Senandung kecil keluar dari bibir cewek yang kini duduk di jok mobil depan. Kepalanya sesekali dianggukkan mengikuti lantunan musik. Tiba-tiba saja senandung dan anggukan kepalanya terhenti, digantikan dengan mata sedikit membulat saat sekawanan motor ninja sport dan harley melewati mobilnya. Kernyitan di jidat cewek itu begitu kentara. Malam yang begitu gelap membuatnya tidak bisa mengenali orang-orang itu.
Bertepatan dengan lampu merah, mobilnya berhenti di dekat salah satu cowok bermotor ninja hijau dengan helm full face hitam. Matanya bergerak meneliti di balik kaca hitam mobilnya. Tepat saat itu matanya jatuh pada jaket denim yang cowok itu kenakan. Kernyitan di jidatnya semakin kentara.
"Kok aku gak asing yah, sama jaket cowok itu?" batinnya bertanya. Belum sempat ia melihatnya kembali, lampu merah telah berganti menjadi hijau dan akhirnya sekumpulan motor itu pun pergi.
"Pak, kita ikutin geng motor itu, yah?" pintanya pada sopir pribadinya.
"Itu pasti Kak Alka dan temen-temennya, soalnya jaket itu mirip banget sama punya Kak Alka yang aku jemur di rumah," batinnya kembali bermonolog.
"Tapi Non, Mei. Ini batik buat butik Nyonya gimana?" Meira tampak berfikir, namun saat melihat sekumpulan motor itu sedikit jauh ia langsung mengambil keputusan.
"Kita ikutin aja dulu mereka, Pak. Kalo udah tau mereka kemana baru kita ke butik Mama."
Sopir itu pun mengangguk tanpa menanyakan mengapa Nona mudanya ini ingin mengikuti geng motor yang mungkin berbahaya itu.
Meira menatap keluar kaca saat sekumpulan geng motor itu berhenti tepat di depan sebuah gudang menyeramkan di mata Meira. Dia menoleh ke Pak Hendra—sopir pribadinya.
"Kita ke butik sekarang, Pak!"
"Iya, Non."
Mobil hitam itu meninggalkan gudang tersebut dengan otak Meira yang sibuk bertanya. Benarkah itu Alka?
Selang beberapa menit, Meira turun dari mobil saat telah sampai di depan sebuah butik mewah yang notabene adalah milik Mamanya sendiri.
"Assalamualikum, Mbak Salsa!" Meira berlari memeluk wanita berusia matang yang bernama Salsa, dan disambut baik dengan sang empu.
"Walaikumsalam, Mei, apa kabar?" tanya Mbak Salsa setelah melerai pelukan mereka.
"Mei baik kok, Mbak. Oh, iya. Ini batik yang udah Mama pesan dari Jogja, katanya kasih langsung ke Mbak Salsa." Meira menyerahkan sebuah bingkisan ke Mbak Salsa dan diterima baik oleh wanita itu.
"Makasih yah, Mei." Meira mengangguk dengan senyum cerianya.
"Oh, iya, Mbak, kalo gitu Mei pamit pergi, yah?"
"Loh, kok, cepat banget? Biasanya kamu suka lama-lama di sini." Mbak Salsa memasang wajah bertanya.
Meira menggaruk pipinya saat merasa tidak enak pada Mbak Salsa.
"Mei, sih, pengen lama-lama di sini, Mbak. Tapi Mei ada urusan yang urgent banget."
"Urusan apa, sih, kok, sampe gak tenang gitu?"
"Aduh... Mbak Salsa, kalo Mbak nanya terus bisa-bisa Mei gak jadi pergi, nih. Mei duluan yah, Mbak! Assalamualikum!"
"Walaikumsalam," balas Mbak Salsa pelan, sedikit aneh dengan anak sahabatnya itu.
####
"Kita ke tempat tadi yah, Pak!" serunya saat sudah duduk di kursi mobil.
"Loh, kok, kesana lagi, Non? Nanti kalo nyonya nyariin gimana?" Pak Hendra menoleh sekilas lalu menyalakan mesin mobil.
