Pagi ini Meira berjalan di koridor sekolah dengan senyum yang tidak pernah pudar dari wajah manisnya. Sesekali cewek itu menyapa siswa yang melihatnya.
"Aku seneng banget akhirnya bisa deket sama temen-temen Kak Alka, pasti gak lama lagi aku deket juga sama Kak Alka," batinnya senang.
"Eittss stop!" Meira tersentak untuk beberapa saat sebelum mencebikkan bibir kesal.
"Ih, Dita, Bella! Aku kira siapa tau!" kesalnya.
"Emang lo kira siapa?" tanya Bella dengan mengulum senyum.
Meira tampak tersenyum malu-malu lalu menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.
"Aku kira Kak Alka, hehe."
Dita dan Bella sontak tertawa kecil melihat tingkah Meira.
"Mei, Mei, ada-ada aja lo," kekeh Dita.
"Ketularan virus mematikan Kak Alka nih, anak," timpal Bella tertawa.
Meira menatap bingung pada Bella.
"Kak Alka punya virus, Bell? Yang bener?!" pekiknya, panik.
Dita dan Bella serempak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Bukan gitu Meira yang cantik, tapi cantikan gue...." Dita mengatupkan bibir gemas.
"Yah, terus gimana dong Dita yang cantiknya gak seberapa?"
"Ck. Udah, deh. Mending kita ke kelas, daripada di sini diliatin banyak orang," selah Bella mengajak.
"Tapi Kak Alka beneran gak punya virus kan, Bella?"
Bella memutar bola matanya malas, lalu merangkul Meira di sebelah kanan dan Dita sebelah kiri.
"Iya Mei ku sayang, gak ada, kok, virusnya Kak Alka," jawab Bella, mulai jengah.
"Alhamdulillah," gumam Meira seraya mengelus dada.
Ketiga gadis itu pun berjalan menuju kelas mereka, XI IPA 2. Ketiganya asik bercanda ria sepanjang koridor, tidak jarang mereka saling mengejar atau saling memukul pelan jika tertawa.
Hingga suatu keributan membuat langkah mereka terhenti.
"Itu apa, yah Bel, Ta? Kok ribut gitu?" tanya Meira, bingung. Berbeda dengan Bella dan Dita yang biasa-biasa saja karena menurutnya ini sudah biasa.
"Oh, itu paling anak The Lion yang datang," jawab Bella yang diangguki Dita.
Meira melepas rangkulan mereka. "Anak The Lion?" Meira menatap Bella dan Dita bergantian dan keduanya mengangguk.
Dengan cepat Meira berlari ke sumber keributan. Dia sangat penasaran dengan keributan itu.
"Eh, Mei mau kemana?!" teriak Dita.
"Mau ke depan!!"
Dita dan Bella pun mengikuti Meira, jujur saja mereka tidak ingin melewatkan kesempatan untuk melihat anak The Lion yang selalu datang bersama setiap pagi. Walaupun hal ini adalah hal yang biasa terjadi.
Sampainya di depan, Meira dibuat terpaku. Di sana semua anak The Lion datang bersamaan dengan motor sport ninja sebagian dan harley sebagian. Rombongan itu dipimpin oleh motor sport merah yang Meira yakini adalah milik Alka.
Semua siswi-siswi yang menyaksikan anugrah itu memekik histeris, bahkan ada yang membuat snap untuk instagramnya.
Meira semakin takjub saat Alka membuka helm full face-nya. Cowok itu terlihat mengacak-acak rambutnya setelah melepas helm lalu turun dari motor diikuti oleh Bagus, Devan dan beberapa anak The Lion inti.
Alka dan The Lion berjalan ke arah Meira hingga membuat jantung gadis itu seperti ingin jatuh dari tempatnya. Meira tersenyum lebar melihat Alka dan The Lion semakin dekat dengannya.
"Aduuuh... Kak Alka mau nyamperin aku, yak? Kok jalan kesini, sih?" batinnya bersorak.
"Alka emang gak diraguin lagi kalo masalah tampang," puji Bella, menggeleng tak percaya dengan pandangan lurus ke arah cowok-cowok ganteng itu.
"Bukan cuma Alka, tapi anak The Lion lainnya juga ganteng," timpal Dita dengan ekspresi takjub.
Harapan Meira bahwa Alka akan menghampirinya sirna begitu saja, saat cowok itu hanya melewatinya tanpa sepata kata.
"Lo geer, yah, Alka bakal nyamperin lo?" bisik Bagus di samping Meira sambil terkekeh.
Meira memberenggut kesal lalu berbalik menatap punggung Alka yang semakin menjauh. Satu hal yang dilupakan Meira. Yaitu tangga untuk naik ke lantai 3 dimana kelas XII berada, memang harus melewati koridor menuju kelasnya terlebih dahulu.
