Valentine! Valentine! Dimana-mana heboh valentine. Disegala tempat orang-orang membicarakan valentine. Menyebalkan!' Runtukku dalam hati. Entah mengapa, tetapi bulan Februari tahun ini sangat membuatku uring-uringan. Kala pulang sekolah dan mendapati setumpuk kartu di lobby, hatiku teriris. Karena takkan ada sebuah kartupun untukku. Kedua kakakku, dan empat orang anak kost ibulah yang menjadi langganan mendapatkan kartu berisi uacapan-ucapan penuh kasih sayang itu. Huh! Nasibku benar-benar apes!
“Tidak jelek. Perpaduan klasik dan modern. Kontemporer.” Demikian menurut Nani, sahabatku di kelas saat aku menanyakan apakah wajahku sma sekali tidak memiliki daya tarik untuk dilirik cowok. Yah,walaupun Nani nyaris menyamakan wajahku dengan desain bangunan, tapi toh, aku agak terhibur juga mendengarnya. Berarti aku tidak jelek, kan? Ingat saja, gaya kontemporer yang banyak digunakan orang untuk membangun. Toh - lagi – sampai saat ini, ada juga tuh yang mati-matian menyatakan kalo aku adalah gadis yang paling cakep di planet ini. Yah, siapa lagi kalo bukan bokap kesayanganku…heheheh.
“Eh, lewat aja. Gak seneng dapet kartu tanda sayang?” Tanya Mbak Yun yang kebetulan baru keluar dari kamarnya.
Aku cemberut dan menyapu keringat yang hinggap di ujung hidungku, “kartu tanda sayang? Mungkin tunggu tahun 3000, kali.”
”Loh!...” Mbak Yun tergelak, “itu sudah ketuaan, Non. Atau…kagak ada feeling dikirimin kartu, ya?”
Aku melengos tak perduli. Palingan Mbak Yun ingin menertawaiku karena rekorku yang tak pernah mendapat kartu apapun dari siapapun. Tetapi Mbak Yun langsung menahan langkahku.
“Hei! Sesekali adu keberuntungan, kek. Tentara jangan pernah kalah sebelum dikirim ke Timor-timor…”
“Boro-boro mau ke Tim-tim, mau tur ke Puncak aje dijejali banyak nasehat dan wanti-wanti. Udah deh Mbak. Gih bersenang-senang sama yayangnya. Jangan ngeledek aje.”
Sekali lagi Mbak Yun ketiwi. Itu loh, sodaranya ketawa. Kaya gak tau aja.
Di kamar, aku langsung membenamkan tas sekolahku ke dalam laci meja belajar agar tidak sumpek. Ya. Hatiku, perasaanku, dan kamarku amat terasa sumpek belakangna ini. Coba aja pikir, seminggu yang lalu, aku gagal menjadi ketua OSIS. Malahan jadi sekretaris. Tidak lah yau! Paling anti sama yang namanya nulis-nulis. Lalu, sebelum seminggu yang lalu aku terjatuh saat mengejar bis menuju sekolah. Sakit di dengkulku yang terluka sih tidak seberapa. Tapi malunya loh! Banyak banget cowok-cowok yang tertawa saat melihat musibah sial itu. Nah, yang terakhir, foto-fotoku saat tour ke Puncak sebulan yang lalu rusak semuanya. Tidak ada yang bagus saat dicetak. Kesel gak, sih? Ditambah lagi dengan ledekan Mbak Yun…
“Jen…”
Aku mendengar suara ibu diselingi ketukan pintu. Suara lembut itu menyejukkan jiwaku setiap kali aku merasa ‘panas’.
“Jen…” kulihat paras ibuku yang dihiasi senyum tatkala pintu kamar kubuka. “Kenapa langsung masuk kamar, sayang. Apa sudah makan?”
“Tadi ditraktir teman.” Jawabku sambil kembali menghempaskan tubuhku ke ranjang.
Ibu masuk dan membuka kain gordin jendelaku. “Setiap mau berangkat ke sekolah, jangan lupa membuka gordin jendela, Jen. Biar udara segar bisa masuk ke kamarmu. Jadi gak sumpek.”
“Ibu tahu aja kalo aku lagi sumpek.” Kataku sedikit tidak perduli dengan nasihat wanita yang masih berusia sekita empat puluhan tersebut.
“Kalau Jenny tidak sempat membersihkan kamar sebelum berangkat ke sekolah, kamarnya jangan dikunci. Biar ibu atau bik Yem yang rapiin. Jangan lupa itu.”