Meira menghela nafas seraya memasang sealbeat.
"Nanti biar Mei yang jelasin sama Mama, sekarang ayo, Pak, kita ke sana. Nanti telat lagi." Pak Hendra pun mengangguk pasrah.
####
Meira mengendap-endap di balik beberapa pepohonan di sekitar gudang itu. Beberapa menit kemudian matanya terbelalak saat melihat pertarungan di depannya. Badan Meira seolah kaku, ini pertama kalinya dia melihat adegan action secara live.
Mata Meira tambah membola saat melihat cowok yang masih ia ingat wajahnya. Bagus! Cowok itu begitu keren malam ini. Namun bukan itu yang mencuri perhatian Meira, melainkan cowok yang berdiri di samping Bagus dengan tampang dingin seraya bersedekap dada. Itu Alka. Yah, Meira tidak mungkin salah lihat.
Untuk beberapa menit Meira hanyut dalam kekagumannya saat melihat betapa kerennya Alka malam ini, walaupun dalam keadaan remang-remang sekalipun.
"Ketampanan Kak Alka emang gak manusiawi." batinnya kagum hingga detik berikutnya ia menggeleng. Ia tidak boleh melupakan tujuan awalnya saat ini. Yaitu memastikan apa yang akan mereka lakukan.
Selanjutnya, di penglihatan Meira beberapa cowok tumbang dengan serangan 5 orang cowok yang Meira yakini adalah teman Alka. Terbukti saat ke-5 cowok itu berjalan ke arah Alka.
Setelah itu, lagi-lagi Meira dibuat terbelalak dengan mulut terbuka saat melihat Alka dengan tanpa manusiawinya menginjak dada salah satu cowok tumbang itu. Diam-diam Meira meringis seolah merasakan sakit cowok tersebut.
"Kalo Meira ada di posisi cowok itu pasti Mei udah pingsan," gumamnya rendah.
Meira kembali melangkah pelan saat melihat Alka memasuki gudang itu. Meira menggigit kukunya bimbang, antara ingin masuk atau tetap di sini.
"Masuk gak, yah? Kalo aku masuk terus lewatin cowok yang pingsan itu dan mereka tiba-tiba bangun terus narik kaki aku kayak di film-film horor gimana, dong?" paniknya sendiri.
"Aku tunggu aja kali, yah?" Meira pun menghela nafas lalu mengangguk tegas.
"Ok, Meira! Kamu tetap tunggu di sini!" ucapnya pada dirinya sendiri.
Selang 30 menit tidak ada tanda-tanda Alka akan keluar dari gudang itu. Meira kembali menggigit kukunya sesekali menatap gudang tersebut. Cowok-cowok itu masih setia dengan pingsannya. Haruskah Meira masuk dan melihat apa yang terjadi di dalam sana?
"Bissmillahirrahmanirahim! Ya Allah, lindungi Meira yang imut ini, Aamiin."
Setelah mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, cewek itu pun memberanikan diri memasuki gudang tersebut dengan langkah sangat pelan. Bulu kuduk Meira tiba-tiba saja meremang saat melewati beberapa anak cowok tersebut. Meira meneguk kasar ludahnya lalu dengan cepat memasuki gudang. Namun belum sampai beberapa meter ke dalam, tubuhnya kembali dibuat membeku dengan apa yang ia lihat sekarang. Alka terlihat seperti Raja Iblis yang tidak berhati dengan musuhnya.
Seolah sadar akan posisinya yang mungkin saja terlihat oleh orang-orang itu, Meira dengan cepat bergerak ke samping, mengintip mereka di balik tembok usam.
Meira menutup mulutnya saat melihat musuh Alka berdarah serta beberapa orang lainnya. Devan dan Bagus pun tampak mengeluarkan darah. Meira memalingkan wajahnya saat Alka melayangkan tendangan ke wajah cowok berambut merah. Tubuhnya gemetar ketakutan saat melihat adegan kekerasan.
Selang beberapa menit pertikaian itu pun belum selesai. Matanya menoleh menatap Alka, dan betapa tertegunnya saat melihat siapa lawan Alka kali ini. Cowok dengan rambut hitam dengan netra coklat itu mampu membuat lutut Meira bergetar hingga menjalar ke tangannya entah karena apa.
