Kisah Anak-anak 17

Kisah Anak-anak 17

Nesya

Sore yang suram. Dan itu terlihat dari kedua wajah yang saling berhadapan. Yang satu adalah seorang pria bertubuh tinggi besar dengan penampilan bagaikan seorang preman, sementara yang lainnya adalah seorang gadis bertubuh kecil dengan wajah terlihat pucat dan lelah.

“Bukannya aku ingin berlaku kejam kepadamu, Nesya. Jujur saja aku sudah berusaha membantumu dengan meminta pengunduran waktu yang memang kau butuhkan. Namun kau tahu sendiri gimana Pak Roland. Dia sama sekali tak bisa berkutik terhadap istrinya,” gerutu Hendro dengan suara parau.

Nesya mengangguk. Dia menarik nafas panjang dan lemah. “Jadi waktuku hanya tinggal dua hari lagi?”

“Maafkan aku, Nes. Seandainya saja aku bisa bantu…”

“Gak masalah, bang. Mungkin sudah saatnya aku melepaskan semua ini.” Ucap Nesya berusaha tegar dengan menampilkan senyum yang amat terpaksa.

“Kasihan, kau, Nes. Semenjak orang tuamu meninggal…”

“Sudahlah, bang. Tak ada hubungannya dengan hal itu. Aku telah berusaha semampuku. Jika memang aku harus pergi dari sini, itu pasti memang sudah jalannya.”

“Kau akan pindah, Nes?” tanya Hendro meminta kepastian.

“Melihat dari setuasi yang kuhadapi saat ini… iya.”

“Kemana?”

“Aku belum tahu, bang.”

“Begini saja, Nes. Aku akan membantumu mencarikan tempat yang sesuai dengan anggaranmu, oke?”

Nesya tersenyum. “Aku tidak ingin merepotkanmu, bang. Biarlah aku sendiri yang mencarinya. Lagian abang kan pasti gak tahu seleraku seperti apa.”

“Okelah. Tapi kau jangan lupa beritahu aku jika kau benar-benar akan pindah dari sini.”

“Iya. Pasti, bang.”

Hendro tersenyum. Setelah memberikan surat yang dikirim oleh bossnya, pria yang pekerjaan sebagai ‘tukang pukul’ itupun berlalu. Meninggalkan Nesya yang segera menyandar ke dinding. Kepalanya terasa amat pusing, dan dia hampir saja tersungkur jatuh kalau saja seseorang tidak segera menangkap tubuhnya.

“Hei…anda tidak apa-apa, nona?” tanya orang itu berusaha membantu Nesya berdiri dengan sempurna.

Nesya segera membuka matanya, dan menormalkan jalan pikirannya. “I..iya.aku baik-baik saja. Terima kasih.”

“Ya, sama-sama.” Orang tersebut menatap Nesya dengan seksama. “Anda yakin baik-baik saja? Anda pucat sekali, saya lihat.”

Nesya yakin sekali apa yang diucapkan oleh pria di hadapannya memang benar. Saat itu dia pasti tampak sangat pucat. Bukan saja karena memang warna kulitnya sejak lahir, tetapi ditambah belakangan ini da memang sulit untuk makan. Tenaga dan pikirannya terfokus pada butiknya saja.

“Saya baik-baik saja, kok,” ucap Nesya tersenyum.

Pria berstelan rapi dihadapannya tersenyum. “Baiklah. Boleh saya masuk?”

“Masuk?” tanya Nesya begong.

“Iya. Masuk. Atau butik ini sudah tutup?”

Nesya baru tersadar. Tentu saja! Bagaimana mungkin dia bisa lupa kalau dia berada di butiknya sekarang. Ya, ampun!

“Oh…i… iya. Silahkan masuk.” Katanya cepat sambil menyeringai.

Pria itu, yang berusia sekita tiga puluhan tersebut segera mengikuti Nesya masuk ke dalam butiknya. Sebagaiamana layaknya sebuah toko pakaian, butik Nesya menjual pakaian wanita dengan beragam mode dan ukuran. Hanya beberapa menit saja, pria yang lama-kelamaan terlihat sangat tampan di mata Nesya, telah memilih beberapa gaun wanita yang berharga mahal, yang membuat Nesya tidak percaya.

“Hm… benarkah yang ini juga?” tanyanya menelan ludah.

“Iya.”

“Ini adalah gaun ke delapan, Mas.” Ujar Nesya mengingatkan. Dia masih belum yakin apakah benar pria yang sedang melihat-lihat isi tokonya tersebut benar-benar ingin membeli pakaiannya.

“Iya. Apakah terima pembayaran lewat kartu kredit?”

“Iya, terima.”

Si pria tersenyum. “Baiklah. Saya bayar sekarang. Dan seluruh pakaiannya bisa di antar pake jasa kurir, kan?”

“I…iya.” Jawab Nesya masih tak percaya. Bahkan setelah tangannya benar-benar menggesek kartu kredit pria itu di mesin otoritasnya, lalu mencetak angka digital yang tidak sedikit, Nesya masih saja merasa bagaikan mimpi.

“Anda baik-baik saja?” tanya si pria menjentikkan jemarinya di depan wajah Nesya. Gadis itu terkejut dan tertenyum.

“Iya, aku tidak apa-apa.” Jawab Nesya cepat. Di dalam hati dia berteriak bahwa baru saja dia memutuskan untuk pindah dan mencari toko yang lebih murah, dikarenakan pakaian-pakaiannya yang bisa dikatakan tidak laku terjual. Lalu tiba-tiba saja datanglah orang ini… siapa ya namanya?

