Bolehkah Aku Menyerah
"Fara, beras habis. Pulang sekolah nanti bisa gak kamu pulang dulu kerumah dan belikan ibu beras untuk adik adikmu makan?" Ucap seorang wanita paruh baya duduk lesehan didekat baskom besar yang berisi kresek hitam.
Wanita paruh baya itu mengeluarkan kresek itu dan menunjukkannya pada Zefara, pertanda bahwa beras mereka sudah habis.
Zefara yang sedang memakai dasi SMA nya tertegun dan menghela nafas berat, lalu ia mengambil tasnya di dekat meja kayu yang hampir roboh.
Zefara mengeluarkan uang dua puluh ribu yang berada di dalam tasnya. Uang itu untuk ia kenakan naik angkot, tapi Zefara harus merelakannya untuk membeli beras.
"Uang Fara tinggal dua puluh ribu Bu, apa cukup?" Tanyanya pelan.
Wanita paruh baya itu mengangguk dengan wajah sedih. "Yah mau bagaimana lagi nak, jika tak kamu belikan beras, adik adikmu akan makan apa?"
"Kamu beli sekilo saja, sisanya untuk kamu sekolah naik angkot. Tak apa kan?" Tanya Marni.
Zefara hanya mengangguk, dan membantu ibunya untuk menuju ketempat tidur mereka. Zefara menatap kedua adiknya yang tertidur sangat pulas, dan mengecup sekilas kening kedua adiknya dengan sayang.
Zefara segara pergi keluar dari rumahnya untuk kewarung membeli beras.
"Kenapa kamu beli sekarang? Kenapa tak habis kamu pulang sekolah?" Tanya Marni, menatap kasihan ke arah anaknya.
"Kalau nunggu aku pulang sekolah lama Bu, nanti kalian kelaparan lagi." Jawab Zefara tersenyum tipis dan memberikan kresek hitam itu pada ibunya.
"Ibu bisa masak sendiri kan? Aku udah telat Bu." Sahut Zefara dengan tatapan memelas.
Marni mengangguk dan tersenyum tipis. "Iya, kamu pergilah. Kedua adikmu ibu yang urus!"
Zefara tersenyum, dan menyalami ibunya setelah itu ia pergi dari sana. Zefara memberhentikan angkot, kemudian ia naik ke angkot tersebut dan membawanya pergi ke sekolah.
Tak lama angkot yang Zefara tumpangi berhenti didepan gerbang yang sudah tertutup rapat. Gadis itu mendesah pelan, dan menatap sekelilingnya tampak sepi tak ada murid lain yang terlambat.
"Apa mereka sudah masuk yah?" Gumam gadis itu merasa cemas, ia takut di hukum lagi oleh guru BK.
Satpam yang ada di pos melihat ke arah Zefara dan membuka pagar itu. "Telat terus kamu ini, gak ada kapok kapoknya. Cepat masuk!" Sinis satpam itu.
Zefara hanya cengengesan tak jelas dan meminta maaf pada satpam itu. Ia segera masuk dan ikut berbaris di belakang murid lain yang terlambat.
"Wah, dia lagi dia lagi. Sepet banget nih mata lihat dia Mulu!" Ucap gadis tiba tiba sudah berisi di belakang Zefara.
Zefara terkejut dan reflek memegang dadanya. "Astaghfirullah."
"Kenapa?" Ucapnya menatap tajam Zefara.
"Lo pikir gue ini setan apa?" Tambahnya.
Zefara menggelengkan kepalanya pelan berusaha untuk tetap tenang. "Gak kak, maaf. A-aku hanya terkejut saja, tiba tiba kakak sudah berada di belakangku."
"Alah! Jangan banyak alesan. Cepat bersihkan seluruh lapangan basket sampai bersih!" Perintahnya, lalu pergi dari sana.
Zefara tercengang, ia tak menyangka hukumannya saat ini jauh lebih berat dari biasanya. Lapangan basket? Apa itu masuk akal.
Zefara memberanikan diri untuk bertanya pada murid yang terlambat lainnya.
"Kalian di hukum apa sama osis?" Tanya Zefara pelan.
"Toilet." Jawab salah satu dari mereka.
"Hanya itu?"
Mereka semua mengangguk dan pergi meninggalkan Zefara yang terdiam. Gadis itu tak terima dengan hukuman yang di berikan wakil osis untuknya.
Tapi ia juga tak berani protes karena dirinya hanya gadis beasiswa, jika ia membuat masalah otomatis pihak sekolah akan mencabut beasiswanya.