Dengan tangan bergetar Meira mengambil ponselnya lalu menekan satu aplikasi hingga sirene polisi terdengar.
Liw... Liw... Liw...
Sontak saja beberapa anak cowok dari mereka kabur termasuk cowok yang tadi membuat Meira ketakutan. Saat melihat tidak ada siapapun kecuali Alka dan teman-temannya, Meira berlari masuk ke dalam gudang berniat menghampiri Alka.
Namun belum beberapa langkah jidatnya membentur sesuatu yang keras. Dan Meira yakin itu bukan tembok.
"Aduh..., jidat aku!" Meira memekik antara kesakitan dan terkejut, hingga suara serak basah khas seseorang membuatnya berhenti.
"Lo?!"
Mata Meira membulat saat melihat apa yang ia tabrak. Seorang cowok dengan paras tampan yang tidak manusiawi kini tengah menunjuk wajahnya dengan tatapan tajam. Detik selanjutnya Meira menujukkan cengiran, berusaha menghilangkan rasa takutnya.
"H-hai K-Kak Alka." Meira dapat mendengar geraman tertahan dari cowok itu.
"Devan!"
"Kenapa?" sahut Devan dari belakang diikuti oleh anggota The Lion yang lain. Dahi Devan mengernyit saat melihat cewek di hadapan Alka saat ini. Dia merasa seperti pernah melihatnya.
"Lo yang waktu itu nyasar, kan? Nama lo siapa lagi? Mei... Mei... Me---" Devan terlihat mengingat-ingat sebelum ucapannya di potong oleh Malik.
"Mei, Juni, Juli, Agustus, Sep---"
Tak!
"Bukan itu maksud gue, nyet!" satu jitakan mendarat di kepala Malik dari Devan. Namun sang empu hanya cengengesan.
"Lo Meira, kan?" Celetuk Bagus yang diangguki semangat oleh Meira.
Alka memutar bola matanya malas, bukan ini tujuannya memanggil Devan.
"Kasi hukuman bocah ini, Van." Perintah Alka itu langsung saja disuguhi kernyitan dari Devan.
"Hukuman? Meira? Emang nih, cewek kenapa?" tanya Devan bertubi-tubi, menunjuk Meira dengan tatapan mata.
"Dia pelakunya."
Sontak anggota The Lion pun menatap tidak percaya pada Meira. Berani sekali cewek ini, pikir mereka.
Devan ber'O' ria, selanjutnya seringai licik tersungging di bibir cowok itu hingga membuat Meira meneguk kasar ludahnya.
"Lo boleh pulang." Meira mengerjap polos mendengar suruhan Devan.
"Katanya aku mau di hukum?" Devan terkekeh melihat kepolosan cewek itu.
"Ini udah malem. Masih ada hari esok kalo lo lupa Meira." seringai kecil Devan tertampil di akhir kalimat.
####
Langkah tergesah-gesah dengan raut wajah cemas mengiringi langkah Meira sore ini saat menuju ke parkiran sekolah. Bell pulang telah berbunyi lima menit yang lalu namun masih banyak siswa-siswi yang belum pulang. Di lapangan juga ada beberapa siswa yang bermain basket, mungkin keperluan extrakurikuler. Namun bukan itu yang Meira pentingkan, melainkan bagaimana caranya agar ia bisa cepat-cepat pulang dan terbebas dari hukuman Alka yang belum ia ketahui.
Langkahnya semakin cepat hingga beberapa langkah lagi dirinya akan lolos dari gerbang sekolah. Namun, saat tinggal lima langkah menuju gerbang, sebuah suara seseorang di mikrofon sekolah membuat langkahnya terhenti, tubuhnya tiba-tiba kaku.
"Untuk cewek yang ada di dekat gerbang, tolong berhenti kalo gak mau tau akibatnya!" Meira meneguk kasar ludahnya mendengar suara asing itu di mikrofon sekolah, tapi ia yakin itu pasti suara dari salah satu teman Alka.