Aku hanya menarik nafas berat. Nasehat itu sudah hampir setahun kudengar. Tetapi rasanya aku tidak pernah perduli. Apakah karena…
…
"Ohya Jen, kalau tidak salah, ada kiriman kartu untukmu. Apa sudah..."
"Bener, Bu?" tanyaku terlonjak kaget. Kalau Mbak Yun, memang mungkin sekali untuk bercanda mengenai hal penting ini. Tetapi mustahil dengan Ibu.
"Yah, ibu sih tidak begitu yakin. Tetapi siapa lagi di rumah ini yang selalu dipanggil dengan sebutan Nona?"
"Jadi beneran, bu?" aku melompat dari ranjang dan menatap ibuku yang tampak masih muda itu.
"Perlu ibu ambilkan?"
"Tidak!" jawabku cepat. Tetapi mungkin lebih cepat lagi langkah kakiku saat mengeluarkan jurus langkah sejuta berlari keluar kamar. Anak tangga seperti rata bagiku. Dan benar saja! Di lobby, ada tertinggal satu buah surat beramplop merah muda. Benar-benar sebuah kartu! Pikirku dalam hati. Dengan tangan gemetar aku meraih kartu itu. Dibagian depan kulihat serangkaian kata yang diketik dengan rapi bertuliskan : 'Untuk Nona Jennyta.'
Itu aku! Tepatnya namaku. Jadi Mbak Yun tadi ternyata tidak sedang berbohong. Dan meskipun aku masih belum tahu siapa pengirim kartu tersebut, aku toh langsung terbang kembali ke kamar dan langsung mencium pipi ibu keduaku.
Ohya. Aku menyebutnya demikian, karena ibu adalah benar-benar ibu keduaku. Usianya 10 tahun lebih muda dari almarhum ibu kandungku. Mantan sekrearis ayahku yang bernama Rahayu itu datang ke rumah ini satu setengah tahun yang lalu. Dan selama itu pulalah ia berusaha masuk ke dalam hati anak-anak suaminya. Aku dan kedua kakakku, tidak munafik, memang sangat membenci wanita itu. Terlebih kepada Ayah! Kami mengira Ayah sudah tidak mencintai Ibu lagi. Nyatanya, kesabaran Ibu Rahayu dalam menghadapi kami akhirnya sedikit demi sedikit merubah pendirian kami. Memang, ada hal-hal tertentu yang kami sebagai anak-anak tidak harus tahu apa maksud orang tua melakukan sesuatu. Namun dalam hal ini, kami memang harus mengeri bahwa Ayah memerlukan seseorang untuk mencintainya...dan mengurusnya.
"Kok bengong aja?" tiba-tiba terdengar suara Ibuku, "Dibuka kartunya biar tahu dari siapa."
Aku hanya cengar-cengir karena malu. Mendadak wajahku terasa menghangat. Ini adalah kartu pertamaku. Jadi aku benar-benar sangat malu.
"Atau...ibu gak boleh tahu, ya?"
"Bukan..." aku menjawab cepat, "Ibu harus tahu. Maksudku, aku ingin ibu juga tahu..."
Ibu tersenyum lembut dan membimbingku duduk di tepi ranjang, "Nah, kita buka sama-sama ya?"
Aku mengangguk. Dengan tangan gemetar dan dada berdebar, aku menyobek pinggiran amplop. Pertama yang kulihat adalah gambar boneka panda yang lucu, menggenggam bunga mawar merah yang sangat indah. Bukan hanya aku, Ibu juga memuji pilihan kartu yang amat manis itu. Dan saat kartu kubalikkan, aku melihat ada serangkaian kata yang memang telah tercetak pada kartu tersebut. Kata-kata ucapan valentine. Itu biasa. teapi nama di sudut kanan bawah itu yang membuatku berkeringat.
"Gunadi!" Suara Ibu seperti mengulang gema di jiwaku. aku tidak tahu, juga ibu, pengaruh nama itu membuat gejolak hebat di hatiku.
*
Tim Volley sekolah kami menang lagi. Kapten Gunadi benar-benar mempesona di lapangan. Serve, smash, dan lompatan-lompatan pertahanan yang dilakukannya sangat memukau penonton. Terutama aku! Semenjak kartu cowok itu sampai ke tanganku, sampai hari ini, hari ke empat, aku jadi lebih memberi perhatian ekstra padanya, meskipun tidak sampai diketahui oleh teman-temanku. mereka jangan sampai tahu kalau aku sedang Fall in love with him!
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Jenny Eka
huh aku kira bakalan ketahuan jane mau bikin pesta
2020-09-20
1
Mala Sonya Ariati
berkesan
2020-06-30
1