Dengan langkah lesu Zefara menuju ke tempat lapangan basket. Lagi lagi Zefara mengeluh, karena ada murid lain yang sedang bermain basket disana membuat dirinya kesusahan untuk membersihkan lapangan basket tersebut.
"Permisi." Ucap Zefara sedikit berteriak dan menghentikan aktivitas mereka yang sedang berlatih basket tersebut.
"Kenapa?" Tanya salah satu dari mereka.
Zefara menggaruk kepalanya tak gatal. Gadis itu sudah memegang erat tongkat sapu yang berada di tangannya. Telapak tangannya sudah berkeringat dingin, jantungnya sudah berdebar di tatap oleh para pria.
"Lah malah melamun, bisu yah?" Ledeknya lagi membuat mereka semua tertawa.
"Bisu dari mana, dia aja tadi bilang permisi. Lo budek kali." Cibir pria yang memegang bola basket di tangannya.
"Lo mau apa?" Tanya seorang pria mendekati Zefara yang hanya diam saja.
"A-aku mau m-membersihkan lapangan ini." Jawabnya jujur.
"Lo gak lihat apa kalau lapangan ini masih kita pake?" Bentak Brian.
"Tapi aku lagi di hukum dan di suruh kak Tasya membersihkan lapangan ini. Jika kakak kakak tak keberatan, bisa selesaikan permainan kalian?" Zefara menelan ludah kasar saat tau mata tajam pria disana seperti ingin mengutilinya.
"Cabut!" Ucap pria yang di dekat Zefara, pergi duluan. Membuat pria lain mendesah pelan dan menatapnya tak percaya.
"Alex, kita belum selesai." Teriak Brian dengan wajah memerah.
Brak..
"Gara gara Lo! Kita baru latihan tau gak!" Bentak Brian emosi.
Brian ingin melemparkan bola basket itu ke arah Zefara, untung saja salah satu dari mereka menghentikan tingkah Brian yang emosional.
"Stop! Lo mau di hajar Alex? Ayo pergi." Ajak Dion menarik kasar tangan temannya dan pergi dari sana.
Zefara menatap punggung keenam murid tersebut. Dengan hati gelisah gadis itu membersihkan seluruh lapangan basket dengan sapu dan skop yang ia bawa.
***
"Lex, kok Lo mau ngalah aja sama tuh cewek. Kitakan baru saja latihan, kenapa Lo berhenti aja?" Kesal Brian.
Alex hanya diam dan membuka pakaian basket sembari mengambil seragam sekolahnya di dalam loker.
"Lex, jawab dong jangan diem aja!" Ucap Brian lagi, membuat suasana menegang.
"Brian, Lo cukup! Jangan membuat keruh suasana deh." Sahut Dion menenangkan Brian supaya tak terlalu emosi dengan Alex.
Brian menatap Dion tajam. "Lo sama Alex sama aja! Kita itu mau tanding lima hari lagi. Tapi di kacau sama gadis miskin kayak Zefara!"
Siapa yang tak mengenal Zefara? Hanya gadis itu yang sekolah dengan beasiswa. Yang lainnya dari keluarga kalangan berada, berbeda jika dengan Zefara.
Brak..
Alex menutup pintu loket miliknya dengan kencang membuat Dion dan Brian terkejut.
"Jangan banyak bacot! Besok bisa kita latihannya, gue juga ada perlu diluar." Ucap Alex dingin.
"Lo mau kemana Alex? Alex!" Teriak Brian saat Alex sudah pergi dari ruang ganti.
"Sudahlah, mungkin dia lagi banyak pikiran." Dion selalu menjadi penengah diantar mereka berdua.
"Gak bisa gitu dong Dion! Lo tahu kan kalau kita ini bentar lag--"
"Iya gue tahu! Gak usah di ulangi lagi gue tahu, tutup mulut Lo yang bau jengkol itu!"
"Sialan Lo!" Brian melemparkan seragamnya tepat di wajah Dion.
Disisi lain Alex menatap dari kejauhan Zefara yang sedang menyapu lapangan basket tersebut. Pria itu berjalan mendekati Zefara, membuat gadis itu merasa canggung dan merasa bersalah karena dirinya Alex tak jadi latihan basket.
"Sudah sarapan?" Tanya Alex dengan raut wajah datar.
Zefara diam membeku dan menatap tak percaya pria di hadapannya.
"Sudah sarapan?"
"S-sudah kak." Zefara mencengkram kuat sapu tersebut, kakinya gemetaran menahan takut.
Alex pergi dari sana tanpa mengatakan apapun, membuat Zefara bingung.
"Aneh!" Gumamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments