Pukul delapan pagi, udara Desa Duren sudah bergolak. Berita soal IUPKS dan tekanan Kepala Desa tergurat di bibir setiap orang. Di balik kepulan asap tungku pagi, obrolan tentang “sawit” melebar dari warung kopi hingga di depan rumah panggung. Tapi pagi ini, panggilan paling penting adalah rapat warga yang dijadwalkan di balai desa—titik di mana suara kami diuji, harapan kami diuji, dan keberanian kami diuji.
Aku tiba di balai desa bersama Yuni dan kakek. Balai desa dengan bangunan kayu sederhana dengan tiang penyangga yang sudah agak lapuk, ujung-ujung papan lantainya yang menguatkan kokok ayam di pagi buta kini gemetar menahan langkah puluhan warga yang berkumpul. Kursi lipat berjejer melingkar, meninggalkan ruang kosong di tengah sebagai tempat ketua RT dan panitia menaruh meja kayu panjang. Di atas meja itu terhampar beberapa tumpukan kertas dengan surat edaran, salinan sertifikat tanah dan beberapa berkas yang akan menjadi bahan diskusi.
Warga berdatangan satu per satu diantaranya ada Pak Boy si petani durian dengan baju lengan panjang yang masih dipenuhi noda tanah, Ibu Sari penjual jajanan pasar membawa kantong plastik berisi bungkusan kue lapis, para remaja yang biasanya riuh bercanda kini diam menatap serius dan tak ketinggalan Anton dan Ilham sahabatku tengah berdiri di sudut, mempersiapkan laptop untuk presentasi data. Suasana tertahan, seolah semua orang menunggu detik dari ledakan pertama.
Ketua RT, Pak Wira, memasuki balai dengan langkah mantap. Janggut putihnya berkibar ringan, matanya menatap kami satu per satu dengan penuh hormat. “Assalamualaikum, Warga Desa Duren.” sapanya. Suara lembutnya bergema di lantai berkayu. “Waalaikumsalam.” jawab warga serempak.
“Terima kasih sudah datang tepat waktu,” lanjutnya. “Hari ini kita berkumpul untuk membahas nasib kebun durian kita. Ada banyak isu mengenai izin sawit, IUPKS, tekanan kepala desa dan yang terpenting langkah kita selanjutnya.”
Sorotan matanya beralih padaku dan Yuni, yang duduk di barisan depan. Kupeluk jemari Yuni di selipan kursi, memberi isyarat tenang. Di pojok balai, Rafi menyibak kabel ke proyektor, memeriksa koneksi, sedangkan Sari menyiapkan kue lapis di meja kecil untuk memberi kekuatan jika diskusi berlangsung lama.
Pak Wira membuka berkas pertama yaitu salinan surat edaran resmi tentang penundaan sementara IUPKS yang menjadi hasil rapat kecamatan dua hari lalu. Ia memaparkan secara singkat bahwa izin perlu verifikasi lapangan, bahwa sosialisasi lanjutan ditunda dan bahwa rapat desa terbuka akan digelar dua minggu lagi. Warga mengangguk, namun kebanyakan masih tampak khawatir.
“Meski begitu.” sambung Pak Wira, “Izin awal sudah terbit. Perusahaan kontraktor sudah diminta stand by. Jika kita lalai, truk alat berat bisa segera masuk.”
Degup jantungku kencang. Itulah inti dari semua kekhawatiran kami mengenai waktu akan berpihak pada kekuatan modal, bukan pada suara desa.
“Boni?” kata Pak Wira. Ia menoleh padaku, memberi kesempatan. Aku berdiri, melangkah ke meja kayu panjang, dan menyalakan proyektor. Layar putih di dinding retak halus, menunggu data yang akan diproyeksikan.
“Warga Desa Duren.” kataku, menata nafas. “Berdasarkan data awal yang disusun tim Pengawal Duren, total luas kebun durian adalah 150 hektar. Jika izin 200 hektar diberlakukan, minimal 50 hektar atau sepertiga kebun kita akan hilang tanpa persetujuan langsung dan itu berarti hilangnya penghasilan setara 100 ton durian per musim, dengan nilai ekonomi mencapai miliaran rupiah.”
Di layar muncul peta satelit, menampilkan garis batas kebun durian yang ditandai garis tebal berwarna hijau dan garis batas izin 200 hektar yang ditarik perusahaan sawit yang ditandai garis merah menakutkan. Warga terpaku dan menatap peta dengan mata terbelalak.