Mata Meira menyapu melihat sekeliling gerbang. Ternyata bukan dirinya saja yang berhenti, melainkan dua cewek berambut panjang sebahu juga ikut berhenti di dekat gerbang dan saling menatap satu sama lain, seolah bertanya ada apa ini.
Meira menghembuskan nafas lega, mungkin saja bukan ia yang dimaksud cowok itu. Meira pun melanjutkan langkahnya, namun lagi-lagi harus terhenti saat cowok itu kembali bersuara di mikrofon sekolah.
"Tetap disitu! Meira Annastasia!" bagai di terpa petir tidak kasat mata, jantung Meira tiba-tiba saja berdetak seperti orang yang telah lari marathon sejauh 1 km. Meira membalikkan badannya, dan betapa terkejutnya saat melihat semua tatapan menghunus kepadanya.
Tidak berselang lama, cowok dengan rambut gondrong terikat dan cowok berambut hitam sedikit acak-acakan namun tetap tampan menghampiri Meira. Dia adalah Devan dan Bagus.
"Mau kabur, yah, Cil?" tanya Bagus mengejek, diikuti kekehan renyah dari Devan.
"C-cil?" beo Meira, bingung dengan panggilan Bagus.
Bagus terkekeh lalu mengacak rambut Meira hingga beberapa siswi yang menyaksikannya menjerit tidak karuan bak orang kesurupan.
"Bocil, alias bocah kecil. Itu panggilan gue untuk lo," jawab Bagus, diakhiri dengan cengirannya. "Spesial." Bagus kemudian mengedipkan sebelah mata pada Meira.
"Udah gak usah basa-basi, yuk ikut kita. Hukuman menanti lo, Mei-Mei!" Devan tertawa jahat lalu melangkah menuju motornya begitupun dengan Bagus, meninggalkan Meira yang menggerutu.
"Tadi malem Kak Alka bilangin aku bocah. Tadi Kak Bagus bilang Bocil, terus sekarang Kak Devan bilang aku Mei-Mei. Emang gak ada apa panggilan yang lebih cantik buat aku? Princess misalnya? Atau mungkin bidadari gitu?" gerutunya sendiri tanpa menyadari bahwa Devan dan Bagus sudah ada di hadapannya menatapnya bingung.
Devan mengendarai motor ninja sport berwarna putih dan Bagus dengan motor Harley berwarna hitam. Apakah semua teman Alka memang memiliki ketampanan dan kekerenan di luar nalar manusia? Itulah yang ada di pikiran Meira kali ini.
"Ngapain bengong, Cil?"
"Eh?"
Meira tersentak untuk beberapa saat sebelum menghampiri Bagus dan Devan yang duduk di motor masing-masing.
"Lo mau ikut siapa? Gue atau Bagus?" tanya Devan yang mengundang tampang berfikir dari Meira.
"Kak Bagus aja, deh. Motornya gak terlalu tinggi," jawabnya, membuat Devan menghela nafas lega dan Bagus yang menggaruk kasar pipinya.
"Yaudah gue duluan, yang lain udah nunggu di apartemen Alka." setelah itu, motor Devan meninggalkan sekolah disusul oleh Bagus dengan Meira yang duduk di jok belakang motornya.
Berbagai macam tatapan tidak pernah luput dari Meira saat bersama Devan dan Bagus. Bahkan bisikan-bisikan masih terdengar walaupun Meira sudah jauh.
####
"Kak Bagus? Kita mau kemana, sih?!" tanya Meira dengan sedikit berteriak karena suaranya tenggelam dibisingnya suara kendaraan.
"Entar lo tau sendiri!" sahut Bagus, setengah berteriak.
Meira diam sejenak. Tiba-tiba saja ucapan Devan melintas begitu saja menjawab pertanyaannya.
"Yaudah gue duluan, yang lain udah nunggu di apartemen Alka."
"Jadi kita mau ke apartemen Kak Alka?" batinnya.
"Kak Bagus! Pulang ke rumah aku dulu, yah? Aku belum izin sama Mama."
"Gak usah!"
"Ish, tapi nanti kalo Mama nyari aku gimana dong?"