####
"Gak ada rencana hari ini, Al?" tanya Bagus yang dibalas dengan angkatan bahu Alka.
Saat ini anak The Lion berada di kantin belakang sekolah. Tempat yang pernah Meira datangi dulu. Beberapa anggota tampak asik dengan kegiatan masing-masing. Ada yang bermain game bersama, makan bersama, merokok bersama, dan ada yang sibuk menonton di ponselnya, entah apa yang mereka tonton.
"Hari ini gue bakal balik ke rumah," ucap Alka dengan pejaman matanya, kepalanya bersandar di kursi kayu itu.
"Lo serius mau balik ke sana?" tanya Devan dan menghentikan bermain game-nya.
"Hm."
"Lo yakin kejadian itu gak muncul lagi pas lo datang kesana?" tanya Bagus menambahi.
Alka menghela nafas berat. Bagaimana pun ada kejadian kelam yang pernah dia rasakan di rumah itu hingga membuatnya sedikit trauma.
"Gue gak bisa lari dari masalah terus."
"Tapi kalo lo kenapa-napa gimana, Al?" Bagus begitu khawatir dengan keadaan Alka jika berada dirumah terkutuk itu.
"Tenang aja, gue pasti baik, kok."
Devan dan Bagus sama-sama menghela nafas lalu menyandarkan kepalanya di sandaran kursi kayu tersebut. Seperti Alka.
Terjadi keheningan diantara mereka bertiga, semuanya sibuk dengan fikiran masing-masing. Hingga tak lama kemudian Devan membuka suara memecah keheningan.
"Gimana keadaan Tante Soraya?"
"Gak baik," jawab Alka singkat, namun tersirat kesedihan di dalam kalimat itu.
"Boleh kita jenguk?" tanya Bagus. Sedikit melirik pada Alka yang memejam.
"Hm."
"Ok, nanti gue sama anak-anak lainnya jengukin nyokap lo."
Alka mengangguki ucapan Devan lalu bangkit dari duduknya hingga membuat kedua temannya ikut berdiri menatap dirinya.
"Mau kemana?" tanya Devan, bingung.
"Rumah Papa."
Setelah mengatakan itu, Alka mengambil jaket kulit hitamnya lalu pergi begitu saja meninggalkan Bagus dan Devan.
"Padahal masih jam belajar loh, ini," gumam Bagus yang dapat di dengar oleh Devan. Devan memutar bola matanya malas.
"Itu Alka kalo lo lupa!"
Bagus terkekeh lalu ikut bergabung dengan teman lainnya begitupun dengan Devan.
####
Langkah lebar kaki panjang itu mengayun cepat di koridor sekolah yang sepi. Matanya menatap tajam ke depan, rambutnya yang hitam sedikit terbawa angin kecil.
"Kak Alka?!" teriak seseorang dari kejauhan.
Alka menghela nafas jengah. Dia tahu betul siapa pemilik suara itu. Merasa tidak penting, Alka pun tetap berjalan menghiraukan panggilan tersebut.
"Kak Alka?! Kakak mau kemana?!" cewek itu lari mengejar Alka yang sudah ada di ujung koridor.
"Ih, Kak Alka kalo dipanggil itu berhenti dong!!" cewek itu mencekal lengan Alka, hingga akhirnya Alka berbalik menatapnya tajam.
Alka menghempaskan tangan Meira dengan kasar. Cewek itu meringis sakit.
"Ish, Kak Alka sakit tau!" Alka hanya diam melihat wajah cemberut Meira.
"Mau apa lo?" tanya Alka rendah, namun terdengar tajam.
"Meira mau balikin ini!" Meira menyodorkan sebuah paperbag kepada Alka. Tidak lupa pula dengan senyum ceria khasnya.
"Ini apa?" tanya Alka melirik sekilas paperbag itu.
"Jaket Kak Alka sama kemeja yang waktu itu dipinjemin Kak Alka ke Mei."
"Kasi Bagus atau Devan!" Alka berbalik lalu melanjutkan langkahnya, waktunya sudah terbuang sia-sia cuma karena Meira.
"Tapi kan ini punya Kak Al-"
"LO DENGER GAK, SIH, YANG GUE BILANG?!" Meira tersentak, kakinya yang tadi bergerak mengejar Alka tiba-tiba berhenti saat mendengar bentakan Alka. Wajah cowok itu memerah menatap Meira penuh amarah.
"K-kak Al-" mata Meira memanas, hatinya sakit mendengar bentakan Alka. Seumur hidup Meira tidak pernah dibentak oleh siapapun.
