Gunadi

"Permainan yang indah, Gun. Selamat ya." Aku menyalami Gunadi saat kelas usai.

Gunadi tersenyum, "Terima kasih." Jawabnya menyambut tanganku. Dan tentu saja membuat jantungku berdebar hebat. "Ah ya, bagaimana keadaan Nani? Apa ada kemajuan?"

"Dia baik, tetapi memang harus dirwat di rumah sakit secara intensif." jawabku. Tetapi terus terang, sebelum menjawab pertanyaan cowok bernama Gunadi itu, ada sedikit gores disisi hatiku.

"Rumah sakit? Aku tidak menyangka akan seserius itu." 

Aku mengangguk, "Kita doakan saja agar Nani cepat sembuh dan kembali bersekolah." ucapku lembut. Tetapi aku melihat ada sinar khawatir di bola mata Gunadi. Dan hal itu - lagi-lagi - menyayat perasaanku. Ada apa sebenarnya ini? pikirku tak nyaman.

Aku kenal Gunadi dua tahun yang lalu. Saat penataran P-4, sebelum resmi menjadi siswi SMU yang sekarang kujalani.Persaanku terhadapnya saat itu biasa saja. Tak lebih dari teman yang tentu saja baru kenal. Apalagi saat itu aku pasti masih sangat bodoh dalam hal cinta. Tetapi setelah pembagian jurusan, dan ternyata Gunadi satu jurusan denganku, bahkan kami berada dalam satu kelas dan menjadi ketua kelas, tiba-tiba saja ada tumbuh benih-benih rasa suka di hatiku terhadapnya. Aku belum tahu apa arti perasaanku itu, tetapi entah mengapa aku sangat senang bila berdekatan dengan cowok itu. Gunadi memang tampak cuek, tetapi dia sangat tampan, cool, dan aku benar-benar menyukainya. Apalagi, bukan hanya di lapangan, Gunadi juga pintar di kelas. Dia sangat menguasai Kimia dan Sastra. Hasilnya, banyak sajak-sajak dan puisi romantis yang ia ciptakan dan menghiasi mading sekolah kami. Semua itu membuatku tak keruan dan stress tatkala banyak gadis-gadis selain aku yang juga pasti ingin menjadi kekasihnya.

Tapi sayang, perasaanku hanya sepihak. Aku sadar, ternyata perhatian Gunadi malah jatuh kepada Nani, sahabatku. Rasanya, kalaupun Gunadi ramah dan memberi perhatian kepadaku, itu pasti karena aku adalah sahabat Nani. Dan setelah itu, pastilah Gunadi akan memintaku untuk menyampaikan salamnya kepada Nani. Itulah sebabnya aku menjadi heran. Kenapa Gunadi mengirim kartu valentine kepadaku jika yang disukainya adalah Nani? Apalagi di kartu yang kuterima seminggu yang lalu itu, Gunadi ada menulis 'Be my love'. Apakah kalimat singkat itu tidak berarti sesuatu? Bahwa Gunadi ingin aku menjadi pacarnya? Tetapi mengapa sikap Gunadi sangat jauh berbeda dari kartu manis yang ia kirimkan padaku? Bahkan cowok itu sama sekali tidak pernah menyinggung soal kartu itu.seolah dia tidak pernah mengirimnya. Apakah...

"Mungkin dia belum ketemu saat yang tepat untuk mengungkapkan perasannya, Non. sabar aja deh." Demikian ucapan Nani saat aku menjenguknya di rumah sakit. Ternyata penyakit Thypus yang diderita sahabatku itu benar-benar parah dan tak kenal ampun. Setengah dari rambut ikal gadis itu sudah berpindah tempat ke dalam kotak perhiasannya.

"Aku hampir botak gara-gara penyakit ini." gerutu Nani tersenyum kecut, "nasi goreng. Aku kepingin nasi goreng, Non."

"Hus!" aku menyela cepat, "Kau harus ingat kondisimu, Nan. Ntar ditambah opname seminggu lagi gara-gara nasi goreng, mau gak?"

Nani terkekeh, "Ohya, apa Gun menyinggung soal kartu yang dikirimnya kepadamu?"

Aku menggeleng.

"Masa?"

"Itu juga yang kuherankan. Biasanya, orang yang berkirim sesuatu, pasti akan mempertanyakan kirimannya apa sudah sampai atau belum,kan? Tetapi Gunadi cuek-cuek aja tuh. Aku jadi gak ngerti. Kalo emang Gunadi gak suka sama aku, kenapa dia harus mengirim kartu tanda kasih sayang itu padaku ya? Apa dia tahu kalo aku suka sama dia dan dia mau mainin hatiku ya?"

Untuk sesaat wajah Nani berubah keruh, "Iya juga ya. Tetapi masih ada kemungkinan kalo dia malu mengatakan perasaanya. Apa lagi dilihatnya kau terlalu pendiam."

Aku mengangguk, "Hm, tapi yang kutakuti..."

"Apa?"

"Hm...kalau kartu itu bukan dari dia..."

"Maksudmu?" tanya Nani cepat.

"Yah...aku sedang dikerjain sama seseorang..." 

Nani menarik nafas panjang, "Memangnya, siapa saja yang tahu kalau kau suka sama Gunadi?"

Aku tersenyum malu, "Kau kan tahu kalau aku baru kali ini punya perasaan khusus terhadap laki-laki. Ini yang pertama loh. Jadi mana mungkin aku memberitahu pada banyak orang. Bahkan ibuku saja tidak tahu." jawabku memencet-mencet hidung karena malu.

Nani tersenyum, "Kenapa mesti malu? Jatuh cinta itu kan hal yang wajar. Manusiawi. Semua manusia akan merasakannya."

"Iyaa, tapi kalau bertepuk sebelah tangan, kan malu juga, Nan." penggalku cepat, "Belum lagi rasa kecewanya.."

"Gimana kalau memang ada anak lain yang tahu tentang perasaanmu terhadap Gunadi trus mengirim kartu itu atas nama Gunadi..."

"Tetapi untuk apa? Kenapa dia mempermainkan perasaanku? Ini adalah persoalan hati. Jangan sembarangan. Ini sama saja dengan cari musuh. Perang juga oke, Nan!" jawabku agak sedikit emosi.

Kulihat Nani diam sejenak seperti memikirkan sesuatu, "Yah, aku paham dengan perasaanmu. Jika aku jadi kau, pasti tengsin juga yah?"

"Wah, bukan cuma tengsin, Nan. Rasanya pingin nyebur ke laut sakin malunya!" ucapku terkekeh, "Tetapi, setahuku, Gunadi justru menyukaimu, Nan."

"Ah, jangan macam-macam.."

"Sungguh.."

"Ohya? Kok aku gak merasakannya?" tanya Nani tertawa. "By the way, bicara soal kesungguhan, kau bisa membantuku, gak?"

Aku melotot, "Pakai cara nanya lagi! Tentu saja aku akan membantumu, jelek!" aku menarik hidung Nani yang bangir.

Nani tertawa, "Begini. Tadi malam, aku dengar dokter bicara sama orang tuaku kalau kondisiku sudah mulai membaik. Dua hari lagi aku sudah bisa keluar dari rumah sakit."

"Benarkah?" tanyaku gembira. "Oh, aku sungguh senang mendengarnya, Nan." kataku seraya memeluk shahabatku itu dengan erat.

"Makasih Non. Eh, udah dong. Gak bisa nafas, nih..."

Aku terkekeh dan melepaskan diri, "Oke, kau mau aku melakukan apa, Nan? Tinggal Bilang."Bottom of Form

"Hm, tolong Non, aku pingin banget makan nasi goreng. Itu loh, nasi goreng Mang Kasim yang dekat sekolah kita..."

"Tidak!" Jawabku tegas, "Nanti saja, setelah kau benar-benar sudah berada di rumah." 

"Aduh, Non! Kau sebenarnya sahabatku atau bukan sih? Masa nolongin begitu aja gak mau? Kan aku sudah bilang, penyakitku sudah sembuh. Dua hari lagi aku sudah bisa pulang. Apa bedanya sih makan nasi goreng sekarang atau nanti?" tanya Nani memasang wajah memelas. Apa yang katakan Nani membuatku tak enak hati. Satu sisi, aku tidak ingin penyakit Nani kumat kembali gara-gara nasi goreng itu. Tetapi disisi lain, aku paham banget gimana perasaan Nani yang sudah ingin sekali menikmati makanan kesuakaannya tersebut. Pasti rasanya sudah di ujung lidah. Bahkan halusinasi aromanya serasa sudah masuk ke hidung yang akhirnya membuat perut semakin berteriak ingin diisi.

"Non?"

"Tapi..." aku masih ragu-ragu.

"Percaya deh, Non. Aku benar-benar sudah sembuh. Masa kau gak yakin sama sahabatmu sendiri sih? Ohya, sudah denger gak kisah pasien di sebelah kamarku?"

***

Terpopuler

Comments

Jenny Eka

Jenny Eka

aku ikut deg²an mau baca kelanjutannya😱😰🥺

2020-09-20

1

IG : anissah_31

IG : anissah_31

mari kak saling mendukung
mmpir blik ya kak 😁

2020-09-16

0

Mala Sonya Ariati

Mala Sonya Ariati

jangan jahat Justin

2020-06-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!