"Gak akan, Cil."
"Bisa aja, kan? Aku kan, anak Mama satu-satunya saat ini, pasti Mama bakal cemas kalo aku lambat pulang. Apalagi kalo Pak Hendra datang jemput aku, terus aku gak ada di sekolah."
Bagus menggeram tertahan. Tidak bisakah cewek ini diam sebentar saja? Suaranya sudah memecahkan konsentrasi Bagus dalam berkendara.
"Bocil denger, yah! Malik dan Ezra tadi udah ke rumah lo minta izin sama nyokap lo, buat kerja kelompok!"
"Berarti Kak Malik sama Kak Ezra bohong dong?"
Bagus tidak menjawab lagi. Ingin rasanya waktu berjalan cepat dan sampai di apartemen Alka hingga terlepas dari cewek yang kebawelannya tidak manusiawi ini.
30 menit kemudian Bagus dan Meira telah sampai di depan sebuah gedung menjulang tinggi ke langit. Bagus membuka helmnya lalu turun dari motor dan masuk ke dalam gedung itu tanpa mengajak Meira terlebih dahulu.
Meira memberenggut kesal lalu mengikuti Bagus dengan wajah cemberut.
Ting!
Sebuah lift terbuka dan Bagus masuk ke dalamnya diikuti Meira.
"Kak Bagus?" panggil Meira. Matanya tetap lurus ke depan pada pintu lift yang perlahan tertutup. Kedua tangannya memegang erat tali tasnya.
"Hm?" Bagus berdehem singkat menanggapi Meira. Dia sibuk dengan ponselnya.
"Kita mau ngapain ke apartemen Kak Alka?"
"Ngehukum lo, lah."
"Siapa yang bakal hukum aku? Kak Alka? Kak Devan? Atau Kak Bagus?" tanyanya, mulai was-was.
Ting!
Pintu lift kembali terbuka diikuti Bagus dan Meira yang keluar dari lift itu. Mereka berjalan beriringan menuju kamar apartemen Alka yang tinggal melewati 3 kamar lagi.
Bagus kembali memasukkan ponselnya ke saku celana abu-abunya. "Bukan. Tapi semua anggota The Lion."
"APA?!" pekikan Meira berhasil lolos hingga membuat Bagus menutup telinganya.
"Gak usah teriak juga, Cil! Sakit nih, kuping gue!"
Meira tersenyum kikuk.
"He... He... Abis Mei refleks dengernya. Masa iya Mei dihukum sama semua anggota The Lion."
"Kenapa enggak?"
"Kan, Meira ini imut, gemesin pula. Kalian tega hukum Mei?" Bagus memberhentikan langkahnya lalu menatap Mei dengan senyum geli. Cewek itu tengah memasang puppy eyes yang cukup menggemaskan menurut Bagus.
"Gak ada yang mustahil bagi The Lion. Bahkan kita berencana buat penggal kepala lo itu." Bagus menyeringai kecil lalu kembali melangkah.
Mata Meira terbelalak sempurna dengan mulut sedikit terbuka lalu mengejar Bagus yang sudah berjalan lebih dulu.
"Kak Bagus serius bakal penggal kepala aku?"
Bagus mengangkat bahunya acuh.
"Semua tergantung Alka."
"Kak Alka pasti gak bakal tega penggal kepala aku."
"Siapa bilang? Alka itu manusia yang gak punya hati terhadap orang yang berani mencampuri urusannya. Dan kelakuan lo semalam udah termasuk dalam kategori mencampuri urusan Alka. Ah, Lebih tepatnya urusan The Lion." Bagus menoleh sekilas untuk melihat wajah panik Meira.
"Tapikan waktu itu Mei khawatir liat kalian babak belur."
Bagus kembali mengangkat bahu acuh.
"Lebih baik lo berdoa buat keselamatan lo."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Imam Sutoto Suro
Good luck thor lanjutkan
2022-12-21
0
atmaranii
mnarik...gokil jg
2021-04-25
1
ïm.ålgå†år~ ✨
he bat si meira ngakakakak
2021-04-11
1