Hari itu diakhiri dengan perasaan damai dan keyakinan bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai. Tim Pengawal Duren resmi beraksi, dengan hati yang siap melindungi kampung halaman mereka dari ancaman siapa pun yang berusaha merusaknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!