"Pergi!" Meira menggeleng, ia tetap memberanikan diri menatap mata Alka, walaupun tatapan itu begitu tajam menghunusnya.
"Aku cum--"
"PERGI GUE BILANG!!" bentak Alka sekali lagi.
Meira refleks mundur satu langkah saat mendengar bentakan Alka kembali. Cewek itu mengangguk lemah lalu kemudian berbalik dan berlari ke kelasnya, air matanya ia seka dengan kasar saat cairan itu lolos begitu saja.
Alka menghela nafas berat. Sekarang ini perasaannya campur aduk dan Meira datang membuatnya semakin pusing hingga akhirnya diluar kendali.
Alka memakai helm full face-nya lalu pergi meninggalkan sekolah dengan mengendarai motor sport merahnya. Dengan gesit motornya menyalip kendaraan lain yang dia anggap sebagai penghalang jalan.
Dua puluh menit kemudian Alka sampai di depan sebuah rumah mewah berwarna putih bersih yang tidak lain adalah rumah Papanya sendiri.
Motornya masuk melewati gerbang begitu saja saat gerbang tersebut telah dibuka oleh Satpam yang berjaga. Alka melepas helm full face-nya.
"Tiga tahun gue gak injak rumah ini. Ternyata banyak yang berubah." Alka tersenyum miring lalu turun dari motor.
Kakinya mengayun ke arah pintu masuk rumah itu. Tanpa mengetok pintu dia langsung masuk dan pandangannya jatuh pada wanita setengah baya yang duduk dengan santai meminum juice di sofa.
Wanita itu mendongak saat menyadari dirinya. Lantas senyum tidak terbaca terukir di bibir berwarna merah itu.
"Oh, Alka? Apa kabar boy?" Alka tersenyum sinis saat wanita setengah baya itu menyadari keberadaannya.
"Gimana kabar kamu setelah tiga tahun pergi dari rumah ini?" Wanita itu menyimpan juice-nya lalu berdiri menghampiri Alka.
"Sangat baik," jawab Alka, datar.
Menenggelamkan kedua tangan pada saku celana abu-abunya.
Wanita itu terkekeh, namun terdengar seperti ejekan.
"Tentu sangat baik. Bukannya rumah ini neraka bagi kamu?" dia menyeringai kecil.
Rahang Alka mengeras, namun dia harus bisa menahan emosinya saat ini. Dia tidak boleh melupakan tujuan awalnya.
"Saya tidak ada kepentingan dengan Anda Nyonya Megan Mahardika." setelahnya Alka pergi tanpa memperdulikan tawa wanita itu.
Cowok itu menapaki tangga dengan langkah tenang. Tujuannya adalah pintu coklat yang ada di ujung sana.
Tok! Tok!
"Masuk."
Tangan Alka bergerak membuka knop pintu saat mendengar suara bariton dari dalam pintu tersebut.
"Alka?" seru pria setengah baya— Papa Alka—saat melihat anaknya.
Alka menunduk hormat pada Papanya. Pria itu beranjak dari kursi kebesarannya lalu memeluk anaknya yang sudah 3 tahun ini mengasingkan diri darinya.
"Gimana kabar kamu, Nak?" pria itu tersenyum haru lalu menepuk punggung Alka dua kali.
Alka tersenyum tipis.
"Baik, Pa. Papa gimana?" pria itu mengangguk lalu melepas pelukannya.
"Papa juga baik. Kamu sekarang lebih tinggi, yah? Papa kangen sama anak bandel Papa ini!" pria itu terkekeh diikuti oleh Alka.
"Masih sering berantem dengan adik kamu itu?"
Tiba-tiba raut muka Alka berubah menjadi datar. "Dia bukan adik aku, Pa!" Hadi mengelus pundak Alka saat di rasa dia telah salah bicara.
Alka menghembuskan nafas pelan lalu mulai menatap serius pada Papanya.
Papa Alka yang merasa aneh dengan tatapan Alka pun langsung bertanya.
"Kenapa, Nak? Kok, natap Papa seperti itu?"
Alka menghela nafas berat, terlalu sakit rasanya untuk mengucapkan kalimat itu. Namun bagaimana pun dia harus memberi tahu Papanya.
"Mama menderita penyakit kanker rahim stadium akhir."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Andi Irmayanti
suka sama meira
2023-07-17
0
Imam Sutoto Suro
wooow amazing story thor lanjutkan seruuuu
2022-12-21
0
Novi Alvia
aku boom like per eps nya thor ceritamu bagus, tapi thor imaninasiku soal meira karakternya mirip bgt sma dan oh di drakor extraordinary you hehe
2021-06-05
1