Aku melanjutkan. “Selain nilai ekonomi, dampak ekologis juga tak bisa diabaikan. Perluasan lahan sawit akan meningkatkan kebutuhan air hingga dua kali lipat, mengancam saluran irigasi kami. Erosi tanah pun akan meningkat karena struktur akar sawit yang tidak serapat pohon durian.”
Sementara aku berbicara, beberapa warga sibuk mencatat. Yuni berdiri di sampingku, sesekali menambahkan catatan penting. “Berita soal erosi ini sudah disampaikan oleh Dinas Lingkungan Hidup, kami akan lampirkan hasil uji coba di kebun sebagai percontohan.” ucapnya. Poin-poin ini menambahkan bobot argumen saya.
Ketua RT mengangguk. “Baik! Data ini harus kita jadikan dasar tuntutan kita di rapat desa terbuka nanti. Tapi bagaimana dengan langkah praktis selanjutnya hari ini?”
Aku menoleh ke Rafi. “Rafi?”
Rafi mengangkat jari, lalu bicara, “Saya sudah siapkan surat petisi online untuk dukungan publik secara digital. Nanti link-nya dapat kita sebarkan lewat grup WhatsApp dan media sosial. Jika kita dapat 10.000 tanda tangan dukungan, ini akan jadi tekanan besar bagi pemerintah daerah.”
Sorakan kecil bermunculan. Warga sepuh sempat bingung dengan istilah digital, tapi anak muda menjelaskan dengan antusias. “Ini seperti petisi raksasa di internet yang memaksa pejabat untukmelihat data dan mendengar tuntutan kita.”
Ibu Sari melongokkan kepalanya: “Itu bagus, tapi bagaimana untuk warga yang tak paham internet?”
Aku mengangguk, lalu melirik Yuni. “Kita juga akan siapkan kolom tanda tangan fisik. Rambu-rambu posko Pengawal Duren hari ini akan kita pasang di depan rumah-rumah setiap RT. Setiap warga bisa tandatangani dukungan secara langsung.”
Muncul riuh tanya jawab dengan semua warga tampak bersemangat, mencetuskan gagasan memprotes spanduk IUPKS yang dipasang semalam dan memasang poster ajakan di warung kopi. Namun tiba-tiba, suasana berubah.
Di sudut balai terlihat Pak Harun, ketua karang taruna, menutup wajahnya dengan tangan dan terisak pelan. Tangan kanannya tertekuk di atas meja dan ada pola merah menonjol di lengan bajunya.
“Pak Harun?” panggil ketua RT terkejut. Seisi balai menoleh.
Pak Wira kemudian melangkah menghampiri, menepuk punggung Pak Harun. “Pak Harun, apakah Anda baik-baik saja?”
Pak Harun menggigil, matanya memerah. “Saya… saya pingsan… kepala saya berdarah…”
Warga mendekat, berdesakan dengan wajah penuh cemas. Aku dan Yuni segera turun dari podium, menghampiri Pak Harun. Lengan kemejanya terkoyak sedikit, kain putihnya memerah oleh tetesan darah yang mulai mengalir.
Sari bergegas menuju kotak P3K, mengatur bantuan pertama. Melihat ini, beberapa warga pria maju membantu menopang Pak Harun agar ia tidak terjatuh. Jeritan Ibu-ibu bercampur doa mengalun di udara. Ketua RT membunyikan terompet darurat sebagai tanda kode untuk evakuasi atau permintaan bantuan medis lebih lanjut.
Aku menunduk ke wajah Pak Harun. “Apa yang terjadi, Pak?” tanyaku dengan lembut.
Pak Harun terisak dengan napas terengah-engah. “Saya… saya diintimidasi… oleh orang tak dikenal… malam tadi, saat saya pulang dari patroli… di kebun samping balai…”
Isakannya terputus oleh keringat dingin yang meleleh. Warga ramai bertanya, ada yang berbisik bahwa mungkin itu pesan dari Kepala Desa. Suasana berubah menjadi gelap, ketika data dan semangat perlawanan baru saja membuncah, rintangan nyata tiba-tiba datang membuktikan bahwa mereka mau tak mau ingin menakut-nakuti kami agar diam.