“Boleh saya tulis nama dan alamatnya?” tanya Nesya cepat.

“Ini kartu nama saya.” Jawab pria itu seraya memberikan kartu namanya. Nesya segera menulis nama pria itu. Nathan Wolf. Nama yang luar biasa, menurut Nesya. Dan pria ini telah membeli pakaiannya dengan total jumlah hampir dua puluh lima juta. Itu artinya, dia akan mampu membayar tunggakan sewa tokonya sehingga dia tidak perlu pindah ke tempat lain.

“Baiklah.” Ucap Nesya tersenyum bahagia. “Barang akan segera dikirim besok, pagi-pagi sekali.”

Pria bernama Nathan itu tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih banyak. Boleh saya tahu nama anda?”

“Nesya. Nesya Arsinta.”

“Nama yang bagus. Baiklah. Saya permisi pulang.”

Belum lima menit pria bernama Nathan itu keluar dari tokonya, Nesya kembali berlonjak gembira. Dia langsung menatap photo ayah dan ibunya yang menempel di dinding. “Ayah! Ibu! Ini pasti berkat restu kalian juga. Akhirnya aku bisa bertahan disini, seperti yang selama ini telah kalian lakukan. Terima kasih!” ucapnya tertawa..

*

Satu minggu terlah berlalu. Kepercayaan diri Nesya kembali melambung seiring dia mampu membayar tunggakan kredit toko yang mesti dilunasinya kepada si pemilik toko sebelumnya. Saat toko tersebut masih dikelola oleh ibunya, mereka masih berstatus penyewa. Namun saat kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan yang tragis, toko itu jatuh ke tangan Nesya dan ternyata si pemilik toko menginginkan toko tersebut dibeli dengan cara kredit. Hal itu yang mebuat Nesya harus jungkir balik memutar otak agar pakaian-pakaiannya yang kebanyakan dia impor dari luar negeri bisa terjual habis sehingga dia bisa melunasi toko tersebut sesuai waktunya. Makanya ketika seorang pria bernama Nathan datang dan memborong begitu banyak gaun wanita di tokonya, harapannya kembali mekar untuk tetap mendapatkan toko yang memiliki banyak kenangan bersama orang tuanya tersebut.

“Halo, Nesya.” Sapa sebuah suara, ketika gadis itu sedang mengatur beberapa manekin yang telah dipakaikannya pakaian-pakaian yang baru datang.

“Oh, halo, Mas Nathan. Silahkan masuk,” sambut Nesya tersenyum lebar. Ini adalah kunjungan Nathan yang kelima, dalam lima bulan terakhir ini. Pria itu, selalu datang setiap tanggal muda,setiap bulannya. Dan setiap kunjungannya, dia akan membeli sekitar tujuh sampai sepuluh gaun-gaun terbaru milik Nesya dan dibayar dengan menggunakan kartu kredit. Nathan adalah pria yang tidak banyak bicara. Sikapnya sangat tenang, berwibawa sebagaimana seorang eksekutif muda, penampilan selalu rapi, dan wajahnya semakin lama semakin terlihat amat menarik. Nesya sampai harus sering mengalihkan pandangannya, demi tidak menatap langsung ke arah pria itu.

“Ini agak berbeda modelnya.” Gumam Nathan mengomentari sebuah gaun yang manekinnya berdiri agak tersembunyi di pojok toko.

“Oh, itu…aku sendiri yang mendesainnya. Masih coba-coba,” jawab Nesya agak malu.

Nathan mengernyitkan keningnya. “Bukankah modelnya sangat bagus? Kenapa disembunyikan?”

Nesya tersenyum dengan wajah memerah. “Tidak, ah. Modelnya terasa asing dan sangat aneh. Aku malu untuk menyusun manekinnya di depan.”

“Ck!” Nathan mendecak tak setuju. “Artinya kau tidak mengetahui sama sekali kemampuanmu, ya? Kalau menurutku, gaun itu sangat bagus dan aku akan mengambilnya.”

Nesya mangap sesaat. “A..apa?”

“Masukkan ke dalam daftar belajaanku. Berapapun harganya!” ucap Nathan seraya mengeluarkan kartu kreditnya.

“Ta…tapi aku tidak tahu berapa harganya…” ucap Nesya menelan ludah.

“Berapa besar biaya yang kau keluarkan untuk membuatnya?”

“Sekitar dua juta…”

“Kalau begitu, kau bisa memberi harga lima juta.”

“Tidak mungkin!” seru Nesya tak percaya. Baju buatannya yang tampak aneh dengan detail-detail yang mungkin belum pernah dilihat orang, bisa berharga lima juta?

“Terserah. Mungkin kau ingin menghargainya enam atau tujuh juta, bagiku tidak masalah. Aku tetap membelinya,” ucap Nathan tenang.

“Tidak. Maksudku… Gaun ini… Tidak pantas mendapat harga semahal itu.” jelas Nesya cepat.

“Kau jangan membuatku terheran-heran, Nesya. Gaun buatanmu ini sangat menarik, dan kau tidak setuju dengan harga yang sepantas itu? Terserahlah. Tetapi aku ingin kau membuatnya lagi untuk bulan depan.”

Terpopuler

Comments

Muthia Ulfah

Muthia Ulfah

wahh... ketemu lindlind disini... sukaaaa

2020-09-30

2

Jenny Eka

Jenny Eka

semangat minda nulisnya.
aku udah mampir

2020-09-20

1

IG : anissah_31

IG : anissah_31

Mampir yuk ke cerita aku..
"Sang Pemuda"
Jangan lupa tinggalkan jejak ya. Like, vote and coment.

2020-09-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!