Aku menggenggam tangan Pak Harun, melihat luka sobek kecil di pelipisnya, mungkin bekas pukulan kayu. “Tenang, Pak! Kita akan panggil ambulan dan laporkan ini ke polisi.” kataku. Anton dan Ilham menghubungi posko kesehatan Manggar untuk kirim tim medis.
Suasana semula penuh antusiasme kini berubah hening. Beberapa warga menunduk, merasa takut, mencari-cari alasan untuk pulang. Aku tahu momen ini menentukan, apakah desa kami akan mundur karena intimidasi atau justru bersatu lebih kuat?
Kupatokkan pandang ke Yuni. Ia mencondongkan tubuhnya, menatapku dengan tekad. Aku menelan ludah, lalu mengangkat suara. “Warga Desa Duren!” Sekali permintaan itu, balai bergema sunyi. “Ingat, bahwa ini bukan sekadar soal perizinan. Ini soal hak kita mempertahankan warisan dan keselamatan keluarga kita. Jika mereka menggunakan kekerasan untuk mengancam, kita akan hadapi bersama dengan menggunakan data, hukum dan solidaritas.”
Sekejap, tatapan warga berubah dari rasa takut menjadi semangat yang membara. Ibu-ibu yang tadinya menutup wajah kini merapat, saling menepuk bahu. Anak-anak remaja yang terdiam tiba-tiba mengangkat poster “Tolak Sawit” dan yel-yel “Pengawal Duren!”
Ketua RT mengangguk bangga, lalu membunyikan bel kayu sekali sebagai tanda memulai kembali rapat. Anton mengetik cepat di laptop, memproyeksikan slide baru. “Laporan Intimidasi: Kasus Pak Harun”. Di slide itu tertulis kronologi, foto luka, dan nomor polisi daerah sebagai langkah awal penanganan.
Rafi menambahkan. “Kita akan laporkan ke Polres, minta perlindungan hukum. Kita juga akan laporkan secara formal ke Ombudsman jika perlu. Buku tamu kita akan mencatat korban intimidasi, siapa pun yang mengalami hal serupa.”
Sari menahan ember berisi kue lapis di satu tangan, ponsel di tangan lain mengambil foto dokumentasi untuk bukti. Suara rekaman mulai direkam oleh Anton, menambah bukti digital atas intimidasi ini.
Rapat dilanjutkan, kali ini dengan agenda percepatan pembentukan tim keamanan internal, ada kelompok warga yang secara bergiliran berjaga di sekitar balai desa dan ada juga yang berjaga di kebun durian sepanjang malam. Mereka akan berseragam rompi kuning dengan tulisan “Pengawal Duren” di punggung, sebagai tanda kepada siapapun bahwa desa ini bersatu.
Yuni memimpin sesi terakhir. “Kita juga perlu edukasi warga tentang hak-hak hukum mereka. Besok, kita adakan lokakarya singkat di posko tentang cara melapor, hak untuk bebas dari intimidasi dan kontak penting polisi.”
Satu per satu poin disepakati:
Mengumpulkan dukungan fisik dan online sebagai sebuah petisi, tandatangan dan posting di media sosial.
Pelaporan intimidasi—kasus Pak Harun akan menjadi pintu masuk untuk perlindungan hukum bagi desa.
Pembentukan tim keamanan internal—jaga dapur umum, patroli malam dan posko siaga.
Edukasi warga—lokakarya hak hukum, kontak polisi dan protokol darurat.
Ketua RT menutup rapat dengan doa singkat. Suara serak membacakan ayat berisi permohonan perlindungan, diikuti isak tangis haru dan tepuk tangan kecil yang menandai bahwa Desa Duren bangkit kembali, tak gentar oleh kekerasan.
Ketika rapat berakhir, aku dan Yuni membantu menenangkan Pak Harun, memastikan ia diantar pulang dan dirawat medis. Beberapa warga lain menempelkan poster “Berani Laporkan” di dinding balai di salah satu jaring pengaman psikologis.
Di teras balai, aku menarik Yuni. “Hari ini kita diuji.” kataku, menatap matanya. “Tapi kita telah melewatinya bersama.”
Yuni mengangguk mantap. “Kita akan terus maju, Boni. Intimidasi mereka justru membuktikan bahwa kita benar.”
Aku menarik napas, menyerap semangat yang berkobar di depan balai. “Pengawal Duren tak akan pernah diam.” tegasku. “Ini baru awal.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Kardi Kardi
wahhh. good worksss/Determined/
2025-02-25
1